Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Data World Health Organization (WHO) menunjukkan sebanyak 99% kematian ibu

akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Jika

dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara

persemakmuran rasio kematian ibu di negara berkembang merupakan yang tertinggi dengan

450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup. 1

Angka kematian maternal (maternal mortality) merupakan salah satu indikator untuk

menilai derajat kesehatan masyarakat. Angka kematian maternal di Indonesia menempati

urutan ketiga tertinggi di Asia setelah Timor Leste dan Bangladesh. 2 Berdasarkan Survey

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) masih

tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Target global SDG’s (Sustainable

Developmental Goals) adalah menurunkan angka kematian ibu sebesar 70 per 100.000

kelahiran hidup pada tahun 2030. Mengacu dari kondisi saat ini, potensi untuk mencapai

target SDG’s untuk menurunkan AKI adalah off track, artinya diperlukan kerja keras dan

sungguh-sungguh untuk mencapainya.1

Penyebab kematian ibu cukup kompleks, dapat digolongkan atas faktor-faktor

reproduksi, komplikasi obstetrik, pelayanan kesehatan dan sosio-ekonomi. Penyebab

komplikasi obstetrik langsung telah banyak diketahui dan dapat ditangani, meskipun

pencegahannya terbukti sulit. Menurut Departemen Kesehatan RI, penyebab obstetrik

langsung sebesar 90%, sebagian besar perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi

(11%). Penyebab tak langsung kematian ibu berupa kondisi kesehatan yang dideritanya

misalnya Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (Hb <11 g%) 40% dan penyakit

kardiovaskuler.1
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi setelah bayi

lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 ml setelah prsalinan abdominal. Kondisi dalam

persalinan menyebabkan kesulitan untuk menetukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka

batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang telah

menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung,

berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi

>100/menit, kadar Hb >8 g /dL.3

Frekuensi perdarahan post partum berdasarkan laporan-laporan baik dinegara maju

maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari amgka

tersebut yang di, diperoleh gambaran etiologi antara lain : antonia uteri(50-60%) sisa plasenta

(23-24%), retensio plasenta(16-17%), laselerasi jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-

0,8%). 3

Saat persalinan penyebab perdarahan dapat diakibatkan oleh perlukaan pada portio

merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan. Perlukaan tersebut dapat

menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab di tempat terdapat

ramus desenden dari a.uterina. Perlukaan portio ini dapat terjadi pada persalinan normal tapi

lebih sering terjadi pada persalinan dengan tindakan – tindakan pada pembukaan persalinan

belum lengkap.4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERDARAHAN POST PARTUM (HPP)

I. Definisi
Perdarahan post partum (HPP) adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi

setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi

dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi,

maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal

dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah,

limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg,

denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.3

Sebenarnya pada wanita yang hamil normal akan mengalami penambahan volume

darah sekitar 30-60%, hal ini menyebabkan adanya toleransi pada wanita yang mengalami

perdarahan pascasalin. Selain itu sekitar 5% wanita yang melahirkan dengan persalinan

normal mengalami perdarahan > 1000ml.1,4,7 Oleh karena itu, sebagai patokan, setelah

persalinan selesai maka keadaan disebut “aman” bila kesadaran dan tanda vital ibu baik,

kontraksi uterus baik, dan tidak ada pedrdarahan aktif/merembes dari vagina.5

Perdarahan post partum dibagi menjadi:6

a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum

hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala

III.

b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum

hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada

masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.

II. Etiologi 7,8

1. Perdarahan dari tempat melekatnya plasenta

a. Hipotonia – atonia uteri


b. Retensio Plasenta

2. Trauma jalan lahir

a. Episiotomi yang melebar

b. Robekan perineum, vagina, atau cervix

c. Ruptur uteri

3. Gangguan koagulasi

Penyebab HPP dikenal sebagai 4 T, yaitu Tone, Tissue, Trauma dan Thrombin.

•Etiologi early/primer HPP biasanya disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, laserasi jalan

lahir, ruptura uteri, inversio uteri, plasenta akreta, dan gangguan koagulasi herediter.

•etiologi late/sekunder HPP biasanya disebabkan oleh sisa plasenta dan subinvolusi dari

placental bed

III. Epidemiologi 2,3

Frekuensi perdarahan post partum berdasarkan laporan-laporan baik dinegara maju

maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka

tersebut yang di, diperoleh gambaran etiologi antara lain : antonia uteri(50-60%) sisa plasenta

(23-24%), retensio plasenta(16-17%), laselerasi jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-

0,8%).

Insiden kejadian perdarahan postpartum di RSUP Dr. M. Djamil Padang didapatkan

sebesar 4,40% dari semua persalinan. Perdarahan postpartum menempati urutan kedua dari

sepuluh kasus obstetri terbanyak di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2005. usia ibu

yang mengalami perdarahan postpartum di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2012 sampai

dengan April 2013 yang tertinggi adalah usia 20 - 34 tahun sebesar 76,6%. Hasil ini berbeda
dengan penelitian Sulistiyani di RS Panti Wilasa Semarang tahun 2010 dengan tingkat

kejadian perdarahan postpartum terbanyak pada usia <20 dan >35 tahun yaitu sebesar 52,9%

etiologi kasus perdarahan postpartum di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2012

sampai dengan April 2013 yang terbanyak adalah sisa plasenta (35,9%), diikuti oleh retensio

plasenta (25,0%), robekan jalan lahir (25,0%), atonia uteri (12,5%), inversio uteri (1,6%) dan

kelainan darah (0%). Hal ini sedikit berbeda dengan kasus perdarahan postpartum di RS

Adam Malik Medan dan RS Pirngadi Medan pada tahun 2004 dengan etiologi terbanyak

adalah atonia uteri. Data dari RSUD kabupaten Jombang pada tahun 2013 ibu yang HPP

sebanyak 71 orang. Yang terdiri dari HPP dengan sisa plasenta 22 orang, HPP dengan atonia

uteri 11orang.

Pada bagian plasenta yang tertinggal biasanya dapat mengalami nekrosis tanpa

deposit fibrin yang pada akhirnya membentuk polip plasenta. Apabila serpihan polip plasenta

terlepas dari miometrium, dapat terjadi perdarahan.

IV. Patofisiologi

Hemostasis di Placental Site

Mendekati waktu persalinan, diperkirakan bahwa setidaknya 600 mL/menit darah

mengalir melalui ruang intervillous. Aliran ini dibawa oleh arteri spiral, yang kira-kira

sebanyak 120, dan vena yang menyertainya. Dengan pemisahan plasenta, pembuluh ini

teravulsi. Hemostasis di tempat implantasi plasenta dicapai pertama kali oleh kontraksi dari

miometrium yang memampatkan sejumlah pembuluh darah besar. Hal ini berikutnya diikuti

oleh gumpalan dan obliterasi dari lumen tersebut. Dengan demikian, perlekatan dari potongan

plasenta atau bekuan darah besar yang mencegah efektivitas kontraksi miometrium dapat

mengganggu hemostasis di lokasi implantasi. Oleh karena itu tampak jelas bahwa perdarahan

postpartum yang fatal dapat terjadi karena atonia uteri meskipun koagulasi normal.

Sebaliknya, jika miometrium pada tempat implantasi berkontraksi dengan sangat baik,
perdarahan yang fatal tidak mungkin terjadi bahkan dalam keadaan ketika koagulasi mungkin

terganggu parah.12

V. Manifestasi klinis

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


- Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri

lembek. Bekuan darah pada

Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi

lahir telentang akan

menghambat aliran

darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir

setelah bayi lahir Lemah

Uterus berkontraksi dan keras Menggigil

Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta

menit traksi berlebihan

Perdarahan segera Inversio uteri akibat

Uterus berkontraksi dan keras tarikan

Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta

tidak lengkap tetapi tinggi fundus

Perdarahan segera tidak berkurang


Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri

Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung

Tampak tali pusat (bila

plasenta belum lahir)


Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta

pada uterus (terinfeksi atau tidak)

Perdarahan sekunder
Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum8

Walaupun perdarahan pascasalin disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi didapatkan gejala

klinis yang umum yaitu :

1. Perdarahan pervaginam, yang terus menerus setelah bayi lahir

2. Bilaberat bisa didapatkan tanda-tanda syok seperti, lemah, gelisah, tekanan darah sulit

dinilai, nadi cepat dan lemah, serta penurunan kadar Hb (8gr%)

3. Gejala lain seperti, pucat, ekstremitas dingin, mual.9

Volume
Tekanan Darah Tanda dan
Kehilangan Derajat Syok
(sistolik) Gejala
Darah
Palpitasi,
500-1.000 mL
Normal takikardia, Terkompensasi
(10-15%)
pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
takikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg)
berkeringat
1500-2000 mL Penurunan sedang Gelisah, pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL Penurunan tajam Pingsan,
Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg) hipoksia, anuria

VI. Diagnosis

Diagnosis pada perdarahan pascasalin harus dicari penyebab utamanya. Dapat dibuat

diagnosis :
1. Anamnesis9

a. Perdarahan setelah anak lahir, tetapi plasenta belum lahir, darah yang keluar

biasanya berwarna merah segar. Hal ini biasa disebabkan oleh robekan jalan

lahir.

b. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri.

2. Pemeriksaan fisik 8

Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil,

ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus

3. Pemeriksaan obstetri 8

Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan

mungkin karena luka jalan lahir

4. Pemeriksaan ginekologi 8

Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada

pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa

placenta. Memeriksa plasenta, apakah lengkap atau tidak kotiledonnya dan selaput

ketubannya. Eksplorasi cavum uteri, untuk mencari bekuan darah atau sisa plasenta

dan selaput ketuban, robekan rahim.

Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium7,8,10

 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar

hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.

 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode

antenatal.

 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

b) Pemeriksaan radiologi 7,8,10


 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan

penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium

atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat

adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta.

 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan

resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum

seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas

dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

Pemantauan keadaan ibu pascasalin sangatlah penting, karena pedarahan mungkin

terjadi secara cepat dan berat, tetapi bisa juga terjadi perlahan-lahan dan terus menerus

sehingga bisa juga menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan syok maupun pre syok. Maka dari

itu penting sekali pada setiap persalinan kita pantau kadar darah ibu secara rutin, selain itu

perlu pengukuran tekanan darah, nadi, pernafasan, serta kontraksi dari uterus ibu dan

perdarahan selama 1 jam.9

VII. Penatalaksanaan

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1)

resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)

identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.10

 Resusitasi cairan10

Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat

memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu

dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling

tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan

dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.


Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam

volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses

intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang

ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko

terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post

partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat

dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.

Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada

penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu

penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang

intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan

penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan

post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post

partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan

infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak,

biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.

Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek

yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan

NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian

koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.

 Transfusi Darah10

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan

akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun

telah dilakukan resusitasi cepat.


PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi.

Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen

yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang

dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100

mL NS pada masing-masing unit.

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol


Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal

pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg

fisiologis dengan

tetesan cepat

IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam

larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal

fisiologis dengan Bila masih

40 tetes/menit diperlukan, beri

IM/IV setiap 2-4

jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau

per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis


Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi

atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma

bolus hipertensi
Tabel 3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

A. Penatalaksanaan Umum8,11

Penanganan pada perdarahan pascasalin ditujukan untuk mengembalikan sirkulasi darah

normal, maka perlu dilakukan tindakan secara cepat dan tepat. Terapi yang terbaik adalah

pencegahan. Maka dari itu perlu kita melakukan :


1. Penilaian keadaan pasien secara tepat

2. Pimpin persalinan yang mengacu pada persalinan yang bersih dan aman

3. Lakukan observasi secara ketat selama 2 jam pascasalin, dan dilanjutkan selama 4 jam

pasca persalinan.

4. Lakukan penilaian klinik dan siapkan keperluan untuk pertolongan darurat dan untuk

persiapan dalam menghadapi komplikasi

5. Atasi syok

6. Pastikan kontraksi uterus baik (keluarkan bekuan darah, masase uterus, uterotonika 10

IU IM, lanjutkan 20 IU dalam 500cc RL/NS 40 tetes/menit)

7. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan periksa kemungkinan robekan jalan lahir

8. Bilaperdarahan berlanjut, uji waktu pembekuan

9. Kateterisasiuntuk memantau output cairan

10. Cari penyebab dan atasi masalahnya.

11. Setelah perdarahan teratasi(24jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadar Hb :

a. Jika Hb kurang dari 7g/dL atau Ht kurang dari 20%(Anemia berat). Berikan

transfusi darah dan sulfas ferrous atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat

400mcg per oral sekali sehari selama 3 bulan

b. Setelah 3 bulan, lanjutkan dengan sulfas ferrous atau ferrous fumarat 60mg

ditambah asam folat 400mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.

c. Jika Hb 7-11g/dL, berikan sulfas ferrous atau ferous fumarat 60mg ditambah asam

folat 400mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.

d. Jika didaerah endemis cacing gelang(prevalensi 20% atau lebih), berikan

albendazole 400mg per oral sekali atau mebendazole 500mg per oral sekali atau

100mg dua kali sehari selama 3 hari, atau levamisole 2,5mg/kgBB per oral sehari

sekali selama 3 hari, atau pyrantel 10mg/kgBB per oral sekali sehari selama 3 hari.
e. Pada daerah endemis tinggi(prevalensi 50% atau lebih) berikan terapi dosis

tersebut selama 12 minggu setelah dosis pertama.

Tindakan-tindakan pendukung: 12

1. Dalam keadaan perdarahan yang berlebihan, segera dilakukan pengeluaran

plasenta dengan tangan daripada menunggu lahir spontan. Sementara itu

darah dipersiapkan untuk kemungkinan transfusi.

2. Inspeksi dengan teliti ke dalam saluran genital dengan pencahayaan yang

cukup.

3. Hentikan pemberian anestesi umum,oksigen diberikan dengan sungkup muka

4. Sampai darah tersedia, plasma ekspander seperti RL harus dipakai, minimum

1 liter PRC atau darah segar harus ditranfusikan.

5. Perhitungkan resiko-resiko dari tranfusi komponen komponen darah dewasa.

6. Kalau tekanan darah menurun, tinggikan kaki

7. Pada atonia uteri, dianjurkan melakukan pijatan pada rahim dan kompresi

pada aorta

8. Jarang sekali diperlukan tranfusi trombosit kriopresipitat atau plasma segar

yang dibekukan. Pemeriksaan fungsi koagulasi(PTT,PT, hitung trombosit)

harus dilakukan setelah pemberian setiap 5-10 unit darah. Jika ada

hipofibrinogenemia, haruslah diberikan fibrinogen dalam kriopresipitat atau

plasma segar yang dibekukan secara IV. Jika ada trombositopenia berat

(20.000/mm3 atau kurang), harus diberikan 6-10 pak trombosit untuk

menaikkan hitung trombosit sebesar 15.000-60.000/mm3

9. Pemeriksaan USG untuk mengetahui adanya sisa plasenta yang tertahan di

dalam rahim pada perdarahan post partum akut atau yang tertunda sangat

berguna sekali.
B. Penatalaksanaan khusus berdasarkan etiologi

Penatalaksanaan Atonia uteri12,13

- Lakukan penilaian klinik

- Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan masase

uterus

- Derivat oksitosin

20-40 unit oksitosin dalam satu liter cairan IV pada kecepatan yang cukup untuk

mempertahankan rahim dalam keadaan kontraksi.13

- Derivate ergot

Jika pemberian infuse oksitosin cepat tidak efektif, maka diberikan

metilergonovin 0,2 mg IM atau IV. Hal ini akan menstimulasi uterus untuk

berkontraksi dengan baik untuk mengendalikan perdarahan. Dengan pemberian

IV dapat menyebabkan hipertensi, terutama pada wanita dengan preeklampsi.12

- Prostaglandin

15-methyl derivate dari prostaglandin F2α (carboprost tromethamine)pada

pertengahan tahun 1980 disetujui penggunannya untuk mengatasi atonia uteri

oleh Food and Drug Administration. Dosis inisial yang direkomendasikan

adalah 250µg (0,25 mg) diberikan IM, dan dapat diulang jika perlu dalam

interval 15 sampai 90 menit. Pemberian carboprost dapat menimbulkan diare,

hipertensi, muntah, demam, flushing, dan takikardi.

Pemberian per rectal prostaglandin E2 20 mg suppositoria sudah digunakan

untuk mengatasi atonia uterus, tapi belum ada penelitian klinikal trial.13
- Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal,

lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir

- Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan

- Lakukan tes waktu pembekuan untuk konfirmasi sistem pembekuan darah

- Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetapi masih terjadi perdarahan lakukan

tindakan spesifik sebagai berikut1:

- Gunakan kompresi uterus bimanual. Teknik ini berupa penekanan dinding posterior

uterus dengan tangan pada abdomen ditambah penekanan dinding anterior uterus

melalui vagina dengan tangan satunya lagi.

- Mencari pertolongan

- Tambahkan infus satu lagi supaya oksitosin dapat diberikan bersamaan dengan

tranfusi darah.

- Mulai tranfusi darah.

- Eksplorasi uterus secara seksama untuk melepaskan sisa-sisa plasenta

- Lakukan inspeksi pada serviks dan vagina juga.

- Pasang foley kateter untuk monitor urine output.

1. Kompresi bimanual eksternal

Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan

kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang

keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga

uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehatan rujukan. Bila

belum berhasil, coba dengan kompresi bimanual internal.

2. Kompresi bimanual internal

Uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan

dalam untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium (sebagai pengganti


mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi

ini bila perdarahan berukuran atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi

kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta abdominalis.

3. Kompresi aorta abdominalis

Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut.

Genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus

dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang

tepat, akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat

hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.


Gambar 1 Kompresi Bimanual Interna12

Gambar 2 Kompresi Bimanual Eksterna12

Tindakan operatif

Dilakukan jika prosedur diatas tetap tidak dapat menghentikan perdarahan

a)Ligasi arteri uterina

Perut dibuka, rahim ditinggikan dengan tangan operator, dan daerah pembuluh

darah rahim di dalam ligamentum latum bagian bawah dibuka. Dengan menggunakan

jarum yang besar dan benang chromic catgut atau vicryl no.1, dibuat sebuah jahitan

melalui bagian terbesar segmen bawah otot rahim, 2-3 cm medial dari pembuluh

darah. Pembuluh-pembuluh darah itu diikat tetapi tidak dipotong. Haid dan

kehamilan tidak terpengaruh.11


Gambar 3. Ligasi a.uterina

b)Ligasi arteri hipogastrika

Arteri iliaca communis dan cabang-cabangnya yaitu arteri iliaca externa dan

arteri iliaca interna (hypogastrica) dipalpasi dan dilihat melalui peritoneum posterior.

Ureter menyilang di depan percabangan a. Iliaca communis, dan perlu diidentifikasi

untuk mencegah kerusakan yang potensial. Peritoneum posterior ditegangkan dan

disayat dalam arah memanjang setinggi asal a.iliaca interna. Dua buah jahitan benang

sutra no 2-0 ditempatkan mengelilingi a.iliaca interna berjarak 1 cm dan kemudian

diikat pada tiap sisi.11


Gambar 4. ligasi a. iliaca interna

c) Histerektomi

Bila prosedur-prosedur di atas tidak efektif atau bila waktu tidak memungkinkan,

haruslah dilakukan histerektomi. Kematian setelah atau saat histerektomi dilakukan

biasanya adalah sebagai akibat keterlambatan melakukan operasi sampai keadaan

pasien sudah sangat berat. 13

d) Uterine compression suture (B-Lynch)

Yaitu melakukan jahitan chromic disekeliling uterus untuk menekan dinding

anterior dan posterior uterus.

Gambar 5. Uterine compression suture

Penatalaksanaan Retensio plasenta

* Retensio plasenta dengan separasi parsial 14

 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan

diambil

 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak

terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat


 Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 500 cc RL dengan 40 tetesan permenit. Bila

perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal (sebaiknya tidak mengunakan

ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta

terperangkap dalam cavum uteri)

 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta

secara hati-hati dan halus (melepaskan plasenta yang melekat erat secara paksa, dapat

menyebabkan perdarahan atau perforasi)

 Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia

 Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan

 Beri antibiotika profilaksis (Ampisilin 2 g IV/oral + Metronidazol 1 supositoria/oral)

 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, dan syok neurogenik.

* Plasenta inkarserata 16

o Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan

o Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan kontraksi serviks

dan melahirkan plasenta

o Pilih fluothane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat tetapi siapkan infus

oksitosin 20 IU dalam 500 mL RL dengan 40 tetes permenit untuk mengantisipasi

gangguan kontraksi yang disebabkan bahan anestesi tersebut

o Bila prosedur anestesi tidak tersedia tetapi serviks dapat dilalui oleh cunam ovum

lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur tersebut, berikan

analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV dan sedatif seperti

Diazepam 5 mg IV pada tabung suntik yang terpisah)

o Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi

uterus, tinggi fundus uterus dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan pemantauan

yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan
sedativa, analgetika atau anestesia umum ( mual, muntah, cegah aspirasi bahan

muntahan, hipo/atonia uteri, vertigo, halusinasi, pusing/vertigo, dan mengantuk )

Gambar 6. Cara Mengeluarkan Plasenta dengan Tangan 12

Gambar 7. Teknik pengeluaran plasenta cara dari Brandt12

o Manuver sekrup:

- Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan

jelas

- Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum

- Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak lebih jelas
- Tarik tali pusat kelateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar

dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk memegang klem tersebut

- Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan

- Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik

plasenta keluar perlahan-lahan melalui pembukaan ostium.16

* Sisa plasenta

Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang

dipilih adalah Ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan dengan 3x1 g oral dikombinasi dengan

Metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3x500 mg oral. Dengan dipayungi antibiotika

tersebut, lakukan eksplorasi digital ( bila serviks terbuka ) dan mengeluarkan bekuan darah

atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta

dengan dilatasi dan kuretase. Bila kadar Hb < 8 g% berikan tranfusi darah, bila kadar Hb > 8

g% berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. 9,12

Penatalaksanaan Inversio Uteri 12

Penanganan inversio uteri membutuhkan pemikiran yang cepat. Pasien dengan cepat

mengalami syok, dan dibutuhkan pemulihan volume intravaskuler yang segera dengan

kristaloid intravena. Ahli anestesiologi harus dipanggil. Uterus yang mengalami inversio

direposisi dengan mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari sesuai arah memanjang

uterus. Lebih baik siapkan 2 jalur infus untuk tranfusi dan pemberian cairan resusitasi. Kalau

plasenta belum lepas, baiknya plasenta jangan dilepaskan dulu sebelum uterus direposisi,

jalur infus terpasang, dan anestesi diberikan, karena dapat menimbulkan perdarahan banyak.

Setelah plasenta dilepaskan, telapak tangan diletakkan ditengah fundus dengan jari

diekstensikan. Kemudian diberi tekanan dengan didorong ke atas. Setelah reposisi berhasil
diberi pitocin drip dan dapat juga dilakukan tamponade rahim supaya tidak terjadi lagi

inversio,kalu reposisi manual tidak berhasil dilakukan reposisi operatif.

Cara caranya:

Abdominal: Haultain

Huntington

Vaginal: Kustner (fornix posterior)

Spinelli (fornix anterior) 9


Gambar 8. Cara manual dalam melakukan reposisi uterus yang mengalami inversi15
Gambar 9. Huntington Manuver15

Penatalaksanaan Ruptur perineum dan robekan dinding vagina: 10

- Lakukan eksplorasi untuk mengedintifikasi lokasi laserasi dan sumber

perdarahan

- Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik

- Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan,kemudian ikat dengan benang

yang dapat diserap

- Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap

operator

- Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis

dengan bantuan busi pada rectum.

Penatalaksanaan Robekan serviks15

- Robekan servik sering terjadi pada sisi lateral karena servik yang terjulur akan

mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi

- Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap tetapi terjadi perdarahan

banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio

- Jepitkan klem ovum pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan

dapat segera dihentikan

- Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus

uteri dan perdarahan pasca tindakan

- Beri antibiotik profilaksis, kecuali bila jelas ditemukan tanda tanda infeksi

- Bila terjadi defisit cairan, lakukan restorasi, dan bila kadar HB dibawah 8 gr%

berikan tranfusi darah


Gambar 10. Cara memperbaiki robekan cervix15

Penatalaksanaan kelainan pembekuan

Pasien dengan trombositopenia membutuhkan infus konsentrat trombosit, pasien

dengan penyakit Von willebrand membutuhkan plasma beku yang segar. Infus sel darah

merah yang dimampatkan diberikan pada pasien yang telah mengalami perdarahan yang

cukup sehingga menurunkan populasi sel darah merah yang beredar, sehingga cukup

membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan. Biasanya, hematokrit yang lebih dari 25 %

sudah mencukupi. Tranfusi masif (lebih dari 3 liter), terutama dengan darah lengkap, akan

memperberat sistem pembekuan yang sudah terganggu dengan semakin menghabiskan

trombosit dan faktor-faktor V dan VIII. Karena itu 1 unit plasma beku yang segar harus

diberikan untuk setiap 2 unit darah setelah 6 unit telah di tranfusikan.9

Produk darah Volume ( mL ) dalam 1 Efek tranfusi


unit
Konsentrat trombosit 30-40 Meningkatkan hitung trombosit
dengan sekitar 20000 sampai 25000
Kriopresipitat 15-25 Memasok fibrinogen, faktor VIII,
dan faktor XIII ( 3 sampai 10 kali
lebih terkonsentrasi dari pada
volume yang setara dengan plasma
segar )
Plasma beku yang 200 Memasok semua faktor kecuali
segar trombosit
Sel darah merah 200 Menaikkan hematokrit 3 sampai 4 %
mampat
Tabel.4 Hasil-hasil darah yang digunakan untuk mengoreksi gangguan pembekuan.9

B. SISA PLASENTA atau REST PLASENTA

1. Definisi

Plasenta yang masih tertinggal disebut rest plasenta. Gejala klinis rest plasenta adalah

terdapat subinvolusi uteri, terjadi perdarahan sedikit yang berkepanjangan, dapat juga terjadi

perdarahan banyak mendadak setelah berhenti beberapa waktu, perasaan tidak nyaman di

perut bagian bawah.17

Rest Plasenta adalah tertinggalnya sisa plasenta dan membrannya dalam kavum uteri. 8

Rest plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat

menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan post partum lambat yang biasanya

terjadi dalam 6 hari sampai 10 hari pasca persalinan.4

Selaput yang mengandung pembuluh darah ada yang tertinggal, perdarahan segera. Gejala

yang kadang – kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

Sisa plasenta yang masih tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan. Bagian plasenta yang masih menempel pada dinding uterus mengakibatkan

uterus tidak adekuat sehingga pembuluh darah yang terbuka pada dinding uterus tidak dapat
18
berkontraksi/ terjepit dengan sempurna. Rest Plasenta dalam nifas menyebabkan

perdarahan dan infeksi. Perdarahan yang banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh

sisa plasenta. Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan plasenta tidak lengkap, maka

harus dilakukan eksplorasi dari cavum uteri. Potongan – potongan plasenta yang ketinggalan

tidak diketahui biasanya menimbulkan perdarahan post partum.19

2. Etiologi

Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder adalah

grande multipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan yang dilakukan
tindakan, pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun,

persalinan dengan tindakan paksa, pengeluaran plasenta tidak hati-hati.20

Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau serviks kelemahan dan

tidak efektifitas kontraksi uterus, Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau

plasenta previa, implantasi dari cornu dan adanya plasenta akreta. Kesalahan manajemen

kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya

pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang

tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta,

serta pemberian anastesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.4

3. Patofisiologi

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi

otot - otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel

miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan

kontraksi yang berlangsung continue, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri

mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai

mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta

berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.

Tegangan yang ditimbulkan menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar

memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di

uterus berada di antara serat - serat otot miometrium yang saling bersilang. Kontraksi serat –

serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah

terjepit serta perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan

menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru

tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi dalam empat fase

yaitu :8
a. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun

dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.

b. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari

ketebalan kurang dari 1 cm menjadi kurang 2 cm).

c. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari

dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan

plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan

otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat

melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa

d. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,

daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul didalam rongga

rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan

akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase

kontraksi. Dengan mengguanakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam

waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda pelepasan plasenta adalah sering

ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya menjadi

semakin padat, uterus meninggi kearah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun

masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.

Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding

rahim atau atas vagina. Kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan

inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat

mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisal untuk

menyempurnakan persalinan kala tiga.

4. Faktor yang berhubungan dengan Rest Plasenta

a. Umur
Usia ibu hamil terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua (>35 tahun) mempunyai

resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi kurang sehat. Hal ini dikarenakan pada umur

20 tahun, dari segi biologis fungsi organ reproduksi seorang wanita belum berkembang

dengan sempurna untuk menerima keadaan janin dan segi psikis belum matang dalam

menghadapi tuntutan beban moril, mental dan emosional, sedangkan pada umur diatas 35

tahun dan sering melahirkan, fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami

kemunduran atau degenerasi dibandingkan fungsi normal sehingga kemungkinan untuk

terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan lebih besar.

Perdarahan post partum yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil

yang melahirkan pada umur dibawah 20 tahun, dua sampai lima kali lebih tinggi dari pada

perdarahan post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan post partum

meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun.21

b. Paritas

Uterus pada saat persalianan, setelah melahirkan plasenta sukar untuk berkontraksi

dan berektraksi kembali sehingga pembuluh darah maternal pada dinding uterus akan tetap

tebuka. Hal inilah yang dapat menyebabkan meningkatkan perdarahan post partum. 21 Jika

kehamilan “terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat (4 terlalu” dapat

meningkatkan resiko berbahaya pada proses reprodusi karena kehamilan terlalu sering dan

terlalu dekat menyebabkan intake (masukan) makanan atau gizi menjadi lebih rendah.8

c. Status Anemia dalam kehamilan

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11

gr% pada trimester satu dan tiga atau kadar hemoglobin dibawah 10,5 gr% pada trimester dua

nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan wanita tidak hamil terjadi hemodilusi, terutama

pada trimester dua.8 Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut

hidramia atau hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan
dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut

adalah sebagai berikut plasma 30%, sel darah 18% dan hemoglobin 19%. Bertambahnya

darah dalam kehamilan sudah mulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya

dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. 21 Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk

membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan.

5. Diagnosa

Diagnosis pada rest plasenta dapat ditegakkan berdasarkan :

a. Palpasi Uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.

b. Memeriksa plasenta apakah lengkap atau tidak

c. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari sisa plasenta

d. Sisa Plasenta atau selaput ketuban

e. Robekan rahim

f. Plasenta suksenturiata

g. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises yang pecah

h. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dll

6. Penatalaksanaan

Dengan perlindungan antibiotik sisa plasenta dikeluarkan secara digital atau dengan

kuret besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan pemberian antibiotik

dan 3 – 4 hari kemudian rahim dibersihkan, namun jika perdarahan banyak, maka rahim

segera dibersihkan walaupun ada demam.19 Keluarkan sisa plasenta dengan cunam ovum atau

kuret besar. Jaringan yang melekat dengan kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha

untuk melepas plasenta terlalu kuat melekatnya dapat mengakibatkan perdarahan hebat atau

perforasi uterus yang biasanya membutuhkan tindakan hisrektomi.4

Menurut Morgan & Hamilton terapi yang biasa digunakan :22


a. Pemasangan infus dan pemberian uterotonika untuk mempertahankan keadaan umum ibu

dan merangsang kontraksi uterus.

b. Kosongkan kandung kemih

c. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi

d. Antiobiotika ampisilin dosis awal 1 gr IV dilanjutkan dengan 3x1 gram per oral

dikombinasikan dengan metrodinazol 1 gram suppositoria dilanjutkan dengan 3x500 mg.

e. Oksitosin

1) Methergin 0,2 mg peroral setiap 4 jam sebanyak 6 dosis. Dukung dengan analgesik bila

kram.

2) Mungkin perlu dirujuk ke rumah sakit untuk dilatasi dan kuretase bila terdapat perdarahan.

f. Observasi tanda – tanda vital dan perdarahan

g. Bila kadar HB <8 gr % berikan tranfusi darah. Bila kadar Hb >8 gr%, berikan sulfas

ferosis 600mg/hari selama 10 hari

Sisa plasenta bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar atau setelah melakukan plasenta

manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan

pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat

kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan

eksplorasi kedalam rahim dengan cara manual/ digital atau kuret dan pemberian uterotonika.

7. Komplikasi Rest Plasenta

Komplikasi sisa plasenta adalah polip plasenta artinya plasenta masih tumbuh dan dapat

menjadi besar, perdarahan terjadi intermiten sehingga kurang mendapat perhatian, dan dapat

terjadi degenerasi ganas menuju korio karsinoma dengan manifestasi klinisnya. Menurut

Manuaba, memudahkan terjadinya :17

a. Anemia yang berkelanjutan

b. Infeksi puerperium
c. Kematian akibat perdarahan

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiman, Diana M. Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta. J

Medula Unila.2017; 7 (3): 6-10.

2. Fathina F, Yuniar L, Bobby IU. Hubungan Kejadian Perdarahan Postpartum

dengan Faktor Risiko Karakteristik Ibu di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada

Januari 2012 - April 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3): 850-6.


3. Nurul H, Dian PY. Gambaran hemoragic post partum pada ibu bersalin dengan

kejadian anemia di ruang ponek rsud kabupaten jombang. jurnal edu health.2015;

5 ( 2): 142-7.

4. Prawirohardjo,S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono,

2008.

5. Made Kornia Karkata, Perdarahan Pasca persalinan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo,2008 hal. 522-9.

6. Maida P. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan pasca

persalinan dan upaya penurunannya di wilayah kerja puskesmas kota medan tahun

2005. Jurnal ilmiah PANNMED.2006;1(1): 29-37.

7. Komite Medik RSUP dr. Sardjito. Perdarahan Post Partum dalam Standar

Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada,2000.

8. Saifuddin, Abdul, dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

Dan Neonatal. Jakarta: YBPSP,2010.

9. Abdul B.S. Perdarahan Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Buku Acuan

Nasional Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal. Jakarta:YBP-SP,2000.

10. Smith J.R, Postpartum Haemorrhage, updated 23 September 2014. Diakses


tanggal 2 Juli 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/275038-

overview.htm
11. WHO, Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Diakses tanggal

2 Juli 2017 dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9241545879_eng.pdf

12. Cunningham FG, dkk. Williams Obstetric, ed. 23. New York: McGraw-Hill,2010.

13. Hanifa W. Gangguan Dalam Kala III Persalinan, dalam Ilmu Kebidanan. Edisi
3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,1997.

14. William, F.R., Carey J.C. Perawatan Pasca Persalinan,dalam Obstetri &

Ginekologi, edisi pertama. Jakarta: Widya Medika,2001.

15. Gilstrap. L.C. Management Post Partum Hemorrhage. dalam Operative

Obstetrics, 2nd edition. NewYork, 2002.

16. Yaa M and Yiadom YB. Postpartum Hemorrhage in Emergency Medicine.


Diakses tanggal 2 Juli 2017 dari http://www.emedicine.com/emerg/topic481.htm

17. Manuaba I.B.G. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB Untuk

Pendidikan Bidan.Ed. 2.Jakarta : EGC, 2007.

18. Maritalia Dewi dkk. Biologi reproduksi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2012.

19. Sitti Saleha. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Yogyakarta : Fitrimaya,
2010.

20. Rukiyah. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Nuah Medika,2010.

21. Wiknjosastro, Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:

Penerbit PT Bina Pustaka, 2010.


22. Morgan, Geri dan Carole Hamilton. Obstetri & Ginekologi Panduan Praktik.
Jakarta : EGC,2009.

Anda mungkin juga menyukai