Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“DETEKTOR RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR”

DISUSUN OLEH :
Nama : Pipit Dwi rahayu (021500449)

: Safira Rachmadewi (021500453)

: Yudi Irwanto (021500456)

Jurusan : Teknofisika Nuklir

Prodi : Elektronika Instrumentasi

Dosen : Toto Trikasjono, S.T, M.Kes

Mata Kuliah : Instrumentasi Nuklir

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

YOGYAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat,
karunia, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah yang berjudul “Detektor Radiasi dalam Kedokteran Nuklir” ini,
diperuntukkan untuk kalangan masyarakat, mahasiswa teknik nuklir dan para pekerja di bidang
kesehatan, karena makalah ini membahas secara mendetail seputar prinsip detektor radiasi nuklir
yang digunakan dalam keperluan dibidang kedokteran. Dalam menyelesaikan makalah ini,
penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua yang telah memberikan bantuan doa serta dukungan baik berupa moril
maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Dosen mata kuliah instrumentasi Nuklir, Bapak Toto Trikasjono, S.T, M.Kes yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Teman-teman program studi Elektronika Instrumentasi angkatan 2015 yang telah banyak
memberikan dukungan dan motivasi .
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan di
dalamnya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya para mahasiswa sebagai referensi dalam
mempelajari mata kuliah Instrumentasi Nuklir.

Yogyakarta, 28 Maret 2017

Tim Penulis

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
2
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGATAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

1.4. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5

BAB II. PEMBAHASAN .............................................................................................. 6

2.1. Detektor..................................................................................................... 6

2.1.1. Pengertian Detektor Radiasi ........................................................... 6

2.1.2. Jenis Detektor Radiasi..................................................................... 7

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Detektor Radiasi ............................. 11

2.2. Kedokteran Nuklir .................................................................................. 12

2.2.1. Pengertian Detektor Nuklir ........................................................... 12

2.2.2. Diagnosa ....................................................................................... 13

2.2.3. Pengobatan .................................................................................... 14

2.3. Penerapan Detektor pada Kedokteran Nuklir ......................................... 14

2.3.1. Kamera Gamma ............................................................................ 14

2.3.2. Renograf ....................................................................................... 22

2.3.3. PET ............................................................................................... 25

2.3.4. SPECT........................................................................................... 26

2.3.5. Uptake Thyroid ............................................................................. 27

BAB III. PENUTUP ................................................................................................... 29

3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... iv

LAMPIRAN .................................................................................................................... v
Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017

Safira Rachmadewi (021500453)


Yudi Irwanto (021500456)
3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada abad ke-20 ini, perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang sangat pesat. Salah satunya disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
serta kesehatan.Terobosan penting dalam bidang ilmu dan teknologi ini memberikan sumbangan
yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi berbagai penyakit termasuk penyakit-penyakit
yang menjadi lebih penting secara epidemologis sebagai konsekuensi logis dari pembangunan di
segala bidang yang telah meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Penggunaan radioisotop dalam bidang kedokteran yang dikenal dengan nama kedokteran
nuklir telah dimulai pada tahun 1901 oleh Henri DANLOS yang menggunakan Radium untuk
pengobatan penyakit Tubercolusis pada kulit. Akan tetapi yang dianggap sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran Nuklir adalah George C. de HEVESSY, bukan Henri DANLOS. George C. de
HEVESSY merupakan peletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan radioisotop alam
Pb-212. Penemuan radioisotop buatan ini menyebabkan penggunaan radioisotop alam sudah
tidak lagi digunakan. Adapun radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal
perkembangan kedokteran nuklir adalah I-131. Tetapi saat ini pemakaiannya telah terdesak oleh
Tc-99m selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga
dapat diperoleh dengan mudah serta relatif murah harganya.Namun demikian, I-131 masih
sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi khususnya kanker kelenjar tiroid.

Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat tersebut dapat terjadi berkat
dukungan dari perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan
digunakannya komputer untuk pengolahan data dari sistem instrumentasi yang menggunakan
detektor radiasi dengan sistem elektronik. Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang dari
ilmu kedokteran yang memanfaatkan radiofarmaka (senyawa kompleks dari radioisotop sumber
terbuka berumur paro relatif pendek dengan suatu persediaan farmasi yang spesifik untuk organ
tertentu) dan peralatan deteksi nuklir (deteksi sinar gamma atau beta) yang dilengkapi perangkat
lunak khusus untuk mengetahui fungsi dan anatomi organ tertentu dalam rangka diagnostik suatu
kelainan / penyakit maupun terapi penyakit. Keunggulan kedokteran nuklir adalah
kemampuannya mendeteksi bahan-bahan yang ditandai dengan perunut radioaktif. Di samping
itu teknik nuklir berperan pula dalam kajian-kajian dan penelitian-penelitian untuk lebih
memahami proses fisiologi dan patofisiologi dari kelainan yang terjadi di berbagai organ tubuh
manusia sampai tingkat seluler bahkan molekuler. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti
endokrinologi, nefrologi, kardiologi, neurologi, onkologi dan sebagainya telah lama
memanfaatkan teknik ini.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
4
Dewasa ini, aplikasi kedokteran nuklir telah memberikan sumbangan yang sangat
berharga dalam memudahkan diagnosis maupun terapi berbagai jenis penyakit.Berbagai disiplin
ilmu kedokteran seperti ilmu penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan
sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.Untuk itu kami membuat makalah ini
untuk membahas lebih detail mengenai detector radiasi yang digunakan dalam dunia kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian detektor?
2. Apa pengertian kedokteran nuklir?
3. Bagaimana penerapan detektor pada kedokteran nuklir?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami pengertian detektor.
2. Mengetahui dan memahami pengertian kedokteran nuklir.
3. Mengetahui dan memahami penerapan detektor pada kedokteran nuklir.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Detektor

2.1.1. Pengertian Detektor Radiasi

Detektor merupakan sebuah alat deteksi sinar radioaktif atau sistem pencacah
radiasi yang memiliki prinsip kerja untuk mengubah radiasi menjadi pulsa listrik.
Detektor peka terhadap radiasi, yang bila dikenai radiasi akan menghasilkan
tanggapan mengikuti mekanisme yang telah dibahas sebelumnya. Perlu diperhatikan
bahwa suatu bahan yang sensitif terhadap suatu jenis radiasi belum tentu sensitif
terhadap jenis radiasi yang lain. Sebagai contoh, detektor radiasi gamma belum tentu
dapat mendeteksi radiasi neutron.

Komponen-komponen dasar :
a. Sumber listrik, berasal dari baterai atau pemasok arus DC.
b. Amplifier, penguat pulsa listrik.
c. Pencatat Waktu, menunjukkan waktu yang diperlukan untuk
mengumpulkan sejumlah pencacahan yang diinginkan.
d. Diskriminator, penyeleksi pulsa.
e. Penganalisis salur tunggal (SCA), menerima pulsa-pulsa yang terletak
pada suatu interval tertentu, kemudian interval divariasikan untuk
mencacah jumla tinggi pulsa yang berbeda.
f. Penganalisis salur ganda (MCA), sistem kerjanya sama dengan SCA
namun waktu pencacahan lebih cepat dan dapat memunculkan pulsa-
pulsa dalam bentuk puncak-puncak yang banyak.
g. Alat pencatat atau skaler, untuk menampilkan hasil pencacahan.

Semua jenis peralatan deteksi partikel radiasi memiliki prinsip yang sangat mirip,
yaitu partikel radiasi memasuki detektor dan terjadilah interaksi antara partikel radiasi
dengan material detektor, sehingga terjadi proses eksitasi atau ionisasi molekul-
molekul material detektor. Apabila material detektor tersebut terbuat dari gas, maka
interaksi antara semua partikel radiasi alpha (α), beta positif (β+), beta negatif (β-),
gamma (γ) dan netron dengan gas akan terjadi proses ionisasi yang menghasilkan ion
positif dan elektron. Dengan demikian, diperlukan teknik untuk memisahkan dua
jenis partikel tersebut dalam waktu yang sangat singkat, karena apabila kedua jenis

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
6
partikel ini tetap berdekatan maka mereka akan bergabung kembali sehingga tidak
menimbulkan sinyal listrik. Pemilihan material detektor sangat bergantung pada jenis
partikel radiasi yang akan dideteksi serta tujuan yang ingin diperoleh dari
pendeteksian. Partikel alpha (α) memiliki daya tembus kecil, sehingga detektor untuk
partikel radiasi alpha (α) memiliki ukuran sangat tipis. Berdasarkan daya tembus
partikel, maka biasanya detektor partikel beta (β) memiliki ketebalan sekitar 0,1 mm -
1 mm sedangkan detektor gamma (γ) memiliki ketebalan sekitar 5 cm.

2.1.2. Jenis Detektor Radiasi.


Jenis-jenis detektor radiasi yaitu :

a) Detektor Isian Gas.


b) Detektor Semikonduktor.
c) Detektor Sintilasi.

Ketiga jenis detektor tersebut memiliki prinsip kerja yang berbeda-beda sesuai
konstruksi detektor tersebut. Berikut akan dibahas prinsip kerja detektor radiasi.

a) Detektor Isian Gas


Detektor Isian gas merupakan detektor yang paling sering digunakan untuk
mengukur radiasi. Bahan detektornya berupa gas maka disebut detektor ionisasi
gas. Detektor ini terdiri dari dua elektroda positif dan negatif yang berisi gas di
antara kedua elektrodanya. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder dengan
sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai katoda.
Detektor ini juga memanfaatkan hasil interaksi radiasi pengion dengan gas yang
dipakai sebagai detektor. Lintasan radiasi pengion di dalam detektor
mengakibatkan terlepasnya elektron-elektron dari atom sehingga terbentuk
pasangan ion positif dan ion negatif. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor
berkontribusi terbentuknya arus listrik. Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi
akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan
menimbulkan pulsa atau arus listrik.

Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang
berbeda yaitu :
 Detektor Ionisasi Chamber/Kamar Inonisasi.
Kamar ionisasi tersusun sejumlah volume gas kecil pada tekanan atmosfer
dalam kamar, I di dalamnya terdapat dua elektroda, E dan E‟ yang
dipertahankan pada beta potensial tinggi menggunakan sumber tegangan V.
Berkas radiasi masuk ke dalam chamber sehingga menyebabkan ionisasi. Ion
yang dihasilkan dikumpulkan pada elektroda + dan - .Keuntungan detektor ini

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
7
adalah dapat membedakan energi yang memasukinya dan tegangan kerja yang
dibutuhkan tidak terlalu tinggi.

 Detektor Proporsional Counter.


Salah satu kelemahan dlm mengoperasikan detektor pada daerah kamar
ionisasi adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan
penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan
kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis radiasi, maka
detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional. Alat pantau
proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar
ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang
besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang
digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan
sangat besar. Keuntungan alat pantau proporsional mampu mendeteksi radiasi
dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang
super stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap
tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put.

 Detektor Geiger Muller


Detektor Geiger-Muller (GM) beroperasi pada tegangan diatas detektor
proporsional. Dengan mempertinggi tegangan mengakibatkan proses ionisasi
yang terjadi dalam detektor menjadi jenuh. Karena tidak mampu lagi
membedakan berbagai jenis radiasi yang ditangkap detektor, maka detektor
GM hanya dipakai untuk mengetahui ada tidaknya radiasi.Keuntungan dalam
pengoprasian GM ini adalah denyut output sangat tinggi, sehingga tidak
diperlukan penguat (amplifier) atau cukup digunakan penguat yang biasa saja.
Detektor ini merupakan detektor yang paling sering digunakan karena dari
segi elektonik sangat sederhana, tidakperlu menggunakan rangkaian penguat.
Sebagian besar peralatan ukur proteksi radiasi yang harus bersifat portabeln
terbuat dari detektor Geiger Mueller.

b) Detektor Semikonduktor
Bahan semikonduktor terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik
yaitu silikon atau germanium. Detektor ini keunggulan yaitu lebih effisien
dibandingkan dengan detektor isian gas karena terbuat dari zat padat, mempunyai
resolusi yang lebih baik dari detektor sintilasi. Bahan isolator dan semikonduktor
tidak dapat meneruskan arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
8
di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Energi radiasi yang memasuki
bahan semikonduktor akan diserap bahan sehingga beberapa elektronnya dapat
berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila diantara kedua ujung bahan
semikonduktor terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus listrik.
Pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik. Sambungan
semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N dengan tipe
P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe
N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P. Dengan adanya lapisan kosong muatan
ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki
lapisan kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole,
yang akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan
hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya arus listrik.

c) Detektor Sintilasi
Detektor sintilasi mirip proses eksitasi, terdiri dari dua bagianyaitu bahan
sintilator dan photomultiplier. Bahan sintilator merupakan Bahan padat, cair
maupun gas yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi
pengion. Mekanisme pendeteksian radiasi pada detektor sintilasi dapatdibagi
menjadi dua tahap yaitu :
1. Proses pengubahan radiasi yang mengenai detektor menjadi percikan cahaya
di dalam bahan sintilator.
2. Proses pengubahan percikan cahaya menjadi pulsa listrik di dalam
tabung photomultiplier.

 Bahan Sintilator.
Di dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang
dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan
tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground state, seluruh elektron
berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat
radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya
akan terserap oleh beberapaelektron di pita valensi, sehingga dapat
meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektronelektron
tersebut akan kembali ke pitavalensi melalui pita energi bahan aktivator
sambil memancarkan percikan cahaya.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
9
Gambar: proses terjadinya percikan cahaya di dalam sintilator

Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan


dipengaruhi oleh jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya
semakin banyak percikan cahayanya. Percikan- percikan cahaya ini
kemudian „ditangkap‟ oleh photomultiplier.Berikut ini adalah beberapa
contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai detektor radiasi.
 Kristal NaI(Tl).
 Kristal ZnS(Ag).
 Kristal LiI(Eu).
 Sintilator Organik.

 Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri
atas dua bagian yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila
bahan sintilator berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi percikan
cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah
percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah
lebih lanjut sebagai pulsa/arus listrik.Tabung photomultiplier terbuat
daritabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang berfungsi
sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa dinode
untuk menggandakan elektron. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan
sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang
gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan,
dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut
akan memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
10
Gambar: konstruksi tabung photomultiplier

Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju


dinode kedua dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan
seterusnya sehingga elektron yangterkumpul pada dinode terakhir
berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan elektron
tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.

2.1.3. Keunggulan dan Kelemahan Detektor Radiasi.

Dari pembahasan di atas terlihat bahwa setiap radiasi akan diubah menjadi sebuah
pulsa listrik dengan ketinggian yang sebanding dengan energi radiasinya. Hal tersebut
merupakan fenomena yang sangat ideal karena pada kenyataannya tidaklah demikian.
Terdapat beberapa karakteristik detektor yang membedakan satu jenis detektor
dengan lainnya yaitu efisiensi, kecepatan dan resolusi.

 Efisiensi detektor

Merupakan suatu nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa listrik
yang dihasilkan detektor terhadap jumlah radiasi yang diterimanya. Nilai efisiensi
detektor sangat ditentukan oleh bentuk geometri dan densitas bahan detektor. Bentuk
geometri sangat menentukan jumlah radiasi yang dapat 'ditangkap' sehingga semakin
luas permukaan detektor, efisiensinya semakin tinggi. Sedangkan densitas bahan
detektor mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat berinteraksi sehingga
menghasilkan sinyal listrik. Bahan detektor yang mempunyai densitas lebih rapat
akan mempunyai efisiensi yang lebih tinggi karena semakin banyak radiasi yang
berinteraksi dengan bahan.

 Kecepatan detektor

Menunjukkan selang waktu antara datangnya radiasi dan terbentuknya pulsa listrik.
Kecepatan detektor berinteraksi dengan radiasi juga sangat mempengaruhi
pengukuran karena bila respon detektor tidak cukup cepat sedangkan intensitas

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
11
radiasinya sangat tinggi maka akan banyak radiasi yang tidak terukur meskipun sudah
mengenai detektor.

 Resolusi detektor

Merupakan kemampuan detektor untuk membedakan energi radiasi yang berdekatan.


Suatu detektor diharapkan mempunyai resolusi yang sangat kecil (high resolution)
sehingga dapat membedakan energi radiasi secara teliti. Resolusi detektor disebabkan
oleh peristiwa statistik yang terjadi dalam proses pengubahan energi radiasi, noise
dari rangkaian elektronik, serta ketidak-stabilan kondisi pengukuran.

 Konstruksi detector.

Aspek lain yang juga menjadi pertimbangan adalah konstruksi detektor karena
semakin rumit konstruksi atau desainnya maka detektor tersebut akan semakin mudah
rusak dan biasanya juga semakin mahal.

2.2 Pengertian Kedokteran Nuklir


2.2.1. Pengertian Kedokteran Nuklir

Kedokteran nuklir adalah spesialisasi medis yang menggunakan zat-zat


radioaktif dalam diagnosis dan pengobatan penyakit. Badan Kesehatan Dunia WHO
dan Badan Internasional Tenaga Atom (IAEA) mendefinisikan kedokteran nuklir
sebagai spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka nuklir untuk
menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosa dan mengobati penyakit.

Penggunaan energi radioaktif berbeda pada kedokteran radiologi dan


kedokteran nuklir. Pada diagnostik radiologi radiasi eksternal (sinar-X) melewati
tubuh dan membentuk gambar.Sedangkan pada kedokteran nuklir, energi radiasi
terbuka diberikan dalam bentuk obat radioaktif yang dikombinasikan dengan unsur
lain untuk membentuk senyawa radiofarmasi. Radiofarmasi dimasukkan ke dalam
tubuh dengan cara diminum atau disuntik. Pendeteksi sinar gamma akan menangkap
gambar dari radiasi yang dihasilkan radiofarmasi.

Bahan radioaktif dalam kedokteran nuklir terdiri dari sinar gamma, beta, dan
alfa. Sinar gamma digunakan pada prosedur diagnostik, sedangkan sinar beta untuk
prosedur terapi. Sedangkan sinar alfa masih dalam tahap penelitian untuk penggunaan
bidang kedokteran.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
12
2.2.2. Diagnosa

Dalam pendiagnosaan, terdapat 2 teknik dalam kedokteran nuklir, yakni:

 In vivo
Suatu Metoda diagnostik dengan cara pemberian radiofarmaka kepada pasien melalui
suntikan, mulut/oral, dan inhalasi. Pencitraan organ tubuh pasien diperoleh
berdasarkan pancaran radiasi sinar gamma yang kemudian ditangkap oleh alat kamera
gamma. Diagnosis didasarkan pada perubahan fisiologis atau biokimiawi yang terjadi
ditingkat sel maupun molekuler.

 In Vitro
Suatu metoda diagnostik menggunakan Radionuklida yang direaksikan dengan bahan
biologis tubuh manusia untuk menentukan kadar zat tertentu di dalam tubuh (darah,
urin, dll). Metode yang digunakan adalah
a. Metoda Radio Immuno Assay (RIA) Merupakan reaksi immunologik antara anti
gen bertanda radioaktif dengan antibodi spesifik.
b. Metoda Immuno Radiometric Assay (IRMA). Prinsip dasar IRMA
adalah Ligan yang konsentrasinya harus diukur secara
khusus terikat oleh antibodi tak bergerak dan antibodiberlabel radioaktif .

Teknik Nuklir In Vitro digunakan untuk analisis kadar:


a. Hormon Pituitari: GH, FSH, LH, Prl, ACTH
b. Hormon Tiroid: T3, T4, T3U/FTI, TBG, TMS, Tg, TSAb ,r-T3
c. Hormon Paratiroid : PTH-MM
d. Hormon Reproduksi : Estradiol, Estriol, Progesteron, Testosteron,
HCG,HPL,DHEASO4
e. Hepatitis B dan C
f. Mikroalbumin
g. Tumor Marker: AFP, CEA, PSA, Ca.125
h. Obat-obatan :Digoksin,Theophyllin
i. Insulin, Gastrin
j. Ferritin, Asam Folat, Vit.B12
k. dan lain-lain.

Dua instrumen utama yang digunakan dalam diagnosis kedokteran nuklir adalah
single-photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission
tomography (PET) yang menghasilkan gambar tiga dimensi. Perangkat hibrida
misalnya SPECT/CT dan PET/CT akan menyorot bagian tubuh yang mengandung

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
13
konsentrasi tinggi radiofarmsi. Dari hasil pencitraan,dokter dapat menentukan
prosedur lanjutan seperti pembedahan.

Adapun prinsip pencitraan dalam kedokteran nuklir ialah:


 Menggunakan radioisotop sbg sumber sinar gamma dengan energi 80-511 keV.
 Radioisotop dimasukkan kedalam organ tubuh yang diperiksa (in vivo).
 Organ tubuh memencarkan radiasi, detektor mencatat paparan diluar tubuh.
 Radiasi diubah menjadi cahaya, cahaya diubah menjadi data digital, data digital
direkonstruksi menjadi citra diagnostik.

2.2.3. Pengobatan

Ada sejumlah bahan radiofarmasi yang digunakan untuk mengobati penyakit,


diantaranya:

 Iodine-131-natrium iodida untuk mengobati hipertiroidisme dan kanker tiroid.


 Yttrium-90-ibritumomab tiuxetan (Zevalin) dan Iodine-131-tositumomab
(Bexxar) pada pengobatan limfoma refraktori.
 MIBG-131I(metaiodobenzylguanidine)pada pengobatan tumor
neuroendoktrin.
 Samarium-153 atau Strontium-89 pada pengobatan nyeri tulang paliatif.
 Saat ini pengobatan kanker dengan isotop radioaktif (brachytherapy) banyak
digunakan di pusat kedokteran nuklir.

Berikut beberapa sumber radiasi (radionuklida), diantaranya:

 Cesium-137 (137Cs)
 Cobalt-60 (60Co)
 Iridium-192 (192Ir)
 Iodine-125 (125I)
 Palladium-103 (103Pd)
 Ruthenium-106 (106Ru)

2.3 Penerapan Detektor pada Kedokteran Nuklir


2.3.1 Kamera Gamma
Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya digunakan sebagai
detektor, yaitu menangkap radiasi yang dipancarkan oleh bahan radioaktif dalam tubuh
dan merubahnya menjadi data yang dapat dilihat sebagai angka-angka, warna ataupun
grafik. Pemeriksaan imaging kedokteran nuklir memerlukan gamma kamera

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
14
yang mempunyai detektor dalam jumlah banyak. Satu gamma kamera biasanya terdiri
dari kolimator, detektor, Photo Multiplier Tube (PMT), Catode Ray Tube (CRT), Pulse
Height Analizer (PHA).

Gambar 1. Kamera Gamma

 Komponen Dasar

Kamera gamma pada hakekatnya merupakan kamera skintilasi


(scintillation cameras). Pencitraan menggunakan kamera gamma merupakan
teknologi imaging emisi. Kamera gamma akan merubah photon gamma yang
berhasil diterima oleh detektor menjadi pulsa cahaya dan selanjutnya dirubah
menjadi pulsa elektronik (voltage signal). Signal tersebut yang akhirnya akan
membentuk citra (image) sesuai dengan ditribusi radionuklida yang dimasukkan
kedalam tubuh. Setiap unit kamera gamma memiliki komponen dasar yang terdiri
dari :

a. Kolimator
b. Detektor/ Kristal skintilasi
c. Photo Multiplier Tube (PMT)
d. Cathode Ray Tube (CRT)
e. Pulse Height Analyzer (PHA)
f. Konsole/Panel Kontrol

Kamera gamma jenis digital memiliki beberapa kelebihan dibanding jenis analog,
antara lain dapat melakukan pemrosesan data lebih cepat, karena selalu dilengkapi
dengan unit komputasi yang lebih canggih, dan secara umum relatif lebih mudah

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
15
perawatanya. Kamera gamma yang digunakan di kedokteran nuklir RSCM
mempunyai merk ADAC laboratories tipe DPS 3300 Micro Nuklear Medicine.

Gambar 2. Komponen dasar kamera gamma

Berikut akan dibahas komponen dasar pada kamera gamma yang digunakan pada
kedokteran nuklir.

a. Kolimator

Sebagaimana pada sistem optik yang memerlukan lensa untuk


memfokuskan cahaya, dalam kedokteran nuklir juga diperlukan sarana untuk
memfokuskan sinar gamma detector.Untuk itu diperlukan kolimator yang terbuat
dari timbal yang berisikan pipa-pipa kecil, dimana arah dari pipa-pipa ini
tergantung dari jenis kolimator. Dengan kolimator, hanya sinar gamma yang
searah dengan pipa-pipa dapat melalui kolimator dan menumbuk detector.
Sedangkan sinar gamma yang arahnya miring akan menumbuk pipa-pipa dan
akan diabsorbsi sehingga tidak sampai detektor (kristal skintilasi), hanya
menerima signal dari radionuklida terbatas pada sebagian tertentu didalam tubuh
pasien). Karenanya kolimator dalam menjalankan fungsinya adalah dengan
mengabsorbsi dan menghalangi radiasi photon yang datang diluar bidang tertentu
yang berhadapan dengan permukaan detektor. Sehingga radiasi yang diterima oleh
kolimator dengan posisi oblique tidak dapat mempengaruhi pembentukan citra.
Kolimator yang digunakan di bagian kedokteran nuklir RSCM adalah
kolimator tipe paralel hole paralel MEGP (medium energi general purpose) yaitu

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
16
kolimator dengan jumlah lubang yang banyak dengan kemampuan
mengakomodasi photon dengan energi 150 – 350 keV. Bentuk fisik hole/lubang
dapat berupa hexagonal atau bulat/lingkaran, dengan septa yang cukup tipis.
Bentuk hexagonal memungkinkan untuk terjadinya penetrasi photon gamma lebih
banyak dibanding dengan bentuk hole berupa lingkaran.
Dengan kolimator paralel hole, kecuali ukuran citra yang dihasilkan,
jumlah cacah persatuan waktu akan banyak berubah apabila jarak dengan
kolimator dirubah. Apabila jarak obyek menjadi lebih jauh dari kristal maka
jumlah cacah yang diterima akan jauh berkurang sesuai dengan hukum
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Akan tetapi apabila jarak ditambah,
maka luas bidang yang dapat dicover oleh kolimator akan meningkat. Sebaliknya
apabila jarak obyek semakin dekat dengan permukaan kolimator resolusi akan
semakin baik. Pencitraan menggunakan kolimator multihole harus diupayakan
jarak permukaan kolimator harus sedekat mungkin dengan obyek (permukaan
tubuh pasien).
Efektivitas kolimator dalam memproduksi gambar pada detektor
tergantung dari faktor-faktor, antara lain :
 Dimensi dari kolimator : besar pipa/ukuran hole, jumlah hole, panjang hole dan
tebal septa.
 Jarak dari obyek : makin dekat obyek dengan kamera makin baik resolusinya,
karena itu sangat penting untuk menempatkan pasien sedekat mungkin dengan
kamera.
 Resolusi dan sensitivitas juga sangat dipengaruhi oleh energi sinar gamma yang
diterima, makin tinggi energi yang diterima makin buruk cahaya yang dihasilkan
detektor.

b. Detektor

Detektor terdiri dari scintilasi kristal yang diletakkan di belakang


kolimator, terbuat dari Natrium Iodida (NaI) kristal plus Thalium. NaI (Tl) ini
akan mengeluarkan cahaya/scintilisai apabila tertumbuk sinar gamma. Interaksi
photon gamma dengan kristal detektor akan menyebabkan terjadinya efek
penyerapan photoelektrik, sehingga menghasilkan cahaya fluorosensi yang
intensitasnya proposional dengan kandungan energi dari photon gamma yang
bersangkutan. Pada umumnya diameter kristal detektor bervariasi sekitar 10 s/d
21 inch, dan ketebalan ¼ s.d ½ inch. Semakin luas ukuran bidang kristal semakin
luas pula bidang pencitraan yang dimiliki kamera gamma, sehingga harganya
semakin mahal. Semakin tebal ukuran suatu kristal detektor, derajat resolusi
spatial akan semakin rendah tetapi semakin efektif dalam menangkap radiasi

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
17
photon gamma.Dibagian kedokteran nuklir RSCM detektor mempunyai luas 25,4
2
cm .

c. Photo Multiplier Tube (PMT)

PMT berfungsi untuk merubah signal cahaya menjadi signal elektrik


secara terukur. PMT ditempatkan dibagian belakang kristal NaI(Tl) dan berjumlah
banyak serta tersusun dalam suatu konfigurasi. PMT dihubungkan dengan kristal
secara optis dengan bahan silicon-like materials. Signal skintilasi yang dihasilkan
dari kristal akan diterima/dicatat oleh satu atau lebih PMT. Signal keluaran PMT
memiliki 3 komponen,yaitu : Semua data-data ini akan terkumpul dalam kolektor
dan disimpan dalam memori ini akan diproses menjadi data visual berupa gambar,
grafik maupun angka.

d. Cathode Ray Tube (CRT)

Signal-signal yang dapat dari PMT akan diproses menjadi 3 (tiga) signal
X, Y, Z. spatial coordinates X dan Y sebagai sumbu , dan komponen Z sebagai
parameter besarnya energi yang masuk dalam kristal detektor dan diproses oleh
PHA. Koordinat X dan Y dapat langsung diamati pada layar display (CRT) atau
didalam komputer. Sedang signal Z (intensitas) akan diproses lebih lanjut oleh
komponen berikutnya, yaitu PHA.

e. Pulse Height Analyzer (PHA)

PHA pada prinsipnya memiliki fungsi membuang (to discard) signal-


signal radiasi yang beraasal dari cacah latar (background) dan sinar hamburan
atau radiasi lain dari hasil interferensi isotop, sehingga hanya foton yang berasal
dari photopeak yang dikehendaki yang dicatat. PHA akan melakukan pemilahan
terhadap signal-signal tersebut, selanjutnya meneruskan signal yang sesuai untuk
diteruskan ke sistem komputer, sedang yang tidak sesuai ditolak. PHA mampu
melakukan fungsi tersebut karena energi yang diterima oleh detektor akan diubah
menjadi signal skintilasi yang memiliki korelasi linier dengan voltage signal yang
dikeluarkan oleh PMT.

f. Kontrol Panel
Image exposure time ditentukan melalui panel kontrol, dengan pilihan :
1. preset count
2. preset time atau
3. preset ID (information density) untuk citra kompresi.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
18
 Prinsip Kerja Kamera Gamma

Sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien ditangkap oleh kristal-
kristal sintilasi berdiameter besar (NaI(Tl)) setelah melalui suatu kolimator. Guna
kolimator adalah untuk memberikan penajaman pada citra karena hanya melewatkan
sinar gamma yang searah dengan orientasi lubang kolimator dan menahan gamma
hamburan.Sedangkan rumah timbal menjamin hanya sinar gamma yang datang dari
tubuh pasien saja yang dideteksi. Ketika suatu photon gamma berinteraksi dengan
kristal sodium iodida yang diaktivasi oleh Thallium (NaI(Tl)) maka dihasilkan pulsa
pancaran cahaya (fluorescent light) pada titik interaksi yang intensitasnya sebanding
dengan energi sinar gamma. Pulsa pancaran cahaya tersebut kemudian dideteksi dan
dikuatkan oleh setiap PMT sepanjang permukaan belakang kristal, dimana tabung
dengan jarak terjauh menerima cahaya lebih kecil dari pada tabung yang terdekat.
Efisiensi kristal ini untuk mendeteksi sinar gamma dari xenon 133 (81 keV)
dan technetium 99m (140 keV) adalah mendekati 90%, artinya hanya 10% dari foton
gamma yang melalui kristal yang tidak menghasilkan suatu pulsa cahaya. PMT
mengubah pulsa cahaya menjadi suatu sinyal listrik dengan besaran yang dapat
diukur. Kejadian sintilasi pada kristal direkam oleh lebih dari satu tabungtabung PMT.
Koordinat X dan Y dari interaksi ditentukan oleh suatu lirik tahanan tahanan yang
memberikan pembobotan sinyal keluaran dari setiap PMT menurutposisi geometrinya
dibelakang detektor. Secara bersamaan seluruh sinyal keluaran dari setiap PMT
dijumlahkan dan diberi pembobotan. Sinyal tersebut mempunyai tiga komponen yaitu
koordinat spasial sumbu X dan sumbu Y serta suatu sinyal (Z) yang berhubungan
dengan intensitas, dimana amplitudonya sebanding dengan jumlah total energi yang
diterima dalam kristal. Sinyal koordinat X dan Y dapat langsung dikirim ke peralatan
penampil gambar atau direkam oleh komputer, sedangkan sinyal Z diolah oleh
penganalisis tinggi pulsa (PHA). Titik cahaya dapat dimunculkan pada layar monitor
hanya apabila pulsa energinya ada pada daerah jendela yang diatur sebelumnya
(preset window) dari PHA dengan koordinat titik cahaya ditentukan oleh sumbu X
dan Y.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
19
Gambar 3. Skema kerja kamera gamma

 Prinsip Kerja Penganalisi Tinggi Pulsa(PHA)


Prinsip dasar dari PHA adalah untuk memisahkan sinyal dari latar belakang,
radiasi hamburan atau radiasi akibat interferensi isotop.Jadi hanya foton yang
energinya disekitar photopeak isotop saja yang direkam untuk pencitraan. Jadi PHA
bertindak sebagai penyeleksi apakah kejadian pada kristal akan ditayangkan atau
diabaikan saja. PHA dapat melakukan pemisahan tersebut karena energi yang
dihasilkan oleh suatu interaksi pada kristal atau kejadian sebanding dengan tegangan
sinyal yang keluar dari PMT. Gambar 2 memperlihatkan spektrum energi yang khas
dari technetium yang dihasilkan oleh suatu PHA. Dalam kasus ini, PHA hanya
mencacah kejadian pada daerah sekitar 20% dari jendela simetrik energi photopeak
sebesar 140 keV yaitu 140 ± 14 keV. Tegangan sinyal yang lebih kecil atau lebih
besar dari daerah ini, khususnya yang datang dari hamburan radiasi akan diabaikan.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
20
Gambar 4.Spectrum energi Technetium 99m

 Prinsip Kerja Kartu Antarmuka

Kartu antarmuka (Gambar 3) berfungsi memproses tiga keluaran dari kamera


gamma analog yaitu: X, Y dan PHA (strobe signal) agar dapat direkam dan diolah
lebih lanjut oleh komputer. Selama proses akuisisi citra, sinyal-sinyal analog posisi X
dan Y diubah menjadi angka-angka digital oleh suatu alat pengubah Analog-ke-
Digital (DAC – digital-to-analog converter) yang terdapat pada kartu antarmuka.
Kemudian kombinasi kedua angka tersebut digunakan sebagai penunjuk lokasi
memori komputer yang berfungsi sebagai pencacah kejadian.Setiap interaksi yang
terjadi pada suatu daerah tertentu pada detektor menyebabkan penambahan jumlah
pencacahan pada memori yang berhubungan dengan lokasi daerah tersebut.Sinyal
dari PHA digunakan untuk memvalidasi yaitu mengatakan pada komputer apakah
kejadian dapat diterima atau tidak untuk diproses.Jika dapat diterima maka isi dari
memori yang lokasi koordinatnya sesuai dengan kejadian tersebut ditambah satu.
Maka terbentuk citra organ pada monitor komputer dengan intensitas dari titik-titik
gambar (piksel) sebanding dengan jumlah pencacahan. Metoda akuisisi ini disebut
sebagai model frame atau histogram tingkat keabuan.

Gambar 5. Skema kerja kartu antarmuka

Pengaturan penguatan dan offset dapat dilakukan secara manual atau


menggunakan program komputer. Agar dapat dilakukan secara otomatis
menggunakan program komputer maka diperlukan alat pengubah dari digital ke

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
21
analog (DAC – digital-to-analog converter) dan penguat operasional (operational-
amplifier) sebagai pembanding antara nilai sinyal masukkan X,Y dari kamera gamma
dengan tegangan offset dan penguatan dari komputer. Gambar 5 memperlihatkan
bagaimana nilai digital dari komputer dikirim ke DAC pada kartu antarmuka melalui
alamat pintu keluaran/masukkan (I/O Port) 8-bit (D0-D7) untuk dibandingkan dengan
nilai aktual.Penguatan-penguatan danoffset dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan program komputer. Agardapat dilakukan secara otomatis menggunakan
program komputer maka diperlukanalat pengubah dari digital-ke-analog (DAC –
digital-to-analog converter) dan penguatoperasional (operational-amplifier) sebagai
pembanding antara nilai sinyal masukkan X,Y dari kamera gamma dengan tegangan
offset dan penguatan dari komputer. Gambar 5 memperlihatkan bagaimana nilai
digital dari komputer dikirim ke DAC pada kartu antarmuka melalui alamat pintu
keluaran/masukkan (I/O Port) 8-bit (D0-D7) untuk dibandingkan dengan nilai aktual.

2.3.2 Renograf
 Deskripsi dan Mekanisme Kerja
Renograf merupakan suatu alat yang menggunakan prinsip spektroskopi
gamma. Yang mana terdiri dari hardware serta software dimana pada hardware
berfungsi sebagai penangkap radiasi dari sinar gamma yang dipancarkan oleh ginjal
serta mengubahnya menjadi pulsa-pulsa listrik dan kemudian akan diubah lagi
menjadi grafik oleh software.
Prinsip kerja dari renograf adalah sinar radiasi gamma yang datang akan
diterima oleh detektor NaI (Tl) dan oleh detektor akan diubah menjadi pulsa listrik,
selanjutnya pulsa keluaran detektor akan dibentuk menjadi pulsa semi gaussian dan
dikuatkan oleh penguat awal, kemudian dikuatkan lagi pada penguat utama sehingga
pulsa keluaran berupa pulsa gaussian dengan tinggi pulsa yang sudah memenuhi
syarat untuk dianalisa dan diubah menjadi bentuk digital pada TSCA yang selanjutnya
pulsa digital akan dicacah pada counter. Pulsa keluaran TSCA disamping masuk ke
counter juga sebagai masukan interface untuk ditampilkan dalam bentuk grafik pada
layar monitor.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
22
Gambar 3.1 Cara Kerja Renograf
Sumber: Djuningran, 2007

Pada proses pendeteksian sebelumnya, pasien diberikan air minum (hydrate)


sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur pemeriksaan. Pasien diminta buang air
kecil sebelum pengaturan posisi pemeriksaan. Atur posisi pasien (duduk atau tiduran),
arahkan masing-masing probe ke ginjal kiri dan kanan, pasien diminta untuk tidak
menggerakkan punggung selama pemeriksaan. Ketepatan posisi dan pengaturan arah
probe sangat menentukan keberhasilan pengukuran. Injeksikan radiofarmaka melalui
pembuluh darah (intravena) pada lengan kanan atau lengan kiri pasien. Lalu perunut
akan sampai di pembuluh darah ginjal, ditangkap dan dikeluarkan bersama urine.
Pendeteksian dilakukan pada daerah ginjal kiri dan kanan dengan detector NaI (TI).
Detektor NaI (TI) adalah detektor sintilasi yang biasa digunakan untuk mendeteksi
sinar gamma. Waktu pemeriksaanberlangsung antara 15-25 menit.

 Perangkat Keras.
Bagian utama dari perangkat keras peralatan renograf adalah :

a. Detektor Probes
Detektor yang digunakan sebagai probes adalah jenis Scintilasi (Nal(TI)).
Detektor dilengkapi dengan kolimator dari bahan timbal untuk mengarahkan ke
masing-masing ginjal dan menghindari cross talk antar ginjal, serta menekan
gangguan latar (back ground). Probes ini dapat terpasang secara khusus pada kursi
pasien, maupun pada statif tegak. Dengan statif tegak nenubgkinkan penggunaan
sistem ini untuk keperluan lain, misalnya dengan perangkat lunak khusus sebagai
pengukur Thyroid Uptake, atau untuk keperluan prosedur lain yang dikembangkan
lebih lanjut.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
23
Gambar 2.1. Perangkat keras renograf dual probes
(PRPN BATAN, 2007)

b. Catu daya detektor dan unit pemroses sinyal.


Catu daya detektor memberikan tegangan tinggi (sekitar 1000 VDC)
yangdiperlukan untuk operasi detektor. Pemroses sinyal memperkuat sinyal dari
detektor, membentuk sinyal menjadi pulsa gaussian, memisahkan pulsa sesuai pilihan
energi isotop dengan teknik Single Channel Analyzer (SCA), serta mencacah pulsa per
4 detik. Saat ini unit detektor terdiri dari Modul Tegangan Tinggi dan Add-On Card
untuk ISA bus. Untuk mengikuti trend perkembangan komputer sedang
dikembangkan modul akuisis data dengan memanfaatkan teknologi Universal Serial
Bus (USB).

Gambar 2.2 Set Alat Renograf (Alat Deteksi Fungsi Ginjal)

Gambar 2.3 Tampilan perangkat lunak Reno XP


(Sumber: PRPN BATAN, 2007)

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
24
 Perangkat Lunak (software)
Tersedia beberapa versi software yang digunakan dengan sistem operasi DOS,
Window 98, dan Window XP. Versi DOS memungkinkan pemanfaatan komputer lama
jenis 486, sedangkan versi Windows yang memerlukan PC Pentium (dengan memori
minimum 16 MB untuk Window 98 dan 32 MB untuk Window XP) lebih menawarkan
kemudahan bagi operator (user friendly). Operasi perangkat lunak renograf
mengharuskan operator setiap hari melakukan uji kualitas alat (spectum check, ULD-
LLD setting, Chi-Square Test) sebelum digunakan untuk pemeriksaan pasien. Secara
umum aplikasi renograf terdiri dari : akuisisi data pasien baru, menyimpan data
pasien, membuka kembali/memeriksa/menganalisa file data pasien, dan mencetak
data hasil pemeriksaan. Parameter yang ditampilkan meliputi cacah (count)
maksimum masing-masing ginjal beserta waktu pencapaiannya, waktu pencapaian
2/3 dan T1/2, reno indeks, up-take relatif, serta cacah pada menit ke sepuluh.

2.3.3 PET (Positron Emission Tomography).


Positron Emission Tomography (PET) adalah teknik pencitraan kedokteran nuklir
yang digunakan untuk mengamati proses metabolisme dalam tubuh. Sistem mendeteksi
pasangan sinar gamma yang dipancarkan secara tidak langsung oleh radionuklida
pancaran positron (tracer), yang dimasukkan ke dalam tubuh pada molekul biologis aktif.
Gambar tiga dimensi konsentrasi tracer dalam tubuh kemudian dianalisis komputer.
Dalam modern yang PET-CT scanner, tiga pencitraan dimensi ini sering dilakukan
dengan bantuan CT X-ray pemindaian dilakukan pada pasien pada sesi yang sama, di
mesin yang sama.

Jika molekul biologis aktif yang dipilih untuk PET adalah fludeoxyglucose
(FDG), analog glukosa, konsentrasi tracer dicitrakan akan menunjukkan aktivitas
metabolisme jaringan karena sesuai dengan penyerapan glukosa regional. Penggunaan
pelacak ini untuk mengeksplorasi kemungkinan metastasis kanker (yaitu, menyebar ke
bagian lain) adalah jenis yang paling umum dari PET scan dalam perawatan medis
standar. Namun, meskipun secara minoritas, banyak pelacak radioaktif lainnya yang
digunakan dalam PET untuk menggambar konsentrasi jaringan jenis lain dari molekul
yang menarik. Salah satu kelemahan dari scanner PET adalah biaya operasinya yang
mahal.

PET merupakan sebuah alat medis dan penelitian. Hal ini digunakan berat dalam
onkologi klinis (pencitraan medis tumor dan pencarian metastasis), dan untuk diagnosis
klinis penyakit otak difus tertentu seperti yang menyebabkan berbagai jenis demensia.
PET juga merupakan alat penelitian yang penting untuk memetakan yang normal fungsi
otak dan hati manusia, dan mendukung pengembangan obat.PET juga digunakan dalam

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
25
studi pra-klinis menggunakan hewan, di mana memungkinkan penyelidikan berulang ke
dalam subyekyang sama. Hal ini terutama dalam penelitian kanker, karena menghasilkan
peningkatan dalam kualitas statistik data (mata pelajaran dapat bertindak sebagai kontrol
mereka sendiri) dan secara substansial mengurangi jumlah hewan yang diperlukan untuk
studi tertentu.

PET imaging terbaik dilakukan dengan menggunakan scanner PET khusus.


Namun, adalah mungkin untuk memperoleh PET gambar menggunakan kamera gamma
dual-kepala konvensional dilengkapi dengan detektor koinsidensi. Kualitas gamma-
kamera PET adalah jauh lebih rendah, dan akuisisi lebih lambat. Namun, untuk lembaga
dengan permintaan rendah untuk PET, ini memungkinkan di tempat pencitraan, bukan
merujuk pasien ke pusat lain, atau mengandalkan kunjungan oleh scannermobile.PET
adalah teknik berharga untuk beberapa penyakit dan gangguan, karena mungkin untuk
menargetkanbahan kimia yang digunakan untuk fungsi tubuh tertentu.

2.3.4 SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).


Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) adalah teknik
kedokteran nuklir mengenai tomografi pencitraan menggunakan sinar gamma. Hal ini
sangat mirip dengan pencitraan nuklir kedokteran planar konvensional menggunakan
kamera gamma (yaitu, scintigraphy). Namun, ia mampu memberikan informasi 3D.
Informasi ini biasanya disajikan sebagai irisan penampang melalui pasien, tetapi dapat
secara bebas diformat ulang atau dimanipulasi seperti yang diperlukan. Teknik ini
membutuhkan pengiriman radioisotop gamma-emitting (radionuklida) ke pasien,
biasanya melalui suntikan ke dalam aliran darah. Pada kesempatan, radioisotop adalah
ion terlarut larut sederhana, seperti sebuah isotop gallium (III). Sebagian besar waktu,
meskipun, radioisotop penanda melekat ligan tertentu untuk membuat radioligand, yang
sifat mengikat ke jenis tertentu jaringan. Pernikahan ini memungkinkan kombinasi ligan
dan radiofarmaka untuk dibawa dan terikat ke tempat yang menarik di tubuh, di mana
konsentrasi ligan dilihat oleh kamera gamma.
Bukan hanya "mengambil gambar dari struktur anatomi," sebuah SPECT tingkat
pemindaian monitor aktivitas biologis di setiap tempat di wilayah 3-D dianalisis. Emisi
dari radionuklida menunjukkan jumlah aliran darah di kapiler dari daerah dicitrakan.
Dengan cara yang sama yang polos X-ray adalah 2-dimensi (2-D) pandangan struktur 3-
dimensi, gambar yang diperoleh oleh kamera gamma adalah 2-D pandangan distribusi 3-
D dari radionuklida.SPECT pencitraan dilakukan dengan menggunakan kamera gamma
untuk memperoleh beberapa gambar 2-D (juga disebut proyeksi), dari berbagai sudut.
Sebuah komputer kemudian digunakan untuk menerapkan algoritma rekonstruksi
tomografi dengan beberapa proyeksi, menghasilkan kumpulan data 3-D. set data ini
kemudian dapat dimanipulasi untuk menunjukkan irisan tipis sepanjang sumbu yang

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
26
dipilih dari tubuh, mirip dengan yang diperoleh dari teknik tomografi lain, seperti
magneticresonanceimaging (MRI), X-raycomputedtomography (X-ray CT), dan
tomografi emisi positron (PET).

SPECT mirip dengan PET dalam penggunaan bahan pelacak radioaktif dan
deteksi sinar gamma. Berbeda dengan PET, bagaimanapun, pelacak digunakan dalam
SPECT memancarkan radiasi gamma yang diukur secara langsung, sedangkan PET
pelacak memancarkan positron yang memusnahkan dengan elektron hingga beberapa
milimeter, menyebabkan dua foton gamma akan dipancarkan dalam arah yang
berlawanan. Sebuah scanner PET mendeteksi ini emisi "bertepatan" dalam waktu, yang
menyediakan lebih informasi acara radiasi lokalisasi dan, dengan demikian, gambar
resolusi spasial lebih tinggi dari SPECT (yang memiliki sekitar 1 resolusi cm). scan
SPECT, bagaimanapun, secara signifikan lebih murah daripada scan PET, sebagian
karena mereka mampu menggunakan radioisotop lagi-berumur lebih mudah diperoleh
dari PET. Karena akuisisi SPECT sangat mirip dengan planar pencitraan kamera gamma,
yang radiofarmasi yang sama dapat digunakan. Jika seorang pasien diperiksa dalam jenis
lain scan kedokteran nuklir, tetapi gambar yang non-diagnostik, dimungkinkan untuk
melanjutkan langsung ke SPECT dengan memindahkan pasien ke instrumen SPECT, atau
bahkan hanya dengan konfigurasi ulang kamera untuk SPECT akuisisi gambar sementara
pasien tetap di atas meja.

2.3.5 Thyroid Uptake


Pengertian thyroid scintigraphy dan uptake adalah pemeriksaan dengan
menggunakan zat radioaktif untuk mendapatkan pencitraan morfologi fungsional tyroid
dan untuk menilai kemampuan kelenjar tyroid dalam menangkap zat radioaktif.
Pada dasarnya dalam pemeriksaan thyroid uptake tidak ada persiapan khusus bagi
pasien hanya saja instruksi-instruksi yang menyangkut posisi dan prosedur pemeriksaan
harus diberitahukan dengan jelas diantaranya: Tidak boleh diberikan makanan atau obat
atau media kontras yang mengandung ion yodida. Bila yang digunakan radiofarmaka NaI
– 131, pasien dipuasakan selama 6 jam. Obat-obat dihentikan selama beberapa waktu.
Kamera gamma dengan atau tanpa kolimator pinhole, kalau tidak ada dapat digunakan
kolimator LEHR (low energy high resolution) dengan ketentuan : matriks 256 x 256,
peak energy 140 KeV, window 20 % dan jumlah Counts 400.000 cts. untuk Tc-99m
pertechnetate dan energi medium untuk I – 131. Pemilihan kolimator tergantung pada
energi radiasi gamma utama dari radionuklida yang digunakan, yaitu I – 131 : 364 keV
dan Tc-99m – pertechnetate : 140 keV.
Pemeriksaan tyroid scintigraphy dan uptake merupakan pemeriksaan yang
terencana sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur yang ada yaitu:
Pencitraan dilakukan 10 sampai 15 menit atau 20 menit setelah penyuntikan Tc-99m

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
27
dengan dosis 2-5 mCi melalui IV menggunakan spuit , atau 24 jam setelah minum NaI –
131.
Pasien tidur telentang di bawah kamera gamma dengan leher dalam keadaa
hiperekstensi ; pencitraan statik dilakukan pada posisi AP (kalau perlu oblik kiri atau
kanan).Diberi tanda pada kartilago tiroid dan jugulum ; matrix : 256 x 256 ; peak energi
disesuaikan dengan radionuklida, yaitu 140 keV (untuk Tc-99m), 159,0 untuk I- 123) dan
360 keV (untuk I – 131) dengan window : 20% ; jumlah cacahan : 400.000 kcts (Tc-99m
– pertechnetate) atau 100.000 kcts (NaI – 131) ; proses penitraan berlangsung 5 sampai
10 menit. Diberikan per oral 30 uCi I – 131, up take pertama 2 jam, kedua 24 jam, ketiga
48 jam setelah pemberian I – 131. Scanning dilakukan 24 jam setelah pemberian.
Digunakan alat rectilinier berkristal 3 inci dengan energi medium, sedangkan untuk up
take digunakan probe skintilasi dengan kristal 1 x 1 inci, serta kolimator pinhole dan
window 20%. Scan dilakukan 800 counts/sm2 dengan posisi anterior lateral dan oblik.
Aktivitas maksimum dicari didaerah leher, scan dimulai dari kaudal ke cranial ; beri tanda
dibatas luar leher, dagu, sternum, dan massa yang teraba.
I -131 yang akan diberikan kepada pasien dihitung counts-nya per menit dengan
phantom berbentuk leher. Dan disebut sebagai counts awal,segera diberikan radioaktif
tersebut untuk ditelan oleh penderita. Lakukan perhitungan aktivitas di leher penderita 2
jam, 24 jam dan 48 jam setelah pemberian, Dalam keadaan normal tampak seperti
gambaran kupu-kupu, terdiri dari lobus kanan dan kiri masing-masing sebesar ibu jari
orang dewasa dengan ismus yang menghubungkan kedua-duanya. Batas bawah normal
tidak sampai sternum. Lobus kanan biasanya lebih besar. Luas scanning sekitar 20 cm2
untuk orang dewasa, pada anak-anak lebih kecil. Distribusi radioaktivitas di kedua lobus
rata. Bila kedua lobus membesar diffus atau homogen (distribusi radioaktivitas rata)
disebut struma diffusa. Sementara itu bila ada nodul (tunggal atau ganda) disebut struma
nodusa atau multi nodusa. Nodul yang menangkap radioaktivitas lebih tinggi dari
jaringan sekitarnya disebut jaringan nodul panas (hot nodule) atau nodul hiperfungsional
dan nodul yang kurang atau tidak menangkap radioaktivitas disebut nodul dingin (cold
nodule) atau nodul hipofungsional. Sedangkan nodul yang menangkap radioaktivitas
sama seperti jaringan disekitarnya disebut nodul hangat (warm nodule). Nodul panas
pada umumnya identik dengan nodul tyroid otonom, sekitar 10-30 % nodul dingin
ditemukan pada kasus keganasan tyroid, nodul hangat tidak mempunyai arti klinis yang
berarti. Nilai normal uji tangkap tyroid (uptake) bervariasi tergantung dari asupan iodium
dalam makanan. Nilai normal angka penangkapan uptake dengan Tc-99m 15 menit yaitu
0,5 – 5 %. Thyroid scintigraphy memberikan gambaran tentang besar, bentuk dan letak
kelenjar tiroid serta distribusi radioaktivitas di dalam kelenjar tersebut. Pemeriksaan
thyroid scintigraphy belum bisa menilai fungsi kelenjar thyroid sehingga perlu didukung
dengan perhitungan uptakenya.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Ilmu kedokteran nuklir adalah spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka
nuklir untuk menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosa dan mengobati penyakit.
2. Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya digunakan sebagai detektor yang
merupakan komponen dasar dari kamera gamma untuk menangkap radiasi yang dipancarkan
oleh bahan radioaktif dalam tubuh dan merubahnya menjadi data yang dapat dilihat sebagai
angka-angka, warna ataupun grafik.

3. Penerapan detektor pada kedokteran nuklir antara lain pada alat kamera gamma, alat renograf,
SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography), PET (Positron Emission
Tomography), dan Uptake Thyroid.

Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017


Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
29
DAFTAR PUSTAKA

ARDISASMITA, M. SYAMSA. 1993. PeningkatanKemampuanKamera Gamma Analog


MenggunakanSistemBerbasisKomputer Pc danPengembanganPerangkatLunakPengolahan
Citra.PusatPengembanganTeknologiInformasidanKomputasi – BATAN.

WIHARTO, KUNTO. 1996. KedokteranNuklir Dan AplikasiTeknikNuklirDalamKedokteran.


Yogyakarta:PusatStandardisasidanPenelitianKeselamatanRadiasi – BATAN.

KURNIAWAN , AGUNG. 2010. Alat Ukur Radiasi di Bidang Kedokteran Nuklir. Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir- BATAN.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran_nuklir diakses.Diaksestanggal 28 Maret 2017.

https://en.wikipedia.org/wiki/Positron_emission_tomography. Diaksestanggal 30 Maret 2017

https://en.wikipedia.org/wiki/Single-photon_emission_computed_tomography. Diaksestanggal
30 Maret 2017

https://en.wikipedia.org/wiki/Gamma_camera. Diaksestanggal 30 Maret 2017

LAMPIRAN
Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017

Safira Rachmadewi (021500453)


Yudi Irwanto (021500456)
30
Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017
Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
31
Pipit dwi Rahayu (021500449) Tanggal selesai :30 Maret 2017
Safira Rachmadewi (021500453)
Yudi Irwanto (021500456)
32

Anda mungkin juga menyukai