KAJIAN
Tentang
KESENJANGAN
antara United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-undangan Indonesia
antara
UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
dengan
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Penyusun:
I Wayan Parthiana, S.H., M.H.
Dr. Ramelan, S.H., M.H.
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.
Penerbit:
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6-7
G A P A NA LYS I S
ISBN : 978-602-98660-0-1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................v
Bab I Pendahuluan............................................................................1
G A P A NA LYS I S
4. Relevansi Pengkajian atas Kesenjangan Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia terhadap UNTOC........................................... 8
5. Metoda Pengkajian........................................................................... 9
U NTOC
Bab II Kesenjangan antara UNTOC dengan Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia.............................................................. 11
iii
1. Pernyataan Tujuan (Pasal 1)............................................................12
14. Penyerahan Harta Hasil Tindak Pidana atau Kekayaan
yang Disita (Pasal 14)...................................................................... 26
KATA PENGANTAR
G A P A NA LYS I S
bersama-sama oleh Dr. Surastini Fitriasih, Dr. Ramelan, dan I Wayan Parthiana,
MH dengan dukungan teknis dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan NLRP.
Kegiatan ilmiah tersebut berlangsung sejak 29 April 2010 sampai 20 Agustus 2010.
U NTOC
Hasil kajian telah direview ahli hukum internasional (Belanda). Kementerian Hukum
dan HAM – NLRP mempublikasikannya dengan maksud agar dapat menjadi bahan
kajian dan referensi bagi semua pihak yang membutuhkannya.
v
Sebagaimana dipahami, kebijakan hukum meratifikasi konvensi internasional
mengandung konsekuensi bahwa secara yuridis formal konvensi tersebut telah menjadi
bagian dari hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu selain mempertimbangkan
berbagai tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah
(misalnya pendanaan, pembentukan struktur organisasi berupa badan, dewan, dan
lain-lain) berdasarkan konvensi tersebut, hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan
adalah sejauhmana konvensi yang telah diratifikasi bersesuaian dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
Kata Pengantar
Hasil analisis tersebut juga menemukan bahwa dengan berlakunya UNTOC menimbulkan
persoalan terhadap ruang lingkup berlakunya hukum pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 – 9 KUHP, yang secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidananya.
Dengan demikian Tim mempertanyakan, apakah Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8
KUHP tersebut masih sesuai dengan UNTOC atau sudah ketinggalan zaman?
Dengan berlakunya UNTOC di dalam sistem hukum nasional Indonesia tidaklah berarti
penerapan berbagai pasal-pasal Konvensi tersebut dengan mudah dapat dijalankan,
setidak-tidaknya para penegak hukum memerlukan waktu untuk mempelajari dan
memahaminya sehingga benar-benar dapat dilaksanakan, dengan penerapan yang
tidak melanggar prinsip-prinsip hukum pidana dan hukum acara pidana yang jauh
sebelumnya sudah berlaku.
Model analisis kesenjangan (gap analysis) seperti yang dirintis oleh Ditjen PP bersama
NLRP mungkin patut dikembangkan dalam berbagai konvensi internasional lainnya.
Seharusnya kajian tersebut dilakukan oleh para ahli hukum secara komprehensif
sebelum (Delegasi Republik) Indonesia menyatakan persetujuannya, sehingga
dapat dicermati bagian-bagian mana dari substansi konvensi tersebut kemungkinan
G A P A NA LYS I S
Semoga hasil analisis UNTOC bermanfaat bagi Kementerian Hukum dan HAM sebagai
bahan referensi untuk menyempurnakan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang direncanakan akan disampaikan Presiden kepada pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat pada tahun ini (2011).
vi
Tim Kajian
Kata Pengantar
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
G A P A NA LYS I S
U NTOC
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karunia-Nya Kajian
tentang Kesenjangan antara Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan United vii
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC Gap Analysis)
yang merupakan hasil kerjasama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
dengan National Legal Reform Program (NLRP) Belanda dapat diselesaikan.
Dalam pelaksanaannya kerjasama tersebut melibatkan tenaga ahli, yakni Dr. Ramelan,
S.H., M.H., Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., I Wayan Parthiana, S.H., M.H., dan Ms.
Marjorie Bonn (tenaga ahli dari Belanda) serta masukan dari Kementerian-kementerian
terkait.
Kajian ini merupakan kajian hukum normatif atau kajian hukum doktrinal yang
bertujuan untuk mengkaji apakah ketentuan atau aturan dan norma yang ada di dalam
UNTOC terdapat kesenjangan atau apakah sudah di implementasikan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Hasil pengkajian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai masukan dan arahan bagi pembentuk undang-undang dalam rangka menyusun
undang-undang baru dalam bidang yang berkaitan dengan substansi UNTOC.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu, juga kepada pihak National Legal Reform
Program (NLRP) yang telah memfasilitasi kegiatan dimaksud sehingga kajian tersebut
dapat selesai.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan hasil kerja dari Tim Kajian tentang Kesenjangan
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
viii
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
G A P A NA LYS I S
bahwa penandatanganan ini barulah tahap penerimaan dan persetujuan
atas naskah perjanjian oleh wakil-wakil dari negara-negara yang menghadiri
konperensi, sebagai naskah yang final dan otentik. Namun, sampai tahap
U NTOC
penandatanganan ini, UNTOC belum berlaku atau belum mengikat sebagai
hukum internasional positif.
Pendahuluan
telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Sebagai konsekuensi
dari ratifikasi tersebut maka Konvensi dimaksud perlu ditransformasikan
ke dalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu dengan membuat
ketentuan-ketentuan untuk menampung apa yang diatur di dalam Konvensi
yang telah diterima dan disahkan. Asas-asas hukum pidana internasional
yang baru, sebagaimana dimuat dalam Konvensi, akan membuka wawasan
baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional.
2. SISTEMATIKA DAN SUBSTANSI UNTOC
Perlu ditegaskan disini, bahwa pembedaan ini bukanlah sesuatu yang bersifat
hitam dan putih sebab di dalam kaidah hukum formal-prosedural itupun
Pendahuluan
terdapat hal-hal yang bersifat materiil-substansial, atau ada pasal-pasal yang
substansinya merupakan area abu-abu (grey area). Pembedaan ini sekadar
untuk memudahkan dalam penelaahannya saja.
G A P A NA LYS I S
b. Pertanggungjawaban badan hukum bukan hanya pidana saja tetapi
juga meliputi tanggungjawab menurut hukum perdata dan hukum
U NTOC
administrasi. Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan bukan hanya
sanksi hukum pidana tetapi juga sanksi yang bersifat pelarangan
termasuk sanksi moneter (Pasal 10).
Pendahuluan
2) memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya atas tindak
pidana yang diatur dalam Konvensi ketika tersangka berada di
wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut
dengan alasan semata-mata bahwa ia adalah warganegaranya.
Dari sisi lain, Konvensi ini dapat pula dipandang sebagai pengintegrasian
dari empat substansi besar yang masing-masing sudah lazim diatur di
dalam perjanjian-perjanjian internasional tersendiri. Keempatnya itu
adalah, tentang kejahatan atau tindak pidana itu sendiri (Pasal 5, 6, 8, 9
dan 23), tentang ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17),
kerjasama timbal balik dalam masalah pidana atau bantuan hukum timbal
balik (Pasal 18). Bahkan, aturan tentang ekstradisi (Pasal 16 ayat 1 - 17) dan
bantuan hukum timbal balik (Pasal 18 ayat 1 – 30) dapat dipandang sebagai
pemadatan atau pemampatan dari masing-masing pranata hukum tersebut.
G A P A NA LYS I S
Selain dari keempat bidang tersebut, di dalam beberapa pasal lainnya juga
terkandung tentang masalah-masalah yang lebih bersifat teknis-operasional
yang juga dapat diatur dan dirumuskan dalam suatu perjanjian kerjasama
U NTOC
Pendahuluan
sebagai tindak pidana serius. Namun karena merupakan poros dari tindak
pidana yang lain yang tentu saja sudah ada pengaturannya di dalam hukum
pidana nasional Indonesia, maka keberadaan dari tindak pidana serius ini
merupakan kaidah hukum pidana baru yang membungkus banyak macam
tindak pidana yang sudah ada sebelumnya.
G A P A NA LYS I S
namun putusan akhir dari kewajiban untuk pertimbangan itu sepenuhnya
terletak pada negara-negara peserta yang bersangkutan sebab kewajiban
yang dibebankan itu hanya terbatas untuk mempertimbangkan saja. Selain
U NTOC
itu, ada ketentuan yang sifatnya sepenuhnya fakultatif (Each State Party may
………). Oleh karena sifatnya yang fakultatif maka pelaksanaannya tentulah
sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Hal ini
antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 14 ayat 3, Pasal 17, Pasal 18 ayat 16,
dan Pasal 22. 7
3. DAMPAK UNTOC TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA
UNTOC yang kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum
(positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya
dengan undang-undang nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undang-
undang pidana pada khususnya. Sebagai hukum yang berasal dari luar yang
substansinya tidak dibuat oleh institusi pembuat undang-undang (Presiden
dan DPR) melainkan hanya disetujui saja, tidak akan dapat dielakkan lagi
dampaknya terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional
Indonesia yang lainnya yang sudah ada dan lebih dahulu berlaku sebagai
hukum positif. Apa dan bagaimana saja dampaknya itu?
Pendahuluan
perhatian yang sungguh-sungguh karena bersentuhan dengan peraturan
perundang-undangan nasional yang ada hubungannya dengan ketentuan
UNTOC tersebut. Untuk menyelesaikan dampak ini, maka Indonesia
harus mentransformasikan substansinya ke dalam hukum atau peraturan
perundang-undangan nasionalnya. Secara sistematika, pentransformasian
itu dapat disistematikakan sebagai berikut:
Pertama; ada ketentuan UNTOC yang baru sama sekali dan tidak ada
padanan atau pengaturannya di dalam hukum nasional Indonesia. Dalam hal
ini, Indonesia harus membuat undang-undangnya yang baru. Hal ini terutama
berkenaan dengan substansi yang berupa kaidah hukum pidana materiil-
substansial, seperti tentang kejahatan atau tindak pidana yang ditegaskan di
dalam salah satu atau beberapa pasalnya.
Kedua; ada ketentuan UNTOC yang sudah ada padanan atau pengaturannya
di dalam hukum nasional Indonesia. Jika demikian halnya, maka ada
kemungkinan ketentuan UNTOC lebih lengkap atau lebih sempurna
pengaturannya. Dalam hal ini, Indonesia haruslah menyesuaikan atau
G A P A NA LYS I S
Atas dasar apa yang telah dipaparkan di atas, kiranya sangat relevan untuk
dikaji secara lebih mendalam tentang sejauhmanakah terjadinya kesenjangan
antara hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
berkenaan dengan masuk dan berlakunya UNTOC ke dalam sistem hukum
nasional Indonesia serta dampak-dampaknya terhadap hukum atau
peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Dengan pengkajian ini,
diharapkan dapat diperoleh gambaran baik secara umum ataupun secara
lebih rinci tentang kekurangan ataupun kelebihan dari hukum atau peraturan
perundang-undangan nasional Indonesia terhadap UNTOC.
Pendahuluan
hal yang baru, namun banyak ataupun sedikit, mengandung unsur-unsur
baru yang kadang-kadang tidak atau belum diatur di dalam hukum nasional.
Ataupun jika sudah diatur, ternyata masih mengandung kekurangan setelah
diperbandingkan dengan ketentuan Konvensi. Inilah yang pada umumnya
merupakan kesenjangan yang sering dapat dijumpai antara hukum atau
peraturan perundang-undangan nasional negara-negara dengan konvensi
pada umumnya, tidak terkecuali dengan hukum nasional Indonesia dalam
hubungannya dengan UNTOC.
G A P A NA LYS I S
yang terjadi sebagai akibat dari masih adanya kesenjangan tersebut. Secara
ideal, diharapkan terwujud adanya keharmonisan antara keduanya.
U NTOC
5. METODA PENGKAJIAN
Kajian yang dilakukan ini merupakan kajian hukum normatif atau kajian 9
hukum doktrinal, karena sumber data yang dikaji adalah data sekunder
berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.
Bahan utamanya adalah bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime dan peraturan
perundang-undangan Indonesia. Untuk peraturan perundang-undangan
Indonesia, lebih dikhususkan pada tingkatan UU dan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan atau aturan dan norma yang ada di dalam UNTOC dijadikan acuan
untuk melihat apakah sudah diimplementasikan dalam ketentuan berbagai
peraturan perundang-undangan Indonesia. Apabila sudah ada ketentuan
serupa, lebih jauh dilihat pula apakah sudah sepenuhnya mengakomodasi
norma yang diamanatkan dalam ketentuan UNTOC. Jadi bila dilihat dari
perspektif tujuannya penelitian hukum normative ini merupakan penelitian
terhadap taraf sinkronisasi hukum secara horizontal. Hal yang diteliti
adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
sinkron dengan ketentuan dalam UNTOC. Penelitian sinkronisasi ini di
samping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai
perundang-undangan yang relevan dengan ketentuan UNTOC, juga dapat
mengungkapkan kelemahan dan kelebihan yang ada pada perundang-
undangan Indonesia yang terkait materi yang diatur dalam UNTOC. Dengan
demikian, peneliti dapat memberikan rekomendasi terhadap perundang-
undangan tersebut. Oleh karena pengkajian dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
Pendahuluan
tertentu, maka pendekatannya adalah pendekatan undang-undang (statute
approach). Dalam hal ini isu hukum yang menjadi obyek kajian adalah
kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Sebagai hukum yang berasal dari luar dan merupakan hasil kesepakatan dari
negara-negara yang menjadi pihak/pesertanya, UNTOC mengandung kaidah-
kaidah atau nilai-nilai hukum baru yang dalam beberapa hal tidak terdapat di
U NTOC
II
KESENJANGAN ANTARA UNTOC
DENGAN
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA
KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
G A P A NA LYS I S
pemberantasannya akan lebih efektif jika dilakukan melalui suatu kerjasama
(internasional) dibandingkan dengan bila masing-masing negara melakukan
pencegahan dan pemberantasannya secara sendiri-sendiri.
U NTOC
1.2. Masalah Pokok yang Dihadapi Indonesia
13
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang secara
geografis sangat strategis karena terletak antara dua benua dan dua samudera
yang cukup ramai lalu lintas pelayaran maupun penerbangannya, juga sangat
strategis bagi para pelaku dari pelbagai macam kejahatan internasional/
transnasional, termasuk pelaku kejahatan transnasional terorganisasi.
Mereka bisa bekerjasama dengan sesama rekannya yang berada di negara
lain, apakah kejahatan itu dilakukan di dalam wilayah Indonesia atau di luar
wilayah Indonesia, apakah korbannya terjadi di wilayah Indonesia atau di
luar wilayah Indonsia, ataukah kombinasi antara semuanya. Bentuk dan jenis
kejahatannyapun semakin canggih, terutama karena ditunjang oleh sarana
teknologi yang mutakhir. Sebagai akibatnya, korbannyapun baik berupa
orang ataupun harta benda, cukup banyak berjatuhan. Oleh karena itu, tidak
ada jalan lain bagi Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional, harus
berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional
seperti kejahatan transnasional terorganisasi, baik secara tersendiri, ataupun
dengan melalui kerjasama internasional.
1. 3. Langkah Hukum yang Ditempuh Indonesia
yang telah ditempuh oleh Indonesia tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap
kejahatan atau tindak pidana transnasional terorganisasi.
14
2. PEMAKAIAN ISTILAH (PASAL 2)
Adanya pelbagai macam istilah dengan makna yang sama, hampir sama
bahkan ada yang berbeda ataupun istilah yang sama sekali baru dan asing
di dalam hukum pidana nasional Indonesia, terutama yang dikenalkan oleh
konvensi-konvensi internasional seperti UNTOC, jika dibiarkan berlangsung
sebagaimana adanya, akan dapat menimbulkan multi interpretasi dan
ketidakpastian hukum. Oleh karena itu perlu dilakukan pembakuan istilah,
sehingga setiap istilah memiliki makna atau pengertian yang sama, atau jika
harus dibedakan sesuai dengan konteks pemakaiannya, semua itu haruslah
bisa dipahami dengan jelas oleh setiap orang.
G A P A NA LYS I S
disebabkan karena negara-negara peserta dalam Konperensi Palermo melihat
masih cukup banyak adanya negara-negara yang belum menetapkan salah
satu ataupun keempat jenis kejahatan itu sebagai tindak pidana di dalam
U NTOC
hukum nasionalnya. Ataupun jika sudah, barangkali substansinya masih
belum memadai. Di samping itu, keempat jenis kejahatan itulah belakangan
ini yang seringkali dilakukan secara terorganisasi dan lintas batas negara
atau transnasional. Sedangkan mengenai tindak pidana serius, seperti telah
disebutkan dalam bagian Pemakaian Istilah, tidak pernah secara khusus 15
digunakan namun beberapa undang-undang umumnya menyiratkan bahwa
tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun ke atas adalah tindak
pidana serius. Dengan demikian, baik istilah dan kriteria ini harus diperjelas
dan disesuaikan dengan Konvensi.
4. PERLINDUNGAN KEDAULATAN (PASAL 4)
Namun dalam prakteknya, tidak semua negara di dunia ini menaati prinsip-
prinsip umum dari hukum internasional ini. Ada negara-negara yang
dengan dalih mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara
(transnasional), ternyata melakukan pencarian dan penangkapan langsung
Adanya Pasal 4 ayat 1 dan 2 ini harus dipandang sebagai peringatan terhadap
negara-negara peserta UNTOC, supaya dalam pencegahan dan pemberantasan
kejahatan transnasional terorganisasi, tetap menghormati dan melindungi
kedaulatan sesama negara.
5. KRIMINALISASI ATAS PARTISIPASI DALAM KELOMPOK
PELAKU TINDAK PIDANA TERORGANISASI (PASAL 5)
lebih pada bagaimana seseorang atau beberapa orang melibatkan diri dalam
kegiatan dari kelompok terorganisasi yang sudah ada dan diketahuinya
beraktifitas melakukan tindak pidana. Ketentuan tentang penyertaan
16 maupun permufakatan jahat yang ada dalam perundang-undangan Indonesia,
dapat dikatakan belum mengakomodasi amanat Konvensi tentang masalah
partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, karena:
Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 169 KUHP yang melarang
keterlibatan seseorang dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan
kejahatan. Meskipun ketentuan ini sesungguhnya telah sejalan dengan
semangat Pasal 5 Konvensi; namun ketentuan ini masih bersifat sangat umum
dan pada kenyataannya hampir tidak pernah digunakan lagi.
6. KRIMINALISASI ATAS PENCUCIAN HASIL TINDAK PIDANA
(PASAL 6)
G A P A NA LYS I S
sudah terjawab.
U NTOC
dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
sebagai tindak pidana pencucian uang. Selain telah merinci tindak pidana
asal yang masuk dalam lingkup ketentuan tindak pidana pencucian uang, 17
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga telah memberikan
ruang jangkauan yang luas dengan memasukkan kriteria tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih sebagai tindak pidana asal.
G A P A NA LYS I S
kewajiban-kewajibannya. Agar sanksi ini dapat efektif, maka kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi tersebut selayaknya ada pada PPATK yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut.
U NTOC
8. KRIMINALISASI KORUPSI (PASAL 8)
19
Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejalan dengan telah diratifikasinya
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan juga telah
disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 maka direncanakan
untuk melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal ini disebabkan masih ada
beberapa ketentuan yang belum selaras dengan Konvensi tersebut, salah
satunya adalah belum dikriminalisasinya pejabat publik asing dan pegawai
sipil internasional.
Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam hasil kajian yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Gap Analysis UNCAC dan
Perundang-undangan Indonesia pada tahun 2006.
Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam hasil kajian yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Gap Analysis UNCAC dan
Perundang-undangan Indonesia pada tahun 2006.
10. TANGGUNGJAWAB BADAN HUKUM (PASAL 10)
Mengenai badan hukum dalam Pasal 10 UNTOC sama sekali tidak ada
G A P A NA LYS I S
Meskipun telah ditetapkan sebagai subyek hukum pidana sejak tahun 1955,
dalam kenyataannya hingga saat ini belum pernah ada korporasi yang dijatuhi
pidana. Hal ini nampaknya disebabkan ajaran pertanggungjawaban pidana
korporasi kurang dikenal dalam praktek peradilan.
G A P A NA LYS I S
khusus ini dapat berupa pemberatan pidana, bila tindak pidana dilakukan
secara transnasional terorganisasi.
U NTOC
Kriminalisasi dan penentuan sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana
belum cukup untuk menanggulangi tindak pidana transnasional terorganisasi.
Kebijakan tersebut harus dibarengi dengan kewenangan hukum yang
jelas pada para pelaksana hukum. Kejelasan di sini bukan hanya berupa
kewenangan menurut undang-undang, tetapi juga harus ada independensi 21
pelaksana hukum dalam mempertimbangkan tindakan yang tepat untuk
memaksimalkan penangkalan tindak pidana tersebut.
12. PERAMPASAN DAN PENYITAAN ( PASAL 12 )
G A P A NA LYS I S
Setiap negara juga diwajibkan mengambil upaya yang perlu guna
memungkinkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau penyitaan barang
U NTOC
apapun untuk tujuan akhir perampasan. Tindakan penyitaan ini tidak hanya
ditujukan pada barang atau harta benda hasil kejahatan, melainkan juga
dilakukan terhadap harta benda yang berasal dari konversi hasil kejahatan,
harta benda sah yang tercampur dengan hasil kejahatan dan keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dari harta benda hasil kejahatan. 23
Penyitaan dan perampasan barang atau harta benda yang terkait dengan
tindak pidana diatur secara lebih luas dalam perundang-undangan pidana
khusus seperti Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa selain pidana
tambahan sebagaimana dimaksud KUHP, juga diancam pidana tambahan
berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan serta nilai harga lawan barang-barang yang menggantikan
barang tersebut. Pidana tambahan juga dijatuhkan berupa pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketentuan pidana tambahan uang
pengganti tidak dijumpai dalam Konvensi.
G A P A NA LYS I S
khusus dan jelas akan menyulitkan dalam praktek.
U NTOC
obyek kajian dan masalah kerja sama antar negara sebagai salah satu tujuan
dari Konvensi, penelaahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi menunjukkan adanya ketentuan tentang permintaan dari
negara lain terkait dengan barang yang dirampas. Akan tetapi, pengertian
barang dalam undang-undang atau perjanjian ekstradisi terbatas pada 25
barang-barang bergerak atau berwujud yang memang relatif mudah untuk
diserahterimakan. Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana pengaturan
tentang perampasan (barang) sudah memadai sebagai sarana kerjasama
internasional, khususnya tentang prosedur atau mekanisme melakukan
penyerahan barang yang dirampas. Prosedur perampasan barang memang
sangat terkait dengan hukum atau peraturan peundang-undangan nasional
terutama dari tempat barang itu berada. Oleh karenanya perlu ditinjau
kembali ketentuan tentang penyitaan dan perampasan barang hasil pidana
untuk disesuaikan dengan Konvensi.
Hanya saja di dunia ini, ada kemungkinan negara-negara yang hanya bersedia
melakukan kerjasama internasional untuk tujuan perampasan, apabila antara
negara yang bersangkutan dengan negara mitranya sudah terlebih dahulu
terikat pada suatu perjanjian sebagai landasan hukumnya. Dalam hal ini,
perjanjian yang dimaksudkan itu haruslah dalam pengertian yang luas, jadi
tidak semata-mata perjanjian kerjasama untuk tujuan perampasan saja,
melainkan juga termasuk perjanjian lain yang dekat hubungannya, seperti
perjanjian kerjasama timbal balik dalam masalah-masalah pidana.
G A P A NA LYS I S
dapat saja secara langsung bekerjasama untuk tujuan perampasan ini dengan
negara-negara yang terkait. Sebagai negara berdaulat, setiap negara dapat
menempuh langkah-langkah yang dipandangnya lebih efisien dan efektif
dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional,
26 termasuk kerjasama untuk tujuan perampasan seperti dalam Pasal 13 ini.
Mengenai harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita oleh negara
pihak, Konvensi mewajibkan negara pihak untuk menyerahkannya sesuai
dengan undang-undang nasionalnya dan prosedur administrasi. Negara
pihak diminta untuk memberikan prioritas terhadap pengembalian harta
hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita kepada negara pihak peminta
yang akan menggunakannya untuk kompensasi kepada korban tindak pidana
atau kepada pemiliknya yang sah.
G A P A NA LYS I S
Hukum acara pidana umum (KUHAP) dan beberapa perundang-undangan
khusus yang terkait dengan tindak pidana transnasional terorganisasi
belum mengatur penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang
U NTOC
disita sebagaimana yang diamanatkan Pasal 14 Konvensi. Namun demikian
bukan berarti tidak ada sama sekali instrumen hukum Indonesia untuk
masalah ini. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana mengatur tentang permintaan bantuan dan
pemberian bantuan dalam rangka menindaklanjuti putusan pengadilan 27
mengenai perampasan harta kekayaan/benda yang disita ini. Ketentuan ini
setidaknya dapat menjadi payung hukum bagi perundang-undangan pidana
lainnya berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, termasuk bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan
yang berisi perampasan benda sitaan/harta kekayaan berupa benda tidak
bergerak seperti tanah, terkait dengan sistem hukum setiap negara terhadap
kepemilikan benda tidak bergerak oleh negara lain.
Dalam hal tidak dibuat perjanjian, bantuan timbal balik tetap dapat
dilakukan berdasarkan hubungan bersahabat dengan berpedoman pada
kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum
Untuk masalah penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang
disita, khususnya yang berkaitan dengan perampasan benda tidak bergerak
seperti tanah maupun perampasan uang atau harta benda bergerak
lainnya, perlu dilakukan kajian terhadap peraturan-peraturan terkait
untuk memperjelas dan memudahkan pelaksanaannya. Hal ini disebabkan
kemungkinan berbedanya sistem yang dianut oleh negara yang meminta
bantuan dan yang dimintai bantuan.
5, 6, 8 dan 23. Tentang yurisdiksi ini, sebenarnya juga sudah diatur di dalam
hukum pidana Indonesia seperti di dalam KUHP yakni dalam Pasal 2 – 9 yang
pada hakekatnya merupakan perwujudan dari asas-asas yang sudah berlaku
28 umum, seperti asas teritorial, asas ekstra-teritorial, asas kewarganegaraan
aktif, asas kewarganegaraan pasif, asas perlindungan dan asas universal.
Demikian pula di dalam undang-undang pidana Indonesia di luar KUHP,
seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tentang
yurisdiksi kriminal Indonesia terhadap tindak pidana terorisme diatur
di dalam Pasal 3, 4 dan 16 yang pada hakekatnya juga berdasarkan asas-
asas tersebut di atas tetapi terkandung perluasan atas yurisdiksi kriminal
berdasarkan asas teritorial obyektif. Tegasnya, yurisdiksi kriminal Indonesia
berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan di negara lain tetapi
dilaksanakan atau diselesaikan di wilayah negara itu atau menimbulkan
akibat yang sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial dan ekonomi di
wilayah negara itu.
Pasal 15 ayat 1 huruf (a) UNTOC menganut asas teritorial sedangkan huruf
(b) memperluasnya dengan mencakup tindak pidana tersebut yang dilakukan
di atas kapal yang mengibarkan bendera negara pihak atau pesawat terbang
yang terdaftar berdasarkan peraturan perundang-undangan negara yang
bersangkutan pada waktu tindak pidana tersebut dilakukan. Selanjutnya
Pasal 15 ayat 2 huruf (a) menganut asas nasionalitas pasif, karena tindak
pidana itu dilakukan terhadap warganegara dari negara pihak yang
bersangkutan. Sedangkan huruf (b) menganut asas nasionalitas aktif, karena
ditujukan terhadap si pelaku tindak pidana yang adalah warganegara dari
G A P A NA LYS I S
negara pihak yang bersangkutan ataupun terhadap orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan yang biasa bertempat tinggal di wilayah negara yang
bersangkutan.
U NTOC
Sebenarnya ketentuan Pasal 15 ayat 1 dan 2 ini juga sudah ada di dalam Pasal
2 - 5 KUHP. Akan tetapi Pasal 15 ayat 3 dan 4 UNTOC mengandung perluasan.
Pasal 15 ayat 3 mewajibkan setiap negara pihak untuk mengambil tindakan
yang dipandang perlu untuk memberlakukan yurisdiksinya atas tindak pidana 29
yang diatur dalam UNTOC terhadap tersangka pelaku yang berada di dalam
wilayahnya dan pelaku tersebut tidak diekstradisikan dengan alasan bahwa si
pelaku adalah warganegaranya. Selanjutnya ayat 4 yang sebenarnya hampir
sama dengan ayat 3, hanya saja si tersangka pelaku bukan warganegara dari
negara yang bersangkutan namun berada di dalam wilayah negara itu tetapi
tidak diekstradisikan.
Dalam praktek, masalah seperti ini bisa saja terjadi. Suatu negara kedatangan
seorang pelaku kejahatan baik orang itu warganegaranya ataupun bukan
warganegaranya dan orang itu tidak diekstradisikan ke negara lain tetapi oleh
negara itu tidak diambil tindakan hukum apapun disebabkan karena negara
itu tidak memiliki yurisdiksi kriminal atas orang dan/atau perbuatannya
tersebut. Sebagai akibatnya, orang itu menikmati impunitas di negara itu.
Hal ini tentulah sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa
keadilan dari para korban.
Pada lain pihak, perluasan yurisdiksi itupun akan lebih banyak menimbulkan
pertautan atau konflik yurisdiksi kriminal antara dua negara atau lebih,
tegasnya, atas satu tindak pidana bisa tunduk pada yurisdiksi dari dua atau
lebih negara. Apalagi negara-negara lain juga menganut yurisdiksi yang sama
dengan atau bahkan lebih luas dari yurisdiksi kriminal Indonesia. Akan tetapi
penyelesaian konflik yurisdiksi dalam hukum pidana (internasional) relatif
lebih mudah ketimbang konflik yurisdiksi dalam hukum perdata. Hal ini
disebabkan karena dalam hukum pidana, jika salah satu dari negara yang
yurisdiksi kriminalnya saling berkonflik atau bertautan tersebut berhasil
menangkap si pelaku kejahatan atau tindak pidana, selanjutnya mengadili
dan menjatuhkan putusan dengan kekuatan mengikat yang tetap/pasti maka
G A P A NA LYS I S
Pada beberapa negara, seperti di Belanda dan Uni Emirat Arab, Pasal 16 ayat
(1) Konvensi ini dapat langsung diberlakukan sehingga dapat dijadikan dasar
untuk melakukan ekstradisi. Jadi negara tersebut tidak harus mengatur lebih
lanjut ketentuan ini di dalam undang-undang ekstradisi. Bagi Indonesia,
pelaksanaan ekstradisi didasarkan kepada perjanjian bilateral sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum
internasional.
G A P A NA LYS I S
impunitas di wilayah negara tersebut. Hal ini terkait dengan luas atau
sempitnya ruang lingkup substansi dari yurisdiksi kriminal masing-masing
negara, khususnya negara pihak diminta, seperti telah dikemukakan pada
U NTOC
butir 15 (pembahasan tentang jurisdiksi).
G A P A NA LYS I S
lebih tinggi atau di atas dari alasan lainnya.
U NTOC
18. BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK (PASAL 18)
Jika ditelaah dengan seksama ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam
UNTOC, yakni, Pasal 18 yang terdiri dari 30 ayat (ayat 1 - 30) tampak bahwa
Pasal 18 ini merupakan pemadatan/pemampatan dari ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian-perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah
pidana. Jika diperbandingkan antara Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, memang ada beberapa ketentuan
yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak yang satu ataupun di pihak
yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada pengaturannya sedangkan di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak ada ataupun sebaliknya.
Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang tidak ada
atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain adalah:
G A P A NA LYS I S
19. PENYELIDIKAN BERSAMA (PASAL 19)
U NTOC
UNTOC untuk mempertimbangkan penandatanganan persetujuan bilateral
atau multilateral ataupun pengaturan-pengaturan mengenai masalah-
masalah yang merupakan subyek dari penyelidikan, penuntutan atau proses
peradilan di satu atau lebih negara. Oleh karena kewajiban yang dibebankan 35
ini adalah kewajiban untuk mempertimbangkan, maka tentu saja sepenuhnya
tergantung pada hasil pertimbangan dari negara-negara pihak itu baik secara
bilateral ataupun multilateral. Para pihak sepenuhnya dapat menentukan
pilihan, apakah akan membuat perjanjian semacam ini secara bilateral
ataupun multilateral ataukah memilih tidak membuat perjanjian. Jika pada
suatu waktu menghadapi kasusnya, para pihakpun masih dapat melakukan
kerjasama secara kasus demi kasus.
Satu hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah, apakah hukum
nasional masing-masing negara pihak mengenai mekanisme atau prosedur
dalam melakukan penyelidikan, penuntutan ataupun peradilan sama ataukah
tidak. Sejauh manakah persamaan dan perbedaannya? Jika ada perbedaan-
perbedaan, kiranya para negara pihak dapat saling menghormati. Hal ini
sesuai dengan amanat dalam kalimat terakhir dari Pasal 19 ini, yakni, mereka
wajib menjamin penghormatan atas kedaulatan dari negara pihak yang
wilayahnya digunakan untuk melakukan penyelidikan tersebut, yang berarti
pula, menjamin penghormatan atas pelaksanaan hukum nasionalnya.
bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di dalam hukum nasional Indonesia.
21. PEMINDAHAN PROSES PIDANA (PASAL 21)
G A P A NA LYS I S
bersangkutan ke Indonesia, sudah tentu dia akan sangat dirugikan sebab
besar kemungkinannya dia akan diancam bahkan dijatuhi hukuman mati
oleh badan peradilan Indonesia. Kecuali ada jaminan yang cukup kuat dan
U NTOC
meyakinkan dari negara Indonesia, bahwa terhadapnya tidak akan diancam
dan atau dijatuhi hukuman mati. Hal ini akan memberikan kepastian hukum
sekaligus perlindungan hak asasi manusia bagi terpidana.
37
22. PENYUSUNAN DATA TINDAK PIDANA (PASAL 22)
23. KRIMINALISASI GANGGUAN PROSES PERADILAN (PASAL 23)
G A P A NA LYS I S
dan keberadaan orang tersebut.
U NTOC
diberikan dengan suatu cara untuk menjamin keselamatan saksi, seperti
memungkinkan pemberian kesaksian melalui teknologi komunikasi,
misalnya saluran video (video links) atau cara lain yang memadai.
25. BANTUAN TERHADAP DAN PERLINDUNGAN KORBAN (PASAL
25)
26. TINDAKAN UNTUK MENINGKATKAN KERJASAMA DENGAN
APARAT PENEGAK HUKUM (PASAL 26)
G A P A NA LYS I S
telah dan mungkin akan dilakukan oleh kelompok pelaku tindak
pidana terorganisasi) kepada badan yang berwenang untuk tujuan
penyelidikan dan pembuktian.
U NTOC
b. Memberikan bantuan faktual, konkrit kepada badan yang berwenang
dalam rangka menghalangi kelompok penjahat terorganisasi dari
sumber daya mereka atau dari hasil tindak pidana. 41
Konvensi juga mewajibkan negara pihak membuka kemungkinan pengurangan
pidana atas terdakwa maupun pemberian kekebalan dari penuntutan terhadap
seseorang yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan.
27. KERJASAMA PENEGAKAN HUKUM (PASAL 27)
G A P A NA LYS I S
dan kerjasama teknis lainnya. Juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mengandung substansi
mengenai kerjasama penegakan hukum dengan negara lain.
U NTOC
28. PENGUMPULAN, PERTUKARAN DAN ANALISIS INFORMASI
TENTANG SIFAT TINDAK PIDANA TERORGANISASI (PASAL 28) 43
Substansi Pasal 28 ini tergolong sebagai sesuatu yang bersifat teknis-
operasional dan karena itu secara langsung dapat diimplementasikan oleh
negara-negara pihak baik pada tataran domestik ataupun internasional.
Andaikata substansi ini dipandang perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian,
tidak perlu dibuat satu perjanjian khusus, tetapi dapat disisipkan di dalam
perjanjian kerjasama penegakan hukum seperti telah dipaparkan di atas.
Atau ada kemungkinan bahwa substansi Pasal 28 ini sudah terliput di dalam
perjanjian tentang kerjasama penegakan hukum yang sudah ada tersebut.
29. PELATIHAN DAN BANTUAN TEKNIS (PASAL 29)
30. TINDAKAN LAIN: PELAKSANAAN KONVENSI MELALUI
PEMBANGUNAN EKONOMI DAN BANTUAN TEKNIS (PASAL 30)
31. PENCEGAHAN (PASAL 31)
III
BEBERAPA TEMUAN
DAN REKOMENDASI
BEBERAPA TEMUAN
DAN REKOMENDASI
Secara kronologis, dapatlah dikemukakan beberapa temuan tersebut dan disertai pula
G A P A NA LYS I S
rekomendasinya, seperti di bawah ini.
Pertama, dengan mulai berlakunya UNTOC ke dalam dan menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia, setelah dianalisis secara mendalam ternyata di dalam hukum
U NTOC
nasional Indonesia sama sekali tidak ada satupun pasal dari KUHP ataupun undang-
undang pidana nasional Indonesia di luar KUHP yang mengatur tentang kejahatan
(transnasional) terorganisasi. Demikian pula tindak pidana yang sudah diatur di dalam
hukum pidana nasional Indonesia ternyata tidak ada yang dapat dipadankan dengan 47
kejahatan (transnasional) terorganisasi. Dengan demikian, kejahatan (transnasional)
terorganisasi ini dapat dipandang sebagai jenis kejahatan baru di dalam hukum pidana
nasional Indonesia walaupun dalam kenyataan, kejahatan seperti ini sudah banyak
terjadi bahkan sudah menimbulkan dampak yang cukup serius bagi Indonesia.
Hal ini berbeda dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
yang setelah diratifikasi dan diberlakukan ke dalam dan menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia, sudah langsung berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai undang-undang anti korupsi yang
sudah ada dan berlaku sebelumnya. Dalam hal ini, Indonesia mentransformasikan
substansi UNCAC, khususnya kaidah-kaidah hukum pidana materiil-substansialnya
ke dalam hukum pidana nasionalnya, dengan cara merevisi atau mengamendemen
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsinya (Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Atau jika ketidaksesuaiannya atau ketertinggalannya demikian besarnya, dapat
pula dibuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru yang
substansinya selaras dengan UNCAC untuk menggantikan undang-undang yang lama
tersebut. Dalam hubungan ini, pemerintah Indonesia menempuh cara pertama.
Persoalannya adalah, ketentuan Pasal 2 - 9 KUHP, khususnya tentang ruang lingkup dari
asas kewarganegaraan aktif dan pasif seperti dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8
yang secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidananya. Seperti sudah diketahui,
KUHP Indonesia yang hingga kini masih berlaku adalah merupakan peninggalan dari
KUHP Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) pada
tahun 1918 berdasarkan asas konkordansi. Di Negeri Belanda sendiri KUHPnya itu
sudah banyak mengalami perubahan (penambahan ataupun pengurangan). Timbul
Oleh karena itu, patut untuk dipikirkan secara lebih mendalam, mengenai perlu
diperluasnya ruang lingkup yurisdiksi (kriminal) dalam Pasal 4, 5, 7 dan 8 KUHP.
Perluasan ini tentu saja juga dalam rangka mengantisipasi atas semakin banyaknya
bermunculan kejahatan transnasional yang semakin canggih serta semakin
meningkatnya kepentingan nasional Indonesia baik pada tataran domestik ataupun
G A P A NA LYS I S
internasional, yang harus dilindungi dari kejahatan atau tindak pidana internasional/
transnasional, baik yang terorganisasi ataupun tidak terorganisasi.
U NTOC
Keempat, ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang ada
dalam perundang-undangan Indonesia dapat dikatakan belum mengakomodasi
amanat Konvensi tentang masalah partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana
terorganisasi karena lingkup perbuatan yang diamanatkan oleh Konvensi lebih luas
daripada yang selama ini masuk dalam lingkup pengertian penyertaan dan permufakatan
49
jahat menurut ketentuan hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu perlu untuk
diakomodasi ketentuan Pasal 5 Konvensi dengan merumuskannya sebagai perluasan
penyertaan dalam hukum pidana Indonesia agar dapat diberlakukan untuk semua
keterlibatan dalam tindak pidana yang masuk cakupan tindak pidana transnasional
terorganisasi.
yang masuk dalam lingkup Konvensi telah selaras dengan amanat dari Konvensi yang
secara tersirat menghendaki dijatuhkankannya sanksi yang berat terhadap (pelaku)
tindak pidana. Bahkan dalam perundang-undangan khusus tersebut, di samping
U NTOC
diancamkan pidana maksimal khusus juga diancamkan pidana minimal khusus dengan
tujuan menghindarkan dijatuhkannya pidana yang ringan. Ketentuan ini memang
ditujukan untuk tindak pidana yang masuk kategori tindak pidana khusus, yang oleh
50 banyak kalangan disebut sebagai extra-ordinary crime. Hanya saja untuk tindak
pidana lain yang menurut Konvensi masuk kategori tindak pidana serius, tidak ada
ketentuan pidana minimal khusus. Hal ini yang dalam pelaksanaannya dapat membuka
celah terjadinya ketidaksesuaian dengan tujuan Konvensi yang ingin menjatuhkan
pidana yang relatif lebih berat kepada pelaku kejahatan transnasional terorganisasi.
Oleh karena itu perlu dibuat ketentuan khusus agar hakim memperhitungkan beratnya
tindak pidana transnasional terorganisasi ketika akan menjatuhkan pidana pada
pelakunya. Ketentuan khusus ini dapat berupa pemberatan pidana bila tindak pidana
dilakukan secara transnasional terorganisasi.
Kesembilan, kriminalisasi dan penentuan sanksi yang berat bagi pelaku tindak
pidana harus dibarengi dengan kewenangan hukum yang jelas pada para pelaksana
hukum. Kejelasan di sini bukan hanya berupa kewenangan menurut undang-undang,
tetapi juga harus ada independensi pelaksana hukum dalam mempertimbangkan
tindakan yang tepat untuk memaksimalkan penangkalan tindak pidana tersebut.
Mengingat kedudukan lembaga penegak hukum yang masih menjadi bagian dari
eksekutif maka kebijakan untuk melakukan peninjauan kembali kedudukan penyidik
dan penuntut umum sebagai bagian lembaga yudikatif yang independen merupakan
suatu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
G A P A NA LYS I S
dan komprehensif untuk tindakan penyitaan dan perampasan harta benda yang berasal
dari konversi hasil kejahatan, harta benda yang tercampur dengan hasil kejahatan dan
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari harta benda hasil kejahatan. Meskipun
U NTOC
ketentuan yang ada secara implisit telah mencakup jenis-jenis obyek tersebut, namun
ketiadaan ketentuan yang khusus dan jelas akan menyulitkan dalam praktek. Oleh
karenanya perlu ditinjau kembali ketentuan tentang penyitaan dan perampasan barang
hasil tindak pidana untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam Konvensi.
51
Keduabelas, hukum acara pidana umum (KUHAP) dan beberapa perundang-
undangan khusus yang terkait dengan tindak pidana transnasional terorganisasi belum
mengatur penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita sebagaimana
yang diamanatkan Pasal 14 Konvensi. Namun demikian bukan berarti tidak ada sama
sekali instrumen hukum Indonesia untuk masalah ini. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana telah mengatur mengenai
permintaan bantuan dan pemberian bantuan dalam rangka menindaklanjuti putusan
pengadilan berupa perampasan harta kekayaan/benda yang disita ini. Ketentuan ini
setidaknya dapat menjadi payung hukum bagi perundang-undangan pidana lainnya
berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan,
termasuk bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang berisi perampasan
benda sitaan/harta kekayaan berupa benda tidak bergerak, seperti tanah misalnya,
terkait dengan sistem hukum setiap negara terhadap kepemilikan benda tidak bergerak
oleh negara lain. Namun untuk pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006
masih memerlukan tindak lanjut.
Oleh karena itu, kedua undang-undang tersebut di atas perlu diamendemen dengan
menambahkan satu pasal atau ayat tentang pemindahan narapidana. Atau jika
dipandang supaya landasan hukumnya lebih kuat, sebaiknya dibuat undang-undang
khusus tentang pemindahan narapidana yang substansinya dapat diselaraskan dengan
substansi dari perjanjian-perjanjian internasional bilateral atau multilateral tentang
pemindahan narapidana. Ada baiknya pula Convention on the Transfer of Sentenced
Persons antara Negara-Negara Eropa yang ditandatangani di Strasbourg pada tanggal
21 Maret 1983 dijadikan sebagai rujukannya.
Kelimabelas, tentang bantuan hukum timbal balik. Ada satu kelebihan dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik, yakni,
ada pengaturan tentang “transit” yang memang sudah lazim dapat dijumpai di dalam
konvensi-konvensi ataupun perjanjian bilateral ataupun multilateral tentang bantuan
hukum timbal balik tetapi UNTOC sama sekali tidak mengaturnya. Kelebihan lainnya
adalah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 mengatur tentang kemungkinan untuk
memperoleh kembali sanksi denda yang berupa uang dan tentang pengidentifikasian
dan pencarian orang.
Akan tetapi pada sisi lain, justru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 ini masih
mengandung kekurangan jika dibandingkan dengan UNTOC, seperti, tentang
Oleh karena hal-hal tersebut tidak saja dihadapi dalam kasus-kasus kejahatan
transnasional terorganisasi seperti diatur dalam UNTOC tetapi juga akan dihadapi
dalam kasus-kasus tindak pidana lain yang membutuhkan kerjasama bantuan hukum
timbal balik, maka ada baiknya ketentuan-ketentuan dalam UNTOC yang tidak ada atau
tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tersebut diadopsi dan
dicantumkan di dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, substansi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2006 akan menjadi lebih lengkap dan akan semakin kuatlah
eksistensinya sebagai landasan hukum dalam melakukan kerjasama bantuan hukum
timbal balik.
G A P A NA LYS I S
proses pidana (Pasal 21). Dilihat secara sepintas, substansi kedua pasal ini tampak
tidak menimbulkan persoalan apapun karena sifatnya yang tergolong teknis-
operasional yang dapat dilaksanakan secara langsung berdasarkan kesepakatan untuk
U NTOC
bekerjasama antara para pihak. Akan tetapi, justru dalam penerapannya itulah terdapat
kemungkinan pelanggaran atas hak asasi manusia dari orang atau kelompok orang
yang menjadi sasarannya yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang seperti, aparat
penegak hukum.
53
Dalam melakukan teknik penyelidikan khusus oleh pejabat yang berwenang, misalnya,
dengan penggunaan pengiriman terkendali secara tepat, penggunaan peralatan
elektronik, bentuk-bentuk pengawasan lainnya ataupun dengan operasi-operasi
rahasia (Pasal 20 ayat 1), walaupun dibenarkan menurut hukum nasional negara yang
bersangkutan, dalam prakteknya sangat rentan menimbulkan pelanggaran hak asasi
manusia dari masyarakat pada umumnya, hak asasi manusia dari orang atau kelompok
orang yang menjadi sasaran dari teknik penyelidikan khusus tersebut pada khususnya.
Demikian pula halnya dengan pemindahan proses pidana (Pasal 21), hak asasi manusia
dari orang yang bersangkutan boleh jadi akan terlanggar, misalnya, negara dimana
dia akan dipindahkan, ternyata mengancam kejahatannya itu dengan sanksi pidana
yang lebih berat atau dengan hukuman mati sedangkan di negara semula, diancam
dengan sanksi pidana yang lebih ringan atau tidak diancam dengan hukuman mati.
Bahkan dengan pemindahan itu, mengakibatkan dirinya dipisahkan dan dijauhkan
dari keluarga dan nilai-nilai sosial budaya yang selama ini dianutnya. Jika benar-
benar proses pidananya dipindahkan dan sudah tentu dia sendiri juga dipindahkan
tanpa persetujuannya, bukankah semua ini merupakan pelanggaran atas hak asasi
manusianya?
Untuk itu, kepada pejabat yang berwenang atau aparat penegak hukum dari masing-
masing pihak perlu dimintakan perhatian, supaya berhati-hati dalam penerapan
kedua pasal ini. Penerapan teknik penyelidikan khusus tetap harus dilakukan
dengan menghormati hak asasi manusia, demikian pula pemindahan proses pidana
Ketujuhbelas, tentang gangguan terhadap proses peradilan. Hingga kini belum ada
satu undang-undang yang secara terintegrasi mengatur tentang tindak pidana yang
berupa gangguan terhadap proses peradilan (pemeriksaan di depan badan peradilan
dari yang paling rendah hingga yang tertinggi), baik yang dilakukan di luar ataupun di
dalam proses persidangan. Kalapun ada, ternyata masih tercerai-berai di sana-sini dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
pembentukan satu undang-undang yang secara komprehensif mengatur tentang
gangguan terhadap proses peradilan ini.
G A P A NA LYS I S
U NTOC
54
IV
MATRIKS
KESENJANGAN ANTARA
UNTOC DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
MATRIKS KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Draft 5 (11 Agustus 2010) 1
HAL-HAL LAIN YANG
PSL ISI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA ANALISIS REKOMENDASI
DIPERTIMBANGKAN
1 Pernyataan Tujuan
Tujuan Konvensi ini adalah untuk memajukan Pentingnya kerjasama untuk mencegah dan memberantas Kebijakan legislatif hukum pidana Dalam penyusunan
kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi telah dijadikan Indonesia pada dasarnya telah peraturan perundang-
tindak pidana transnasional terorganisasi secara bahan pertimbangan untuk meratifikasi UNTOC menjadi mengadopsi tujuan konvensi. undangan yang baru
lebih efektif. undang-undang (Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan agar memperhatikan
Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009). Tujuan tujuan Konvensi sehing-
Konvensi tersebut telah selaras dengan konsiderans dari ga terjadi harmonisasi
beberapa undang-undang antara lain: perundang-undangan
1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, dalam pertimbangan huruf d : “bahwa
pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan
nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh
karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara
melakukan kerjasama regional atau internasional
melalui forum bilateral atau multilateral.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dalam pertimbangan :
- Huruf c : “bahwa terorisme mempunyai jaringan
yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap
perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional”
- Huruf d : “bahwa pemberantasan terorisme didasar-
kan pada komitmen nasional dan internasional
dengan membentuk peraturan perundang-undangan
nasional yang mengacu pada konvensi internasional
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan terorisme.
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, dalam pertimbangan huruf e ; bahwa tindak
pidana narkotika telah bersifat transnasional yang
2 Pemakaian Istilah
Untuk tujuan Konvensi ini:
a) “Kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi” Belum ada padanan istilah tersebut dalam rumusan Peraturan Pemerintah Pengganti Istilah kelompok orang Perlu dilakukan inventa-
berarti suatu kelompok terstruktur yang perundang-undangan Indonesia namun ada beberapa Undang-Undang Nomor 15 Tahun berbeda dengan korpo- risasi dan pembakuan
terdiri dari tiga orang atau lebih, terbentuk ketentuan yang menyerupai rumusan tersebut antara lain : 2003 tentang Pemberantasan rasi. Kelompok orang istilah-istilah yang digu-
dalam satu periode waktu dan bertindak 1. KUHP, Pasal 169 antara lain: mengancam dengan Tindak Pidana Terorisme tidak tidak dibentuk dalam nakan dalam hukum
secara terpadu dengan tujuan untuk sanksi pidana penjara 6 tahun bila turut campur dalam memberikan penjelasan lebih suatu ikatan formal, pidana Indonesia dalam
melakukan satu tindak pidana serius atau perkumpulan yang bermaksud melakukan kejahatan lanjut tentang apa yang dimak- misalnya penganut tindak pidana trans-
pelanggaran atau lebih yang ditetapkan 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang sud dengan “kelompok orang” aliran atau ideologi nasional yang terorga-
menurut Konvensi ini, untuk mendapatkan, Narkotika mendefinisikan Kejahatan Terorganisasi dan tidak mengatur pertanggung- tertentu. Korporasi di- nisasi.
secara langsung atau tidak langsung, adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok jawaban pidana serta ancaman bentuk melalui suatu
orang perorangan, kelompok orang baik sipil, militer menetapkan kriteria yang jelas
maupun yang bertanggung jawab secara individual, apa yang dimaksud dengan
atau korporasi”. perkumpulan yang bermaksud
Secara teoritis, pengertian tindak pidana terorganisasi melakukan kejahatan. Akan te-
membedakan antara kejahatan terorganisasi (organized tapi secara tersirat dapat disim-
crime) dan kejahatan oleh organisasi. pulkan bahwa di sini yang
Kejahatan terorganisasi dimaksudkan sebagai kejahatan menjadi fokus perhatian adalah
yang diselenggarakan melalui organisasi kriminal yang adanya perkumpulan yang ber-
mengacu kepada suatu organisasi rahasia seperti mafia. tujuan melakukan kejahatan. Jadi
Sedangkan kejahatan oleh organisasi termasuk di dalamnya yang dipermasalahkan bukanlah
kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari kejahatan penyertaan dalam tindak pidana.
kerah putih. Kejahatan oleh organisasi pada umumnya
diidentikkan dengan organisasi dagang atau bisnis.
b) “Tindak pidana serius” berarti tindakan yang Tidak ada undang-undang yang secara khusus Walaupun tidak ada terminologi
merupakan suatu tindak pidana yang dapat menyebutkan klasifikasi tindak pidana serius. khusus, tetapi dari beberapa
dihukum dengan maksimum penghilangan ketentuan hukum acara,
kemerdekaan paling kurang empat tahun misalnya ketentuan tentang
atau sanksi yang lebih berat; penahanan (Pasal 20 KUHAP)
dapat diketahui secara tersirat
bahwa tindak pidana serius
adalah tindak pidana yang
diancam pidana penjara 5 tahun
atau lebih. Demikian juga dalam
ketentuan tentang bantuan
hukum (Pasal 56 ayat (1)
KUHAP) dikatakan bahwa bila
tersangka atau terdakwa yang
diancam pidana penjara lima
tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum
sendiri, maka pejabat yang
bersangkutan pada semua
c) “Kelompok terstruktur” berarti suatu kelompok Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Huruf (a) dan huruf (c)
yang tidak secara acak dibentuk untuk mendefinisikan Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan Ketentuan dalam KUHP hanya
d) “Kekayaan” berarti aset berbentuk apapun, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
baik berbentuk atau tidak berbentuk, Pidana Pencucian Uang Pasal 1 butir 4 mendefinisikan Harta
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
hukum yang membuktikan hak atas, atau berwujud.
kepentingan terhadap, asset tersebut;
e) “Hasil tindak pidana” berarti setiap kekayaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
berasal dari atau diperoleh, secara langsung Pidana Pencucian Uang Pasal 2:
atau tidak langsung, melalui pelaksanaan Ayat (1):
suatu tindak pidana; Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh
dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
f) “Pembekuan” atau “penyitaan” berarti Hukum Acara Pidana Indonesia, membedakan pengertian Istilah pembekuan (freezing)
pelarangan sementara pemindahan, konversi, penyitaan dan pemblokiran. Istilah/pengertian penyitaan dapat diartikan sebagai pem-
pelepasan atau perpindahan kekayaan, atau diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, tetapi istilah blokiran yang memiliki penger-
Draft 5 (11 Agustus 2010) 7
HAL-HAL LAIN YANG
PSL ISI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA ANALISIS REKOMENDASI
DIPERTIMBANGKAN
menerima penjagaan atau pengawasan pemblokiran ada dalam perundang-undangan lainnya, tian, tata cara pelaksanaan dan
kekayaan secara sementara berdasarkan tanpa diberi penjelasan tentang pengertiannya, misal Pasal akibat hukum yang berbeda
suatu perintah yang dikeluarkan oleh 32 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- dengan pengertian “penyitaan”
pengadilan atau badan berwenang lainnya; Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana (seizure). Pemblokiran memiliki
Pencucian Uang, Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor pengertian bahwa barang yang
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diblokir “belum” berada dalam
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun penguasaan negara (penyidik/
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. penuntut umum), tata cara
pemblokiran tanpa ijin/persetu-
Penyitaan menurut KUHAP Pasal 1 butir 16: Serangkaian juan hakim. Penyitaan berarti
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau barang dilepaskan sementara dari
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau penguasaan pemegang barang,
benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk dan tata cara pelaksanaan harus
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan melalui ijin/persetujuan hakim.
pengadilan.
h) “Tindak pidana asal” berarti setiap tindak Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1):
pidana yang mana hasil-hasil yang Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh
diperolehnya dapat menjadi subjek dari suatu dari tindak pidana:
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam a. korupsi;
Pasal 6 Konvensi ini; b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
3 1. Konvensi ini berlaku kecuali jika dinyatakan Mengenai kejahatan atau tindak Walaupun beberapa Jika substansi Konvensi
lain, terhadap pencegahan, penyelidikan, dan pidana yang termasuk dalam jenis kejahatan atau ini ditransformasikan ke
penuntutan atas: ruang lingkup dari Pasal 3 tindak pidana yang dalam hukum pidana
(a) Tindak pidana yang ditetapkan menurut Konvensi ini dapat dipandang tercakup dalam Pasal 3 nasional Indonesia, perlu
Pasal 5, 6, 8 dan 23 dari Konvensi sebagai substansi yang baru yang Konvensi ini sudah dipertimbangkan apakah
(b) Tindak pidana serius seperti yang sebenarnya mencakup jenis-jenis diatur di dalam hukum pengaturannya
ditetapkan dalam Pasal 2 huruf (b) tindak pidana yang sudah dikenal pidana Indonesia, na- diintegrasikan ke dalam
Konvensi ini, yakni: di dalam hukum pidana mun karena substansi KUHP ataukah diatur di
“serious crime” shall mean conduct Indonesia. Pasal 3 Konvensi ini dalam undang-undang
constituting an offence punishable by a Dikatakan baru karena berkenaan ada yang mengandung tersendiri di luar KUHP.
maximum deprivation of liberty of at least dengan tindak pidana (nasional kebaharuan dan ada Perlu dipikirkan dan di-
four years or a more serious penalty. dan transnasional) yang yang mencakup berba- kaji secara lebih men-
2. Tindak pidana serius tersebut merupakan terorganisasi. gai macam kejahatan dalam tentang pemben-
tindak pidana yang pada dasarnya bersifat Dikatakan lama, karena pada atau tindak pidana tukan Undang-Undang
transnasional dan melibatkan suatu umumnya mencakup hampir (kejahatan serius), tentang Tindak Pidana
kelompok penjahat terorganisasi. semua tindak pidana yang diatur maka perlu dipertim- Terorganisasi yang sub-
dalam KUHP ataupun di luar bangkan pembentukan stansinya mencakup
KUHP. undang-undang ten- nasional dan trans-
Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini tang kejahatan trans- nasional serta selaras
mencakup kejahatan transna- nasional terorganisasi dengan ketentuan Kon-
sional terorganisasi untuk jenis yang substansinya vensi ini.
kejahatan pada Pasal 5, Pasal 6, mencakup baik yang
Pasal 8 dan Pasal 23 dan semata-mata domestik
kejahatan serius maupun transnasional.
4 Perlindungan Kedaulatan
1. Negara-negara Pihak wajib melaksanakan Ketentuan Pasal 2 sampai Pasal 9 KUHP yang memuat Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan asas-asas berlakunya hukum pidana Indonesia sudah Konvensi tentang perlindungan
prinsip-prinsip kedaulatan yang sejajar dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional moderen kedaulatan ini bersifat deklaratif,
integritas wilayah Negara-negara dan prinsip seperti ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) yakni menyatakan sesuatu yang
tidak melakukan intervensi terhadap masalah Konvensi. sebenarnya memang sudah de-
dalam negeri negara-negara lain. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Perubahan mikian adanya. Tanpa dinyatakan
2. Tidak ada dalam Konvensi ini yang Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang secara tegaspun negara-negara
salah satu dari para peserta dalam Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun penafsiran yang sempit yang perlu dirumuskan kem-
mendorong kesepakatan atau 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dihubungkan dengan tindakan bali.
melibatkan kelompok penjahat sedikit memperluas bentuk-bentuk penyertaan tersebut konkrit dalam pelaksanaan tindak Perlu ada undang-
terorganisasi; dengan menggunakan istilah pembantuan atau kemudahan pidana atau masih menentukan undang tersendiri ten-
(ii) dilakukan oleh seseorang yang, (Pasal 13), merencanakan dan/atau menggerakkan (Pasal syarat-syarat yang sangat ter- tang tindak pidana
dengan sepengetahuan atas tujuan 14). batas (dengan istilah memberi transnasional
dan kegiatan kriminal dari suatu Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 atau menjanjikan sesuatu, terorganisasi mengingat
kelompok penjahat terorganisasi atau memberikan definisi permufakatan jahat yang lebih luas dengan menyalahgunakan kekua- ada aspek khusus bila
niat untuk melakukan tindak pidana dari pada ketentuan yang ada dalam KUHP Pasal 88. saan atau martabat, dengan diatur sendiri-sendiri
tersebut, mengambil peran aktif Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih kekerasan, ancaman atau penye- akan menyebabkan keti-
dalam: yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, satan, atau dengan memberi dakpastian hukum.
a. kegiatan kriminal dari kelompok melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, kesempatan, sarana atau
penjahat terorganisasi; menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi keterangan sebagaimana diru-
b. kegiatan-kegiatan lain dari konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan muskan dalam Pasal 55 ayat (1)
kelompok penjahat terorganisasi narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana ke-2 KUHP) untuk terwujudnya
dengan sepengetahuan bahwa narkotika. tindak pidana. Demikian pula
partisipasinya akan membantu istilah permufakatan yang
tercapainya tujuan tindak pidana diartikan sebagai dua orang atau
sebagaimana diuraikan di atas. lebih sepakat akan melakukan
(b) Mengorganisasikan, mengarahkan, kejahatan (Pasal 88 KUHP) masih
membantu, bersekongkol, memfasilitasi memiliki pengertian yang sempit
atau membimbing terjadinya tindak dibandingkan dengan pengertian
6 Kriminalisasi atas Pencucian Hasil Tindak Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Pidana Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
1. Setiap Negara Pihak wajib membentuk, Uang dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 6 yang Undang-Undang No-
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar undang- merumuskan perbuatan pemindahan kekayaan dengan mor 15 Tahun 2002 jo.
undang nasionalnya, peraturan dan upaya maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Undang-Undang No-
lainnya yang mungkin diperlukan untuk harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga mor 25 Tahun 2003
menetapkan sebagai tindak pidana, apabila merupakan hasil tindak pidana sebagai tindak pidana tentang Tindak Pidana
dilakukan secara sengaja: pencucian uang. Pencucian Uang se-
(a) (i) Konversi atau pemindahan kekayaan, 1. a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 3 dang dalam rencana
dengan mengetahui bahwa kekayaan Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja: diubah dengan Un-
tersebut merupakan hasil tindak a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau dang-Undang baru
pidana, untuk tujuan menyembunyi- patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam yang kini sedang di-
kan atau menyamarkan asal kekayaan Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau bahas RUU nya di DPR.
yang tidak sah atau membantu atas nama pihak lain; Indonesia sudah me-
seseorang yang terlibat dalam b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau miliki Undang-Undang
pelaksanaan tindak pidana asal untuk patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari Nomor 15 Tahun 2002
menghindari akibat hukum dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa tentang Tindak Pidana
tindakannya; Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas Pencucian Uang maka
(ii) Penyembunyian atau penyamaran nama pihak lain; dapat dikatakan apa
atas sifat dasar, sumber, lokasi, c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diamanatkan da-
pelepasan, pemindahan atau kepe- yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil lam Pasal 6 Konvensi
milikan dari atau hak atas kekayaan tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri ini sudah terjawab.
tersebut, dengan mengetahui bahwa maupun atas nama pihak lain; Mungkin unsur-unsur
kekayaan tersebut adalah hasil tindak d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang ditentukan dalam
pidana; yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil Pasal 6 perlu diperban-
(b) Tunduk pada konsep dasar sistem tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas dingkan dengan unsur-
hukumnya: nama pihak lain; unsur yang ditentukan
i) Perolehan, penguasaan atau e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dalam undang-undang
penggunaan kekayaan, dengan diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas ini.
mengetahui, pada saat penerimaan, namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
bahwa kekayaan tersebut merupakan f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang
hasil tindak pidana; diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
ii) Partisipasi, bekerja sama atau tindak pidana; atau
konspirasi untuk melakukan, mencoba g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan
untuk melakukan dan membantu, yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
bersekongkol, memfasilitasi dan tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
membimbing pelaksanaan setiap lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau
tindak pidana yang ditetapkan menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang
menurut Pasal ini. diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah).
5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa
rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara
dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah
Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
8 Kriminalisasi Korupsi
1. Setiap Negara wajib mengambil tindakan Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Sejalan dengan telah diratifika- United Nations Con-
legislatif dan tindakan lainnya yang dianggap Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- sinya United Nations Convention vention Against Cor-
perlu untuk menetapkan sebagai tindak Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Against Corruption (UNCAC) ruption (UNCAC) sudah
pidana, apabila dilakukan dengan sengaja: Tindak Pidana Korupsi. dengan Undang-Undang Nomor 7 dikaji tersendiri.
(a) janji, penawaran atau pemberian Tahun 2006 maka direncanakan
kepada pejabat public, secara langsung untuk melakukan perubahan
atau tidak langsung , keuntungan yang Undang-Undang Nomor 31 Tahun
tidak semestinya, untuk pejabat public 1999 jo. Undang-Undang Nomor
dalam tugas resminya atau orang atau 20 Tahun 2001.
badan lain agar pejabat itu bertindak
atau menahan diri dalam pelaksanaan
tugas resmi mereka;
(b) Permintaan atau penerimaan oleh
melakukan tindak pidana. - Pasal 18 mengatur tata cara pemanggilan korporasi dalam undang-undang tindak terbentur asas hukum.
4. Setiap Negara Pihak wajib, secara khusus, dan mengatur ancaman pidana pokok hanya dengan pidana pencucian uang
memastikan bahwa badan hukum yang pidana korporasi. dimana ada pembatasan
dikenai tanggung jawab sesuai dengan Pasal Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme tanggung jawab pengurus
ini tunduk pada sanksi pidana atau bukan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. dan korporasi. Pengurus
pidana yang efektif, proporsional dan bersifat 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- hanya bertanggung jawab
pelarangan, termasuk sanksi moneter. Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana apabila mempunyai kedu-
Pencucian Uang Pasal 4 mengatur tata cara penuntutan dukan fungsional dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yaitu baik struktur korporasi. Demikian
terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun pula korporasi hanya
korporasi. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus bertanggung jawab apabila
dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan perbuatan tersebut dianggap
fungsional dalam struktur korporasi. melakukan kegiatan yang
Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan jika termasuk dalam lingkup
perbuatan dilakukan melalui kegiatan yang tidak usaha korporasi.
termasuk dalam lingkup usahanya. 2. Undang-undang juga meng-
Tata cara pemanggilan oleh hakim dapat dilakukan atur sendiri administrasi yaitu
dengan memerintahkan pengurus menghadap sendiri pencabutan izin, pembubaran
dan dapat pula memerintahkan dibawa paksa. dan/atau pelarangan korpo-
Pasal 5 mengatur ancaman pidana adalah maksimum rasi. Akan tetapi tidak meng-
pidana denda ditambah sepertiga dan dapat dijatuhkan atur lebih lanjut pelaksanaan
pidana tambahan pencabutan izin usaha dan/atau larangan misalnya apakah
mengindahkan hak pembelaan, berupaya Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 KUHAP, Pasal
memastikan bahwa syarat yang dibebankan 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
sehubungan dengan keputusan tentang Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor
pembebasan sebelum persidangan atau 15 Tahun 2003;
banding, mempertimbangkan keperluan b. Penggunaan Laporan Intelejen sebagai bukti permulaan
untuk memastikan kehadiran terdakwa pada dalam perkara tindak pidana terorisme harus melalui
proses pidana selanjutnya. pemeriksaan pendahuluan di sidang pengadilan (Pasal
4. Setiap Negara Pihak wajib menjamin bahwa 26 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
pengadilannya atau badan berwenang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15
lainnya memperhatikan beratnya tindak Tahun 2003);
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini c. Persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absensia)
pada saat mempertimbangkan pembebasan hanya dimungkinkan setelah terdakwa dipanggil secara
awal atau pembebasan bersyarat atas orang sah dan patut, tidak hadir tanpa alasan. Ketidakhadiran
yang dipidana karena tindak pidana tersebut. terdakwa tanpa alasan setelah dipanggil secara sah dan
5. Setiap Negara Pihak wajib, sebagaimana patut, dipandang sebagai tindakan terdakwa melepaskan
layaknya, menetapkan berdasarkan hukum haknya untuk membela diri;
nasionalnya, waktu daluwarsa penuntutan d. Syarat-syarat untuk mendapatkan remisi, cuti
yang panjang untuk memulai proses mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan
peradilan bagi setiap tindak pidana yang pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi,
dicakup dalam Konvensi ini dan waktu yang terorisme dan narkotika menurut Peraturan Pemerintah
lebih panjang apabila tersangka menghindari Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
pelaksanaan peradilan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
6. Tidak satu pun ketentuan yang tercantum Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
dalam Konvensi ini akan mempengaruhi Pemasyarakatan ditentukan lebih berat dibandingkan
prinsip bahwa uraian tentang tindak pidana dengan terpidana lainnya.
yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini Undang-undang masih belum mengatur ketentuan khusus
dan tentang pembelaan hukum yang berlaku yang lebih panjang tentang jangka waktu kadaluarsa
atau prinsip hukum lainnya yang mengatur penuntutan. Oleh karena itu ketentuan kadaluarsa
keabsahan perilaku, tunduk pada hukum penuntutan masih berdasarkan ketentuan umum KUHP
nasional negara Pihak dan bahwa tindak Pasal 78 sampai dengan Pasal 83.
pidana tersebut wajib dituntut dan dihukum
sesuai dengan hukum tersebut.
dalam Pasal ini mempengaruhi prinsip bahwa didasarkan pada landasan hukum
tindakan yang dimaksud dalam Pasal lain yakni undang-undang ten-
tersebut diartikan dan dilaksanakan sesuai tang Bantuan Timbal Balik dalam
dan berdasarkan ketentuan hukum nasional Masalah Pidana (Undang-Undang
suatu Negara Pihak. Nomor 1 Tahun 2006). Peng-
aturan tentang perampasan
(barang) dalam Undang-Undang
ini sebenarnya sudah memadai
sebagai sarana untuk kerjasama
internasional, khususnya tentang
prosedur atau mekanisme mela-
kukan penyerahan barang yang
dirampas. Perampasan barang
sangat terkait dengan hukum
atau peraturan perundang-
undangan nasional, terutama dari
negara tempat barang itu berada.
diberikan, melaksanakan surat perintah internasional dalam rangka penyitaan dan perampasan hasil Walaupun Undang-Undang menyangkut barang (6) Konvensi mewajib-
tersebut; atau tindak pidana yang berada di luar negeri. Hanya dalam Nomor 1 Tahun 2006 mengatur tak bergerak/tetap, kan negara-negara pe-
(b) Menyerahkan kepada lembaga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi bantuan untuk mengeluarkan barang yang masih sertanya untuk memper-
berwenang, dengan tujuan untuk Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 yang surat perintah pemblokiran, terkait perkara di timbangkan kemung-
melaksanakan sebagaimana yang mengatur kerjasama dengan penegak hukum negara lain penggeledahan, penyitaan dan negara setempat, kinan menjadikan pasal
diminta, surat perintah perampasan yang dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak tindakan lainnya yang diperlukan barang yang terlarang 13 ayat (1) sampai
dikeluarkan oleh suatu pengadilan di pidana korupsi sesuai dengan peraturan perundang- sesuai dengan ketentuan dibawa ke luar wilayah dengan (5) Konvensi ini
wilayah Negara Pihak yang meminta undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian perundang-undangan yang negara itu, dan lain- sebagai landasan hu-
sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) dari internasional yang telah diakui oleh pemerintah Republik terkait (Pasal 19), sesuai dengan lain. kumnya, hal ini belum
Konvensi ini sepanjang hal ini berkaitan Indonesia. Akan tetapi undang-undang ini juga tidak mekanisme bantuan timbal balik menjamin negara-nega-
dengan hasil tindak pidana, kekayaan, mengatur secara rinci teknis pelaksanaan kerjasama dalam masalah pidana yang ra bersedia menjadikan
perlengkapan atau instrumen lain yang dimaksud. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. diatur dalam undang-undang sebagai landasan hu-
merujuk pada Pasal 12 ayat (1) yang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak yang bersangkutan. kumnya.
berada di wilayah Negara Pihak yang Pidana Pencucian Uang Pasal 44 dan Pasal 44 A yang Pasal 22 Undang-Undang Nomor Oleh karena itulah perlu
diminta. mengatur kerjasama internasional untuk tujuan 1 Tahun 2006 mengatur bantuan adanya perjanjian sema-
2. Menindaklanjuti permintaan yang diajukan perampasan, yaitu : untuk menindaklanjuti putusan cam ini dengan negara-
oleh Negara Pihak lain yang memiliki a. Kerjasama bantuan timbal balik dapat dilaksanakan pengadilan, apakah yang negara yang bersang-
jurisdiksi atas suatu tindak pidana yang dalam hal negara telah mengadakan perjanjian dimaksud di sini juga meliputi kutan.
ditetapkan dalam Konvensi ini, negara Pihak kerjasama bantuan timbal balik atau berdasarkan prinsip putusan pengadilan tentang
diminta wajib mengambil langkah untuk resiprositas. perampasan benda-benda tidak
mengindentifikasi, melacak dan membekukan b. Kerjasama bantuan timbal balik dengan negara lain bergerak seperti tanah. Hal ini
atau menyita hasil tindak pidana, kekayaan, tersebut meliputi : terkait dengan masalah sistem
perlengkapan atau instrumen lain merujuk 1) Pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang hukum yang berbeda diantara
Pasal 12 ayat (1) dari Konvensi ini untuk termasuk pelaksanaan surat rogatori ; negara-negara yang terlibat.
tujuan perampasan yang nantinya akan 2) Pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan Ketentuan Pasal 13 Konvensi
diperintahkan oleh Negara Pihak peminta lainnya; tergolong sebagai ketentuan
atau, berdasarkan permintaan sesuai dengan 3) Identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang; yang dapat dijadikan landasan
ayat (1) dari Pasal ini, oleh Negara Pihak 4) Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti hukum dan karena itu dapat
diminta. dan penyitaan; diterapkan secara langsung oleh
3. Ketentuan Pasal 18 Konvensi ini dapat 5) Upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan dua negara yang telah terikat
diterapkan dan diberlakukan sama pada penyitaan hasil kejahatan. pada Konvensi.
Pasal ini. Sebagai tambahan dari informasi 6) Mengusahakan persetujuan orang-orang yang Namun dalam kenyataan, ada
yang dirinci dalam Pasal 18, ayat (15), bersedia memberikan kesaksian atau membantu negara yang mensyaratkan
permintaan yang dibuat berdasarkan Pasal ini penyidikan di negara peminta. keharusan adanya perjanjian
wajib memuat: 7) Bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian khusus tentang kerjasama untuk
(a) Dalam hal permintaan menyangkut ayat kerjasama timbal balik yang tidak bertentangan tujuan perampasan sebagai
(1) (a) dari Pasal ini, uraian dari dengan peraturan perundang-undangan. landasan hukumnya untuk dite-
kekayaan yang diminta dirampas dan rapkan dalam suatu kasus yang
pernyataan dari fakta-fakta yang berkaitan dengan perampasan
dijadikan dasar oleh Negara Pihak ini.
Peminta yang cukup untuk memung-
kinkan Negara Pihak diminta mendapat-
kan surat perintah berdasarkan hukum
nasionalnya;
(b) Dalam hal permintaan menyangkut ayat
(1) (b) dari Pasal ini, salinan sah secara
hukum dari surat perintah perampasan
yang menjadi dasar permintaan yang
dikeluarkan oleh Negara Pihak peminta,
pernyataan dari fakta-fakta dan informasi
sepanjang diminta untuk melaksanakan
surat perintah tersebut.
(c) Dalam hal permintaan menyangkut ayat
(2) dari Pasal ini, pernyataan dari fakta-
fakta yang dijadikan dasar oleh Negara
diserahkan oleh Negara Pihak tersebut sesuai 2003), undang–undang tentang pemberantasan tindak menjadi payung hukum bagi tanah perlu dikaji memperjelas dan memu-
dengan undang-undang nasionalnya dan pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 perundang-undangan pidana Undang-Undang No- dahkan penyerahan
prosedur administrasi. Tahun 2001) dan undang-undang tindak pidana pencucian lainnya berkenaan dengan mor 5 Tahun 1960 harta hasil tindak pidana
2. Pada saat bertindak berdasarkan permintaan uang (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- penyidikan, penuntutan, peme- tentang Pokok-Pokok atau kekayaan yang
dari Negara Pihak lain menurut Pasal 13 Undang Nomor 25 Tahun 2003) tidak mengatur tentang riksaan di sidang pengadilan, Agraria dengan per- disita.
Konvensi ini, Negara Pihak wajib, sepanjang penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang termasuk bantuan untuk menin- aturan pelaksanaan-
diizinkan oleh hukum nasional dan jika disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Konvensi. daklanjuti putusan pengadilan nya.
diminta, memberikan prioritas untuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan yang berisi perampasan benda Sedangkan tentang
mempertimbangkan mengembalikan harta Timbal Balik Dalam Masalah Pidana mengatur permintaan sitaan/harta kekayaan berupa perampasan uang atau
hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita bantuan kepada negara yang diminta (Pasal 22) maupun benda tidak bergerak seperti harta benda bergerak
kepada Negara Pihak Peminta agar ia dapat pemberian bantuan kepada negara peminta (Pasal 51 tanah misalnya, terkait dengan perlu dikaji tentang
memberikan kompensasi kepada korban sampai dengan Pasal 54), untuk menindaklanjuti putusan sistem hukum setiap negara peraturan lalu lintas
tindak pidana atau mengembalikan harta pengadilan berupa perampasan harta kekayaan/benda yang terhadap kepemilikan benda tidak devisa, mengingat
hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita disita, pidana denda atau pembayaran uang pengganti, bergerak oleh negara lain. Negara Republik Indo-
kepada pemiliknya yang sah. termasuk ketentuan tentang penggantian biaya dan bagi Sesuai dengan Penjelasan Umum nesia menganut lalu
3. Pada saat bertindak berdasarkan permintaan hasil harta kekayaan yang dirampas (Pasal 57). dan Ketentuan Pasal 5 Undang- lintas devisa bebas
dari Negara Pihak lain menurut Pasal 12 dan Undang Nomor 1 Tahun 2006 sedangkan negara-
Pasal 13 Konvensi ini, Negara Pihak dapat tentang Bantuan Timbal Balik negara tertentu meng-
memberikan pertimbangan khusus untuk dalam Masalah Pidana bahwa anut lalu lintas devisa
membentuk perjanjian atau pengaturan bantuan timbal balik ini dilakukan terbatas.
mengenai: berdasarkan : Treaty on Mutual Legal
a) Menyumbangkan jumlah dari harta tindak 1. Perjanjian, atau; assistance on criminal
hasil tindak pidana atau kekayaan, atau 1. Mengadakan perjanjian terle- untuk Pasal 14
dana yang berasal dari penjualan harta bih dahulu dengan negara- Konvensi ini.
hasil tindak pidana atau kekayaan, sesuai negara yang diminta secara
dengan hukum nasional atau prosedur bilateral atau multilateral
adminstrasi. (melalui perhimpunan negara
ASEAN)
2. Kajian kasus per kasus
dengan kriteria hubungan
baik yaitu hubungan bersa-
habat dengan berpedoman
pada kepentingan nasional
dan berdasarkan prinsip
persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan mem-
perhatikan baik hukum
nasional maupun hukum
internasional (Penjelasan
Pasal 5 ayat (2).
Hasil tindak pidana atau keka-
yaan yang disita dan diserahkan
ini ada hubungan dengan status-
nya sebagai alat bukti dan karena
itu berhubungan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana. Juga
dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1979 tentang Ekstradisi
karena di dalam salah satu pasal
dari undang-undang ini ada
pengaturan tentang penyerahan
barang hasil tindak pidana
ataupun kekayaan yang disita.
15 Jurisdiksi
1. Setiap Negara Pihak wajib mengambil Ketentuan Pasal 15 Konvensi tentang Yurisdiksi kriminal Ketentuan Pasal 2 sampai dengan Perluasan yurisdiksi Perlu ditinjau kembali
tindakan yang mungkin diperlukan untuk sudah diatur dalam KUHP Pasal 2 sampai dengan Pasal 9, Pasal 9 KUHP, serta perundang- kriminal telah diterap- ketentuan tentang
memberlakukan jurisdiksinya atas tindak yaitu : undangan pidana khusus terkait kan dalam praktek yurisdiksi kriminal yang
pidana yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5, - Pasal 2 tindak pidana transnasional dan peradilan tindak pidana diatur dalam KUHP
Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 23 dari Konvensi Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia terorganisasi yang kebanyakan transnasional, sejalan maupun perundang-
ini jika: diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tidak memuat ketentuan dengan perkembangan undangan pidana lainnya
a) Tindak pidana dilakukan di wilayah Negara tindak pidana di Indonesia; perluasan yurisdiksi criminal tidak teori locus delictie. dengan memasukkan
Pihak tersebut; atau - Pasal 3 sesuai dengan ketentuan Pasal Perlu ditinjau tentang asas perluasan yurisdiksi
b) Tindak pidana dilakukan di atas kapal Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia 15 Konvensi. pengertian dan ruang kriminal, terutama per-
yang mengibarkan bendera dari Negara berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia Pertanyaan yang dapat diajukan, lingkup yurisdiksi ber- luasan asas teritorial.
Pihak tersebut atau pesawat terbang yang melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau apakah ruang lingkup yurisdiksi dasarkan hukum inter-
terdaftar berdasarkan peraturan pesawat udara Indonesia; kriminal dalam KUHP ataupun nasional. Hukum Inter- Sebaiknya pengaturan
perundang-undangan Negara yang - Pasal 4 RUU KUHP sudah mencakup nasional memberikan tentang yurisdiksi dalam
bersangkutan pada saat tindak pidana Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ketentuan Pasal 15 ayat (1) ruang lingkup yuris- KUHP tidak perlu limitatif
tersebut dilakukan. diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar sampai dengan ayat (6) diksi yang sangat luas seperti dalam Pasal 4
2. Tunduk pada Pasal 4 Konvensi ini, suatu Indonesia : Konvensi. kepada negara-negara dan Pasal 5 tetapi cukup
Negara Pihak dapat juga memberlakukan 1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 KUHP dengan syarat negara dengan satu pasal yang
yurisdiksinya atas setiap tindak pidana jika: 106, 107, 108, dan 131. secara limitatif ditentukan jenis- memiliki kepentingan bersifat umum dan luas
a) Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap 2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang jenis tindak pidana yang tunduk terhadap kasus terse- yang mampu menjang-
warga negara dari Negara Pihak tersebut; kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank pada yurisdiksi kriminal. but. Dengan kata lain, kau semua jenis tindak
b) Tindak pidana tersebut dilakukan oleh ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan Karena dalam hukum pidana sepanjang ada kepen- pidana baik yang sudah
wilayahnya. Pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang Indonesia belum mengakomodasi nya masing-masing, hari akan menjadi ter-
ii) satu dari tindak pidana yang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan perkembangan teori yurisdiksi jadi sepenuhnya ter- jangkau.
ditetapkan berdasarkan Pasal 6, ayat kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan yang sudah diperluas gantung pada negara- Hanya saja, model ini
(1) (b) (ii) Konvensi ini dan dilakukan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat sebagaimana telah dianut dalam negara itu sendiri. mengandung
di luar wilayahnya dengan tujuan udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, hukum pidana internasional. Perlu dicermati ke- kelemahan, yakni, ku-
untuk melakukan tindak pidana yang n, dan o tentang kejahatan yang mengancam mungkinan kesulitan rang memberikan jamin-
ditetapkan sesuai dengan Pasal 6, keselamatan penerbangan sipil. menentukan locus an kepastian hukum. Hal
ayat (1) (a) (i) atau (ii) atau (b) (i) - Pasal 5 delictie. inilah yang akan menjadi
Konvensi ini di dalam wilayahnya. Ayat (1) titik kecaman dari mere-
3. Untuk tujuan dari Pasal 16, ayat (10) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ka yang menentang ide
Konvensi ini, setiap Negara Pihak wajib diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia tersebut di atas.
mengambil tindakan yang dianggap perlu yang melakukan :
untuk memberlakukan jurisdiksinya atas 1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II
tindak pidana yang diatur dalam Konvensi ini Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279,
ketika tersangka pelaku berada di wilayahnya 450, dan 451;
dan tidak melakukan ekstradisi atas orang 2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan
tersebut dengan alasan semata-mata bahwa pidana dalam perundang-undangan Indonesia
ia adalah salah satu warga negaranya. dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
4. Setiap Negara Pihak dapat juga mengambil perundang-undangan negara dimana perbuatan
tindakan yang dianggap perlu untuk dilakukan diancam dengan pidana.
memberlakukan jurisdiksinya atas tindak Ayat (2)
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir
ketika tersangka pelaku berada dalam 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga
wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi negara sesudah melakukan perbuatan.
atas orang tersebut. - Pasal 6
5. Apabila suatu Negara Pihak yang Berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian
melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
ayat (1) atau ayat (2) Pasal ini telah perundang-undangan negara dimana perbuatan
diberitahu, atau sebaliknya telah memahami, dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
bahwa satu atau lebih Negara pihak yang lain - Pasal 7
sedang melakukan penyidikan, penuntutan Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
atau proses pengadilan berkenaan dengan berlaku bagi setiap pejabat yang diluar Indonesia
perbuatan yang sama, badan berwenang dari melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
Negara Pihak itu wajib, sebagaimana dimaksud dalam Bab XXVIII Buku Kedua Pasal 8
layaknya, berkonsultasi satu sama lain ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dengan tujuan mengkoordinasikan tindakan berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia,
mereka. yang diluar Indonesia sekalipun diluar perahu,
6. Tanpa mengabaikan norma-norma hukum melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
internasional pada umumnya, Konvensi ini dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku
tidak boleh mengenyampingkan pelaksanaan Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan
yurisdiksi pidana manapun yang ditetapkan mengenai surat laut dan pass kapal di Indonesia,
oleh suatu Negara Pihak sesuai dengan maupun dalam Ordonansi Perkapalan;
hukum nasionalnya. - Pasal 8
- Pasal 9
Diterapkannya pasal-pasal 2 – 5, 7, dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum
internasional.
Yurisdiksi kriminal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 serta
Pasal 16 yang menganut prinsip perluasan yurisdiksi
teritorial obyektif yaitu perundang-undangan pidana suatu
negara dapat diterapkan terhadap tindak pidana terorisme
yang dilakukan di negara lain, akan tetapi :
16 Ekstradisi
1. Pasal ini berlaku bagi tindak pidana yang Ekstradisi dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang- Undang-Undang No- Apabila hingga kini
tercakup dalam Konvensi ini atau pada kasus Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang Nomor 1 Tahun 1979 ini mor 24 Tahun 2000 belum ada lembaga
di mana tindak pidana yang diatur pada Pasal Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang tersebut menegaskan sikap Indonesia tentang Perjanjian In- pemerintah yang ditun-
3, ayat 1 (a) atau (b), melibatkan suatu antara lain mengatur: dalam menghadapi kasus-kasus ternasional sama sekali juk atau diberi tugas dan
kelompok penjahat terorganisasi dan orang 1. Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian (ayat ekstradisi dengan negara-negara tidak menegaskan di wewenang untuk itu,
yang menjadi subyek permintaan ekstradisi 1); lain, yakni, Indonesia bersedia dalam salah satu pasal sebaiknya Pemerintah
berada di wilayah Negara Pihak yang diminta, 2. Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat mengekstradisikan orang yang ataupun ayatnya, Indonesia secepatnya
dengan ketentuan bahwa tindak pidana (1) maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar diminta oleh suatu negara- mengenai lembaga menunjuk lembaga pe-
untuk mana ekstradisi diminta dapat hubungan baik dan jika kepentingan negara Republik peminta, apabila antara pemerintah yang diberi merintah yang diberi
dihukum berdasarkan hukum nasional dari Indonesia menghendakinya (ayat 2) Indonesia dengan negara- tugas dan wewenang tugas dan wewenang
kedua Negara Pihak yang meminta dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi peminta yang bersangkutan untuk menyampaikan untuk melakukan pem-
negara Pihak yang diminta. juga mengatur tentang kejahatan politik (Pasal 5 ayat 1, sudah terikat pada suatu kepada Sekretaris beritahuan kepada organ
2. Apabila permintaan ekstradisi terdiri dari ayat 2, ayat 3, ayat 4) yang berbunyi : perjanjian ekstradisi, ataupun Jendral PBB ataupun dari organisasi inter-
beberapa tindak pidana serius yang berbeda, Ayat 1: berdasarkan hubungan baik yang kepada salah satu nasional mengenai apa
beberapa di antaranya tidak tercakup dalam Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik; belangsung secara timbal balik organ dari organisasi- yang diamanatkan oleh
Konvensi ini, Negara Pihak yang diminta Ayat 2: (belum terikat pada suatu organisasi internasio- ketentuan dari konvensi,
dapat menerapkan Pasal ini juga terhadap Kejahatan yang pada hakekatnya lebih merupakan perjanjian ekstradisi). Hanya saja nal lainnya sebagai- seperti pasal 16 ayat 5
tindak pidana yang disebutkan belakangan. kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap jika pengekstradisian atas orang mana ditentukan di huruf a UNTOC ataupun
3. Setiap tindak pidana yang menggunakan sebagai kejahatan poiltik. yang diminta didasarkan atas dalam salah satu pasal pasal-pasal sejenis yang
Pasal ini wajib dipertimbangkan untuk Ayat 3: hubungan baik (ayat 2) disertai atau ayat dari konvensi juga terdapat dalam
dicantumkan sebagai tindak pidana yang bisa Terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu dengan suatu syarat, yakni, jika yang bersangkutan. konvensi-konvensi yang
diekstradisi dalam suatu persetujuan pelakunya juga dapat diekstradisikan sepanjang kepentingan negara Republik lainnya.
Ketiadaan pengaturan-
ekstradisi yang ada di antara Negara-Negara diperjanjikan antara negara RI dengan negara yang Indonesia menghendakinya.
nya di dalam Undang- Oleh karena masalah
Pihak. Negara Pihak berupaya mencantum- bersangkutan. Dalam prakteknya, apakah
Undang Nomor 24 pemberitahuan ini meru-
kan tindak pidana tersebut sebagai tindak Ayat 4: kepentingan Republik Indonesia
Tahun 2000 ini me- pakan tindakan keluar
pidana yang dapat diekstradisi dalam setiap Pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala menghendakinya ataukah tidak,
mang dapat dipahami atau eksternal dan
perjanjian ekstradisi yang ditandatangani di negara atau anggota keluarganya tidak dianggap sebagai tentulah ditentukan secara
sebab tentang penun- termasuk dalam ruang
antara mereka. kejahatan politik. kasuistis sebab kepentingan
jukan lembaga peme- lingkup hubungan luar
4. Jika suatu Negara Pihak yang mempersyarat- Perundang-undangan Indonesia mengatur ekstradisi dalam negara Republik Indonesia
rintah yang diberi negeri maka Kemen-
kan ekstradisi melalui adanya suatu perjan- Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap masing-masing kasus
tugas dan wewenang terian Luar Negeri mela-
jian menerima permintaan ekstradisi dari Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun tersebut bisa berbeda-beda.
melakukan penyam- lui Direktorat Jendral
Negara Pihak lain dengan mana negara 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
tersebut tidak memiliki perjanjian ekstradisi, yang menegaskan tindak pidana terorisme dikecualikan dari Dari sikap dasar Indonesia paian atau pemberita- Hukum dan Perjanjian
negara tersebut dapat mempertimbangkan tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan seperti dalam Pasal 2 ayat 1 dan huan kepada organ Internasional adalah
Konvensi ini sebagai landasan hukum untuk tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, 2 Undang-Undang Nomor 1 dari organisasi inter- lembaga pemerintah
melakukan ekstradisi dengan mempertim- dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat Tahun 1979 tentang Ekstradisi nasional ini merupa- yang paling tepat untuk
bangkan tindak pidana terhadap mana pasal proses ekstradisi. tersebut dalam hubungannya kan masalah pada ditunjuk dan diberi tugas
ini digunakan. dengan Pasal 16 ayat 5 huruf a tataran teknis operasi- dan wewenang untuk
5. Negara-Negara Pihak yang mempersyaratkan UNTOC yaitu tentang kewajiban onal yang sebaiknya itu.
ekstradisi melalui adanya suatu perjanjian, (Indonesia) untuk memberitahu- diatur di dalam per-
Amanat seperti dalam
wajib : kan kepada Sekretaris Jendral aturan perundang-
Pasal 16 (Ekstradisi)
(a) Pada saat penyerahan instrumen PBB tentang sikap Indonesia undangan yang lebih
ayat 5 juga dijumpai di
ratifikasi, penerimaan, persetujuan dari apakah akan menjadikan Pasal rendah seperti peratur-
dalam Pasal 18 (Bantuan
atau aksesi terhadap Konvensi ini, agar 16 (Ekstradisi) tersebut sebagai an pemerintah atau
Hukum Timbal Balik)
memberitahukan Sekretaris Jenderal landasan hukum untuk peng- peraturan presiden
ayat 13 UNTOC. Oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah ekstradisian, seharusnyalah (perpres) sebagai
karena itu, lembaga
mereka menggunakan Konvensi ini Indonesia menjadikan UNTOC peraturan pelaksanaan
pemerintah yang ditun-
sebagai landasan hukum bagi kerja sama (khususnya Pasal 16) sebagai dari Undang-Undang
juk atau diberi tugas dan
ekstradisi dengan Negara-negara Pihak landasan hukum dalam ini.
wewenang untuk melak-
Konvensi ini; dan pengekstradisian. Persoalannya
Konvensi yang isi dan sanakan Pasal 16 ayat 5,
(b) Jika mereka tidak menggunakan adalah, tentang lembaga
jiwanya sama dengan juga termasuk untuk
Konvensi ini sebagai landasan hukum pemerintah yang diberi tugas dan
Pasal 16 ayat 5 huruf a melaksanakan amanat
bagi kerja sama ekstradisi, berupaya, wewenang untuk menyampaikan-
UNTOC dapat dijumpai dari Pasal 18 ayat 13
sebagaimana layaknya, membentuk nya kepada Sekretaris Jendral
Diminta atau melalui perjanjian ekstradisi Pasal 16 ayat 5 huruf a dari perjanjian ekstradisi akan diundangkan pada
yang berlaku, meliputi, antara lain, UNTOC yang secara tersimpul itu perlu diperhatikan masa yang akan datang
persyaratan hukuman minimum untuk juga berarti menyampaikan/ dalam menghadapi supaya di dalam salah
ekstradisi dan pertimbangan terhadap mana memberitahukan sikap Indonesia kasus ekstradisi yang satu pasalnya ada
Negara Pihak Diminta dapat menolak seperti dalam Pasal 2 ayat 1 dan berkenaan dengan penegasan tentang:
ekstradisi. 2 Undang-Undang Nomor 1 tindak pidana yang “tindak pidana yang
8. Negara-Negara Pihak wajib, tunduk terhadap Tahun 1979 tentang Ekstradisi, diatur dalam Konvensi. diatur dalam undang-
hukum nasionalnya, berupaya mempercepat ataupun ketentuan sejenis yang Juga perlu diperhatikan undang ini. tergolong
prosedur ekstradisi dan menyerderhanakan berkaitan dengan ekstradisi yang sebagai acuan dalam sebagai extraditable
persyaratan pembuktian yang terkait, dengan juga terdapat di dalam konvensi- membuat perjanjian crime”.
mempertimbangkan tindak pidana yang konvensi internasional yang ekstradisi dengan Indonesia dalam mem-
menggunakan Pasal ini. lainnya seperti UNCAC dalam negara-negara sahabat buat undang-undang
9. Tunduk kepada ketentuan hukum Pasal 44 (Ekstradisi) ayat 6 huruf maupun dalam mem- ekstradisi yang baru
nasionalnya dan perjanjian ekstradisinya. a, hingga kini masih belum jelas buat undang-undang sebagai pengganti dari
Negara Pihak diminta dapat, setelah yakin bahkan mungkin tidak ada sama ekstradisi yang baru Undang-Undang Nomor
bahwa kondisi tersebut sungguh diperlukan sekali. adalah United Nations 1 Tahun 1979 tentang
dan mendesak dan dengan permintaan Model Treaty on Ekstradisi, sebaiknya
Ketidakjelasan atau ketiadaan ini
Negara Pihak meminta, mengambil orang Extradition, 1990. juga mengacu pada
tentulah sangat disayangkan
yang ekstradisinya telah diminta dan yang United Nations Model
mengingat bahwa Indonesia
berada di dalam wilayahnya, ke dalam Treaty on Extradition,
merupakan negara besar yang
penahanan atau menggunakan upaya yang 1990. UN Model Treaty
banyak terlibat secara aktif
tepat lainnya untuk menjamin on Extradition ini sudah
dalam perundingan-perundingan
keberadaannya dalam proses ekstradisi. diikuti oleh negara-
atau konperensi-konperensi inter-
10. Suatu Negara Pihak yang di wilayahnya negara dalam membuat
nasional untuk merumuskan
ditemukan tersangka pelanggar, jika negara perjanjian dan undang-
naskah konvensi-konvensi inter-
tersebut tidak mengekstradisi orang terkait undang tentang ekstra-
nasional, khususnya konvensi-
dengan tindak pidana terhadap penggunaan disi.
konvensi tentang kejahatan
Pasal ini semata-mata dengan pertimbangan Dalam pembuatan un-
internasional yang hampir dalam
bahwa ia merupakan warga negaranya, atas dang-undang ekstradisi
setiap konvensi tersebut
permintaan Negara Pihak yang yang baru sebagai
mengandung pengaturan yang
mengupayakan ekstradisi, diwajibkan pengganti dari Undang-
jiwa dan semangatnya sama
menyerahkan kasus tersebut tanpa Undang Nomor 1 Tahun
seperti Pasal 16 ayat 5 huruf a
penundaan yang tidak semestinya kepada 1979 tentang Ekstradisi
badan yang berwenang untuk tujuan UNTOC ini. maupun dalam pem-
penuntutan. Badan tersebut wajib mengambil buatan perjanjian-per-
Penunjukan lembaga pemerintah
keputusan dan melakukan proses hukum janjian ekstradisi dengan
untuk tugas dan wewenang ini
dengan cara yang sama seperti kasus tindak negara-negara sahabat,
sangat perlu, antara lain untuk
pidana berat lain sesuai hukum nasional di dalamnya supaya
mengkoordinasikannya dengan
Negara Pihak tersebut. Negara-negara Pihak dicantumkan tentang
lembaga-lembaga pemerintah
yang bersangkutan wajib saling bekerja sama “simplified extradition
yang lain (di dalam negeri) yang
satu dengan yang lain, khususnya procedure” (prosedur
terkait dengan pokok masalah
menyangkut prosedur dan aspek ekstradisi yang
yang diatur dalam konvensi-
pembuktian, guna menjamin efisiensi proses sederhana/singkat).
konvensi dan untuk mengambil
penuntutan tersebut.
keputusan tentang bagaimana
11. Kapan saja suatu Negara Pihak diberikan izin
sikap yang sebaiknya diambil
berdasarkan hukum nasionalnya untuk
oleh pemerintah Indonesia
mengekstradisikan atau sebaliknya
terhadap apa yang diamanatkan
menyerahkan salah seorang warga
oleh konvensi yang bersangkutan
negaranya hanya berdasarkan ketentuan
dan selanjutnya atas dasar itulah
bahwa orang tersebut akan dikembalikan ke
dilakukan pemberitahuan kepada
Negara Pihak tersebut guna menjalani
organ dari organisasi inter-
hukuman yang dikenakan sebagai akibat dari
nasional yang dimaksudkan.
pemeriksaan pengadilan, atau proses dimana
Pasal 16 Konvensi ini merupakan
ekstradisi atau penyerahan orang telah
pemadatan/pemampatan dari
diupayakan, dan bahwa Negara Pihak
100
G A P A NA LYS I S
Di dalam perjanjian-perjanjian
ektradisi yang dibuat belakangan
ini, ketentuan pasal 16 ayat (8)
sudah mulai dicantumkan.
Pasal 16 ayat (12) ini juga
merupakan hal baru di dalam
ektradisi, yang mewajibkan
kepada negara diminta untuk
melaksanakan hukuman atas
orang yang diminta yang telah
dijatuhkan hukuman oleh negara
peminta dengan alasan orang
yang bersangkutan adalah warga
17 Pemindahan Narapidana
Negara Pihak dapat mempertimbangkan Perundang-undangan pidana Indonesia belum mengatur Kebutuhan praktek dirasakan Undang-Undang No- Sebaiknya Indonesia
pembentukan perjanjian bilateral dan multilateral ketentuan tentang pemindahan narapidana ke negara lain. terkait dengan adanya beberapa mor 12 Tahun 1995 aktif mengadakan penj-
atau pengaturan-pengaturan tentang Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang negara yang mengupayakan tentang ajakan dengan negara-
pemindahan orang-orang yang dipidana penjara Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana tidak pemindahan narapidana yang Pemasyarakatan belum negara sahabat untuk
atau bentuk pencabutan hak kebebasan lainnya, memberikan wewenang untuk mengadakan pengalihan berkewarganegaraan dari negara mengakomodasi membuat perjanjian
ke wilayah mereka bagi tindak pidana yang narapidana. yang bersangkutan ke negara ketentuan Konvensi. tentang pemindahan
tercakup dalam Konvensi ini, agar mereka dapat yang dimaksud. Pada tahun 2008, pelaksanaan hukuman
menyelesaikan masa hukuman mereka di sana. Tampaknya ada kendala dalam Australia sudah pernah bagi nara pidana asing.
daya tampung Lembaga Pema- melakukan penjajagan Perlu dipertimbangkan
syarakatan di Indonesia yang kepada Indonesia supaya dalam KUHAP
pada umumnya sudah melebihi untuk membuat ataupun RUU KUHAP ada
kapasitas. Namun demikian, hal perjanjian semacam satu pasal yang
ini tidak bisa dijadikan alasan ini. menegaskan
untuk tidak menerima WNI yang kemungkinan bagi nara
sedang menjalani hukuman di pidana asing yang
negara lain untuk menjalani menjalani pidana di
hukuman/ sisa hukumannya di Indonsia untuk bisa
negaranya sendiri (Indonesia) menjalani pidana atau
ataupun sebaliknya. sisa pidananya di
Hingga kini belum ada peraturan negaranya sendiri dan
perundang-undangan Indonesia demikian pula bagi
tentang pemindahan pelaksanaan warganegara Indonesia
hukuman bagi nara pidana asing yang menjalani pidana di
maupun perjanjian antara negara asing untuk
Indonesia dengan negara sahabat menjalani pidana atau
mengenai masalah pemindahan sisa pidananya di
narapidana ini. Indonesia.
Pada lain pihak, adalah
merupakan suatu fakta bahwa
cukup banyak warganegara asing
yang dipidana dan menjalani
pidananya di Indonesia dan
102
G A P A NA LYS I S
antar negara, termasuk para korban, para Pasal 28 (3): Menteri dapat meminta informasi tambahan Konvesi yang mengatur Treaty on Mutual Legal bantuan hukum timbal
saksi, hasil-hasil, sarana-sarana atau bukti jika informasi yang terdapat dalam suatu pengajuan bentuk bantuan timbal balik Assistance in Criminal balik yang terdapat da-
tindak pidana tersebut berada di dalam permintaan Bantuan dinilai tidak cukup untuk menyetujui tetapi tidak disebut dalam Matters yang ditanda- lam Konvensi, Undang-
Negara Pihak Diminta dan bahwa tindak pemberian Bantuan. Undang-Undang Nomor 1 tangani di Kuala Lum- Undang Nomor 1 Tahun
pidana dimaksud melibatkan kelompok Pasal 29 (1): Dalam hal permintaan Bantuan telah Tahun 2006, antara lain : pur tanggal 20 Nopem- 2006, dan dalam per-
pelaku tindak pidana terorganisasi. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Memberikan informasi, ber 2004. janjian-perjanjian multi
2. Bantuan hukum timbal balik wajib diberikan 28, Menteri meneruskan kepada Kapolri atau Jaksa Agung hal-hal mengenai pem- Perjanjian-perjanjian dan bilateral, sebaiknya
semaksimal mungkin berdasarkan undang- untuk ditindaklanjuti. buktian dan penilaian multilateral dan atau ditempatkan dalam po-
undang terkait, perjanjian, persetujuan dan Pasal 29 (2): Menteri melakukan koordinasi dengan instansi para ahli. bilateral antara Indo- sisi saling melengkapi
pengaturan dari Negara Pihak Diminta terkait sebelum permintaan tersebut dipenuhi. 2. Memfasilitasi kehadiran nesia dengan negara- (komplementer).
dengan mempertimbangkan proses penye- Pasal 30: Menteri melakukan koordinasi dengan instansi sukarela seseorang di negara sahabat ten- Perlu koordinasi Menteri
lidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam terkait sebelum permintaan tersebut dipenuhi. negara pihak peminta. tang bantuan timbal Hukum dan Hak Asasi
hubungan dengan tindak pidana yang suatu b. Ketentuan Pasal 18 ayat (5) balik dalam masalah Manusia dengan Menteri
badan hukum dapat dikenai tanggung jawab Konvensi tentang kewajiban pidana baik yang Luar Negeri tentang
sesuai dengan Pasal 10 Konvensi ini di untuk merahasiakan infor- sudah ada ataupun pelaksanaan pemberita-
Negara Pihak Peminta. masi dari negara yang yang akan ada pada huan badan yang diberi
3. Bantuan hukum timbal balik yang akan diminta, belum diatur dalam masa yang akan wewenang untuk mela-
diberikan menurut Pasal ini dapat dimintakan Undang-Undang Nomor 1 datang. kukan bantuan timbal
untuk tujuan-tujuan berikut : Tahun 2006. balik dalam masalah
(a) mengambil bukti atau keterangan dari c. Ketentuan Pasal 18 ayat (8) pidana. Seyogyanya
seseorang; Konvensi yang menentukan Menteri Luar Negeri
(b) memberikan pelayanan dokumen peng- bahwa negara yang diminta yang memberitahukan
adilan; tidak boleh menolak membe- informasi tersebut ke-
(c) melakukan pencarian dan penyitaan, dan rikan bantuan timbal balik pada Sekretaris Jenderal
pembekuan; dengan alas an kerahasiaan PBB.
(d) memeriksa barang dan tempat; bank, belum diatur dalam
(e) memberikan informasi, hal-hal mengenai Undang-Undang Nomor 1
pembuktian dan penilaian para ahli; Tahun 2006.
(f) memberikan dokumen asli atau salinan d. Ketentuan Pasal 18 ayat (10)
resmi dari dokumen dan laporan yang Konvensi tentang dapat di-
relevan, termasuk laporan pemerintah, pindahkan seseorang yang
perbankan, keuangan, perusahaan atau ditahan atau menjalani pida-
catatan usaha; na untuk tujuan identifikasi,
104
G A P A NA LYS I S
106
G A P A NA LYS I S
tersebut tersebut jika mereka melakukan [Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat
kerja sama. (3), ayat (4), dan ayat (5)] tetapi
8. Negara-Negara Pihak tidak boleh menolak hal ini tidak terdapat di dalam
untuk memberikan bantuan hukum timbal Konvensi. Sebaliknya, Pasal 18
balik sesuai dengan Pasal ini dengan Konvensi sama sekali tidak
pertimbangan kerahasiaan bank. mengaturnya, padahal sebagai
9. Negara-Negara Pihak dapat menolak untuk sebuah perjanjian multilateral
memberikan bantuan hukum timbal balik sudah seharusnya mengatur di
sesuai dengan Pasal ini dengan pertimbangan dalam salah satu pasalnya.
tidak adanya kriminalitas ganda. Namun, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Negara Pihak Diminta dapat, apabila 2006 sama sekali tidak mengatur
dianggap perlu, memberikan bantuan, sejauh tentang “pengamanan/keaman-
diputuskan sesuai kehendaknya, terlepas an” atas orang ataupun barang
apakah tindakan tersebut merupakan suatu bukti” mulai dari proses paling
tindak pidana berdasarkan hukum nasional awal hingga akhir. Sejauhmana
Negara Pihak Diminta. pembagian tanggungjawab anta-
10. Seorang yang sedang ditahan atau menjalani ra negara-peminta dan negara-
hukuman di wilayah sebuah negara Pihak diminta atas keamanan orang
yang keberadaannya di Negara Pihak lain atau alat bukti tersebut .
Diminta dengan tujuan untuk identifikasi, Pasal 18 Konvensipun juga sama
pemberian kesaksian atau sebaliknya sekali tidak mengatur masalah
memberikan bantuan untuk memperoleh “Pengamanan/keamanan” ini.
108
G A P A NA LYS I S
110
G A P A NA LYS I S
112
G A P A NA LYS I S
114
G A P A NA LYS I S
116
G A P A NA LYS I S
Pasal ini.
19 Penyelidikan Bersama
Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perundang-undangan Indonesia Persoalan yang perlu Perlu dipertimbangkan
penandatanganan persetujuan-persetujuan Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun belum secara khusus mengatur mendapat perhatian untuk mengadopsi isi
bilateral atau multilateral atau pengaturan- 2003 mengatur wewenang untuk melakukan kerjasama mengenai pembentukan badan- adalah, apakah meto- Konvensi untuk dican-
pengaturan yang dalam hubungannya dengan internasional dengan negara lain di bidang intelijen, badan penyelidikan bersama de, mekanisme atau tumkan di dalam perun-
hal-hal yang merupakan subjek penyelidikan, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya dalam rangka antara aparatur penegak hukum prosedur melakukan dang-undangan yang
penuntutan, atau proses pengadilan di satu pencegahan dan pemberantasan terorisme. Indonesia dengan aparatur penyelidikan dari terkait.
atau lebih Negara, badan-badan berwenang yang Pasal 15 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 2 tahun penegak hukum negara lain. masing-masing negara Perlu dipertimbangkan
bersangkutan dapat membentuk badan-badan 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengatur Ketentuan Pasal 19 ini itu sama ataukah untuk membuat perjan-
penyelidikan bersama. Dalam hal tidak adanya wewenang Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan membebani kewajiban kepada tidak. Sejauhmana jian tentang penyelidik-
persetujuan atau pengaturan, penyelidikan kerjasama dengan kepolisian negara lain. Kerjasama negara-negara untuk membuat persamaan dan an bersama yang kom-
bersama dapat dilaksanakan berdasarkan dimaksud pernah dilaksanakan dalam berbagai kasus perjanjian kerjasama dalam perbedaannya. prehensif antara kepoli-
persetujuan secara kasus demi kasus. Negara- terorisme seperti kasus bom Bali, bom Kedutaan Besar melakukan penyelidikan bersama Sebelum melangkah sian dan kejaksaan dari
Negara Pihak yang terlibat wajib menjamin Australia, bom JW Marriot, dan lain-lain. atas kasus-kasus yang melibat- kearah pembuatan negara Indonesia
bahwa kedaulatan Negara Pihak yang wilayahnya kan dua atau lebih negara. Oleh perjanjian, masalah ini dengan kepolisian dan
akan digunakan untuk kegiatan penyelidikan karena hal ini berkenaan dengan perlu dikaji lebih kejaksaan dari negara-
sepenuhnya dihormati. masalah penyelidikan, tentu saja dahulu secara lebih negara sahabat dengan
merupakan wewenang dari mendalam. tetap menghormati
kepolisian. kedaulatan dan hukum
Perjanjian bilateral atau nasional masing-masing
persyaratan yang ditetapkan oleh hukum Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang hak-hak asasi manusia Undang-undang tentang
nasionalnya, mengambil tindakan yang Nomor 15 Tahun 2003) : dari orang yang Anti Penyiksaan oleh
diperlukan guna memungkinkan penggunaan a. Penggunaan laporan intelijen sebagai bukti menjadi sasarannya, aparat penegak hukum.
pengiriman terkendali secara tepat dan, jika permulaan yang cukup (Pasal 26); seperti si pelaku Perlu penegakan standar
dianggap tepat, penggunaan teknik-teknik b. Pengaturan alat bukti elektronika sebagai alat bukti kejahatan ataupun perilaku aparat penegak
penyelidikan khusus lainnya, seperti menurut hukum acara pidana dalam pemeriksaan orang-orang lain yang hukum secara konsisten.
peralatan elektronik atau bentuk-bentuk tindak pidana terorisme (Pasal 27); terkait atau ada
pengawasan lainnya dan operasi-operasi c. Kewenangan untuk memerintahkan kepada bank hubungannya dengan
rahasia, oleh pejabat-pejabatnya yang dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan kejahatan yang ber-
berwenang di wilayahnya untuk tujuan pemblokiran harta kekayaan (Pasal 29); sangkutan. Hak-hak
memberantas tindak pidana terorganisasi d. Kewenangan untuk meminta keterangan dari bank asasi manusia yang
secara efektif. dan lembaga jasa keuangan mengenai harta secara langsung terkait
2. Untuk tujuan penyelidikan tindak pidana kekayaan seseorang, tanpa izin Gubernur Bank dengan pelaksanaan
yang tercakup dalam Konvensi ini, Negara- Indonesia. Ketentuan undang-undang yang teknik penyidikan
Negara Pihak didorong untuk membentuk, mengatur rahasia bank tidak berlaku (Pasal 30); khusus ini, antara lain,
apabila diperlukan, persetujuan-persetujuan e. Kewenangan membuka, memeriksa dan menyita hak atas kebebasan
bilateral atau multilateral yang sesuai atau surat dan kiriman melalui jasa pos/pengiriman dan dan keamanan pribadi,
pengaturan-pengaturan untuk menggunakan kewenangan untuk menyadap pembicaraan lewat hak untuk tidak
teknik-teknik penyelidikan khusus tersebut telepon (Pasal 31). disiksa, tidak diper-
dalam konteks kerja sama pada tingkat 2. Undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang lakukan secara kejam,
internasional. Perjanjian-perjanjian atau (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- tidak direndahkan
pengaturan-pengaturan tersebut dibentuk Undang Nomor 25 Tahun 2003) : martabat
dan dilaksanakan dengan mematuhi a. Kewajiban mengenal identitas nasabah penyedia kemanusiaannya, hak
sepenuhnya prinsip-prinsip persamaan jasa keuangan (Pasal 17); untuk diperlakukan
kedaulatan Negara-Negara dan wajib b. Untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana sama atau tidak
dilaksanakan secara ketat sesuai dengan pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih diskriminatif, hak
ketentuan-ketentuan dari persetujuan- dahulu tindak pidana asalnya (Penjelasan Pasal 3 untuk tidak ditangkap,
persetujuan atau pengaturan-pengaturan ayat (1); tidak ditahan, ataupun
tersebut. c. Pengaturan alat bukti elektronika sebagai alat bukti dikucilkan secara
3. Dalam hal tidak adanya persetujuan atau menurut hukum acara pidana tindak pidana sewenang-wenang.
pengaturan sebagaimana ditetapkan dalam pencucian uang (Pasal 38);
ayat 2 pasal ini, keputusan-keputusan untuk d. Kewenangan untuk memerintahkan kepada
menggunakan teknik-teknik penyelidikan penyedia jasa keuangan untuk melakukan
118
G A P A NA LYS I S
120
G A P A NA LYS I S
24 Perlindungan Saksi
1. Setiap Negara Pihak wajib mengambil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Norma yang mengatur tata cara KUHAP masih meng- Dalam revisi KUHAP,
tindakan-tindakan yang tepat dalam batas Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memberikan kesaksian tertulis anut asas pemeriksaan perlu ditambahkan tata
kemampuannya, untuk memberikan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan atau melalui sarana elektronik, saksi secara langsung cara dan kekuatan alat
perlindungan efektif dari kemungkinan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang sehingga dapat diakui sebagai dan lisan di per- bukti keterangan saksi
pembalasan atau intimidasi terhadap saksi- Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian alat bukti yang sah, belum sidangan, dan kete- yang diberikan dengan
saksi dalam proses pidana yang memberikan Uang mengatur secara umum kewajiban negara memberi dirumuskan dalam hukum acara rangan yang diberikan tertulis atau melalui
kesaksian mengenai tindak pidana yang perlindungan khusus terhadap saksi dan keluarganya. pidana (KUHAP). harus di bawah sum- sarana elektronik.
tercakup dalam Konvensi ini dan, jika patut, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang pah agar memenuhi
bagi keluarga mereka dan orang-orang lain Perlindungan Saksi dan Korban mengatur perlindungan syarat kekuatan atau
yang dekat dengan mereka. saksi dalam Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu : keabsahan alat bukti
2. Tindakan-tindakan yang digambarkan dalam 1. Saksi yang berada dalam ancaman sangat besar, atas keterangan saksi.
ayat (1) Pasal ini dapat meliputi, antara lain, persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
tanpa mengurangi hak-hak terdakwa, hadir langsung di pengadilan.
termasuk hak untuk diproses dengan 2. Saksi tersebut dapat memberikan kesaksian secara
semestinya: tertulis atau melalui sarana elektronik dengan
(a) Menetapkan prosedur-prosedur bagi didampingi oleh pejabat yang berwenang.
perlindungan fisik orang tersebut, seperti, 3. Saksi tidak dapat dituntut karena kesaksian yang
sejauh diperlukan dan dimungkinkan, diberikan.
menampung mereka dan mengizinkan, Indonesia telah cukup banyak memiliki Peraturan
jika perlu, tidak mengungkapkan atau Perundang-undangan yang memberikan perlindungan
pembatasan-pembatasan terhadap kepada Saksi, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun
pengungkapan informasi yang 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan
menyangkut identitas dan keberadaan pengaturan khusus dalam beberapa undang-Undang seperti
122
G A P A NA LYS I S
124
G A P A NA LYS I S
pembuktian terhadap hal-hal seperti: kejahatan terorganisasi. terlibat di dalamnya, sehingga tuk perjanjian, seperti
(i) identitas, sifat, komposisi, struktur, 2. Saksi mahkota yang bekerjasama dan membantu penting memberikan pengharga- antara kepolisian, kejak-
lokasi atau kegiatan-kegiatan kelom- penyelidikan dan penuntutan tindak pidana an terhadap saksi mahkota. saan, sebaiknya berben-
pok-kelompok penjahat terorganisasi; transnasional terorganisasi diberi penghargaan berupa Pada tataran internasional, tuk Memorandum of
(ii) keterkaitan-keterkaitan, termasuk pengurangan hukuman atau pemberian kekebalan dari perjanjian kerjasama antara Understanding (MOU)
keterkaitan internasional dengan penuntutan serta memberi perlindungan. aparat penegak hukum antar yang sifatnya lebih
kelompok-kelompok penjahat Keringanan hukuman bagi saksi yang juga tersangka yang negara, tergolong sebagai informal dan longgar
terorganisasi lainnya. bekerjasama dengan aparat penegak hukum, diatur dalam perjanjian yang dapat langsung dari pada agreement.
(iii) tindak pidana yang telah dan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dilaksanakan (self executing
mungkin dilakukan oleh kelompok- tentang Perlindungan Saksi dan Korban. agreement), tanpa perlu dituang-
kelompok pelaku tindak pidana kan dalam bentuk Undang-
teroganisir; Undang ataupun Keputusan
(b) Memberikan bantuan faktual, konkrit Prersiden.
kepada badan yang berwenang yang
dapat membantu untuk menghalangi
kelompok-kelompok penjahat terorgani-
sasi dari sumber daya mereka atau dari
hasil tindak pidana.
2. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang-
kan untuk membuka kemungkinan, dalam
keadaan yang tepat, pengurangan hukuman
atas tertuduh yang memberikan kerjasama
126
G A P A NA LYS I S
128
G A P A NA LYS I S
organisasi internasional dan regional. Untuk masyarakat serta badan-badan terlibat dalam tindak
tujuan tersebut, pengertian-pengertian hukum swasta dan profesi-profesi pidana transnasional
umum, standar-standar dan metodologi- tertentu khususnya pengacara, terorganisasi sebagai
metodologi wajib dikembangkan dan notaris, konsultan pajak, pengurus badan
digunakan secara tepat. akuntan. hukum menjadi ang-
3. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang- gota profesi.
kan pemantauan atas kebijakan- 2. Perlunya penguatan
kebijakannya dan tindakan-tindakan faktual kerjasama antar apa-
guna memberantas tindak pidana rat penegak hukum
terorganisasi dan melakukan penilaian- maupun antara apa-
penilaian terhadap efektivitas dan rat penegak hukum
efisiensinya. dengan lembaga lain-
nya.
130
G A P A NA LYS I S
132
G A P A NA LYS I S
134
G A P A NA LYS I S
31 Pencegahan
1. Negara-Negara Pihak wajib berusaha untuk
mengembangkan dan mengevaluasi proyek-
proyek nasional dan menciptakan serta
meningkatkan praktik terbaik dan kebijakan
136
G A P A NA LYS I S
138
G A P A NA LYS I S
Konvensi ini;
(e) Membuat rekomendasi-rekomendasi
untuk memperbaiki Konvensi ini dan
pelaksanaannya.
4. Untuk tujuan ayat (3) (d) dan (e) dari Pasal
ini, Konferensi para Pihak wajib memperoleh
pengetahuan yang diperlukan mengenai
tindakan-tindakan yang diambil oleh Negara-
Negara Pihak dalam melaksanakan Konvensi
ini dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
mereka dalam pelaksanaannya melalui
informasi yang diberikan oleh mereka dan
melalui mekanisme-mekanisme peninjauan
tambahan semacam ini sebagaimana yang
mungkin ditetapkan oleh Konvensi Para
Pihak.
5. Setiap Negara Pihak wajib memberikan
kepada Konferensi para Pihak, informasi
tentang program-programnya, rencana-
rencana dan praktik-praktiknya, termasuk
tindakan-tindakan legislatif dan administratif
untuk melaksanakan Konvensi ini,
sebagaimana dipersyaratkan oleh Konvensi
Para Pihak.
33 Sekretariat
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa wajib menyediakan pelayanan-pela-
yanan sekretariat yang diperlukan kepada
Konferensi Para Pihak pada Konvensi ini.
2. Sekretariat wajib:
(a) Membantu Konferensi Para Pihak dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
140
G A P A NA LYS I S
34 Pelaksanaan Konvensi
1. Setiap Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan, termasuk
tindakan-tindakan legislatif dan administratif,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya, guna menjamin pelaksanaan
kewajiban-kewajibannya dalam Konvensi ini.
2. Tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan
35 Penyelesaian Sengketa
1. Negara-Negara Pihak wajib berusaha untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai
penafsiran atau pelaksanaan Konvensi ini
melalui negosiasi.
2. Setiap sengketa antara dua atau lebih
Negara Pihak mengenai penafsiran atau
pelaksanaan Konvensi ini yang tidak dapat
diselesaikan melalui negosiasi dalam waktu
yang sepatutnya wajib, atas permintaan
salah satu Negara-Negara Pihak, diselesaikan
melalui arbitrasi. Apabila, 6 (enam) bulan
setelah tanggal permintaan arbitrasi, Negara-
Negara pihak tidak dapat menyepakati
organisasi arbitrasi, salah satu Negara-
Negara Pihak dapat melimpahkan sengketa
kepada Mahkamah Internasional melalui
permintaan sesuai dengan Statuta
Mahkamah.
3. Setiap Negara Pihak dapat, pada saat
penandatangan, ratifikasi, penerimaan, atau
persetujuan atau aksesi Konvensi ini,
menyatakan bahwa ia tidak mengikatkan
dirinya pada ayat (2) Pasal ini. Negara-
Negara Pihak lainnya tidak akan terikat pada
ayat (2) Pasal ini terhadap setiap Negara
Pihak yang membuat pensyaratan semacam
itu.
4. Setiap Negara Pihak yang membuat
142
G A P A NA LYS I S
144
G A P A NA LYS I S
38 Pemberlakuan
1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari
kesembilan puluh setelah tanggal
penyimpanan instrumen ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau aksesi
keempat puluh. Untuk tujuan ayat ini, setiap
instrumen yang disimpan oleh organisasi
integrasi ekonomi regional tidak dapat
dihitung sebagai tambahan dari instrumen
yang disimpan oleh Negara-negara anggota
dari organisasi tersebut.
2. Untuk setiap Negara atau organisasi integrasi
ekonomi regional yang meratifikasi,
menerima, menyetujui atau mengaksesi
Konvensi ini setelah penyimpanan instrumen
keempat puluh tersebut, Konvensi ini mulai
berlaku pada hari ketiga puluh setelah
tanggal penyimpanan oleh Negara atau
organisasi instrumen yang terkait.
146
G A P A NA LYS I S
40 Penarikan Diri
1. Suatu Negara Pihak dapat menarik diri dari
Konvensi ini melalui pemberitahuan tertulis
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Penarikan diri tersebut
berlaku efektif 1 (satu) tahun setelah tanggal
penerimaan pemberitahuan dari Sekretaris
Jenderal.
2. Suatu organisasi integrasi ekonomi regional
berhenti menjadi Pihak terhadap Konvensi ini
ketika seluruh Negara-Negara anggotanya
telah menarik diri.
3. Penarikan diri dari Konvensi ini sesuai ayat
(1) Pasal ini akan berakibat penarikan diri
I Wayan Parthiana, S.H., M.H. lahir di Gianyar, Bali, tahun 1947. Dia meraih gelar
Sarjana Muda Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar (1970), gelar
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung (1974) serta
gelar Magister Bidang Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
(1985). Sejak tahun 1974 sampai sekarang, I Wayan Parthiana telah mengabdikan dirinya
sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan mengampu
mata kuliah Hukum Internasional, Hukum Organisasi Internasional, Hukum Laut
Internasional, Hukum Hak-Hak Asasi Manusia, Hukum Perjanjian Internasional, dan
Hukum Pidana Internasional. Selain di fakultas hukum, pada tahun 1983-1994, I Wayan
Parthiana juga mengajar mata kuliah Hukum Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Selain mengajar, I Wayan
Parthiana banyak menulis buku dalam bidang hukum khususnya hukum internasional
G A P A NA LYS I S
yaitu: Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia (Edisi
Pertama, 1983, Alumni, Bandung dan Edisi Kedua, 1989, Mandar Maju, Bandung);
Beberapa Masalah Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia
U NTOC
(Kumpulan Karangan) (Bina Cipta, 1987); Pengantar Hukum Internasional (Edisi
Pertama, 1990 dan Edisi Kedua, 1993, Mandar Maju, Bandung); Hukum Perjanjian
Internasional Bagian Pertama dan Kedua (Edisi Pertama, 2005, Mandar Maju,
Bandung); Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional (Edisi Pertama, 2005,
Mandar Maju, Bandung); Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi (Edisi Pertama,
149
2004, Yrama Widya, Bandung); Hukum Pidana Internasional (Edisi Pertama, 2006,
Yrama Widya, Bandung); Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern (Edisi
Pertama, 2010, Yrama Widya, Bandung).
RI – Roul Wallenberg Institute, Jakarta dan Swedia. (2001). Dr. Surastini banyak
berkecimpung di dunia pendidikan dengan menjadi pengajar pada Program Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1988-sekarang), Program Sarjana Fakultas
U NTOC
Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta (1994-2000), Program Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan, Jakarta (1999-2001), Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003-sekarang), Program Magister Ilmu
150 Hukum Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta (2007), Program Sarjana
Departemen Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia (2009-sekarang), Program
Magister Pascasarjana Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia (2010). Selain
mengajar, Dr. Surastini pernah menjadi Sekretaris Bidang Studi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1994-2003), anggota Task Force for Preparing
Quality of Undergraduate Education Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1998 –
1999), serta Manajer Pendidikan dan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(2006-2008). Kontribusi lain Dr. Surastini dalam beberapa tahun terakhir antara
lain adalah keterlibatannya dalam Penyusunan Modul CAT, Direktorat Jenderal Hak
Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2008); Penyusunan
Revisi Modul HAM untuk Brimob, Sentra HAM – Kemitraan (2009); Pelatih dalam
Penyegaran untuk Pelatih Utama Brimob, Sentra HAM –Kemitraan (2009); Analis
Pusat Penelitian Jejaring KY tentang Putusan Pengadilan (2009); Peneliti dalam
Penyusunan Buku Pedoman Penanganan People Smuggling, Departemen Kriminologi
Fisip UI – IOM (2009); Peneliti dalam Penyusunan Arah Kebijakan Polri, Departemen
Kriminologi Fisip UI – Kompolnas (2009); Analis Pusat Penelitian Jejaring KY tentang
Putusan Pengadilan (2010); Pengajar dalam Pelatihan Hukum Pidana “The Building
Blocks Project”, Kerjasama Indonesia- Belanda (2010).