Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Zainuddin, M.A.
1
Daftar Isi
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Terbukti dengan berbagai penemuan sejarah
bahwa manusia hidup dalam berkelompok. Cara hidup yang berbeda-beda membuat manusia memiliki
nilai akreditas terbaik daripada makhluk lain di bumi. Terbentuknya variasi semacam ini bukan hanya
sekedar kebetulan semata, melainkan dibutuhkannya kecerdasan mental dalam pengolahan dan
penyikapannya.
Kedua hal ini berkembang dan dinamakan sebagai ilmu bagi manusia. Namun, mengenai hakekat
ilmu itu sendiri masih dipertentangkan apakah bersifat relatif ataukah absolut. Terlebih daripada itu,
kebenaran esensi ilmu tersendiri timbul berdasarkan penyifatan yang telah disepakati oleh manusia.
Rasionalitas, manusiawi dan empirik adalah diantaranya sifat dalam ilmu itu sendiri. Pembahasan
mengenai ilmu terdapat pada QS. Az-Zumar ayat 9:
Artinya: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan akan dihadapkan kepada nilai-nilai moral dan agama serta
budaya masyarakat. Misalnya pada ilmu kedokteran yang dewasa ini telah memberikan banyak harapan
kepada anggota masyarakat untuk menanggulangi masalah kesehatannya. Hal ini dimungkinkan
dengan berkembang pesatnya ilmu kedokteran, yang didukung kemajuan pesat bidang biologi dan
teknologi. Banyak jenis penyakit, yang selama ini harus berakhir dengan kematian penderitanya, dapat
ditanggulangi, dan akhirnya dapat memberikan harapan hidup yang lebih panjang. Walaupun terkadang
pengaplikasian dari ilmu kedokteran tersebut tidak selaras dengan nilai moral, agama, dan budaya
3
masyarakat. Seperti misalnya pada kasus bank ASI, bank sperma, euthanasia, transplantasi, rekayasa
RNA, dan lain sebagainya yang menimbulkan banyak kontroversi.
Fenomena di atas, akan menimbulkan pertanyaan: apa yang harus dilakukan dan apa yang menjadi
tanggungjawab para ilmuwan dalam penggalian dan pengembangan ilmu tersebut? Apa yang harus
dilakukan dan bagaimana tanggungjawab ilmuwan, jika ilmu pengetahuan yang ditemukannya dan
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat tidak selaras dengan nilai moral, agama, dan budaya
masyarakat; meskipun dari satu sisi lain hal itu membawa manfaat pada masyarakat itu sendiri? Pada
makalah ini kami akan mengupas tentang Ilmu, Ilmuwan, dan Tanggungjawab sebagai Ilmuwan, serta
bagaimana hal tersebut dalam pandangan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab?
2. Apa yang dimaksud dengan ilmuwan?
3. Bagaimana syarat dan ciri-ciri dari ilmuwan?
4. Bagaimana peran dan fungsi dari ilmuwan?
5. Bagaimana tanggung jawab sebagai ilmuwan?
6. Bagaimana tanggung jawab ilmuwan dalam Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari tanggung jawab.
2. Mengetahui pengertian dari ilmuwan.
3. Mengetahui syarat dan ciri-ciri dari ilmuwan.
4. Mengetahui peran dan fungsi dari ilmuwan.
5. Mengetahui tanggung jawab sebagai ilmuwan.
6. Mengetahui tanggung jawab ilmuwan dalam Islam.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
pihak yang berbuat sendiri, atau pihak lain. Dengan keseimbangan, keserasian, keselarasan ntara
sesama manusia, antar manusia dan lingkungn, antara manusia dan Tuhan selalu dipelihara dengan
baik.
Dalam Agama Islam sifat tanggung jawab sangat di tekankan karena Orang Islam wajib
bertanggung jawab dalam segala hal mulai dari tanggung jawab pada diri sendiri, tanggung jawab pada
Allah SWT, tanggung jawab pada Masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya tanggung jawab
dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat
seperti ayat 38 dalam surah Al-Mudatsir. Allah SWT berfirman:
َ كُلُُّنَ ْف ٍسُبِ َماُ َك
َ ْسبَت
ُُرهِينَة
Artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”,(Q.S. Al-Mudatsir: 38)
Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, kasabat di sini bermakna amal yang membawa akibat bagi
dirinya sendiri maupun orang lain. Jadi, ayat ini kembali menegaskan kaidah pertanggungan jawab
secara pribadi di akhirat kelak, di mana setiap manusia akan menghadapi hisab atas perjalanan
hidupnya, baik dalam hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri maupun orang lain. Akan tetapi
perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan
kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh
sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas
waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin
sampai setelah dia meninggal .
Allah SWT berfirman dalam surah Yasin: 12:
ُين
ٍ ص ْينَاهُفِيُإِ َم ٍامُم ِب
َ ْش ْيءٍ ُأح
َ َُُّوكل
َ اره ْم َ َىُونَ ْكتبُ َماُقَدَّم
َ َ واُوآث ْ ِإِنَّاُنَحْ نُنحْ ي
َ يُال َم ْوت
Artinya:
“Sungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka
kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab
Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Yasiin: 12)
Ayat di atas menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya
akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang
meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan
meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Dari sini jelaslah bahwa
Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah
dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya.
6
2.2 Pengertian Ilmuwan
Kata ilmuwan muncul kira-kira tahun 1840 untuk membedakan ilmuwan dengan para filsuf, kaum
terpelajar, dan kaum cendikiawan. Secara sederhana Ilmuwan diberi makna ahli atau pakar,. dalam
KBBI kata ilmuwan sendiri bermakna orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu
ilmu; orang yg berkecimpung dalam ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam buku Filsafat Ilmu dan Ensiklopedi Islam, pengertian ilmuwan sebagai berikut:
1. Ilmuwan dalam pandangan McGraw-Hill Dictionary Of Scientific and Technical Terms, seorang
yang mempunyai latihan, kemampuan, dan hasrat untuk mencari pengetahuan baru, asas-asas baru,
dan bahan-bahan baru dalam suatu bidang ilmu.
2. Devinisi ilmuwan yang dikemukakan oleh Maurice Richer, Jr. mengemukakan pendapat yang
berikut yaitu, mereka yang ikut serta dalam ilmu, dalam cara-cara yang secara relatif langsung dan
kreatif (Gie The Liang, 2000).
3. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, ilmuwan diartikan orang yang ahli dan banyak
pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu (Ensiklopedi Islam,1994).
Media yang dimanfaatkan oleh ilmuwan adalah permasalahan, yang mana permasalahan ini
merupakan objek dalam ilmu pengetahuan, dan objek tersebut terdiri dari dua kategori, objek material
dan objek formal. Yang berkaitan dengan objek material adalah sasaran material suatu penyelidikan,
pemikiran atau penelitian ilmu; objek material penelitian mencakup sifat kongkrit, abstrak, material,
non material. Adapun objek formalnya adalah pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-
segi yang dimiliki oleh objek materi dan berdasarkan kemampuan seseorang.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ilmuwan merupakan seorang yang ahli dalam suatu
bidang ilmu tertentu dan berkewajiban mengembangkan suatu bidang ilmu yang menjadi keahliannya
dengan mengadakan penelitian demi menemukan hal-hal baru yang akan menjadi kontribusi ilmiah
khususnya bagi bidang ilmu tertentu yang menjadi spesialisasi keahliannya dan umumnya bagi
bidang-bidang ilmu lain. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hakikatnya antara satu bidang ilmu
dengan bidang ilmu lainnya memiliki keterkaitan, satu sama lainnya saling melengkapi. Selain itu pula
Ilmu pengetahuan membawa berkah dan nilai kemakmuran bagi manusia tanpa meninggalkan tata
nilai, etika, moral dan filosofi (Gie The Liang, 2000).
Seorang ilmuwan memiliki kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan analisis dan sintesis untuk mengubah kegiatan non
produktif menjadi produktif. Namun tugas ilmuwan bukan hanya sekedar untuk mencari permasalahan
yang bertujuan mencari kebenaran, akan tetapi seorang ilmuwan juga mengemban suatu tanggung
jawab memecahkan permasalahan keilmuan serta mempertanggung jawabkan hasil temuannya dan
mempublikasikan ke seluruh dunia (Gie The Liang, 2000).
7
2.3 Ciri Ilmuwan dan Syarat Ilmuwan
a. Ciri Ilmuwan
Dalam catatan sejarah, bahwasanya ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh
cara berfikir yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang
keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk di bawah wibawa ilmu.
Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui kebenaran
(Suriasumatri,1989; 111). Ini dapat dikenali lewat paradigma maupun pola sikap senyatanya
dalam kehidupan sosial, yang merupakan penjelmaan prinsip-prinsip ilmiah.
Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi atau pun
pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan
kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika
serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus
junjungan utama (Suriasumatri,1989; 111).
b. Syarat Ilmuwan
Seorang ilmuwan sudah tentu bukan hanya sekedar memapankan namanya saja, akan
tetapi ia harus bisa mempopulerkan karya ilmiahnya agar bisa diterima masyarakat dan
sekiranya karya ilmiahnya baik. Oleh karena itu seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa
syarat, diantaranya:
a. Prosedur ilmiah
b. Metode ilmiah
c. Adanya suatu gelar yang berdasar pendidikan formalnya yang ditempuh
d. Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan
Ilmu Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya (Abdullah, 2003; 37).
2.4 Peran dan Fungsi Ilmuwan
Ilmuan merupakan orang yang menemukan masalah spesifik dalam ilmu. Salah satu syarat utama
dalam hubungan antara ilmuan dengan masalah keilmuan tidak lain hanyalah, seorang ilmuan harus
memiliki ciri, sikap dan tanggung jawab. Akan tetapi di sini seorang ilmuwan harus juga memiliki
peran atau pun fungsi. Tiga peran ilmuan dalam segi kegiatan Menurut Dhakidae Dhaniel, 2003:
1. Sebagai Intektual, seorang ilmuan sosial dan tetap mempertahankan dialognya yang kontinyu
dengan masyarakat sekitar dan suatu keterlibatan yang intensif dan sensitif.
2. Sebagai Ilmuan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada
kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya.
3. Sebagai Teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya memakai instrumen yang tersedia dalam
disiplin yang dikuasainya.
8
Dua peran terakhir memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama
mengharuskannya untuk turut menjaga martabat manusia (Dhakidae Dhaniel, 2003). Karena kita semua
tahu bahwa ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka
olehmasyarakat. Maka dari itu, fungsi seorang ilmuan tidak hanya berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat luas (Jujun S. Suriasumatri, 2001)
9
bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya (Magdalena, Merry
dalam A, M. Ikhshan.. 2011).
Ilmuwan dengan kemampuan pengetahuaanya harus dapat mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang selayaknya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi
masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoterik harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh
awam. Pada kasus tersebut ilmuwan dituntut tidak hanya mengandalkan pengetahuan dan daya
analisisnya, tetapi juga integritas kepribadiannya (Susanto, 2011).
Integrasi kepribadian seorang ilmuwan harus sesuai dengan etika kerja dimana etika kerja seorang
ilmuwan adalah nilai-nilai dan norma-norma (pedoman,aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis) moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Etika kerja tersebut terangkum dalam kumpulan asas atau nilai moral (Kode
Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk. Dimensi religius atau etis seorang ilmuwan
hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan etika kerja
keilmuan yang ditekuninya (Magdalena, Merry dalam A, M. Ikhshan.. 2011).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir secara teratur dan teliti.
Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa pemikiran yang cermat.
Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang membuatnya memiliki
tanggung jawab sosial. Ia harus berbicara kepada masyarakat sekiranya mengetahui bahwa cara berpikir
mereka salah, apa yang membuatnya salah, dan yang lebih penting lagi, apa akibat kesalahan itu
(Susanto, 2011).
Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi, melainkan memberi
contoh. Ilmuwan harus tampil di depan sembari menunjukkan bagaimana cara bersifat objektif, terbuka,
menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan
berani mengakui kesalahan. Sudah menjadi tugas seorang ilmuwan untuk menjelaskan hasil
penelitiannya sejelas mungkin atas dasar kerasionalan dan metodologi yang tepat (Susanto, 2011).
Penjelasan ilmuwan akan hasil penelitiaanya merupakan salah satu contoh dari pengembangan
ilmu yang mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya,
mengakui temuan orang lain,menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia
keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudahada
untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbukadan sebenarbenarnya
sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain
guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya (Magdalena, Merry dalam A, M. Ikhshan.. 2011).
Seorang ilmuwan hendaknya memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih
pengembangan dan pemilihan alternatif,mengimplementasikan keputusan serta pengawasan dan
10
evaluasi dilakukan ataskepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadinya atau
kepentingan sesaat. Moral yang baik perlu kepekaan atas rasa bersalah, kepekaan atas rasa
malu,kepatuhan pada hukum dan kesadaran diketahui oleh Tuhan. Ilmuwan juga memiliki kewajiban
moral untuk memberi contoh (obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggapnya benar, berani mengakuikesalahan) dan mampu menegakkan
kebenaran (Magdalena, Merry dalam A, M. Ikhshan.. 2011).
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau temuannya
dimanfaatkan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memanfaatkan adalah bangsanya sendiri.
Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan melawan sikap politik pemerintahnya yang
menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan (Susanto, 2011).
11
berdasarkan spesialisasi masing-masing. Jika kita berhasil melakukan upaya tersebut, maka kita dapat
membuktikan bahwa sains Islam memiliki landasan yang kokoh dan memiliki kebenaran yang dapat
dibuktikan secara rasional.
Karena ilmuwan Muslim sebagai pewaris Nabi (waratsat al-anbiya’), maka ia memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar. Tugas ilmuwan muslim tersebut menurut penulis adalah: Pertama, sebagai
saksi (terhadap perbuatannya sendiri maupun orang lain). Sebagai saksi ia dituntut untuk adil dan jujur;
kedua, penyeru ke jalan Allah dan petunjuk ke jalan yang benar, amar ma’ruf nahi munkar (lihat QS.
Al-Ahzab: 45–46); ketiga, sebagai khalifah Allah di bumi. Karena sebagai hamba yang dipercayai oleh
Tuhan, maka ia harus bertanggung jawab atas amanat yang dipikulkan.
Dalam Islam, startegi pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan
hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi dengan tetap memegang amanah besar dari Allah SWT.
Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman. Ilmu dan iman menjadi bagian yang
integral dalam diri seseorang, sehingga dengan demikian teknologi sebagai produk dari ilmu akan
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia di sepanjang masa. Dan inilah yang mesti menjadi
tanggung jawab ilmuwan muslim dalam mengembangkan ilmu.
Kini kita harus berpikir terus tentang kelangsungan perkembangan ilmu, lebih-lebih ilmu sebagai
proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat ilmiah yang sibuk dengan kegiatan
penelitian, eksperimentasi, ekspidisi dan seterusnya untuk menemukan sesuatu yang baru. Formulasi-
formulasi yang telah diperkenalkan oleh para ilmuwan pendahulu kita hendaknya diaktualisasikan
untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut, atau bahkan perlu improvisasi. Oleh sebab itu proses
pendidikan tak boleh tidak harus digalakkan terus dalam berbagai disiplin ilmu. Proses pendidikan
inilah yang oleh Islam selalu ditekankan (lihat, Q.S Ali Imran: 190), dan belajar terus menerus
sepanjang hidup (life long-education ) seperti yang disebut dalam kata hikmah uthlub al-‘Ilma min al-
mahdi ila ‘l-lahdi, carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang harus dipikul atau dipenuhi sebagai
akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.
Ilmuwan merupakan seorang yang ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu dan berkewajiban
mengembangkan suatu bidang ilmu yang menjadi keahliannya dengan mengadakan penelitian
demi menemukan hal-hal baru yang akan menjadi kontribusi ilmiah khususnya bagi bidang
ilmu tertentu yang menjadi spesialisasi keahliannya dan umumnya bagi bidang-bidang ilmu
lain.
Ciri ilmuwan diantaranya memiliki daya kritis tinggi, jujur, jiwa terbuka dan tekad besar dalam
mencari atau menunjukkan kebenaran, netral, penghayatan terhadap etika serta moral serta
dapat mempopulerkan karya ilmiahnya agar bisa diterima masyarakat.
Seorang ilmuwan memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai Intektual, sebagai Ilmuan dan
sebagai Teknikus. Fungsi seorang ilmuan tidak hanya berhenti pada penelaahan dan keilmuan
secara individual namun juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Ilmuwan memiliki tanggung jawab secara moral, sosial dan etika. Tanggung jawab tersebut
menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam bertindak, mengambil keputusan dan berkomunikasi
dengan orang lain.
Ilmuwan muslim harus terus berpikir tentang kelangsungan perkembangan ilmu, lebih-lebih
ilmu sebagai proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat ilmiah yang sibuk
dengan kegiatan penelitian, eksperimentasi, ekspidisi dan seterusnya untuk menemukan
sesuatu yang baru.
3.2 Saran
Diharapkan penulis membaca lebih banyak referensi untuk mengembangkan pengetahan agar
ilmuwan muslin kedepannya semakin berkembang.
Selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, juga agar dapat menjelaskan isi makalah
secara detail dan rinci.
13
DAFTAR PUSTAKA
Nasr, Seyed Hussein.1989. “Masa Depan Islam”, dalam Inovasi, Yogyakarta, UMY
Anees, Munawar Ahmad. 1991. “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal Studi-studi
Islam, Juli-Oktober, Bandung: Yayasan Mutahhari.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses tanggal 25 Maret 2018.
Ensiklopedi Islam 2. 1994. Jakarta: PT. Intermasa.
Gie The Liang, 2000. Pengantar Filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.
14
A Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologism, Epistemologism, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara
Magdalena, Merry dalam A, M. Ikhshan.. 2011. Tanggung Jawab Ilmuwan dalam Pembangunan.
https://www.scribd.com/document-/88607679/Tanggung-Jawab-Ilmuwan-Dalam-Pembangunan./. Diakses [online] pada
tanggal 25 Maret 2018.
Dhakidae Dhaniel, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta : Gramedia.
Jujun S. Suriasumatri, 2001, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi Ketiga,(Jakarta; Balai
Pustaka, 2007) h. 118
Poerwadarminta. W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
M. Habib Mustafa, Ilmu Budaya dasar manusia dan Budaya, (Surabaya, Usaha Nasional 1983),
hal. 191-192
Cahyono, Cheppy Hari, Ilmu Budaya Dasar,( Usaha Nasional, Surabaya, 1987), hal. 135-136
Mustofa, Ahmad , Ilmu Budaya Dasar, (CV Pustaka Setia, Bandung, 1999), hal. 132
Al-Asfahani, Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib, 1961, Mufradat fi Gharib al-
Qur’an, Mesir: Maktabah wa Matba’ah Musthafa al-Bab al-Halabi wa auladih
Abdullah, Andi. 2010. Ilmu Filsafat dan Teologi. http:// pgmi unyb. Wordpress. Com/2006/09/25/
ilmu-filsafat-dan-teologi/ http://CahyaUlumuddin. Diakses pada 15 Desember 2011.
Suriasumatri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
15