Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri P PDF
Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri P PDF
ERMITA ARUMSARI
ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di
bawah bimbingan Dodik Briawan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia
remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi
Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1)
mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia
dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja
putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup
bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7)
mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8)
menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.
Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari
Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di
SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan
sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi
sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan
data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang
terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih
Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan
secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan
adanya izin dari orangtua.
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota
Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung,
pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data
menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi,
riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi
pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat
dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan
sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis
korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk
mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.
Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari
separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh
mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami
anemia.
Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh
berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada
kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan
baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat
kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5
kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.
Sebagian besar contoh (75.5%) sudah menstruasi dan memiliki frekuensi
menstruasi teratur. Frekuensi menstruasi tidak teratur lebih sering dialami contoh
anemia. Lebih dari separuh contoh anemia mengganti pembalut 3-4 kali setiap
hari dan 49.1 persen contoh tidak anemia mengganti pembalut 1-2 kali. Sebagian
besar contoh memiliki lama menstruasi yang normal.
Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan
(dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh
memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang
melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
contoh tidak anemia.
Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan
daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap
hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati
berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh
dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi
sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh
contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen
contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya
dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh
contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan
gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir
separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih
sering mengkonsumsi suplemen
Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi
konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik
menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus
gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus
gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).
FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA
PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI
ERMITA ARUMSARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Diketahui,
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3
November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan
Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus
tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001.
Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri
1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan
kampus dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti yaitu
Sopran 1 Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara tahun 2004-2006 dan Himpunan
Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia tahun 2005-2006.
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Faktor Risiko
Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan
Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan,
masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir
ini
2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan
memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini
3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang
diberikan
4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta
seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan
5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih
sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini
6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan
Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat
pengambilan data
7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani)
atas saran dan masukan yang diberikan
8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan
Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala
bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun
9. Teman-teman 345’ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia
Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB.
Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus
10. Teman-teman KKP Cisalak Subang, Cindy Chairunisa, Khotimah Husniati,
Cenra Intan Hartuti Tuharea, Ratu Dewi Hilna A, dan M. Ari Haryono, atas
dua bulan kebersamaan yang menyenangkan
11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira,
Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang
takkan terlupakan
12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan
semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama
penyusunan skripsi
13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah
hingga penyelesaian skripsi
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang............................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................... 4
Hipotesis ........................................................................................ 4
Kegunaan ...................................................................................... 4
KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 18
Nomor Halaman
1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia remaja putri peserta
program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi
(PPAGB) di Kota Bekasi ................................................................. 20
2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin............................. 26
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Nomor Halaman
1. Kuisioner Penelitian ............................................................................. 58
2. Frekuensi Konsumsi Pangan ............................................................... 60
3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia..... 61
4. Hasil Analisis Regresi Logistik ............................................................. 62
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang
saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor
pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan
agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan
sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk
membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik,
tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi
yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang
tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan
gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak
baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara
berkembang (Ruel 2001).
Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum
terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh
remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat
besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini
diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi
termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi
anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001
menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia
(konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil
studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di
Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).
Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada
masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode
remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak,
organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran
(DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi
meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang
diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence
dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh
early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi
dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi
makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle
adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan
seksual (Beard 2000).
Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi
terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi
pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para
remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh
dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi
(Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap
tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan
hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak
dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya
sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat
besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang
dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat
memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002).
Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan
dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami
menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap
anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi
(Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti
jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut
dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya
cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria
dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat
intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi
(Gleason & Scrimshaw 2007).
Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi karena
penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat infestasi
cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan
anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing
tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi
terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat
besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001)
Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama
pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat
mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur.
Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa
dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu
hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman
(2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai
dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik
dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami
penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan
produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak
negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi
(Dillon 2005).
Hasil studi faktor risiko lainnya menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis
kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005).
Sedangkan menurut hasil penelitian Maharani (2003), faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu
faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Adanya
faktor risiko tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia
seseorang terutama pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan.
Mengingat dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja
dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor risiko anemia pada remaja, khususnya pada remaja putri
peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)
di Kota Bekasi.
Tujuan
Tujuan Umum :
Mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Tujuan Khusus :
1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri
peserta program PPAGB
2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program
PPAGB
3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB
4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB
5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program
PPAGB
6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB
7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri
peserta program PPAGB
8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB
Hipotesis
Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku
hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak
mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi remaja dan keluarga serta
pihak yang terkait sebagai usaha pencegahan anemia sedini mungkin dengan
meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia pada remaja. Selain itu
diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada petugas kesehatan
dalam upaya penanggulangan anemia gizi.
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Putri
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia
10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa
masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu
pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam
hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat
badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan
kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan
pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45
persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan
massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat
gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya
pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun
(ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan
zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume
darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja
putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama
disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara
keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja
sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat
menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan
ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya
menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi
dibandingkan pria (Beard 2000).
Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi
saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang
dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan
berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal
tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007).
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif,
sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat
besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997)
menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan
ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta
permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi
sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain
itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan
kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001).
Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan
dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan
lemak).
Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan
adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi
badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat
tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena
antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan
kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel
untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja
saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan
seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan
membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut
adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut
WNPG 2004.
Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)
Usia
Rata-rata SD Rata-rata SD
10-12 tahun 38.4 9.2 145.4 8.8
13-15 tahun 44.6 6.7 152.3 4.6
16-18 tahun 46.3 4.6 149.1 4.9
Sumber : Jahari & Jus’at (2004) dalam WNPG (2004)
Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan
saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat
(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif
dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang
mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia.
Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi
merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan
anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit
infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan
terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit
seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan
kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut
mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001).
Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding
usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan
kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat
menyebabkan pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban
cacing dalam usus. Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan
anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi
populasi. Cacing tambang yang menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah
A. duodenale (Dreyfuss et al 2000).
Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi
dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang
ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax,
P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia
sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat (Shulman et al 1994).
Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat
menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti
bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin
pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan
serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).
Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang
peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut
terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria
parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan
malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel
darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul
akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti
hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Aktivitas Fisik
Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.
Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai
kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas
fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang
sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik
yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif
bagi kesehatan badan.
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat
dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam
dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin
dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut
Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam
dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging,
sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga,
mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan
(kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).
Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat
mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan
terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung
zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim
dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard
dan Tobin 2000).
Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi
zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang
dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan
urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita
menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan
dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30
menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada
lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai
kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang,
dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas
dan Dolins 2005).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam
menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan
jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya
tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang
kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et
al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena
pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998).
Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam
keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi
berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan
hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam
hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan
nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan
zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan
cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga
mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun
efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia
dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO
2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya :
- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood
- Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
- Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap
Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :
- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan
- Makanan dengan kandungan inositol tinggi
- Protein di dalam kedelai
- Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu
(seperti oregano)
- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu
Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas,
dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,
Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine
dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan
membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).
Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan
yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan
yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier
2001).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi
pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan
pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya
dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk
memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif
tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi
penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber
protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik
(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat
gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar
pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
Riwayat
Status Gizi
Penyakit
Status
Perilaku hidup Anemia
Usia
bersih dan sehat
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota
Bekasi
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
METODE PENELITIAN
Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota
Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas
2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh
berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk
menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan
SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun
menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan
pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari
orangtua siswi.
Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT
18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9).
Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang
ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi
merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang
sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi.
Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali),
normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi
dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu
ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi
dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi
(lebih dari tujuh hari).
Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang
pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu
penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika
memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit.
Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar.
Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan
santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang
seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat
seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact.
Data frekuensi pangan yang dikonsumsi selama seminggu dibagi menjadi
lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman,
dan suplemen. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut
frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari
3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.
Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan
multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel
yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai
minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi.
Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk
melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,
dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat
dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko
yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat
dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara
signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh
variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari
pada taraf nyata 10 persen.
Definisi Operasional
Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun
yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi
Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan
konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur
berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5),
normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT >
26.9)
Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan
dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar
hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai
dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status
menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi
menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi
Frekuensi menstruasi adalah keteraturan menstruasi remaja putri yang
dinyatakan rendah apabila menstruasi 2-3 kali sebulan, normal apabila
menstruasi satu kali setiap bulan, dan tinggi apabila menstruasi dua kali sebulan
Banyaknya menstruasi adalah gambaran darah yang dikeluarkan
remaja putri yang digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan
setiap hari
Lama menstruasi adalah lamanya menstruasi remaja putri yang
berlangsung setiap periode menstruasi dan dinyatakan rendah apabila kurang
dari tiga hari, normal apabila antara 3-7 hari, dan tinggi apabila lebih dari delapan
hari
Aktivitas Fisik adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja putri
yang dikategorikan menjadi tiga yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, dan
olahraga berat
Riwayat Penyakit adalah penyakit yang pernah diderita remaja putri
yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria,
dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku proaktif remaja putri
dalam memelihara kesehatan dan mencegah risiko penyakit yaitu berupa
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan atau tanpa sabun dan air
bersih
Konsumsi Pangan adalah gambaran pola konsumsi bahan makanan remaja
putri yang diukur secara kualitatif yaitu bahan pangan sumber heme dan sumber
non heme yang dikonsumsi selama seminggu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Anemia
Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi
sampai anemia defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi
apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada
penelitian ini, status anemia ditentukan menggunakan indikator hemoglobin.
Penggunaan konsentrasi hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran
anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan
dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode
Cyanmethemoglobin. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan
pada Gambar 2.
6.0% 0%
Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara
10-18 tahun. Rata-rata usia baik contoh yang anemia maupun tidak anemia
hampir sama yaitu berturut-turut 13.9 ± 1.7 tahun dan 13.5 ± 1.9 tahun. Pada
Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum proporsi terbesar contoh (39.5%)
berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia
(46.6%) berada pada kisaran usia tersebut.
Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh anemia (50.3%)
berada pada kisaran usia 13-15 tahun. Hal tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan siswi yang berusia antara 13-15 tahun untuk mengalami anemia
dibandingkan siswi yang berada diluar kisaran usia tersebut. Ini diduga karena
pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami menstruasi sehingga
kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami.
Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita
pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan
menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, rata-
rata usia menarche adalah 12 tahun.
Hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dengan status anemia (r = 0.131, p = 0.009). Hal ini
memperlihatkan bahwa usia antara 13-15 tahun memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Hulu (2004) pada siswi
SMK menunjukkan kecenderungan anemia berada pada kelompok siswi yang
berusia lebih tua. Ini diduga berkaitan dengan terjadinya menstruasi pada siswi
yang berusia lebih tua. Pada penelitian ini, hampir separuh siswi SMP yang
berusia antara 10-12 tahun belum mengalami menstruasi. Dillon (2005)
menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi,
dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia.
Persentase anemia terkecil terdapat pada kisaran usia 16-18 tahun. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Maharani (2001) yang menunjukkan bahwa
usia 18 tahun ke atas memiliki kecenderungan lebih kecil untuk menderita
anemia daripada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini pun diperkuat dengan
pernyataan Beard (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi yang
lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth
spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence sehingga apabila
intake zat besi kurang akan memicu terjadinya anemia. Hal ini juga diduga
karena menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi wanita usia 16-18 tahun
lebih rendah.
Status Menstruasi
Status menstruasi adalah keadaan sudah atau belumnya seorang wanita
mengalami menstruasi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam
tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah
satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan
pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu
(Depkes 1998).
Frekuensi Menstruasi
Frekuensi menstruasi menggambarkan keteraturan menstruasi seorang
wanita setiap bulannya. Frekuensi menstruasi dibedakan menjadi rendah (2-3
bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (sebulan dua kali). Berikut
adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia
yang disajikan pada Tabel 6.
Banyaknya Menstruasi
Banyaknya menstruasi digambarkan dengan banyaknya pembalut yang
digunakan contoh setiap hari. Menurut Affandi (1990), salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah darah menstruasi adalah dengan
menanyakan volume berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan.
Lama Menstruasi
Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan dianggap tidak normal jika
lebih dari delapan atau sembilan hari. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah
dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam
hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang tinggi dapat menyebabkan
darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan
kehilangan zat besi juga semakin tinggi (Affandi 1990). Sebaran contoh
berdasarkan lama menstruasi dan status anemia disajikan pada Tabel 8.
Lama menstruasi dikatakan rendah jika kurang dari tiga hari dan normal
apabila berada diantara 3-7 hari serta dikatakan tinggi jika lebih dari delapan hari.
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (87.7%) memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal (3-7 hari). Hal ini terlihat dari sebagian besar
contoh anemia (86.4%) dan tidak anemia (88.7%) yang juga memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal. Hanya sekitar 12.3 persen contoh yang
memiliki lama menstruasi yang tergolong tidak normal yaitu lama menstruasi
yang rendah (0.7%) dan tinggi (11.6%). Lama menstruasi yang tinggi lebih
banyak dialami oleh contoh anemia.
Menurut Affandi (1990), beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah
darah yang hilang selama satu periode menstruasi normal berkisar antara 20-25
cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.
Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau
kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari
(Arisman 2002).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan status anemia contoh
(p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan lama menstruasi tidak
mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Tidak
adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena rata-rata lama perdarahan
setiap periode tiap wanita kurang lebih tetap. Banyaknya darah yang keluar
dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan pada seorang remaja wanita
dapat berbeda-beda dari bulan ke bulan. Perbedaan lama menstruasi seseorang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, lamanya menstruasi, usia,
dan ovulasi (Affandi 1990).
Riwayat Penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Infeksi merupakan faktor yang penting
dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari
peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi
(Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa
sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit.
Aktivitas Fisik
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas fisik erat
kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Kartono 1992 diacu
dalam Ratnayani 2005). Aktivitas fisik dikategorikan menjadi olahraga ringan.
olahraga sedang, dan olahraga berat.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk hewani dan status anemia
Status Anemia
Frekuensi Total
Lauk Hewani Anemia Tidak Anemia
konsumsi
n % N % n %
Tidak Pernah 32 20.9 53 21.5 85 21.2
Jarang 76 49.7 113 45.7 189 47.3
Ikan Segar Kadang-kadang 34 22.2 70 28.3 104 26.0
Setiap Hari 11 7.2 11 4.5 22 5.5
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 111 72.5 169 68.4 280 70.0
Jarang 26 17.0 62 25.1 88 22.0
Ikan Asin Kadang-kadang 15 9.8 16 6.5 31 7.7
Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 109 71.2 160 64.8 269 67.3
Jarang 32 21.0 67 27.1 99 24.7
Daging Sapi Kadang-kadang 12 7.8 18 7.3 30 7.5
Setiap Hari 0 0 2 0.8 2 0.5
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 24 15.7 37 15.0 61 15.2
Jarang 80 52.3 114 46.1 194 48.5
Daging Ayam Kadang-kadang 47 30.7 86 34.8 133 33.3
Setiap Hari 2 1.3 10 4.1 12 3.0
Total 153 100 247 100 400 100
Status Anemia
Frekuensi Total
Lauk Hewani Anemia Tidak Anemia
konsumsi
n % N % n %
Tidak Pernah 140 91.5 228 92.3 368 92.0
Jarang 8 5.2 15 6.1 23 5.7
Hati Sapi Kadang-kadang 4 2.6 2 0.8 6 1.5
Setiap Hari 1 0.7 2 0.8 3 0.8
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 109 71.3 171 69.2 280 70.0
Jarang 36 23.5 61 24.7 97 24.2
Hati Ayam Kadang-kadang 8 5.2 14 5.7 22 5.5
Setiap Hari 0 0 1 0.4 1 0.3
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 15 9.8 39 15.8 54 13.5
Jarang 49 32.0 86 34.8 135 33.7
Telur Ayam Kadang-kadang 71 46.4 99 40.1 170 42.5
Setiap Hari 18 11.8 23 9.3 41 10.3
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 144 94.1 235 95.1 379 94.7
Jarang 3 1.9 10 4.1 13 3.3
Telur Bebek Kadang-kadang 5 3.3 2 0.8 7 1.7
Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 130 84.9 203 82.2 333 83.3
Jarang 18 11.8 33 13.4 51 12.7
Telur Puyuh Kadang-kadang 4 2.6 10 4.0 14 3.5
Setiap Hari 1 0.7 1 0.4 2 0.5
Total 153 100 247 100 400 100
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia
Status Anemia
Frekuensi Total
Lauk Nabati Anemia Tidak Anemia
konsumsi
n % n % n %
Tidak Pernah 16 10.5 31 12.6 47 11.8
Jarang 52 34.0 80 32.4 132 33.0
Tempe Kadang-kadang 56 36.6 91 36.8 147 36.8
Setiap Hari 29 18.9 45 18.2 74 18.5
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 35 22.9 68 27.5 103 25.7
Jarang 47 30.7 73 29.6 120 30.0
Tahu Kadang-kadang 45 29.4 70 28.3 115 28.8
Setiap Hari 26 17.0 36 14.6 62 15.5
Total 153 100 247 100 400 100
Tidak Pernah 92 60.1 147 59.5 239 59.7
Jarang 42 27.5 76 30.8 118 29.5
Kacang-
Kadang-kadang 14 9.1 22 8.9 36 9.0
kacangan
Setiap Hari 5 3.3 2 0.8 7 1.8
Total 153 100 247 100 400 100
Berdasarkan Tabel 13, frekuensi lauk nabati contoh berkisar antara 0-6
kali seminggu. Persentase frekuensi konsumsi lauk nabati contoh anemia tidak
jauh berbeda dengan contoh tidak anemia. Tempe dikonsumsi dalam frekuensi
kadang-kadang (36.8%) baik oleh contoh anemia maupun tidak anemia
sedangkan tahu dikonsumsi dalam frekuensi jarang (30.0%). Lebih dari separuh
contoh (59.7%) tidak pernah mengkonsumsi lauk nabati seperti kacang-
kacangan. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan
frekuensi setiap hari.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif (Almatsier 2001). Walaupun demikian, hasil
analisis Korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan
antara frekuensi konsumsi pangan nabati dengan status anemia contoh (p>0.1).
Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko usia 13-15 tahun memiliki
nilai koefisien positif dan OR sebesar 2.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk
mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia
10-12 tahun. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru
mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar
dibandingkan usia dibawahnya.
Pada penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun
dan hampir separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia
tersebut. Hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang
menunjukkan bahwa rata-rata usia menarche adalah 12 tahun. Remaja terutama
yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi,
lebih rentan terhadap anemia. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari
dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin,
salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Kehilangan zat besi
melalui menstruasi akan meningkatkan kebutuhan zat besi pada remaja wanita
(Depkes 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat
besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita
lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan
meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Hal inilah yang
menyebabkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berusia 10-
12 tahun yang belum mengalami menstruasi.
Nilai koefisien yang positif dan OR yang lebih dari 1 pada faktor risiko
status gizi kurus menunjukkan bahwa dengan semakin rendah IMT atau semakin
kurus siswi maka kecenderungan remaja putri untuk mengalami anemia makin
meningkat sebesar nilai OR. Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko
status gizi kurus memiliki OR sebesar 8.32. Hal ini memperlihatkan bahwa
remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32
kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Faktor risiko status gizi normal juga menunjukkan peranan yang signifikan
dalam mempengaruhi kecenderungan remaja putri mengalami anemia. Remaja
putri yang memiliki status gizi normal memiliki OR sebesar 6.73. Hal ini
menunjukkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki
kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja
yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia. Selain itu, menurut ADB/SCN (2006), Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan saat dewasa dan 50
persen dari berat badan. Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Menurut ABD/SCN (2001) diacu dalam Briawan (2008), wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi, sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat.
Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan
konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka
akan berisiko menderita anemia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Rata-rata kadar hemoglobin contoh adalah 12.4 ± 1.5 g/dl dengan rata-rata
kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Terdapat prevalensi anemia sebesar 38.3
persen. Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia dan 6.0
persen contoh mengalami anemia sedang (kadar Hb < 8.0 g/dl).
2. Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara 10-
18 tahun. Terdapat kecenderungan siswi yang berusia 13-15 tahun untuk
mengalami anemia. Rata-rata IMT contoh adalah 19.3 ± 3.3 kg/m2 dengan
kisaran IMT sebesar 11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Proporsi terbesar contoh
(48.0%) berada pada status gizi kurus.
3. Sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi dan memiliki
frekuensi menstruasi yang teratur. Frekuensi menstruasi yang tidak teratur
lebih sering dialami oleh contoh yang anemia. Contoh yang anemia
cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut yang diganti
setiap hari. Sebagian besar (87.7%) memiliki lama menstruasi yang tergolong
normal.
4. Sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan.
5. Sebagian besar contoh (91.3%) memiliki kebiasaan mencuci tangan baik
dengan atau tanpa sabun sebelum makan dan terdapat 8.7 persen contoh
yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan.
6. Lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki aktivitas fisik olahraga ringan.
Contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan zat besi selama
olahraga dibandingkan contoh yang tidak anemia dilihat dari intensitas
olahraga.
7. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging
ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari
(10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Lauk nabati dikonsumsi
kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5
persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Semakin jarang waluh dan
sawi dikonsumsi maka kecenderungan akan semakin kecil (p<0.1). Kurang
dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin
jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil.
Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan
(bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh
dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu.
8. Remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berusia 10-12 tahun. Remaja putri yang berstatus gizi
kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Remaja putri yang berstatus gizi
normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Saran
1. Secara umum tingkat konsumsi pangan sumber Fe contoh masih rendah.
Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara beberapa jenis pangan
sumber heme dengan status anemia sehingga perlu memperhatikan jenis zat
besi yang dikonsumsi karena akan mempengaruhi penyerapan besi oleh
tubuh.
2. Perlunya mengkaji tentang faktor risiko anemia yang diduga dapat
mempengaruhi kecenderungan status anemia terutama pada remaja putri
seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan dan pendidikan
orang tua) dan kebiasaan makan (frekuensi dan pantangan makan).
3. Mengingat cukup tingginya prevalensi anemia pada remaja putri pada
penelitian ini, untuk itu pemerintah perlu menjadwalkan kegiatan rutin seperti
suplementasi zat besi pada program PPAGB ini sebagai bentuk tindakan
pencegahan anemia pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Backstrand JR, LH Allen, AK Black, M deMata, GH Pelto. 2002. Diet and iron
status of nonpregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of
Nutrition 76:156–64 [5 April 2008]
Beard JL, B Tobin. 2000. Iron status and exercise. The Journal Of Nutrition;
72(suppl):594S–7S [5 April 2008]
FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome : FAO Food &
Nutrition Division
Habibi YN. 2003. Perilaku konsumsi suplemen pada anak prasekolah [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Hayatinur E. 2001. Prevalensi anemia dan perilaku makan remaja putri di SMUN
2 Kuningan Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya
dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Irawati A, et al. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di
Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin
1999/2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI
Jahari AB, I Jus’at. 2004. Review Data Berat Badan dan Tinggi Badan Penduduk
Indonesia. Didalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.
Maharani II. 2003. Faktor risiko yang mempengaruhi status anemia mahasiswa
USMI IPB 2002-2003 [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease.
The Journal Of Nutrition 131: 616S–635S [3 April 2008]
Ruel MT. 2001. Can Food-Based Strategies Help Reduce Vitamin A and Iron
Deficiencies? A Review of Recent Evidence. Washington DC :
International Food Policy Research Institute
Shulman ST, JP Phair, HM Sommers. 1994. The Biologic & Clinical Basis of
Infectious Diseases, Fourth Edition, penerjemah Samik Wahab.
Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
Supariasa IDN, I Fajar, B Bakri. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Wijianto. 2002. Dampak suplementasi tablet tambah darah (TTD) dan faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di kabupaten
Banggai propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus
Agriwidya
Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. London : Taylor & Francis Inc.
Zhu YI, JD Haas. 1997. Iron depletion without anemia and physical performance
in young women. The Journal of Nutrition :66:334-41 [23 Juni 2008]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner penelitian
KUISIONER
KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI
PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU
PUSKESMAS/KECAMATAN : ....................................................................
A. Identitas Responden
1. Nama siswi : ....................................................................
2. Tanggal Lahir/Umur : ....................................................................
3. Nama Orang Tua : ....................................................................
4. Kelas : ....................................................................
B. Pernyataan Kesediaan Diambil darah
1. Apakah bersedia diambil darah?
1. Ya 2. Tidak
2. Hasil pemeriksaan darah, Hb : .........… g%
1. Anemia (Hb < 12 g%) 2. Normal (Hb ≥ 12 g%)
C. Data Antropometri dan Status Gizi
1. Berat Badan : ................., ................. kg
2. Tinggi Badan : ................., ................. m
3. Indeks Massa Tubuh (IMT) : ................., .................
4. Status Gizi :
1. Kurus : IMT < 18.5
2. Normal : IMT 18.5 – 24.9
3. Risiko untuk Gemuk : IMT 25.0 – 26.9
4. Gemuk : IMT ≥ 26.9
D. Aktivitas Fisik
Kegiatan sehari-hari selain belajar (jawaban boleh lebih dari satu)
1. Olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam
pernapasan, dll)
2. Olahraga sedang (basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dll)
3. Olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high
impact, dll)
E. Pola Menstruasi
1. Frekuensi Menstruasi
1. Sebulan sekali 3. 2-3 bulan sekali
2. Sebulan dua kali 4. Lain-lain, sebutkan .................
2. Banyaknya Menstruasi
1. Sehari ganti 1-2 kali 3. Sehari ganti 5-6 kali
2. Sehari ganti 3-4 kali 4. Sehari ganti > 6 kali
3. Lama menstruasi
1. < 3 hari 3. 5 – 7 hari
2. 3 – 5 hari 4. > 7 hari
F. Riwayat Penyakit
1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah,
keluar keringat malam)?
1. Ya 2. Tidak
2. Apakah pernah menderita sakit malaria (Sering demam disertai
menggigil)?
1. Ya 2. Tidak
3. Apakah dalam satu bulan terakhir ini pernah keluar cacing?
1. Ya 2. Tidak
G. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Apakah mencuci tangan sebelum makan?
1. Mencuci tangan pakai sabun
2. Mencuci tangan tidak pakai sabun
3. Tidak mencuci tangan
H. Perilaku Makan
1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari?
1. > 3 kali 3. 2 kali
2. 3 kali 4. 1 kali, alasannya .................
2. Apakah ada pantangan makanan tertentu yang dianjurkan?
1. Ada, sebutkan alasannya ...................................................
2. Tidak ada
3. Apakah ada makanan tertentu yang dianjurkan?
1. Ada, sebutkan alasannya ..................................................
2. Tidak ada
Lampiran 2. Frekuensi Konsumsi Pangan
FORMULIR RECALL KONSUMSI MAKANAN SUMBER ZAT BESI DAN VITAMIN C
KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI
PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU
NAMA SISWI : …………………………………………………………….
TANGGAL LAHIR/UMUR : …………………………………/…………………..tahun
NAMA SEKOLAH/KELAS : …………………………………………………………….
PUSKESMAS/KECAMATAN : …………………………………………………………….
KABUPATEN/KOTA : …………………………………………………………….
Frekuensi Makan dalam Seminggu
No Bahan Makanan
Tidak Setiap Hari 3 – 6 Kali < 3 Kali
SUMBER HEME
1. Lauk Hewani
- Ikan segar
- Ikan asin
- Daging sapi
- Daging ayam
- Hati sapi
- Hati ayam
- Telur ayam
- Telur bebek
- Telur puyuh
..........................
SUMBER NON HEME
2. Lauk Nabati
- Tempe
- Tahu
- Kacang-kacangan
..........................
3. Sayuran
- Waluh
- Kembang kol
- Kol
- Brokoli
- Wortel
- Kentang
- Daun singkong
- Bayam
- Kangkung
- Sawi
- Daun pepaya
………………….
4. Buah-buahan
- Jeruk
- Pepaya
- Tomat
- Jambu biji
- Mangga
- Nenas
- Pisang
..........................
5. Makanan Jajanan
..........................
6. Minuman
- Teh
- Kopi
7. Suplemen
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia
Faktor Risiko Koefisien Korelasi Sig.
Usia 0.131 0.009*
Status Gizi Antropometri - 0.043 0.396
Status Menstruasi 0.113 0.023*
Frekuensi Menstruasi 0.011 0.855
Banyak Menstruasi 0.044 0.448
Lama Menstruasi 0.028 0.632
Riwayat Penyakit - 0.009 0.861
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 0.011 0.824
Aktivitas Fisik 0.023 0.641
Lauk Hewani
Ikan Segar 0.035 0.480
Ikan Asin - 0.071 0.155
Daging Sapi 0.005 0.928
Daging Ayam 0.069 0.167
Hati Sapi - 0.054 0.281
Hati Ayam 0.018 0.725
Telur Ayam - 0.085 0.088*
Telur Bebek - 0.108 0.031*
Telur Puyuh 0.029 0.558
Lauk Nabati
Tempe - 0.005 0.923
Tahu - 0.034 0.496
Kacang-kacangan - 0.042 0.398
Sayuran
Waluh - 0.103 0.040*
Kembang Kol - 0.026 0.604
Kol 0.015 0.757
Brokoli - 0.077 0.123
Wortel 0.010 0.840
Kentang 0.052 0.298
Daun Singkong 0.018 0.723
Bayam 0.017 0.730
Kangkung - 0.053 0.290
Sawi - 0.087 0.082*
Daun Pepaya - 0.017 0.733
Buah-buahan
Jeruk 0.074 0.138
Pepaya - 0.123 0.014
Tomat - 0.026 0.605
Jambu Biji 0.055 0.274
Mangga - 0.039 0.432
Nenas 0.012 0.803
Pisang 0.066 0.186
Makanan Jajanan
Bakso - 0.038 0.446
Mie 0.069 0.170
Gorengan 0.003 0.957
Minuman
Teh - 0.037 0.462
Kopi - 0.054 0.281
Susu 0.068 0.175
Suplemen - 0.017 0.735
* Signifikan pada taraf kepercayaan < 0.1
Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Logistik
Faktor Risiko OR 90% C.I OR
Usia 13-15 thn (13-15thn=1, 10-12thn=0) 2.727 1.673 - 4.539
16-18 thn (16-18thn=1, 10-12thn=0) 1.689 0.979 - 3.066
Status Gizi Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0) 8.323 2.270 - 29.152
Normal (18.5<IMT<25=1, IMT>25= 0) 6.733 1.794 - 22.531
Menstruasi Sudah = 1, Belum = 0 1.220 0.689 - 2.066
Riwayat Penyakit Ya = 1, Tidak = 0 0.714 0.089 - 4.445
Aktivitas Fisik OR Sedang (Sedang = 1, Ringan = 0) 0.369 0.667 - 1.392
OR Berat (Berat = 1, Ringan = 0) 0.956 0.049 - 2.465
Konsumsi Pangan Telur ayam (Jarang = 1, Sering = 0) 0.901 0.173 - 1.734
Telur bebek (Jarang = 1, Sering = 0) 0.782 0.551 - 2.573
Konstanta 0.052
* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1