Fifi
Fifi
CI LAHAN CI INSTITUSI
Hemoglobin
Heme Globin
Fe Biliverdin
Bilirubin Indirek
Mengikat
Albumin
Hepar
Membran Sel
Bilirubin Direk
Empedu
Usus/ Duodenum
Bilirubin Indirek
E. Manifestasi klinis
1. Tanda hiperbilirubinemia (jaundice)
Jaundice atau ikterus merupakan keadaan diskolorasi kuning pada jaringan
(kulit, sclera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice
merupakan tanda dari hiperbilirubinemia (misalnya kadar total kadar bilirubin serum
lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan: 1 mg/dl) (Juffrie, 2010).
Derajat kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah
deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotemia dapat menyebabkan
kulit berwarna kuning, tetapi sclera akan tetap berwarna putih. Banyak keadaan yang
berhubungan dengan neonatal jaundice.Beberapa keadaan ini begitu umum sehingga
disebut fisiologis. Sebaliknya jaundice dapat merupakn tanda hemolysis, infeksi
ataupun gagal hati. Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun
jaundice akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakankemampuan plasenta
untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya,
hampir semua bayi mengalami peningkatan kadar bilirubin serum (1,4mg/dl).
Peningkatan kadar bilirubin serum, kulit akan menjadi leih jaundice dengan urutan
sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tanpak dikepala dan bergerak kearah kaudal
ketelapak tangan dan telapak kaki.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada
badan neonatus menurut kramer adalah dengan jari telunjuk ditekan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang, hidung, dada dan lutut (Saifuddin,
2006).
Tabel penilaian ikterus menurut Kremer
Derajat Perkiraan kadar
Luas ikterus
ikterus bilirubin
I Kepala dan leher
5 mg/dl
II Sampai badan atas (di atas umbilikus)
9 mg/dl
Sampai badan bawah (di bawah umbilikus)
III
hingga tungkai atas (di atas lutut) 11mg/dl
IV Sampai lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki
16 g/dl
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada
hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh
yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit
tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.
Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat menurut Potter & Perry (2005)
:
1. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
2. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
3. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
4. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
F. Komplikasi Hiperbilirubin
1. Bilirubin encephahalopathi
Ensefalopati bilirubin adalah komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis
akibat efek toksis bilirubin indirek terhadap susunan saraf pusat.Kejadian
ensefalopati bilirubin tersebar di seluruh dunia, baik di negara maju, maupun
berkembang. Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase
kronis. Pada fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara)
yang masih aman jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan
kronis bersifat irreversible (menetap) yang berakhir dengan gejala sisa
neurologis/bersifat fatal, biarpun dilakukan transfusi ganti dan foto terapi.
Ensefalopati bilirubin sebagian besar bersifat preventable, apabila tenaga kesehatan
dan rumah sakit mau mengikuti rekomendasi petunjuk tatalaksana ikterus
neonatorum secara benar (Ganong, 2003).
Menurut Saifuddin (2006) mengatakan bahwa enselopati bilirubin merupakan
manifestasi klinis dari efek toksin bilirubin di SSP, sedangkan istilah kern ikterus
didefinisikan sebagai suatu perubahan neuropatologi yang ditandai deposisi pigmen
dari beberapa daerah diotak terutama di ganglion basalis, pons dan cereblum.
2. Kern ikterus
Toksisitas ini berupa kern ikterus (kern= nucleus, icterus= kuning) merupakan
temuan neuropatologis yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
berat dan dinamakan demikian karena timbulnya warna kuning pada beberapa tempat
di otak, misalnya ganglia basalis, cereblum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV.
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan kern ikterus disebut bilirubin enselopati,
termasuk gangguan reflek moro, opistotonus, hipotonia, vomitus dan kematian.
Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas, koreoatetosis, dan tuli sensorineural
(Juffrie, 2010).
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Price & Wilson (2005) sebagai berikut :
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14
mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak
fisiologis. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap. Protein serum total
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
H. Penatalaksanaan Hiperbilirubin
1. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi peng-
ganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya ber-
intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum,
fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang
sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila kon-sentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi
profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah
(Wong, Stevenson, & Vreman, 2010).
2. Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor
imunolo-gik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan
dilakukannya transfusi tukar
3. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang
rentan terhadap antibodi erirtosit maternal, menghilangkan eritrosit yang
tersensitisasi, mengeluarkan bilirubin serum, serta meningkatkan albumin yang masih
bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin (Wong,
Stevenson, & Vreman, 2010).
4. Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang mening-
katkan konjugasi bilirubin dan mengeks-kresikannya. Obat ini efektif diberikan pa-da
ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek
sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluar-
kannya melalui urin sehingga dapat menu-runkan kerja siklus enterohepatika
(Sukadi, 2010).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
Sebagian kasus ditemukan pucat, menandakan anemia
3. Eliminas
a) Bising usus hipoaktif
b) Pasase mekonium mungkin lambat
c) Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin
d) Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)
4. Makanan / Cairan
a) Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada
menyusu botol
b) Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar
5. Neurosensori
a) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang
berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
b) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitas Rh berat.
c) Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
d) Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6. Pernapasan
a) Riwayat asfiksia.
b) Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi pulmonal)
7. Keamanan
a) Riwayat positif infeksi/sepsis neonates.
b) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra cranial
c) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping
fototerapi.
8. Seksualitas
a) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan reterdasi
pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA),
seperti bayi dengan ibudiabetes.
b) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
c) Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ikterus neunatus berhubungan dengan usia <7 hari
2. Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi biokimia (hiperbilirubin)
3. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan gangguan yang
mempengaruhi regulasi tubuh, usia eksterm
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis
C. Rencana Asuhan Keperawatan
Ikterik neunatus Kulit dan membran mukosa neunatus berwarnakuning yang terjadi setelah 24
jam kehidupan sebagai akibat bilirubin tak terkonjugasi ada dalam sirkulasi.
(Nanda )
TUJUAN, KRITERIA
KOMPONEN DIAGNOSIS INTERVENSI (NIC)
HASIL (NOC)
Risiko Cedera Beresiko mengalami cedera sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang berinteraksi
dengan sumber-sumber adatif dan pertahanan individu
(Nanda )
Risiko Ketidakseimbangan Berisiko terhadap kegagalan untuk memelihara suhu tubuh dalam batas normal
Suhu Tubuh (Nanda)
Aktivitas lain
(1975, 2000 )
Eritrosit
Hemoglobin
Heme Globin
Fe Biliverdin
Refleks
mengisap Pemecahan bilirubin berlebih/bilirubin yang tidak berikatan dengan
menurun albumin meningkat
Indikasi fotorepai
Ganong, W. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (20 ed.). Jakarta: EGC.
Guyton, A., & Hall, J. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Maharani, & Sabrina. (2008). Mengenali dan Memahami Berbagai Gangguan Kesehatan
Anak. Jogjakarta: Kata Hati.
Potter, P., & Perry, A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.
Price, & Wilson. (2005). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta: EGC.
Saifuddin, A. (2006). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Slusher, et all. (2013). Treatment of Neonatal Jaundice with Filtered Sunlight in Nigerian.
Neonates: Study Protocol Of a Non-Inferiority, Randomized Controlled. Elseiver , 18-
09.
Sudoyono, & Aru, W. (2010). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
Sukadi, A. (2010). Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman
A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Susarasmi, & Asrining. (2003). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Wong, R., Stevenson, D., & Vreman, H. (2010). Neonatal Jaundice: Bilirubin physiology and
clinical chemistry. NeoReviews. International Journal of Neonatal, 56-67.
Internasional, N. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 -21017 Edisi
10. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia: Elsevier.