Skenario 1
Ny. F berusia 54 tahun, merupakan pasien rujukan dari RSUD Pangkep datang ke RS Wahidin
Sudirohusodo dengan oksigen terpasang 4 liter/menit via nasal canul. Keluhan utama adalah
sesak. Keluhan ini dialami sejak 4 hari yang lalu disertai dengan penurunan kesadaran. Riwayat
klien mengalami kecelakaan lalu lintas dimana saat di bonceng motor, rok yang digunakan
masuk ke terali motor sehingga klien terjatuh, kepala membentur aspal dan terseret sejauh ±50
meter. Hasil pengkajian primer: jalan napas tidak paten, suara napas gargling, RR 34x/menit,
terdapat retaksi dada, akral hangat, tidak ada sianosis, CRT < 3 detik, nadi 130x/menit, TD
120/80 mmHg, suhu 37ºC, tidak ada perdarahan, turgor kulit tidak elastis. Saat ini tingkat
kesadaran klien sopor dengan GCS 8x (E4, Vx, M4), pengkajian nyeri dengan BPS Score 6.
hasil CT scan kepala menunjukkan kontusio cerebri lobus frontal dan temporal kanan,
perdarahan subarachnoid.
C. Jawaban sementara
1. Penilaian dengan memperhatikan respon ekspresi wajah dan motorik terhadap klien.
2. Karena suara gargling yaitu suara yang disebabkan karena adanya cairan di saluran
pernapasan seperti cairan : berdasarkan kasus karena pasien mengalami penurunan
kesadaran sehingga pasien tidak bisa mengontrol haluaran saliva sehingga terjadi
penumpukan saliva di saluran pernapasan.
3. Karena adanya benturan pada kepala di aspal saat kecelakaan dan terseret sejauh ± 50
mter. Dan akan berakibat pada penurunan kesadaran.
1
4. Menggunakan prinsip
D = pindahkan korban ke tempat yang aman
R = berikan rangsangan suara dan nyeri pada korban
C = meminta kepada orang lain untuk menelfon ambulans jika ada orang lain, jika
sendiri lakukan respon korban
A = cek pernapasan, dengan look listen, feel, pema
B = berikan oksigen
C = perhatikan kepatenan jalan napasnya.
5. Pertahankan kepatenan jalan napas, monitoring TTV, fiksasi kepala.
6. Pada abnormalitas pernapasan: Karena adanya sumbatan pada saluran pernapasan.
Abnormalitas pada nadi karena sesak napas.
7. Umur, dehidrasi, suhu.
8. Karena peningkatan TIK yang disebabkan perdarahan pada otak.
9. Di nilai berdasarkan 3 hal, yaitu pada respon mata = 4, verbal = 5 dan motorik = 6.
10. Karena sesak napas sehingga klien membutuhkan oksigen untuk memenuhi kebutuhan
oksigennya.
11. Konsultasikan ke dokter untuk di anjurkan untuk melakukan operasi, resusitasi cairan
2
D. Analisis masalah (Mind Mapping)
Tonjolan-tonjolan
Ketidakpatenan jalan tulang bergesekan dgn
napas jaringan otak
Pendarahan
subarachnoid
↑ TIK
Rangsangan simpatis ↑
Mesen sepalon tertekan sehingga
terganggunya ARAS (Ascending Reticular
Activating System) yg mengatur sistem ↑ tahanan vaskuler sistemik &
kesadaran tekanan darah
↓ kesadaran
Tekanan peredaran darah
pulmonal ↓
Tekanan hidrostatik ↑
Terjadinya mekanisme
kompensasi untuk
menyeimbangkan kebutuhan Edema paru
oksigen perifer
ketidakseimbangan perfusi 3
ventilasi
hipoksia
↑ Pernapasan
Patomekanisme Nyeri
Nosiseptor nyeri
Sarah aferen
Serabut A delta
Tractus spinotalamic
Batang otak
Nyeri terlokalisasi
Nyeri
4
E. Tujuan pembelajaran selanjutnya
5
b. Ekimosis mastoid (Battle’s Sign)
c. Keluar darah beserta cairan cerebrospinal dari hidung atau telinga (rinore atau
otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial.
2. Penatalaksanaan perdarahan subarachnoid
1. Manajemen umum pada perdarahan subarachnoid
Tujuan manajemen umum yang pertama adalah identifi kasi sumber pendarahan dengan
kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravaskuler lain. Kedua
adalah manajemen komplikasi. Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah
saraf merupakan hal yang sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada aneurisma
intrakranial. Pasien perdarahan subaraknoid harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk
pemantauan kondisi hemodinamiknya. Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology Critical
Care Unit yang secara signifi kan akan memperbaiki luaran klinis.
Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous
pressure dan/atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus
terus dilakukan. Untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, manipulasi pasien harus
dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan; dapat diberikan analgesik dan pasien harus istirahat
total. Setelah itu, tujuan utama manajemen adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan
dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya.
Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan, jika perlu, diberi obat-obat
antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Setelah aneurisma dapat diamankan,
sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan berapa
nilai amannya. Analgesik sering kali diperlukan; obat-obat narkotika dapat diberikan
berdasarkan indikasi. Dua faktor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah
hiperglikemia dan hipertermia; karena itu, keduanya harus segera dikoreksi. Profi laksis
terhadap
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan
kompresif sekuensial; heparin subkutan dapat diberikan setelah dilakukan penatalaksanaan
terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik,
direkomendasikan nimodipin oral.
6
3. Manajemen komplikasi
a. Vasospasme
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subaraknoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa perubahan status mental, defisit
neorologis fokal; jarang terjadi sebelum hari 3, puncaknya pada hari ke 6-8, dan jarang setelah
hari ke-17. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal, biasanya terletak di dekat aneurisma yang pecah, dan lesi multipel
luas yang sering tidak berhubungan dengan tempat aneurisma yang pecah.
Mekanisme vasospasme pada perdarahan subaraknoid belum diketahui pasti; diduga
oksihemoglobin memberikan kontribusi terhadap terjadinya vasospasme yang dapat
memperlambat perbaikan defi sit neurologis.
Oksihemoglobin terbentuk akibat proses lisis bekuan darah yang terbentuk di ruang
subaraknoid. Mekanisme efek vasospasmenya belum diketahui pasti, diduga melalui
kemampuannya untuk menekan aktivitas saluran kalium, meningkatkan masuknya kalsium,
meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase. Sebelum terjadi vasospasme,
pasien dapat diberi profi laksis nimodipin dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan, dengan
dosis 60 mg setiap 4 jam per oral atau melalui tabung nasogastrik selama 21 hari. Metaanalisis
menunjukkan penurunan signifikan kejadian vasospasme yang berhubungan dengan kematian
pada pemberian nimodipin profi laksis.
Nimodipin adalah suatu calcium channel blocker yang harus diberikan secepatnya dalam
waktu 4 hari setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian secara intravena dengan dosis awal 5
mL/ jam (ekuivalen dengan 1 mg mimodipin/ jam) selama 2 jam pertama atau kira-kira15
mg/kg BB/jam. Bila tekanan darah tidak turun dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mL/ jam
intravena, diteruskan hingga 7-10 hari. Dianjurkan menggunakan syringe pump agar dosis lebih
akurat dan sebaiknya dibarengi dengan pemberian cairan penyerta secara three way stopcock
dengan perbandingan volume 1: 4 untuk mencegah pengkristalan. Karena nimodipin
merupakan produk yang sensitif terhadap cahaya, selang infus harus diganti setiap 24 jam.
Pemberian secara infus dapat dilanjutkan dengan pemberian nimodipin tablet per oral.
Penambahan simvastatin sebelum atau setelah perdarahan subaraknoid juga terbukti
potensial mengurangi vasospasme serebral. Terapi antiplatelet dapat berperan mengurangi
iskemia serebral tertunda, meskipun perlu penelitian prospektif lebih lanjut untuk menlai
keselamatan dan efek samping.
b. Perdarahan ulang
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%; 4% dalam 24 jam pertama, selanjutnya 1%
hingga 2% per hari dalam kurun waktu 4 minggu. Adanya perbaikan aneurisma dan pemberian
terapi primer secara signifi kan mengurangi risiko perdarahan ulang. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-
hati. Obat-obat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7
Obat-obat yang digunakan untuk mempertahankan
tekanan darah pada pasien perdarahan subaraknoid
Hipotensi Hipertensi
- Fenilefrin
- Norepinefrin
- Dopamin
- Labetalol
- Esmolol
- Nikardipin
7
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan di atas 100 mmHg untuk semua pasien
selama kurang lebih 21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus
dipertahankan di bawah 160 mmHg, dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik
akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg.
c. Hidrosefalus
Jika pasien perdarahan subaraknoid menderita deteriorasi mental akut, harus dilakukan
pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari penyebabnya, dan penyebab yang paling
sering adalah hidrosefalus. Volume darah pada pemeriksaan CT scan dapat sebagai prediktor
terjadinya hidrosefalus. Kurang lebih sepertiga pasien yang didiagnosis perdarahan
subaraknoid karena aneurisma memerlukan drainase ventrikuler eksternal sementara atau
dengan ventricular shunt permanen.
Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko perdarahan ulang
dan vasospasme serebral.Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko shunt-dependent
hydrocephalus adalah usia lanjut, perempuan, skor Hunt dan Hess rendah, volume perdarahan
subaraknoid cukup banyak berdasarkan CT scan saat pasien masuk, adanya perdarahan
intraventrikuler, pemeriksaan radiologic mendapatkan hidrosefalus saat pasien masuk, lokasi
pecahnya aneurisma di sirkulasi posterior distal, vasospasme klinis, dan terapi endovaskuler.
d. Hiponatremia
Kejadian hiponatremia pada pasien perdarahan subaraknoid berkisar antara 30% hingga
35%. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya garam di otak dan tindakan pemberian cairan
pengganti serta sering didapatkan pada vasospasme serebral. Suatu penelitian melaporkan
bahwa kejadian hiponatremia terutama disebabkan oleh syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone secretion (SIADH) yang didapatkan pada 69% kasus atau hiponatremia hipovolemik
pada 21% kasus.
e. Hiperglikemia
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid, boleh jadi
berhubungan dengan respons stres. Insulin diberikan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tetap aman dalam kisaran 90-126 mg/dL. Terapi insulin intensif dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Pemantauan kadar glukosa darah intensif pada pasien dengan terapi
insulin juga harus
dilakukan.
f. Epilepsi
Kejadian epilepsi ditemukan pada sekitar 7% hingga 35% pasien perdarahan
subaraknoid.Bangkitan pada fase awal perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan
perdarahan ulang, walaupun belum terbukti menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
The American Heart Association merekomendasikan pemberian rutin profi laksis
bangkitan untuk semua pasien perdarahan subaraknoid. Namun, ada laporan bahwa fenitoin
profi laksis berhubungan dengan perburukan luaran neurologis dan kognitif. Dengan demikian,
pemberian obat antiepilepsi harus hati-hati dan lebih tepat diberikan pada pasien yang
mendapat serangan di rumah sakit atau pada pasien yang mengalami serangan onset lambat
epilepsi setelah pulang dari rumah sakit.
g. Komplikasi lain
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia, sepsis, aritmia kardial dan
peningkatan kadar enzim-enzim jantung. Kepala pasien harus dipertahankan pada posisi 300
di tempat tidur, dan segera diberi terapi antibiotik adekuat jika dijumpai pneumonia bakterial.
Profi laksis dengan kompresi pneumatik harus dilakukan untuk mengurangi risiko Deep Vein
Thrombosis (DVT) dan emboli pulmonum. Antikoagulan merupakan kontraindikasi pada fase
akut pendarahan (Setyopranoto, 2012).
8
F. Jawaban sesuai literatur
9
2. Apa yang menyebabkan terjadinya suara nafas gargling pada klien?
Kecelakaan
Perdarahan di frontal
Sumbatan parsial
10
Tabel 1
Etiologi perdarahan subaraknoid
- Trauma dan cedera iatrogenik selama pembedahan
- Aneurisma serebral dan malformasi arteriovenosa
- Perdarahan perimesensefalik dan perluasan
perdarahan intraserebral
- Vaskulitis
- Penyebab hematologik (DIC, hemofi lia, purpura
trombotik trombositopenik)
- Tumor susunan saraf pusat
- Diseksi arterial
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan di atas 100 mmHg untuk semua pasien
selama kurang lebih 21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus
dipertahankan di bawah 160 mmHg, dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik
akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg.
c. Hidrosefalus
Jika pasien perdarahan subaraknoid menderita deteriorasi mental akut, harus dilakukan
pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari penyebabnya, dan penyebab yang paling
sering adalah hidrosefalus. Volume darah pada pemeriksaan CT scan dapat sebagai prediktor
terjadinya hidrosefalus. Kurang lebih sepertiga pasien yang didiagnosis perdarahan
subaraknoid karena aneurisma memerlukan drainase ventrikuler eksternal sementara atau
dengan ventricular shunt permanen.
Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko perdarahan ulang
dan vasospasme serebral.Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko shunt-dependent
hydrocephalus adalah usia lanjut, perempuan, skor Hunt dan Hess rendah, volume perdarahan
subaraknoid cukup banyak berdasarkan CT scan saat pasien masuk, adanya perdarahan
intraventrikuler, pemeriksaan radiologic mendapatkan hidrosefalus saat pasien masuk, lokasi
pecahnya aneurisma di sirkulasi posterior distal, vasospasme klinis, dan terapi endovaskuler.
d. Hiponatremia
Kejadian hiponatremia pada pasien perdarahan subaraknoid berkisar antara 30% hingga
35%. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya garam di otak dan tindakan pemberian cairan
pengganti serta sering didapatkan pada vasospasme serebral. Suatu penelitian melaporkan
bahwa kejadian hiponatremia terutama disebabkan oleh syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone secretion (SIADH) yang didapatkan pada 69% kasus atau hiponatremia hipovolemik
pada 21% kasus.
12
e. Hiperglikemia
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid, boleh jadi
berhubungan dengan respons stres. Insulin diberikan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tetap aman dalam kisaran 90-126 mg/dL. Terapi insulin intensif dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Pemantauan kadar glukosa darah intensif pada pasien dengan terapi
insulin juga harus
dilakukan.
f. Epilepsi
Kejadian epilepsi ditemukan pada sekitar 7% hingga 35% pasien perdarahan
subaraknoid.Bangkitan pada fase awal perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan
perdarahan ulang, walaupun belum terbukti menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
The American Heart Association merekomendasikan pemberian rutin profi laksis
bangkitan untuk semua pasien perdarahan subaraknoid. Namun, ada laporan bahwa fenitoin
profi laksis berhubungan dengan perburukan luaran neurologis dan kognitif. Dengan demikian,
pemberian obat antiepilepsi harus hati-hati dan lebih tepat diberikan pada pasien yang
mendapat serangan di rumah sakit atau pada pasien yang mengalami serangan onset lambat
epilepsi setelah pulang dari rumah sakit.
g. Komplikasi lain
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia, sepsis, aritmia kardial dan
peningkatan kadar enzim-enzim jantung. Kepala pasien harus dipertahankan pada posisi 300
di tempat tidur, dan segera diberi terapi antibiotik adekuat jika dijumpai pneumonia bakterial.
Profi laksis dengan kompresi pneumatik harus dilakukan untuk mengurangi risiko Deep Vein
Thrombosis (DVT) dan emboli pulmonum. Antikoagulan merupakan kontraindikasi pada fase
akut pendarahan (Setyopranoto, 2012).
13
a. Posisi korban
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban gawat darurat
harus dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan
keras. Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubalah
posisi korban ke posisi terlentang. Yang perlu diigat jika penolong
membalikkan korban, maka harus membalikkan korban sebagai satu
kesatuan antara kepala, leher, dan bahu di gerakkan secara bersama-sama
untuk mencegah cedera atau komplikasi.
b. Posisi penolong
Berlutut sejajar dengan bahu korban agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau
menggeser lutut.
Setelah melakukan prosedur awal pada korban gawat darurat maka langkah-
langkah prosedur selanjutnya yang harus dilakukan menurut AHA (2015) yaitu:
1. Circulation (Bantuan sirkulasi)
Tahapan memberikan bantuan sirkulasi terdiri dari 2 tahapan yaitu :
a) Memastikan ada tidaknya denyut nadi korban
Ada tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri
karotis yang berada di daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua
jari tangan (jari telunjuk dan tengah) diletakkan pada pertengan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 – 3 cm ke sisi
kanan atau kiri (sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam
10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera dimulai.
b) Memberikan bantuan sirkulasi
Bila nadi karotis tidak teraba atau < 60 bpm segera mulai lakukan
siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi, dengan teknik sebagai berikut:
1) Penolong berlutut di sisi bahu korban
2) Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan.
3) Penolong meletakkan salah satu tumit telapak tangan pada ½ sternum,
diantara 2 puting susu dan telapak tangan lainnya di atas tangan
pertama dengan jari saling bertaut.
4) Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dada lurus ke
bawah secara teratur dengan kecepatan 100-120x/menit (hampir 2
x/detik) dengan kedalaman adekuat. AHA (2015) merekomendasikan
agar kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard) dengan
kedalaman yang adekuat, yaitu:
a. Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong).
b. Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada sekitar 2 inchi (5 cm),
rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).
c. Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada sekitar 1 ½ inci (4 cm),
rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik
60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac
output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari
menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan
bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.
2. Airway (jalan nafas)
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka sehingga
memungkinkan korban dapat diberi bantuan napas, langkah ini terdiri atas dua
tahapan, yaitu:
14
a) Pemeriksaan jalan nafas
Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban. Memeriksa
adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan sumbatan benda cair,
bersihkan dengan teknik finger sweep (sapuan jari) yaitu menyusuri rongga
mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kasa atau potongan kain untuk
menyerap cairan. Jika ditemukan sumbatan benda padat, dapat dikorek
dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Namun teknik ini
harus dilakukan dengan hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong
sumbatan semakin dalam.
b) Membuka jalan nafas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan
napas pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada korban yang tidak sadar
tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum sehingga
palatum dapat turun dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini menjadi
penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar. Pembebasan jalan
napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga teknik yaitu head tilt
(tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan jaw thrust (dorongan rahang).
Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway Manuveur. AHA (2010)
merekomendasikan untuk :
1) Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada
pasien yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-
3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika
pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8.
2) Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal.
3. Breathing (Bantuan nafas)
Memberikan bantuan nafas terdiri dari 2 tahap yaitu:
a) Memastikan korban tidak bernafas
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengarkan
bunyi nafas dan merasakan hembusan nafas korban . untuk itu penolong
harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban , sambil tetap
mempertahankan jalan nafas tetap tebuka. prosedur ini dilakukan tidak boleh
melebihi 10 detik .
b) Memberikan bantuan nafas
Jika korban tidak bernafas , bantuan napas dapat dilakukan melalui
mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat
pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2
detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg)
atau sampai dada pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami
kesulitan untuk memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah
masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala
dan angkat dagu pasien/korban.
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:
1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)
Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk
memberikan udara ke paru–paru korban / pasien. Pada saat dilakukan
hembusan napas penolong harus mengambil napas terlebih dahulu dan
mulut penolong harus dapat menutup seluruh mulut pasien/korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas
15
dan juga penolong harus menutup lubang hidung pasien/korban dengan
ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari
hidung. dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk
memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada
sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala dan
angkat dagu pasien/korban.
2) Mouth to nose (Mulut Ke hidung)
Teknik ini dilakukan ketika mulut korban tidak memungkinkan
untuk dilakukan bantuan nafas lewat mulut, karena trauma dsb.
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang
(stoma) pada area leher yang menghubungkan trakhea langsung ke
kulit. Bila pasien ini mengalami kesulitan pernapasan maka harus
dilakukan bantuan pernapasan dari mulut ke stoma.
4. Exposure
a) Buka seluruh pakaian
b) Logroll utk melihat punggung pasien (selalu periksa punggung pasien)
c) Tetap jaga privacy Pasien
d) Cegah Hipotermia
Evaluasi (penilaian ulang) Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi
(kira-kira 2 menit), penolong kemudian melakukan evaluasi, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan ventilasi
dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus
2. Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas sebanyak
10- 12 x/menit atau berikan rescue breathing 1 ventilasi tiap 6 detik dan evaluasi
nadi tiap 2 menit.
3. Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi jalan napas
tetap terbuka dan bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi. Waspada terhadap
kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali, jika terjadi segera
terlentangkan pasien dan lakukan bantuan napas kembali (HIBGABI, 2013).
16
5. Apa yang perlu diperhatikan pada saat klien di rujuk dari RSUD Pangkep ke RS
Wahidin?
Perawat dapat melaksanakan praktik ambulasi (saat di dalam mobil ambulan) dengan
melakukan tindakan dan observasi sebagai berikut:
Posisikan pasien dengan nyaman, gunakan bantal untuk mendukung posisi tubuh yang
nyaman bagi pasien.
Membantu pasien untuk mengubah posisi setidaknya setiap 2 jam. Jika pasien berbaring
dalam satu posisi terlalu lama, ulkus tekanan (ulkus dekubitus) dapat terbentuk. Ketika
jaringan yang dikompresi antara tulang dan permukaan tempat tidur, suplai darah
berkurang ke jaringan dan sel-sel mulai mati. Hal ini menyebabkan luka terbuka
menyakitkan.
Monitoring TTV.
Memastikan kepatenan jalan napas dan alat bantu pernapasan.
Jangan lupa agar tetap mendokumentasikan pasien yang dibawa i ambulan tersebut.
Dokumentasi dapat berupa jarak dan waktu yang ditempuh, perawat yang mengantar, status
TTV, oksigen, dsb (Williams & Hopper, 2007).
17
b. Nadi abnormal (130x/menit), disebabkan karena adanya mekanisme kompensasi tubuh
yakni homeostatis dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer, hal
tersebut disebabkan karena terjadi penurunan aliran darah ke otak yang merupakan
upaya menormalkan tekanan intrakranial akibat meningkatnya tekanan intrakranial.
Faktor yang
8. mempengaruhi
cairan tubuh
Akibat kecelakaan
Penurunan
fungsi organ
tubuh sakit
perdarahan
(Saputra, 2013)
18
8. Apa yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada klien dengan riwayat
kecelakaan ?
Benturan ke kepala (trauma
kepala)
Terjadi kontusio/memar
pada cerebri lobus frontal
dan temporal kanan
(trauma tertutup)
Pendarahan pada
subarachnoid
Perubahan
sirkulasi CSS
Peningkatan TIK
Herniasi
unkus
Mesensefalon tertekan
(gangguan sistem ARAS
{Ascending Reticular
Activating System}) yang
mengatur sistem kesadaran
tubuh.
Penurunan kesadaran
19
- Terhadap nyeri membuka mata 2
- Menutup mata terhadap segala rangsang 1
2. Verbal Response
- Berorientasi baik 5
- Bingung (bisa membentuk kalimat tetapi arti 4
keseluruhan kacau)
- Bisa membentuk kata tetapi tidak mampu 3
mengucapkan suatu kalimat
- Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti 2
(groaning)
- Suara : tidak ada 1
3. Motoric Response
- Menurut perintah 6
- Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit 5
(raba) 4
- Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak
(withdrawal) 3
- Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 2
- Ekstensi spontan 1
- Tidak ada gerakan
20
11. Apa tindakan yang dilakukan pada pasien dengan hasil CT-Scan kontusio cerebri
lobus frontal dan temporal kanan serta perdarahan subarachnoid?
a. Pengelolaan konservatif
Pengelolaan konservatif pada contusio cerebri dengan cedera kepala berat bertujuan
untuk mengurangi TIK dengan cara membedah, tindakan tersebut antara lain
1. Oksigenasi ventilasi
Dengan oksigenasi dan ventilasi di harapkan PCO2 di pertahankan sekitar 35
mmHg dan di cegah agar PCO2 tidak turun di bawah 25 mmHg, sehingga akan
tercapai vasokontriksi pembuluh darah otak dan akan menurunkan volume
intracranial sehingga dapat menurunkan TIK.
2. Pemberian Manitol
Pemberian dosis deuritik dengan konsentrasi cairan yang di tentukan sesuai
kebutuhan tetesan cepat agar tercapai keadaan hipertonis intravaskuler sehingga
tujuan sebagai osmotic deuretik bias tercapai. Mannitol tidak boleh di berikan
pada pasien dengan keadaan hipertensi akan memperberat hypovolemia.
3. Balance cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala harus tercukupi, karena jika tidak
dapat menyebabkan dehidrasi sistemik yang dapat memyebabkan cedera
sekunder pada jaringan otak yang mengalami trauma. Pemberian cairan juga
tidak boleh berlebihan oleh karena dapat menimbulkan overhiderasi sistemik
yang tidak berbahaya. Kadar elektrolit terutama natrium dalam serum juga
harus dijaga, keadaan hyponatremia berkaitan dengan terjadinya edema otak
yang harus dicegah.
4. Meninggikan kepala
Dengan posisi kepala lebih tinggi 20-30 derajat, akan memperbaiki venous out
flow kedalam aliran sistemik sehingga aliran darah dari otak ke sistemik berjalan
lebih lancer. Hal ini akan mengurangi volume darah yang statis intrakranial
sehingga TIK dapat di turunkan.
5. Pemberian nutrisi yang adekuat
Pada cedera kepala akan meningkatkan metabolisme sehingga kebutuhan kalori
meningkat 1,5 kali dari kebutuhan normal, pemberian nutrisi sedapat mungkin
secara enteral.
6. Pemberian phenytoin pada minggu-minggu pertama pasca cedera kepala
dengan kerusakan jaringan otak akan mengurangi resiko terjadi epilepsy post
trauma. Pemberian phenytoin di berikan sesuai dosis yang telah di gtentukan
dokter.
b. Craniectomi Decompresi
Merupakan oerasi pembedahan dengan membuka tulang kepala dengan terlebih dahulu
membuat beberapa lubang bor pada tulang kepala, kemudian antara lubang di gergaji
fragmen tulang dapat di simpan atau di buang apabila nilai tidak vital. (Satyanegara, et
al., 2010).
21
A. Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid
Tujuan diberikannya penatalaksanaan pada perdarahan subaraknoid adalah untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan denan pembedahan atau tindakan intravaskuler lain.
Selain itu, untuk memanajemen komplikasi.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengkonsultasikan ke dokter spesialis
bedah saraf. Pada pasien yang menderita perdarahan subaraknoid ini harus di rawat di rangan
ICU untuk pemantauan kondisi hemodinamiknya.
Langkah selanjutnya yaitu jalan napas pasien harus dijamin aman dan dipantau secara
invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery pressure. Ini dilakukan
untuk mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Dan penatalaksanaan selanutnya dalah mencegah terjadinya perdarahan berulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta menejemen komplikasi medis dan neurologis
lainnya. Obat-obat narkotika juga dapat diberikan akan tetapi harus berdasarkan indikasi dan
dengan resep dokter (Setyopranoto, 2012).
G. ASKEP
I. PENGKAJIAN
A. Data dasar
Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 54 tahun
B. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang :
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu :
3. Riwayat Kesehatan Keluarga :
4. Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah :-
Nadi :-
Pernapasan :-
Suhu tubuh :
5. Pemeriksaan penunjang :
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas akibat perembesan cairan serebrospinal pada saluran pernapasan.
22
2. Gangguan pertukawan gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi-
ventilasi.
3. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
III. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
akibat perembesan cairan serebrospinal pada saluran pernapasan
Tujuan : Setelah diberikan askep selama ... x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan pernapasan yang normal
Kriteria hasil :
a. Pasien menunjukkan status pernapasan: kepatenan jalan napas, yang
dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5:
gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau tidak ada gangguan):
Kemudahan bernapas
Frekuensi dan irama pernapasan
Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
Pergerakan sumbatan keluar dari jalan napas
b. Menunjukkan jalan napas yang paten dengan bunyi napas bersih
c. Irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
Intervensi Rasional
Mandiri
23
e. Pengisapan sesuai indikasi
e. Merangsang batuk atau pembersihan jalan
secara mekanik pada pasien yang tak mampu
melakukan karena batuk tak efektif atau
f. Pemantauan pernapasan penurunan tingkat kesadaran
pada pasien
f. Mengumpulkan dan menganalisis data data
pasien untuk memastikan kepatenan jalan
napas dan pertukaran gas yang adekuat.
Kolaborasi
24
Kaji suara paru, frekuensi napas, Untuk mengetahui ketidaknormalan
kedalaman, dan usaha napas. pada pernapasan pasien.
Pantau saturasi O2 dengan oksimeter Untuk mengetahui kebutuhan oksigen
nadi. yang diperlukan pasien.
Pantau status mental (tingkat Penurunan status mental
kesadaran). mengindikasikan adanya penurunan
tingkat kesadaran.
Health Education
Jelaskan kepada keluarga mengenai Untuk memudahkan perawat dalam
penggunaan alat bantu yang diperlukan pemberian intervensi.
(oksigen).
Kolaborasi
Konsultasi dengan dokter tentang Pemeriksaan GDA diperlukan untuk
pentingnya pemeriksaan GDA dan mengetahui kondisi pasien.
penggunaan alat bantu yang dianjurkan
sesuai kondisi pasien.
Evaluasi
S: Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak lagi mengalami sesak.
O: Frekuensi, irama, dan kedalaman napas pasien normal. Dan tidak terdengar adanya
bunyi napas tambahan.
A: Tujuan berhasil.
P: Intervensi dihentikan.
25
Intervensi Rasional
- Melakukan observasi Tanda-tanda vital - Dengan mengobservasi TTV dapat
tiap 8 jam mengetahui perubahan keadaan klien.
- Mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan - Untuk mengetahui tingkat nyeri yang
dengan klien. dirasakan klien sebagai indicator tindakan
selanjutnya.
26
Daftar Pustaka
American Heart Association (2015). Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart
Association 2015 untuk CPR dan ECC. American Heart Association.
C Suzanna, S. (2002). Buku ajar Keperawatan Medical Bedah. Dalam B. &. Suddart, edisi 8
volume 1,2,3. Jakarta: EGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan keperawatan
edisi 3. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia. (2014). Pelatihan Emergency
Nursing Intermediated Level . Jakarta.
Juwono. (2014). Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kowalak, J., Welsh, W., & Mayer, B. (2013). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Kusuma, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda
Nic - Noc. jogjakarta: Mediaction.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
Saputra, D. L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jogjakarta: Binarupa Aksara.
Satyanegara, Yusni , R. H., Abubakar, S., Sufarnap, E., Bahandi, I., & Sionno, J. (2010). Ilmu
Bedah Saraf Satyanegara Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama.
Setyopranoto, I. (2012). Penatalaksanaan Perdarahan SSubaraknoid. Continuing Medical
Education , 809.
Sudiharto, & Hartono. (2011). Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: Sagung Seto.
Urden, L. D., Stacy, K. M., & Lough, M. E. (2014). Critical care nursing diagnosis and
management seventh edition. Missouri: Elsevier Mosby.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2013). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 9. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing Thid
Edition. Philadelphia: F. A Davis.
27
28