Anda di halaman 1dari 20

Referat

MEGACOLON

Oleh :
Ananda Sekarni Fauzia
1102014021

Pembimbing :
dr. Kesuma Mulya, sp.Rad

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
JULI 2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada

Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas

rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus penyakit dalam ini

dengan judul “MEGACOLON” sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian kepaniteraan

klinik di bagian Ilmu Radiologi RSUD Cilegon. Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis

hingga referat ini selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas

bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.

Cilegon, Juli 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5
2.1 Definisi ........................................................................................... 5
2.2 Etiologi ........................................................................................... 5
2.3Anatomi dan Fisiologi .................................................................... 6
2.4 Patofisiologi .................................................................................. 11
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................... 11
2.6 Tatalaksana .................................................................................... 16
2.7 Komplikasi .................................................................................... 17
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................... ............. 18
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

Ada beberapa pengertian mengenai Megakolon, namun pada intinya sama yaitu
penyakit yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada
evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter rectum berelaksasi. Hirschsprung atau
Megakolon adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel – sel ganglion dalam
rectum atau bagian rektosigmoid colon dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung
atau Megakolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada
neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki
– laki dari pada perempuan.
Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang
usus yang bervariasi. Penyakit hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah
yang paling sering pada neonatus, dengan insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki
– laki lebih banyak di banding perempuan (4:1) dan Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari
880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.4 Penyakit hirschsprung mungkin disertai dengan cacat
bawaan lain termasuk salah satunya sindrom down serta kelainan kardiovaskuler.
Megakolon non kongenital juga dapat terjadi sebagai penyulit dari penyakit kolitis,
dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon toksik dengan paralisis fungsi motorik
kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh
progresivitas penyakit di dinding yang dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau
pemeriksaan rontgen barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan
syok toksik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan tidak adanya syaraf
ganglion para simpatis pada segemen distal. Ada beberapa pengertian mengenai
Megakolon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak
mampunya sphincter rectum berelaksasi. atau tidak adanya peristaltik serta tidak
adanya evakuasi usus spontan.

2.2 Etiologi
Umumnya, megakolon muncul sebagai komplikasi dari penyakit radang usus.
Penyakit ini menyebabkan banyak masalah seperti pembengkakan dan iritasi pada
saluran pencernaan, sampai menimbulkan kerusakan permanen pada bagian usus.
Megakolon muncul ketika radang usus menyebabkan usus besar melebar dan
membesar. Dampaknya, usus besar menjadi tidak mampu membuang gas dan feses dari
dalam tubuh. Jika gas dan feses tertahan di dalam usus besar, maka organ tersebut bisa
bocor atau pecah. Kondisi ini sangat berbahaya dan mengancam jiwa.

Jika usus besar pecah, bakteri yang seharusnya hidup di dalam usus akan
menyebar ke seluruh bagian dalam perut. Hal ini sangat berbahaya karena bisa
menyebabkan infeksi serius bahkan bisa berujung kematian. Agar terhidar dari penyakit
ini, disarankan untuk mendengarkan saran dari dokter, menjalani gaya hidup yang sehat,
dan menjauhkan diri dari hal-hal yang memicu timbulnya megakolon.

Secara lebih spesifik, penyebab megakolon berbeda-beda menurut jenisnya.


Pada kasus megakolon toksik, penyebab utamanya adalah pengaruh dari penyakit radang
usus seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sedangkan megakolon akut dan kronis
memiliki beberapa penyebab lainnya. Berikut adalah penjabaran singkat mengenai
penyebab megakolon akut dan kronis:

5
 Megakolon akut. Penyakit ini muncul sebagai pengaruh dari beberapa jenis penyakit, di
antaranya:
 Penyakit neurologis: penyakit Chagas, parkinson, distrofi miotonik, neuropati diabetik,
cedera saraf tulang belakang, sindrom paraneoplastik, dan amiloidosis.

 Penyakit sistemik: Scleroderma, dermatomiositis/polimiositis, lupus eritematosus sistemik,


dan penyakit jaringan ikat campuran.

 Penyakit metabolik: hipotiroidisme, hipokalemia, porfiria, dan tumor feokromositoma.

 Penyebab lainnya: penyakit Hirschsprung, sindrom Waardenburg-Shah, dan neoplasia


endokrin multipel tipe 2A (MEN 2A) or 2B (MEN 2B).

 Megakolon kronis. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa kondisi seperti gangguan
elektrolit, gangguan metabolik (hipotiroidisme dan hiperparatiroidisme), serta infeksi (kolitis
pseudomembran, penyakit Chagas, dan disentri amoeba).

2.3 Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi usus besar manusia

Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari usus halus dan mulai
di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa makanan lewat. Reflek gastrokolik terjadi
ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Refleks ini
menyebabkan defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat appendix
6
vermiformis.
Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian
dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada
otot iliopsoas. Disini kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut
kolon asendens. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura hepatica, lalu
berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai kolon transvesus. Dibawah
limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau flexura linealis dan kemudian berjalan melalui
daerah kanan lumbal sebagai kolon desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang
disebut flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian
masuk pelvis besar menjadi rectum.

Gambar 2. Anatomi rectum dan sigmoid

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal
terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum
reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal
(anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus
yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-
otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling
7
: atas, medial dan depan.
Persyarafan motorik sphincter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(n.splanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk
pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus
pudendalis mensarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanchnicus
(parasimpatis). sehingga, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanchnicus pelvik (saraf parasimpatis).

Gambar 3. Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus

Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir
isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang
menampung massa feses yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi. Kolon
mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari, namun demikian kapasitas absorpsi air usus besar
adalah sekitar 1500-2000 ml/hr. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 gram,
dan 80 - 90 % diantaranya adalah air.
8
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.10

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :


1. Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu
signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses
kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak
menutup dan bila sphincter eksternal tenang maka feses keluar.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral
2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal
parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan sphincter anus internal
dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Sphincter anus individu duduk ditoilet atau
depan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul
yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat
secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak
untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung
kumpulan feses.

9
Gambar 4. Fisiologi defekasi

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah
kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang diinginkan.
Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4
tahapan: Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke
rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks
gastrokolik. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara
involunter. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan
kontraksi spinkter itu sendiri. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra
abdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga
defekasi dapat terjadi.

10
2.4 Patofisiologi
Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan ganglion
Auerbach dalam lapisan dinding usus (aganglionik parasimpatik intramural), mulai dari
sfingter ani kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai
delapan puluh persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan
sekitar 5% kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.
Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang
bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis tidak mempunyai daya dorong, tidak
propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun
udara. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh
feses yang tertimbun, membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita sebagai
gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan evakuasi mekonium,
muntah hijau dan distensi abdomen.

2.5 Manifestasi Klinis

Umumnya, penderita megakolon akan mengalami gejala-gejala seperti perut


kembung, mual, konstipasi parah, dan muncul rasa sakit pada perut bagian bawah. Namun
secara lebih spesifik, gejala megakolon berbeda-beda setiap jenisnya. Pada kasus
megakolon akut, tanda yang khas adalah gejala biasanya muncul sesaat setelah prosedur
operasi. Pasien biasanya akan mengeluhkan kesulitan buang air besar atau sulit
membuang gas, dan disertai dengan rasa mual dan muntah.
Pada kasus megakolon kronis, otot-otot yang berfungsi merapatkan anus lama
kelamaan akan melemah akibat tekanan terus menerus dari tumpukan kotoran di dalam
usus besar. Akibatnya, terkadang pasien dapat mengalami diare atau buang air besar yang
keluar secara spontan tanpa mampu ditahan. Sedangkan untuk megakolon toksik,
penyakit ini memiliki gejala tambahan seperti demam, muncul rasa nyeri di perut,
jantung berdetak kencang, syok, merasa sakit saat buang air besar, serta diare yang
disertai dengan darah.

11
Megkolon kongenital
Gejala –gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan:
- Terlambatnya pengeluaran mekonium
Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus dicurigai apabila seseorang bayi
cukup bulan (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.
- Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia
Terjadi karena enteropati pembuang – protein, sekarang adalah tanda yang kurang sering
karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit.
Bayi yang minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu
formula.
- Kegagalan mengeluarkan tinja
Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut menjadi kembung.
Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran
darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi
bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficle,
Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda – tanda
obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum serangan
enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
- Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat,
yang mulai pada umur minggu – minggu pertama. Massa tinja besar dapat diraba pada
sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika
keluar, mungkin akan berupa butir – butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair;
tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita dengan
konstipasi fungsional.
Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan semprotan
tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang
tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.
12
Megakolon toksik
Megakolon toksik merupakan tahap klinis dari colitis akut dengan dilatasi segmental
ataupun total dari kolon yang berhubungan dengan tanda toksik dengan gejala klinis yaitu
- Demam tinggi
- Nyeri abdomen
- Malaise
- Takikardia
- Leukositosis
- Distensi abdomen
- Dehidrasi
Kondisi ini dapat berkembang menjadi kondisi toksik dan termasuk kegawat daruratan medis,
yang merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dari colitis ulseratif (Morbus Chron) serta
dapat terjadi sebagai penyakit kronis eksaserbasi akut namun lebih sering berkembang selama
timbulnya gejala awal. Penyebab nya tidak diketahui namun beberapa faktor yang
menyebabkannya yaitu obat – obatan anti diare, opiate, alkaloid beladona dan barium enema
Pada keadaan awal penyakit jarang terjadi komplikasi, mungkin dapat berhubungan
dengan terapi awal yang cepat dan tepat seperti pada pasien yang sakit berat dapat dilakukan
resusitasi untuk memperbaiki homeostasis, pemberian antibiotik untuk membunuh flora
bakteri bila mungkin, kortikosteroid intravena (terkecuali pada pasien yang sebelumnya
mendapatkan terapi kortikosteroid, dimana segera dilakukan langsung tindakan
pembedahan). Terapi pembedahan komplikasi ini adalah kolektomi darurat.

Penyakit Chagas
Penyakit Chagas adalah penyakit yang endemik di Amerika selatan dan tengah. Pada
penyakit chagas, organisme penyebabnya Trypanosoma Cruci menghilangkan persarafan
ganglia usus sehingga menyebabkan dilatasi kolon (megakolon).
Megakolon adalah satu komplikasi dari penyakit kronis ini, dimana terjadi
kerusakan yang menyebar dari system saraf intramural. Terapi pembedahan yang dilakukan
bertujuan untuk mengatasi konstipasi, gangguan buang air besar yang berulang maupun
volvulus. Kolektomi subtotal dengan ileoproctostomy memungkinkan terapi pilihan yang
13
sesuai, namun beberapa ahli lebih menyukai abdominoendoanal rectosigmoidectomi.

14
2.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda – tanda obstruksi usus letak rendah.
Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran usus halus.
- Pemeriksaan foto dengan barium enema: terlihat lumen rekto – sigmoid kecil, bagian
proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar. Permukaan mukosa di
bagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena proses enterokolitis.
Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda – tanda
penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila tanda – tanda
yang khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan barium enema diteruskan untuk
mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin ditemukan penyebab yang lain.
Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema yang tidak
jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24 sampai 48 jam setelah foto
barium enema pertama. Pada foto retensi barium masih terlihat di kolon proksimal,
tidak menghilang atau kumpul di daerah distal dan mungkin dijumpai tanda – tanda
khas penyakit hirschsprung yang lebih jelas serta gambaran mikrokolon pada
hirschsprung segmen panjang.

Dilatasi colon pada pemeriksaan dengan barium enema

Pemeriksaan patologi anatomi


Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion di lapisan
15
submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta melihat serabut – serabut saraf. Apabila
sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomi didapat dari biopsy hisap dari mukosa rectum,
pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di lapisan sub-mukosa dan melihat
penebalan serabut – serabut saraf. Pada penyakit hirschsprung tidak dijumpai ganglion dan
terdapat penebalan serabut – serabut saraf. Biopsi seluruh lapisan rectum dapat dilakukan saat
operasi untuk memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan.

Pemeriksaan histokimia
Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya meningkat. Biopsy –
isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentate untuk
menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir anus. Biopsy harus mengandung
cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya sel ganglion, biopsy dapat diwarnai
untuk asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan aganglionosis
menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang diwarnai positif untuk
asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion.

2.7 Tatalaksana
Penanganan kasus megakolon sangat bergantung dari penyebab yang mendasarinya.
Beberapa jenis penanganan yang dilakukan pada megakolon adalah:

 Penggunaan laksatif atau pelunak feses, serta perubahan pola makan dan kebiasaan buang
air besar pada kasus stabil.
 Penggunaan obat-obat golongan kortikosteroid atau obat antiinflamasi lainnya pada kasus
megakolon toksik.
 Penggunaan antibiotik pada megakolong yang disebabkan oleh bakteria tertentu, misalnya
Clostridium difficile.
 Evakuasi feses yang terdapat pada usus besar, dapat menggunakan dekompresi dengan
selang anorektal atau selang nasogastrik.
 Tindakan pembedahan bila dinilai dibutuhkan. Terdapat beberapa jenis prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan, bergantung dari penyebab terjadinya megakolon.

16
2.8 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah peritonitis, stenosis cicatricial dari


anastomosis, inkontinensia feses dan urin.

17
BAB III

KESIMPULAN

Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh paralisis dari
peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan, otot – otot pada kolon membawa
makanan dengan gerakan peristaltiknya. Ketika kita makan, sel saraf pada dinding usus (sel
ganglion dari pleksus saraf) yang menerima sinyal dari otak dan akan menghantarkan
informasi ke otot intestinal untuk mendorong isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon
kehilangan atau terjadinya perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon tidak dapat
terdorong dari segmen ini.
Pada kebanyakan kasus, penyakit ini terbatas pada rectum atau region rectosigmoid.
Kolon menjadi terhalang oleh feses sebagian maupun total sehingga terjadi konstipasi.
Obstruksi didalam kolon menyebabkan tekanan didalamnya menjadi meningkat (diatas zona
tanpa ganglion atau area obstruksi), relaksasi dinding usus (ukuran usus lebih besar dari pada
normal) serta stagnasi feses akibat obstruksi ini menjadi media infeksi bakteri dan akumulasi
toksin yang dapat menyebabkan masalah yang serius.
Pada kasus yang lebih ekstrim, feses dapat berkonsolidasi menjadi massa yang keras
didalam kolon, yang disebut dengan fecaloma, yang membutuhkan operasi untuk
mengeluarkannya. Kolon manusia dikatakan membesar secara abnormal bila diameternya
mencapai lebih dari 12 cm di caecum, lebih dari 6,5 cm di rectosigmoid dan lebih dari 8 cm
di kolon ascenden.
Megakolon dapat akut maupun kronik. Juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
etiologinya, berdasarkan penyebabnya, megakolon dibagi menjadi 2 yaitu megakolon
kongenital yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung serta megakolon non
kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari beberapa penyakit tertentu.
Tanda dan gejala eksternal dapat berupa konstipasi yang memanjang, perut kembung,
nyeri perut, teraba massa feses yang keras. Pada megakolon toksik dapat ditemukan tanda-
tanda berupa demam, kadar kalium darah yang rendah, takikardia dan shock. Pemeriksaan
radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit megakolon. Foto polos
abdomen sangat berguna untuk screening awal, setelah foto polos abdomen dapat
menemukan adanya megakolon, dapat digunakan barium enema untuk pemeriksaan

18
selanjutnya dengan beberapa alasan:
1. Secara akurat dapat menentukan besarnya kolon.
2. Membantu untuk memisahkan antara adanya megakolon, megarektum, atau
keduanya.
3. Membantu untuk melihat anatomi usus besar, dapat digunakan untuk pencernaan
tindakan terapi selanjutnya

19
DAFTAR PUSTAKA

Hamami AH, J Pieter, I Riwanto, T Tjambolang, I Ahmadsyah. Penyakit Hirschsprung.


Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2.
Jakarta: EGC; 2004. 670-671.
Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung). Dalam : WE Nelson,
RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Edisi ke – 15. Volume 2.
Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319.
Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s Principles of Surgery. FC
Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL Dunn, JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8.
Volume 2. Library of Congress Cataloging in Publication Data; 2005.
Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156 – 157.
Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke – 6. Volume 1. Jakarta: EGC; 2005. 461 –
463.
Snell RS. Anatomi Cavitas Abdominalis. Dalam: Anatomi klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Snell RS. Edisi ke – 6. Jakarta: EGC; 2006
Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke – 11. Jakarta: EGC; 2007
Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo.
Jakarta: Binarupa Aksara. 141-143.
Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger JG,editor.
Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77
Devuni D. Toxic Megacolon Workout (online). Dalam: Medscape. Juli 2013 (diakses 13 Juli
2018). Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/181054-overview

20

Anda mungkin juga menyukai