CI LAHAN CI INSTITUSI
Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari
rektum diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut
ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi
karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini. Dinding rektum
terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa
muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa (Sherwood, 2014).
B. Etiologi
Price & Wilson (2006) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rektum sama
seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi
munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, Kolitis
Ulseratifa, dan Granulomatosis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin
berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi
protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet
rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak,
dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga
menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume
lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang
berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
C. Faktor risiko
1. Idiopathic inflammatory bowel disease
a) Polip
Polip adalah pertumbuhan pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas. Sebagian besar polip bersifat
jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
b) Ulseratif kolitis
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki
risiko yang lebih besar. Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk
kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif
kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada
usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari
ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun,
dan 18% pada 30 tahun.
c) Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit
crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi
dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma
meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding
intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan
juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula
kronik pasien dengan crohn’s disease.
2. Faktor Genetik
a) Riwayat keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat
yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita
kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang
tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.
b) Herediter kanker kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih
kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker
kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan
adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama
dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua
sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
c) Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang
menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori
pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara
resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak
jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk
menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.
Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker
kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang
secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif
dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan
mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt
foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua
mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan
kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan
hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam.
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya
4. Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut atau nyeri
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
6. Mual dan muntah,
7. Rasa letih dan lesu
8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah
gluteus.
E. Komplikasi
Karsinoma kolon dapat bermetastase dengan jalan :
1. Langsung perkontinuitatum dinding usus dan organ disekitarnya
2. Hematogen
3. Linefogen
4. Metastasis sering terjadi ke kelenjar getah bening dan organ lain, misal ke hati, paru
dan otak
Komplikasi lainnya :
1. Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus pertial/lengkap
2. Pertumbuhan dan ulserasi dapat menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemoragi
3. Perforasi dapat terjadi yang menyebabkan pembentukan abses
4. Peritonitis/sepsis yang dapat menimbulkan syock
F. Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal,
diantaranya ialah :
1. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan
Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
2. Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining
awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal,
pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum,
tumor akan teraba keras dan menggaung.
Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu
penonjolan tepi, dapat berupa :
a) suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
b) suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c) suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol
dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d) suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a) Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui
vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan
dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai
batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan
pemeriksaan colok dubur.
b) Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih
dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan
ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior
vagina atau dinding anterior uterus.
c) Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
3. Enema barium kontras ganda (Double-contrast barium enema): Prosedur ini
mencakup pengisian kolon dan rektum dengan bahan cair putih (barium) untuk
meningkatkan kualitas gambar sinar X. Dengan demikian, ketidaknormalan (seperti
polip) dapat terlihat dengan jelas.
4. Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat
diambil untuk biopsi.
5. Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan
melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil
untuk biopsi.
6. Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling
sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors.
G. Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi
standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk
kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I
dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan
pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan
stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan
radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai
neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy
digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya
dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat
operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain
a. Eksisi lokal: jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker
ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.
b. Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Jika dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu
diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.
Nutrition Monitoring
a. BB pasien dalam batas normal
b. Monitor adanya penurunan berat badan
c. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa
dilakukan
d. Monitor interaksi anak atau orangtua selama
makan
e. Monitor lingkungan selama makan
f. Jadwalkan pengobatan dan perubahan
pigmentasi
g. Monitor turgor kulit
h. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah
patah
i. Monitor mual dan muntah
j. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan
kadar Ht
k. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
l. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
m. Monitor kalori dan intake nutrisi
n. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas oral.
o. Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
Kerusakan integritas kulit Tissue Integrity : Skin and Mucous Pressure Management
berhubunan dengan insisi bedah Membranes
a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
yang longgar
Domain 11 keamanan/ Setelah dilakukan tindakan keperawatan b. Hindari kerutan pada tempat tidur
perlindungan selama….. kerusakan integritas kulit pasien c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
Kelas 2 cedera fisik teratasi dengan kriteria hasil: kering
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan jam sekali
(sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
pigmentasi) f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit yang tertekan
c. Perfusi jaringan baik g. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses h. Monitor status nutrisi pasien
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya i. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
sedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan Insision site care
mempertahankan kelembaban kulit dan a. Membersihkan, memantau dan meningkatkan
perawatan alami proses penyembuhan pada luka yang ditutup
f. Menunjukkan terjadinya proses dengan jahitan, klip atau straples
penyembuhan luka b. Monitor proses kesembuhan area insisi
c. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
d. Bersihkan area sekitar jahitan atau staples,
menggunakan lidi kapas steril
e. Gunakan preparat antiseptic, sesuai program
f. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai
atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut)
sesuai program
Risiko infeksi dengan faktor Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
risiko prosedur invasif Knowledge : Infection control
Risk control a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Domain 11 keamanan/ b. Pertahankan teknik isolasi
perlindungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Batasi pengunjung bila perlu
Kelas 1 infeksi selama…… pasien tidak mengalami infeksi d. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
dengan kriteria hasil: tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi meninggalkan pasien
b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah e. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
timbulnya infeksi f. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
c. Jumlah leukosit dalam batas normal tindakan keperawatan
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat g. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria pelindung
dalam batas norma h. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
j. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
k. Tingktkan intake nutrisi
l. Berikan terapi antibiotik bila perlu
m. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
n. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
o. Monitor hitung granulosit, WBC
p. Monitor kerentangan terhadap infeksi
q. Batasi pengunjung
r. Sering pengunjung terhadap penyakit menular
s. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
t. Pertahankan teknik isolasi k/p
u. Berikan perawatan kulit pada area epidema
v. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
w. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
x. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
y. Dorong masukan cairan
DAFTAR PUSTAKA
Price, S., & Wilson, L. (2006). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 6,
Volume 1. Jakarta: EGC.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Doenges, M. E., & Morhouse , M. F. (2010). Rencana Perawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Smeltzer , & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia: Elsevier.