Anda di halaman 1dari 4

M.

Rifky Meidiansyah

04011381722176

Gamma 2017

Learning Issue
1. Pemeriksaan fisik umum dan spesifik pada kasus

- Tekanan Darah (TD) atau Tensi (T)

TD Sistol TD Diastol Klasifikasi TD

< 90 Hipotensi

90 ‒ 119 dan < 80 Normal

120 ‒ 139 atau 80 ‒ 89 Prehipertensi

140 ‒ 159 atau 90 ‒ 99 Hipertensi derajat 1

≥ 160 atau ≥ 100 Hipertensi derajat 2

- Nadi (N) dan detak jantung (HR: Heart Rate)

Frekuensi N atau HR

N atau HR Klasifikasi Diagnosis Banding

< 60 Bradikardi

60 ‒ 100 Normal Tak ada kelainan


> 100 Takikardi

Hubungan HR dan N

Hubungan HR dan N Bentuk Nadi Diagnosis Banding

(HR - N) ≤ 10 Tak ada kelainan

(HR - N) > 10 Pulsus defisit AF

Tegangan Nadi

Tegangan Nadi Bentuk Nadi Diagnosis Banding

Tidak berubah Tak ada kelainan

Kuat dan lemah berubah-ubah Pulsus alternan Gagal jantung

Elastisitas Pembuluh Nadi

Elastisitas Pembuluh Nadi Diagnosis Banding

Elastis Tak ada kelainan

Keras seperti kawat Aterosklerosis


- Frekuensi Pernapasan atau Respiration Rate (RR)

RR Klasifikasi

< 12 Bradipnea

14 ‒ 20 Eupnea

> 20 Takipnea (napas cepat)

- Suhu atau Temperatur (t)

Suhu (°C) Kesan Manajemen

Untuk neonatus:
< 36,5 Hipotermia
 Inkubator
 Perawatan bayi lekat (KMC: Kangaroo mother care)
36,5 ‒ 37,5 Normal  Minum yang cukup
 Minum yang banyak
 Kompres air hangat seluruh permukaan tubuh
37,5 ‒ 37,9 Demam
 Baju yang tipis
 Atur suhu lingkungan
 Sama seperti manajemen demam di atas
 Koreksi suhu dengan terapi cairan
≥ 38 Demam tinggi
 Mandi air hangat
 Antipiretik

Pada pemeriksaan fisik spesifik untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan pada


kelenjar limfe, dokter akan merasakan di berbagai lokasi dari kelenjar limfe yang ada
pada tubuh untuk mencari pembengkakan atau daerah sensitif. Bisa juga dengan bertanya
tentang gejala yang terkait seperti perih pada daerah pembengkakan di sekitar leher,
ketiak, dan lipat paha serta keringat malam.

2. Pencegahan penularan kasus ini dan pemeriksaan massal


Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara yaitu:
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara
penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan
tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya.
3. Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan perubahan
konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian
lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate.

Indonesia menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional


pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasioanal tahun
2004-2009.
Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis
global melalui 2 pilar kegiatan yaitu:
1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan pemberian obat pencegahan
massal (POPM) filariasis di daerah endemis sekali setahun selama 5 tahun
berturut-turut. Obat yang dipakai yaitu DEC 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan
Albendazole 400 mg.
2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis
mandiri.

Selain itu, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020).
Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol
setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik
yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya.

Daftar Pustaka

https://id.wikibooks.org/wiki/Catatan_Dokter_Muda/Tanda_Vital (diakses pada tanggal


15 Agustus 2018)

Masrizal, M. (2012). Penyakit Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 7(1), 32-38.

PB Sopi, I. I., & Adnyana, N. W. D. (2013). Cakupan pengobatan massal filariasis di Kabupaten
Sumba Barat Daya tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan, 12(1 Mar), 19-24.

Anda mungkin juga menyukai