Anda di halaman 1dari 5

Tarikh Tasyri’ Pada Masa Sahabat dan Tabi'in

BAB I
PENDAHULUAN

Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi
adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan tertinggi dalam
berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat dan Wahyu tidak
turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama, beralih ke tangan
Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka. Mereka itulah yang mulai
memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak
terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, ketentaraan, perkawinan,
pajak, cara menetapkan hukum di pengadilan, dan lain-lain.
Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat terlebih
dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah ke Al-hadits dan
setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru Berijtihad.
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman
tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayah. Pemerintahan ini didirikan
oleh Mu’awiyah ibn Abi Supyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus.
Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam lebih banyak
diwarnai unsur-unsur kepentingan politik dan lain sebagainya. Hukum yang dibuat
tidak lagi didahului oleh Wahyu melainkan didahului oleh akal. Sehingga dalam
penetapannya tidak memberikan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Hanya
menguntungkan segolongan orang saja. Ketetapan ini bisa dilihat dari ketetapan hukum
yang diambil oleh masing-masing golongan (mazhab) yang akan kita bahas dalam
makalah ini. Hanya sebagian kecil saja pada masa ini yang benar-benar menentukan
hukum sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam sumber hukum Islam.
Walaupun dasar yang diambil adalah Al-Qur'an dan sunnah, akan tetapi hanya
mengambil sebagian-sebagiannya saja. Sehingga dalam segi penafsirannya
menimbulkan ketimpangan-ketimpangan hukum.

BAB II
TARIKH TASYRI’ PADA MASA SAHABAT DAN MASA TABIIN

I. TARIKH TASYRI’ PADA MASA SAHABAT


Perkembangan Tasri’ pada masa sahabat dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw
yaitu tahun 11 H (632 M) dan berakhir pada akhir abad 1 H. Pada periode ini disebut
periode sahabat sebab kekuasaan perundang-undangan dimotori oleh para tokoh
sahabat. Diantara ada sahabat yang hidup sampai akhir abad 1 H seperti Anas bin Malik
yang wafat pada tahun 93 H (714 M).
Periode ini adalah periode interpretasi terhadap Undang-undang (tasyri’) dan
terbukanya pintu-pintu pengakajian hukum-hukum terhadap peristiwa yang ada
ketetapan hukumnya secara jelas. Dan tokoh-tokoh sahabat memunculkan banyak
persepsi dalam menginterpretasi teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah yang
merupakan bahan referensi pandangan yuridis bagi penafsiran. Dari para sahabat inilah
timbul fatwa-fatwa hukum dalam berbagai problema yang tidak ada ketetapan nasnya

1
secara jelas yang kemudian dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dalam
mengistimbatkan suatu hukum. (Khalaf, 2002: 44)

A. Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Sahabat


Pada periode Tasyri’ yang pertama (Rasulullah saw) yang telah mewariskan
kepada umat Islam suatu undang-undang yang produknya dari teks-teks hukum dalam
Al-Qur'an dan sunnah. Tetapi, tidak setiap muslim secara individu mampu merujukkan
seluruh persoalannya kepada materi undang-undang pokok tersebut bahkan tidak
sanggup memahami hukum-hukum yang ditunjuki nas-nas disebabkan oleh 3 faktor:
1. Kebanyakan umat Islam adalah orang awam yang belum mampu memahami nas-nas
tersebut kecuali dengan bantuan orang-orang yang mengajarkan kepadanya.
2. Materi undang-undang tersebut belum tersebar luas dikalangan umat Islam sehingga
setiap individu belum dapat mempelajarinya, sebab teks Al-Qur'an pada awal periode
ini baru dihimpun dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah kediaman
Rasulullah saw dan di rumah sebagian sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum
dikodifikasikan sama sekali.
3. Materi undang-undang hanya mensyariatkan hukum-hukum tentang berbagai
peristiwa dan urusan-urusan peradilan yang terjadi itu dan belum mensyariatkan
hukum-hukum tentang peristiwa yang belum dan yang mungkin akan terjadi. Sementara
umat Islam terus menerus akan dihadapkan oleh sejumlah kebutuhan hukum tentang
kejadian baru serta urusan peradilan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi saw,
dan ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan dalam nas-nas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka para ulama dari kalangan sahabat
dan tokoh-tokoh nya berkewajiban menegakkan Tasyri’ itu. Kewajiban tersebut berupa:
1. Menjelaskan kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan
penjelasan dan interpretasi dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
2. Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari
ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
3. Menfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-
urusan peradilan yang belum ada ketetapan hukumnya. (Khallaf, 2002: 44-45)

B. Sumber Hukum Pada Masa Sahabat


Adapun sumber hukum dalam penetapan hukum pada periode sahabat ini ada 3
(tiga) yaitu sebagai berikut:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijtihad Sahabat
Apabila terjadi suatu peristiwa baru atau persengketaan, maka para ahli Fatwa
mencari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an. Apabila mereka mendapatkan ketetapan
hukumnya di dalam nas Al-Qur'an itu, mereka menerapkan hukum tersebut. Akan
tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an, maka
mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan kalau keterangan tentang ketetapan
hukumnya itu terdapat dalam sunnah, maka mereka melaksanakan hukum tersebut.
Selanjutnya apabila mereka dalam menetapkan hukum tidak mendapatkan
keterangan baik dalam Al-Qur'an ataupun dalam sunnah, maka mereka menempuh
langkah dengan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan cara menganalogikan
(mengqiyaskan) terhadap peristiwa yang baru itu dengan peristiwa yang sudah ada
ketetapan hukumnya atau dengan sesuatu yang dikehendaki oleh jiwa dan semangat
tasyri’ Islam serta berdasar atas pertimbangan kemaslahatan umat manusia.
Adapun dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan bagian
dari sumber hukum adalah:

2
1. Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap Rasulullah saw. Ketika menggunakan
kekuatan ijtihadnya disaat Wahyu tidak turun kepadanya pada saat ada problematika
yang muncul di kalangan umat Islam.
2. Bahwa mereka memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-
ayat hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah sehingga dengan konteks demikian, mereka
memahami bahwa tujuan penetapan hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah adalah untuk
kemaslahatan umat.

C. Berbagai Keputusan Hukum Periode Sahabat


1. Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu Bakar yang
merupakan khalifah pertama.
2. Pembagian Harta rampasan perang yang terjadi pada masa Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
3. Satu orang dibunuh beberapa orang, yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab.
4. Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang wali, juga yang terjadi pada masa
Umar bin Khattab.
5. Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam Iddah.
6. Bagian zakat orang muallaf.
7. Mushaf Utsmani, yang terjadi pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, (Zuhri,
1996: 37-44)

II. TARIKH TASYRI’ PADA MASA TABI’IN

A. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Ini


Kondisi hukum Islam pada masa ini dapat digambarkan dalam beberapa hal.
Pertama, hukum Islam pada periode ini berjalan sebagaimana halnya pada periode
kedua, dari segi sandarannya yaitu Al-Qur'an, sunnah Ijma dan Qiyas. Namun prinsip
musyawarah belum kembali berkedudukan sebelumnya. Hal ini disebabkan kaum
muslimin berpencar-pencar dan pertengkaran mereka sekitar kekhalifahan serta siapa
yang lebih berhak menduduki nya. Disebabkan hal itu mereka terpecah menjadi tiga
kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur yang sedang-sedang saja. Kedua, para
ulama Islam berpencar diberbagai daerah, mereka tidak kembali berkumpul dalam satu
daerah sebagaimana pada periode sebelumnya. Ketiga, orientasi mayoritas ulama yang
lurus mengarah pada dua sisi dalam perselisihan dibidang Fiqh, yaitu sebagian dari
mereka mengambil dari nash-Nash (ahli hadits) saja dan sebagian lagi mengambil sinar
(Ruh) dari nash-nash dalam mengetahui hukum-hukum lain melalui jalan analogi dan
mereka biasa disebut ahli Ra’yu. Keempat, tersebar nya periwayatan ahli hadits, setelah
sebelumnya mereka takut berdosa karena khawatir mendustakan Rasulullah, namun
kebutuhan mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Kelima, munculnya para
pembuat hadits palsu dengan memperbanyak kebimbangan. Keenam, munculnya
Mawali (budak-budak) yang pengetahuannya banyak didayagunakan Islam. (As-Sayis:
2003, 93)

B. Faktor Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam


Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain
adalah:
1. Perluasan Wilayah
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak
zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan
pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus.

3
Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia,
Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol
dilakukan pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M).
Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam.
Karena ini merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah
dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang
dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak
penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2. Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran
hadits dan aliran ra’yu.aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan
riwayat dan sangat “Hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih
banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran
pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan pada saat
yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam. (Mubarok, 2000: 54)

C. Faktor Yang Menyebabkan Perbedaan Pendapat Di kalangan Tokoh Tasyri’


Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan tokoh tasyri’ sahabat dalam menetapkan hukum terhadap berbagai kasus yang
terjadi, diantaranya:
1. Nas-nas hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah sangat banyak tidak bersifat qath’iyah
al-dalalah (tidak tegas indikasinya) terhadap apa yang dimakus nas itu.
2. sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan
belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan
sebagai pedoman bersama.
3. Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula
kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan
hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap
di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di
syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin
Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
Demikian ketiga sebab tersebut diatas, maka fatwa hukum yang sampaikan oleh
para sahabat mengenai suatu peristiwa berbeda-beda dan masing-masing mereka
mempunyai dasar argumentasi atas apa yang difatwakannya itu, (Khallaf, 2002: 57)

D. Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Tadwin


Pada akhir abad pertama hijriah para sahabat yang telah banyak mengeluarkan
fatwa dan menetapkan hukum-hukum telah tersebar di berbagai kota besar diikuti oleh
generasi tabi’in. generasi tabi’in mengambil dan menerima pelajaran dari para sahabat
mengenai tafsir Al-Qur'an, hadits, fikih, fatwa-fatwa mereka dan mengetahui rahasia-
rahasia penetapan hukum, serta metode-metode penetapan hukum itu. Diantara para
tabi’in ada yang meminta fatwa kepada para sahabat dan ada juga yang sudah tampil
memberikan fatwa ketika pada sahabat masih hidup, seperti Said bin al-Musayyab di
Madinah, Al-Qamah bin Qais dan Said bin Jubair di Kuffah. Bahkan ada riwayat,
bahwa ketiak penduduk Kufah pergi menunaikan ibadah haji dan mereka minta fatwa
kepada Ibnu Abbas Ibnu Abbas menjawab: “Bukankah di antara kalian ada Said bin
Jubair?”
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi berikutnya yaitu para
tabi’in-tabi’in. para tabi’in-tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para
tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari pada sahabat, yaitu mengenai Al-

4
Qur'an dan tafsirnya, hadits, fikih, dan rahasia-rahasia tasyri’ serta metodenya.
Kemudian, selanjutnya pada generasi tabi’in inilah sebagai tempat belajar dan
menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah,
Malik, Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri lainnya yang hidup
sezaman dengan mereka.
Ketika tokoh-tokoh tayri dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir
periodenya, maka kekuasaan tasyri di warisi dan dilanjutnya oleh kader dan generasi
mereka yaitu para tabi’in. kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka
pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader
dan generasi mereka yaitu tabi-tabi’in. selanjutnya, sesudah masa tabi’-tabi’in ini juga
berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya
yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.

BAB III
PENUTUP

Dari beberapa penjelasan yang sangat singkat diatas maka dapat kami simpulkan
bahwa:
1. Perkembangan Tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin dimulai sejak wafatnya
Rasulullah saw yaitu tahun 11 H (632 M) dan berakhir pada akhir abad 1 H.
2. Adapun sumber dari penetapan hukum pada masa sahabat adalah:
a. Al-Qur'an yang merupakan sumber hukum yang tertinggi
b. Sunnah/Hadits Rasulullah saw.
c. Ijtihad sahabat
3. Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum sering terjadi perbedaan diantara para
sahabat-sahabat itu sendiri.
4. Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabiin ini banyak diwarnai
dengan unsur-unsur kepentingan politik. Ini bisa dilihat dari banyaknya hukum-hukum
yang hanya menguntungkan segelintir golongan saja.
5. faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah perluasan kekuasaan dan
perbedaan penggunaan ra’yu.
6. terjadinya perbedaan pendapat dalam penetapan hukum adalah banyak nas-nas yang
masih bersifat umum, sunnah yang belum dibukukan dan lingkungan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali As-Soayis, Sekh, Pertumbuhan dan perkembangan Hukum


Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Anda mungkin juga menyukai