PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya sayap.1
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang
menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea yang bersifat
degeneratif dan invasif.2 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.2 Pterigium dapat
mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Pterigium dapat
menyebabkan terganggunya penglihatan jika pterigium sudah mencapai area pupil.3
Pterigium juga berhubungan dengan masalah kosmetik.3
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu neoplasma,
radang ataupun degenerasi, diduga disebabkan oleh iritasi yang terus menerus dari
angin, sinar matahari, udara yang panas dan debu. Pada tahap awal, penderita sering
sering mengeluhkan matanya terasa panas, perasaan mengganjal seperti ada benda
asing, mata merah, dan adanya gangguan penglihatan.1
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis pterigium grade
I okulus dextra pada pasien yang datang berobat ke poliklinik Mata RSUP. Prof. dr.
R. D. Kandou Manado.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Histologi Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri
dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet
bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke
tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata secara merata di seluruh
prekornea.6
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis,
kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva
yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik)
pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.6
4
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan cabang
saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin “cornum”
artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan kornea
dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel,
lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel7.
5
Gambar 4. Anatomi Kornea
B. Definisi
Gambar 5. Pterigium
C. Epidemiologi
6
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
Etiologi
Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium yaitu:
7
3. Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya
hubungan yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi
masih belum diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium ataupun
sebaliknya.
E. Patofisiologi
8
Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga
disebutkan bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana
sekresi berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis.8,9
9
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem sel
ini juga akan memproduksi sitokin sambil juga menyembuhkan kornea.
Sitokin dan berbagai growth 10actor akan mempengaruhi stem sel di limbus
sehingga terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel yang akhirnya
akan menimbulkan pterigium.8
F. Klasifikasi
10
Grade III : puncak melewati setengah jarak antara limbus dan
pupil tetapi belum melewati pupil.
Grade IV : puncak sudah melewati pupil.
G. Gejala Klinis
merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat diperparah
dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala ini, pasien juga
mengeluhkan masalah kosmetik.9
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers).
Penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
11
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.1,11,12
2. Non medikamentosa
a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,
angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan pada
pterigium11:
1) Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan
kembalikonjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon
rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2) Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3) Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap
4) Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
b. Menjaga kebersihan mata
c. Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.
3. Terapi Tambahan
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian12:
12
a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
I. Komplikasi dan Pencegahan
1. Komplikasi
a. Penurunan penglihatan
b. Kemerahan
c. Iritasi
a. Infeksi
c. Diplopia
e. Parut konrea
13
f. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata,
perdarahan vitreus, atau retinal detachment
2. Pencegahan
J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien
dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.12
14
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Umur : 54 tahun
Pekerjaan : IRT
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Agama : Kristen
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
15
Riwayat penyakit disangkal pasien. Riwayat alergi obat tidak ada.
Ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini yaitu kakak
pasien.
6. Riwayat kebiasaan
7. Riwayat Trauma
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
16
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
o Visus : OD 6/6 OS 6/6
o Pupil Distance : 62/60
o Tekanan Intra Okular : n/palpasi
PEMERIKSAAN OBJEKTIF
o Inspeksi Umum
Edema (-)
Hiperemis (-)
Sekret (-)
Lakrimasi (-)
Fotofobia (-)
Blefarospasme (-)
Posisi Bola Mata ODS Ortoforia
Gerakan bola mata baik ke segala arah
Benjolan (-)
o Segmen Anterior
Supra Silia ODS : Normal
Palpebra ODS : Dalam batas normal
Konjungtiva :
Tarsal ODS : Dalam batas normal
Bulbi OD : Terdapat jaringan fibrovaskuler dengan
puncak di konjungtiva bulbi.
Bulbi OS : Dalam batas normal
Injeksi ODS : (-)
Kornea ODS: Jernih
COA ODS: Cukup dalam
Iris : Dalam batas normal
Pupil : Bulat, Reflex Cahaya (+)
Lensa : Jernih
o Segmen Posterior
Refleks fundus ODS: (+) Uniform
Retina : Dalam batas normal
17
Makula : Refleks fovea (+)
E. RESUME
Seorang perempuan 54 tahun datang berobat ke poliklinik mata RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan. Rasa
mengganjal pada mata kiri dirasakan penderita sejak ± 8 tahun. Penderita juga
mengeluh mata berair dan rasa perih. Penderita merupakan seorang ibu rumah
tangga yang bekerja menjaga toko didepan rumahnya. Riwayat trauma pada mata
disangkal. Riwayat penyakit mata lainnya disangkal. Riwayat alergi obat tidak ada.
Penderita baru kali ini menderita sakit seperti ini dan dalam keluarga ada yang
menderita sakit seperti ini. Riwayat kebiasaan mengendarai motor tanpa menutup
kaca helm atau memakai kaca mata, bekerja tanpa memakai pelindung mata, dan
kebiasaan mengucak mata. Status oftalmologi, segmen anterior orbita dextra
terdapat jaringan fibrovaskular yang memuncak di konjungtiva bulbi.
DIAGNOSIS
OD : Pterigium stadium I
DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
Pinguekula
18
TERAPI
Artificial tear drop 4x1 gtt OD
Operasi (jika pterigium sudah sangat mengganggu)
PROGNOSIS
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad vitam : bonam
EDUKASI
Menggunakan kacamata atau tutup kaca helm saat mengendarai motor
Menghindari pajanan dari lingkungan sekitar seperti asap, debu, dan sinar
matahari
Menjaga higiene mata
Kontrol ke poli mata secara teratur.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyebab pterigium yang pasti sampai saat ini belum jelas, tetapi diduga
disebabkan oleh iritasi faktor eksternal, yaitu sinar ultraviolet atau inframerah,
disamping debu, angin dan udara panas. Hal inilah yang dapat menerangkan
mengapa pterigium lebih banyak ditemukan di daerah ekuator atau tropis, termasuk
Indonesia. Mereka yang beresiko terkena penyakit ini adalah mereka yang sering
beraktivitas di luar rumah dimana paparan terhadap sinar matahari langsung dan
debu serta angin sangat memungkinkan untuk terjadi.5
Negara yang dekat daerah ekuator mendapat intensitas sinar ultraviolet lebih
tinggi sehingga dapat menyebabkan perubahan seluler pada limbus kornea bagian
medial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cameron yang menyatakan angka
kejadian pterigium semakin meningkat bila mendekati daerah ekuator. Sinar
ultraviolet dapat menyebabkan perubahan histologis sel epitel, jaringan konjugtiva
submukosa dan destruksi sel stem pada limbus, akibatnya fungsi barier limbus tidak
ada sehingga konjugtiva yang mengalami inflamasi dan degenerasi dapat dengan
mudah menjalar melewati limbus menuju kornea dan membentuk jaringan
pterigium di daerah interpalpebra (celah kelopak) biasanya bagian nasal. Namun,
menurut punjabi dkk, ultraviolet bukanlah penyebab utama pterigium, para pekerja
20
yang berhubungan dengan debu menunjukkan prevalensi pterigium yang lebih
tinggi.1,5.12
Pada pemeriksaan slit lamp didapatkan kornea jernih, permukaan tidak rata
ditutupi oleh membran berbentuk segitiga yang puncaknya sampai limbus, COA
cukup dalam dan lensah jernih
Pada kepustakaan pterigium didefinisikan sebagai suatu perumbuhan
mikrovaskular konjungtiva yang bersihat degeratif dan invasif yang membentuk
suatu membran segitiga dengan dasar pada konjugtiva bulbi dan puncak di daerah
konea. Pada awalnya pterigium tampak sebagai suatu jaringan dengan banyak
pembuluh darah sehingga berwarna merah, yang kemudian menjadi satu membran
tipis dan berwarna putih. Bagian sentral yang melekat pada kornea dapat tumbuh
memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman dengan
jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini berlanjut dan mendekati pupil, yang
dapat memperparah gangguan penglihatan pada seseorang dengan pterigium
21
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
22
Penanganan yang diberikan meliputi penatalaksanaan medikamentosa dan non
medikamentosa. Penanganan medikamentosa meliputi pemberian air mata buatan/
artificial tears drop (Cendo Lyteers), penggunaan jangka pendek tetes mata
kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih
intens. Untuk pterigium stadium 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Penanganan non medikamentosa meliputi pembedahan. Pembedahan
dilakukan jika pterigium dirasakan sudah saat mengganggu pasien dan juga sudah
menyebabkan gangguan penglihatan.14
Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau
topi pelindung jika hendak keluar rumah untuk menghindari kontak dengan sinar
matahari, debu, udara, panas dan angin.
23
BAB IV
SIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
25
10. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular surface disease, medical surgical
management, 2002.
11. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
13. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14.Jakarta:Widya Medika.2000.hal 5-6.111 Solomon A.S. Pterigium.
British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online]. 2010. [Cited January 2018].
Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.
26