Anda di halaman 1dari 21

AHLI -2 : Prof.Dr. Samidjo, S.H.,MH.

Lahir di Situbondo, tanggal lahir 10 Mei 1959, Jenis kelamin Laki-laki, kebangsaan Indonesia,
tempat tinggal di Jalan Purwo No. 23 Jakarta, agama Islam, pekerjaan Guru Besar Hukum
Pidana Universitas Salaka, pendidikan S-3;

Ahli mengaku tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan
Terdakwa.Selanjutnya ahli bersumpah menurut ajaran agama yang dianutnya, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya ;

Selanjutnya atas pertanyaan yang diajukan oleh Hakim Ketua, Ahli – 2 menerangkan sebagai
berikut :

Apakah saudara pada hari ini dalam keadaan


sehat secara jasmani dan rohani ?

Ya, Majelis Hakim yang Mulia, saya dalam


keadaan sehat untuk menghadiri persidangan
pada hari ini.

Saudara pada hari ini akan diperiksa sebagai


SAKSI AHLI dalam perkara tindak pidana
korupsi pada tanggal 7 Maret 2013 sekitar
pukul 10.00 WIB di Jakarta Pusat, atas nama
tersangka Asha Sagsha Nursoffa, apakah
saudara bersedia dan dapat memberikan
keterangan yang sebenarnya sesuai dengan
apa yang saudara ketahui dalam
pemeriksaan ini ?
Ya, saya bersedia memberikan keterangan yang
sebenarnya tentang apa yang saya
ketahui dalam pemeriksaan ini.

Silahkan saudara perlihatkan identitas saudara ?

Baik Majelis hakim.

Apakah benar saudara yang bernama


Prof.Dr.Samidjo, SH., MH ?

Ya, Benar Majelis Hakim

Apakah benar saudara menganut agama


kristen protestan ?

Benar Majelis Hakim

Apakah saudara bersedia di ambil sumpahnya ?

Ya, saya bersedia majelis.

Apabila keterangan yang saudara berikan di


bawah sumpah, ternyata keterangan yang
saudara berikan tidak sesuai yang sebenarnya,
apakah saudara bersedia dihukum baik
hukuman dari negara maupun hukuman dari
Tuhan ?
Saya bersedia Majelis

Saudara sebagai saksi ahli, coba ceritakan latar


belakang pendidikan formal serta pengalaman
kerja yang pernah saudara ikut ?
Saya menamatkan Strata 1 di Fakultas Hukum
Universitas Salaka, Indonesia Strata 2di
Universitas Pandega,dan Strata 3 di Fakultas
Hukum Universitas Salaka, Jawa Tengah dan
bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Hukum
Universitas Salaka di dan saya memiliki
jabatan sebagai salah satu guru besar luar biasa
hukum pidana di Universitas Salaka, Jawa
Tengah. Selain berprofesi sebagai dosen, saya
juga aktif dalam berbagai seminar hukum
pidana terkait tindak pidana khusus tingkat
nasional sebagai narasumber dan pembicara.
Apakah saudara pernah memberikan kesaksian
terkait kasus yang berhubungan dengan
tindak pidana korupsi ?
Ya Pernah Majelis Hakim. Saya penah
memberikan kesaksian dalam kasus mega
korupsi pengadaan alat kesehatan di
Kementerian Kesehatan tahun 2011, memberi
kesaksian dalam kasus penggelapan jabatan di
lingkungan Kementerian Pemuda dan Olahraga
tahun 2013, memberi kesaksian dalam kasus
korupsi pengadaan LPG oleh rekanan
Kementerian Minyak dan Gas tahun 2015.
Begitu kira-kira pengalaman saya dalam
memberikan kesaksian dalam kasus tindak
pidana korupsi.

Selanjutnya atas kesempatan yang diberikan Hakim Ketua, Hakim anggota I mengajukan
pertanyaan kepada ahli ke - 1 sebagai berikut :

Saudara saksi bagaiamana sebenanya modus


para pihak yang melakukan tindak pidana
korupsi ?

Sebagaimana yang telah dirilis oleh Komisi


Pemberantasan Korupsi, ada 18 Modus
Operandi melakukan tindak pidana korupsi
yakni :
(1) Pengusaha menggunakan pengaruh
pejabat pusat untuk "membujuk"
Kepala Daerah/Pejabat Daeerah
mengintervensi proses pengadaan
dalam rangka memenangkan
pengusaha, meninggikan harga atau
nilai kontrak, dan pengusaha tersebut
memberikan sejumlah uang kepada
pejabat pusat maupun daerah
(2) Pengusaha mempengaruhi Kepala
Daerah/Pejabat Daerah untuk
mengintervensi proses pengadaan agar
rekanan tertentu dimenangkan dalam
tender atau ditunjuk langsung, dan
harga barang/jasa dinaikkan (mark up),
kemudian selisihnya dibagi-bagikan
(3) Panitia pengadaan membuat spesifikasi
barang yang mengarah ke merk atau
produk tertentu dalam rangka
memenangkan rekanan tertentu dan
melakukan mark up harga barang atau
nilai kontrak
(4) Kepala Daerah/Pejabat Daerah
memerintahkan bawahannya untuk
mencairkan dan menggunakan
dana/anggaran yang tidak sesuai dengan
peruntukannya kemudian
mempertanggungjawabkan pengeluaran
dimaksud dengan menggunakan bukti-
bukti yang tidak benar atau fiktif
(5) Kepala Daerah/Pejabat Daerah
memerintahkan bawahannya
menggunakan dana/uang daerah untuk
kepentingan pribadi koleganya, atau
untuk kepentingan pribadi
kepala/pejabat daerah ybs, kemudian
mempertanggungjawabkan
pengeluaran-pengeluaran dimaksud
dengan menggunakan bukti-bukti yang
tidak benar, bahkan dengan
menggunakan bukti-bukti yang
kegiatannya fiktif
(6) Kepala Daerah menerbitkan peraturan
daerah sebagai dasar pemberian upah
pungut atau honor dengan
menggunakan dasar peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi
yang tidak berlaku lagi
(7) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan
pejabat legislatif daerah bersepakat
melakukan ruislag atas aset Pemda dan
melakukan mark down atas aset Pemda
serta mark up atas aset pengganti dari
pengusaha/rekanan
(8) Para Kepala Daerah meminta uang jasa
(dibayar dimuka) kepada pemenang
tender sebelum melaksanakan proyek
(9) Kepala Daerah menerima sejumlah uang
dari rekanan dengan menjanjikan akan
diberikan proyek pengadaan
(10) Kepala Daerah membuka rekening atas
nama kas daerah dengan specimen
pribadi (bukan pejabat dan bendahara
yang ditunjuk), dimaksudkan untuk
mepermudah pencairan dana tanpa
melalui prosedur
(11) Kepala Daerah meminta atau
menerima jasa giro/tabungan dana
pemerintah yang ditempatkan pada
bank
(12) Kepala Daerah memberikan izin
pengelolaan sumber daya alam kepada
perusahaan yang tidak memiiki
kemampuan teknis dan finansial untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya
(13) Kepala Daerah menerima
uang/barang yang berhubungan dengan
proses perijinan yang dikeluarkannya
(14) Kepala Daerah/keluarga/kelompoknya
membeli lebih dulu barang dengan
harga yang murah kemudian dijual
kembali kepada instansinya dengan
harga yang sudah di-mark up
(15) Kepala Daerah meminta bawahannya
untuk mencicilkan barang pribadinya
menggunakan anggaran daerahnya
(16)Kepala Daerah memberikan dana
kepada pejabat tertentu dengan beban
kepada anggaran dengan alasan
pengurusan DAU/DAK
(17) Kepala Daerah memberikan dana
kepada DPRD dalam proses
penyusunan APBD
(18) Kepala Daerah mengeluarkan dana
untuk perkara pribadi dengan beban
anggarandaerah
Menurut saudara apa itu Tindak Pidana korupsi ?

Begini Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi


adalah perbuatan yang buruk
atau penyelewengan uang negara atau
perusahaan dari tempat seseorang bekerja
untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Dalam kamus hukum "Black’s Law
Dictionary" Henry Campbell Black
menjelaskan pengertian korupsi “Suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-
hak dari pihak-pihak lain, secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain bersamaan
dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain”
Tindak pidana korupsi di Indonesia adalah
tindak pidana melawan hukum yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang
tindak pidana korupsi Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU KPK ) yang menyebutkan
“Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

Saudara saksi terkait tindak pidana


pencucian uang, bagaimana caranya kita
mengetahui bahwa tindak pencucian uang,
tindak pidana asalnya merupakan tindak
pidana korupsi ?
Seperti yang saya jelaskan tadi pak berkaitan
dengan tindak pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi maka hal tersebut dapat
diketahui dari pembuktian yang dilakukan,
tentu untuk menentukan terjadinya suatu
tindak pidana korupsi bukanlah hal yang
sederhana melainkan harus dibuktikan dengan
cermat dan teliti. Berkaitan dengan uang yang
dikorupsi biasanya itu digunakan untuk
kepentingan pribadi. Dalam penggunaan untuk
kepentingan pribadi itulah diusahakan agar
uang hasil tindak pidana korupsi tersebut tidak
diketahui dengan cara melakukan pencucian
uang, nah modus inilah yang harus digali oleh
penyidik maupun penuntut umum melalui
agenda pembuktian yang dilakukan. Untuk
melengkapi keterangan saya berikut saya
paparkan modus-modus dalam melakukan
tindak pidana pencucian uang yakni :
- Pertama, masyarakat harus sangat
waspada jika terjadi pengalihan dana
dari rekening giro instansi
pemerintah ke rekening tabungan
atas nama pribadi pejabat.
- Kedua, pihak bank khususnya juga
harus teliti karena maraknya
penggunaan identitas palsu untuk
membuka rekening yang akan
digunakan sebagai sarana penipuan.
Selain itu,
- Ketiga, pengawasan bank juga harus
ditingkatkan pada rekening pejabat
pemerintah berserta seluruh anggota
keluarganya yang rentan sebagai
sasaran penyuapan.
- Keempat, uang suap juga sering
diberikan dalam bentuk barang.
Walaupun barang tersebut dibeli atas
nama si pejabat tapi sumber
biayanya mungkin datang dari pihak
lain.
- Kelima, pembukaan beberapa
rekening atas nama orang lain juga
merupakan modus operandi yang
biasa dilakukan pelaku illegal
logging untuk menutupi identitasnya.
- Keenam, jasa asuransi pun mulai
sering digunakan sebagai modus
operandi pencucian uang. Biasanya
pelaku akan membeli polis asuransi
jiwa dengan premi tinggi yang
langsung dibayarkan pada saat
penutupan polis tersebut. Selang
beberapa waktu, polis akan
dibatalkan.
- Ketujuh, perusahaan bermodal kecil
juga dapat digunakan sebagai
pemilik polis asuransi yang berpremi
besar untuk menutupi identitas asli
pelaku pencucian uang.
- Kedelapan, transfer uang dari luar
negeri harus dicurigai karena besar
kemungkinan dana tersebut adalah
hasil dari perbuatan melawan hukum
yang dikembalikan setelah
diungsikan ke luar negeri.
- Kesembilan, restitusi pajak besar
yang tidak sesuai dengan profil
perusahaan pembayar pajak, juga
dapat dicurigai sebagai upaya
pencucian uang, Terakhir popular
disebut dengan mark up yaitu
pencamtuman anggaran yang jauh
lebih besar daripada biaya yang
seharusnya dilakukan
Selanjutnya atas kesempatan yang diberikan oleh Hakim Ketua Majelis, maka Hakim Anggota 2
diberikan kesempatan untuk bertanya yakni sebagai berikut :

Saudara saksi bagaimana sanksi yang


diberlakuakan apabila dkenakan kualifikasi
pasal 55 KUHP ?
Mengenai kualifikasi pengenaan pasal 55
KUHP harus dapat diketahui mengenai jenis
jenis dari penyertaan dilakukannya tindak
pidana atau biasa disebut dengan delneming.
Terkait dengan sanksi yang dikenakan
terhadap kualifikasi pasal 55 jaksa penuntut
umum dalam hal ini harus berhati hati dalam
menerapkan sanksi, sebab kualifikasi pasal
terhadap perbuatan pidana dalam pasal 55
berbeda-beda pengaturan sanksinya sesuai
dengan kualifikasi perbuatan yang
dilakukan
Saudara saksi berkaitan dengan pengenaan
pasal 55, bagaimanakah penentuan terdakwa
jika terdapat kejahatan yang dilakukan
terdapat kualifikasi pasal 55 ?
Jika dicermati beberapa ketentuan
perundang undangan pidana, maka Terdapat
lima kategori pemidanaan bagi orang yang
MEMBANTU melakukan “TINDAK
PIDANA”, yaitu:

1. Pembantu “TIDAK DIPIDANA;”


2. Pembantu “PIDANANYA
DIKURANGI SEPERTIGA” dari pidana
pokok yang diancamkan atas kejahatan;”
3. Pembantu “DIPIDANA PENJARA
SELAMA-LAMANYA 15 TAHUN;”
4. Pembantu “DIPIDANA SAMA
DENGAN PELAKU;”
5. Pembantu “DIPIDANA LEBIH
BERAT DARI PADA PELAKU.”
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
“PEMBANTUAN DALAM TINDAK
PIDANA,” dikenal dengan istilah
“MEDEPLICHTIGHEID” atau “GEHILFE”
atau “ACCOMPLICE”,

Jika kita berbicara pembantuan, maka


tentunya terdapat “ORANG YANG
DIBANTU = PELAKU TINDAK
PIDANA” (PLEGER) dan “ORANG YANG
MEMBERIKAN BANTUAN ATAS
TERWUJUDNYA TINDAK PIDANA =
PEMBANTU” (MEDEPLICHTIG).

Pelaku adalah orang yang dengan sendirian


mewujudkan seluruh unsur tindak pidana.
Sedangkan Pembantu adalah orang yang
memberikan dukungan/bantuan atas
terlaksananya tindak pidana. Berbeda halnya
dengan Pelaku, Seorang pembantu sama
sekali tidak punya kepentingan terhadap
terwujudnya Tindak pidana, dia hanya
memberikan bantuan semata. Jadi
kesengajaannya hanya tertuju pada
pemberian bantuan.

Ketentuan umum mengenai pembantuan


diatur dalam Pasal 56 KUHP, sebagai
berikut:

1. Dihukum sebagai orang yang


membantu melakukan kejahatan:
Orang yang dengan sengaja membantu pada
waktu “kejahatan” itu dilakukan.
2. Orang yang dengan sengaja memberi
kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk
melakukan”kejahatan” itu.
Bertolak dari Pasal 56 KUHP tersebut di
atas, maka dapat dilihat bahwa ketentuan
tersebut menggunakan istilah
KEJAHATAN. (Tidak menggunakan istilah
TINDAK PIDANA), dan sebagaimana
diketahui bahwa Tindak pidana itu terdiri
atas dua macam yakni KEJAHATAN dan
PELANGGARAN

Saudara ahli apabila bagaimana pendapat


saudara mengenai perbuatan berlanjut ?

Jika mengenai perbuatan berlanjut majelis


hakim hal itu dapat diamati dari kualifikasi
pasal 64 KUHP yang biasa disebut dengan
concursus berlanjut .Berkaitan dengan
perbuatan berlanjut ini yang mulia perlu
diperhatikan penjelasan dari Memorie Van
Toelichtig ada kriteria kriteria perbuatan-
perbuatan berlanjut sehingga dapat
dipandang sebagai perbuatan berlanjut ,
yakni :

- Harus ada satu keputusan kehendak


- Masing- masing perbuatan harus sejenis
- Tenggang waktu antara perbuatan-
perbuatan itu tidak terlalu lama

Berkaitan dengan tenggang waktu antara


perbuatan-perbuatan berlanjut hal tersebut
dibatasi pada putusan hakim yang bersifat
tetap ( inkracht ).

Berkaitan dengan sistem pemberian pidana


bagi perbuatan berlanjut menggunakan
sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan
ancaman yang terberat. Dan apabila
berbeda-beda maka dkenakan pidana pokok
yang terberat. Saya raa itu yang bisa saya
jelaskan mengenai perbuatan berlanjut.

Saudara ahli bagaimana cara melihat


keputusan kehendak yang satu dalam
perbuatan berlanjaut ?

Terkait dengan satu keputusan kehendak,


dapat kita amati dari konsepsi
pertanggungjawaban pidana dengan
pembuktian unsur kesalahan dari subjek
hukum yang bersangkutan, yakni meliputi
unsur subjektif dan unsur objektifnya
majelis hakim. Unsur subjektif berarti
mengacu pada mens rea atau niat dari
pelaku tindak pidana, hal ini menunjukka n
satu kesatuan kehendak dari diri pelaku
tindak pidana. Ada orang yang
beranggapan dengan berpikir bagaimana
cara untuk membuktikan atau melihat niat
dari pelaku tindak pidana, maka cara untuk
melihatnya adalah dengan mengamati
realisasi dari niat pelaku melalui tindakan
yang dilakukan atau biasa disebut dengan
actus rea , dan biasa disebut dengan unsur
objektif.

Lalu setelah hakim anggota 2 selesai mengajukan pertanyaan, maka atas kesempatan yang
diberikan oleh hakim ketua majelis, penasehat hukum diberikan kesempatan untuk bertanya
dengan pertanyaan sebagai berikut :

Saudara ahli berkaitan dengan


pertanggunggjawaban pidana yang
melibatkan korporasi siapa yang dapat
dimintai pertanggungjawaban ?

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana


yang melibatkan korporasi majelis hakim, maka
ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk
menjelaskan pertanggungjawaban pidana dari
suatu korporasi, yakni :

1. Teori Strict Liability (tanggung jawab


mutlak) yaitu pertanggungjawaban
pidana yang harus dilakukan tanpa
harus dibuktikan unsur kesalahannya
2. Teori vicarious liability
(pertanggungjawaban pengganti) yaitu
suatu pertanggung jawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas
perbuatan orang lain.
3. Teori doctrine of delegation yaitu teori
yang menjadi dasar pembenar untuk
membebankan pertanggung jawaban
pidana yang dilakukan oleh pegawai
korporasi, dengan adanya
pendelegasian wewenang kepada
seseorang untuk mewakili kepentingan
perusahaan
4. Teori identifikasi yaitu teori yang
digunakan untuk memberikan
pembenaran pertanggung jawaban
pidana korporasi, meskipun pada
kenyataannya korporasi bukanlah
sesuatu yang bisa berbuat sendiri dan
tidak mungkin memiliki mens rea
karena tidak memiliki kalbu, artinya
korporasi dapat melakukan tindak
pidana secara langsung melalui orang-
orang yang memiliki hubungan erat
dengan korporasi.
5. Teori corporate organs, yaitu teori
menunjuk pada orang-orang yang
menjalankan kewenangan dan
pengendalian dalam badan hukum,
dengan kata lain, orang yang
mengarahkan dan bertanggung jawab
atas segala gerak gerik badan hukum,
orang yang menetapkan kebijakan
korporasi, dan orang yang menjadi otak
dan pusat syaraf dari korporasi
tersebut.dengan demikian otak dari
korporasi merupakan organ penting dari
korporasi sehingga bisa dimintakan
pertanggung jawaban pidana korporasi.
Jadi saudara ahli berkaitan dengan teori yang
saudara jelaskan mana yang lebih relevan
digunakan terkait pertanggungjawaban
korporasi ?
Maaf pak saya belum selesai menjelaskan dalil
saya. Terkait teori diatas saya menggaris
bawahai dua teori yakni teori strict liability dan
teori Vicarious Liability. Berdasarkan strict
liability dan vicarious liability, Kesalahan yang
dibebankan kepada korporasi merupakan
kesalahan yang dilakukan pengurus korporasi.
Karena korporasi tidak dapat melakukan tindak
pidana tanpa melalui perantara pengurusnya
baik berdasarkan teori pelaku fungsional
maupun teori identifikasi, (Teori tentang
pertanggungjawaban korporasi diantaranya
teori identifikasi yaitu bahwa
perbuatan/kesalahan pejabat senior
diidentifikasi sebagai perbuatan / kesalahan
korporasi), maka penentuan kesalahan
korporasi adalah dengan melihat apakah
pengurus, yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi memiliki kesalahan. Jika jawabannya
adalah iya, maka korporasi dinyatakan bersalah
atas tindak pidana yang dilakukannya,
demikian juga sebaliknya. Kesalahan yang ada
pada diri pengurus korporasi dialihkan atau
menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi ada
empat :
1. Pengurus korporasi yang melakukan
tindak pidana, pengurus yang
bertanggungjawab
2. Korporasi yang melakukan tindak
pidana , pengurus yang
bertanggungjawab
3. Korporasi yang melakukan tindak
pidana, korporasi yang
bertanggungjawab.
4. Pengurus dan korporasi yang
melakukan tindak pidana, maka
keduanya yang harus bertanggung
jawab.
Penentuan kesalahan korporasi tersebut dapat
dikaitkan dengan tahap kedua pengakuan
korporasi sebagai subjek hukum pidana yaitu
korporasi melakukan tindak pidana tapi
tanggungjawab pidana dibebankan kepada
pengurus. Hal yang dapat dipakai sebagai
alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan
sekaligus yang bertanggung jawab adalah
karena dalam berbagai delik ekonomi dan
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi
atau kerugian yang diderita masyarakat dapat
demikian besarnya. Korporasi juga kerap
dijadikan tempat penampungan hasil
kejahatan yang belum tersentuh, padahal
seharusnya bisa.
Penaehat hukum menyatakan telah selesai dengan pertanyaannya, maka atas kesempatan Ketua
Majelis Hakim Penuntut Umum dipersilahkan untuk bertanya yakni sebagai berikut :

Saudara ahli berkaitan dengan keterangan


saudara yang menyatakan bahwa jika tindak
pidana yang dilakukan berkaitan dengan
korporasi, apakah serta merta atribusinya
pertanggungjawabannya adalah kepada
pengurus ?
Sesuai dengan penjelasan yang saya uraikan
tadi pak, atribusi pertanggungjawabannya
memang kepada pengurus. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang ada.
Bagaimana jika kasus yang terjadi
memenuhi unsur kualifikasi yang terdapat
dalam pasal 55 KUHP, apakah pengurus
masih tetap dimintai pertanggungjawaban ?
Jika seperti itu pak, maka harus dilihat kembali
peran serta dari masing-masing pihak, seperti
yang saya jelaskan semula pak, pasal 55
mengandung banyak kualifikasi perbuatan, dan
harus dilihat dengan cermat perbuatan dari
masing-masing dengan pembuktian yang
dilakukan dengan hati-hati, sebab berbeda
kualifikasi perbuatan, berbeda pula sanksi yang
dikenakan tergantung pada peran serta yang
dilakukan oleh masing-masing pihak. Terkait
dengan pengurus korporasi harus dilihat juga
apakah perbuatan pidana tersebut dilakukan
dalam pelaksanaan kegiatan usaha dari
korporasi yang bersangkutan, jika memang
demikian maka pengurus korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban dengan menilik
kembali keikutsertaan dan peran dari pengurus
korporasi.
Berkenaan dengan pendapat saudara ahli
mengenai pembuktian dalam tindak pidana
pencucian uang, ada yang menyatakan
bahwa tindak pidana asalya tidak perlu
dibuktikan telebiih dahulu, namun ada yang
menyatakan bahwa pembuktian tindak
pidana pencucian uang harus dibuktikan
bersama dengan tindak pidana asalnya ?
Begini pak, terkait pembuktian tindak pidana
pencucian uang para ahli hukum memang masih
memiliki pandangan yang berbeda, ada yang
menyatakan bahwa tidak perlu dibuktikan terlebih
dahulu tindak pidana asalanya dalam artian bahwa
antara tindak pidana asal dengan tindak pidana
pencucian uang dapat diadili secara terpisah, akan
tetapi ada juga yang menyatakan bahwa antar
tindak pidana asal dengan tindak pidana
pencucian uang haruslah diperiksa secara
bersamaan dengan pertimbangan bahwasanya
tindak pidana pencucian uang merupakan tindak
pidana bawaan dari tindak pidana asal. Oleh
karena itu, tindak pidana pencucian uang tidak
terjadi apabila tindak pidana asalnya tidak terbukti
terlebih dahulu, dan juga tindak pidana pidana
asal harus dibuktikan terlebih dahulu atau dapat
juga dilakukan pemeriksaan secara bersamaan.
Sebagai perbandingan pak, kita dapat
memperhatikan Putusan MK No. 77/PUU-
XII/2014. Begitu kira kira yang dapat saya
jelaskan pak.

Anda mungkin juga menyukai