SKENARIO 1
“Hidung Tersumbat”
Disusun oleh:
KELOMPOK I
Laila Auliya Noviyanti 152010101005
Warda Ayu Nadira 152010101019
Desi Dwi Cahyani 152010101022
Ahmad Hasbi Al-Muzaky 152010101024
Laila Rizqi Kurniawati 152010101041
Zain Irfan Rafii 152010101046
Ghani Silahuddin 152010101047
Cahyo Bagaskoro 152010101048
Erviana Dwi Nurhidayati 152010101072
Astri Mutia Saraswati 152010101087
Zulaikha Rizqina Rahmawati 152010101093
Willda Halizha Rhani 152010101106
Samuel Hobarto Sampe 152010101117
Prima Dhika Ayu Woro Astuti 152010101136
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
SKENARIO 1
HIDUNG TERSUMBAT
Tn. Adi usia 21 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan hidung tersumbat,
pilek dan bersin-bersin sejak 3 hari yang lalu. disertai demam, nyeri telan dan
suaranya serak. Dari anamnesis diketahui bahwa Tn. Adi bekerja di peternakan
ayam dan beberapa waktu lalu, ayam di peternakannya banyak yang mati
bersamaan . Tn. Adi khawatir penyakitnya ini berkaitan dengan kejadian tersebut.
Dulu Tn.Adi pernah juga periksa ke dokter karena hidungnya yang terasa kering
dan daya penciumannya berkurang. Dokter melakukan pemeriksaan rinoskopi
anterior didapatkan kavum nasi kiri lebih sempit dan mukosa tampak hiperemi,
terdapat secret mukopurulen.
Klarifikasi Istilah
Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan yang dialami Tn. Adi?
Jawab:
Mekanisme Hidung Tersumbat
Alergen terinhalasi, tertumpuk di mucus, dan berdifusi dengan
jaringan hidung → Sel antigen akan menangkap allergen tersebut
→ antigen akan membentuk suatu komplemen molekul MHC
(Major Histocompatibility Complier) tipe II → komplemen
tersebut dipresentasikan terhadapa sel T helper (Th 0) → Th 0 akan
diaktifkan oleh sitokin yang dilepas oleh APC menjadi Th1 dan
Th2 → Th2 menghasilkan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, dll) →
IL3 dan IL4 akan diikat oleh sel limfosit B dan menjadi aktif →
Limfosit B menghasilkan IgE → Ige terdistribusi ke saluram darah
dan terikat dengan sel mast dan Basofil lalu sel tersebut aktif →
Terjadi reaksi alergi → mediator-mediator menyebabkan dilatasi
arteriveula hidung → terjadi edema, berkumpulnya darah pada
kavernosus sinusoid → hidung tersumbat
Mekanisme Bersin
Bersin merupakan reaksi reflek untuk mengeluarkan udara
yang mengandung partikel atau benda asing yang mengganggu
atau menyebabkan gatal di dalam hidung dan juga membersihkan
rongga hidung atau saluran pernafasan bagian bawah. Dapat
dikatakan pula bahwa bersin merupakan salah satu cara tubuh
untuk mengatur ulang sistem di dalam tubuh.
Mekanisme terjadinya reflek bersin ini dimulai dari
terangsangnya bagian - bagian yang peka pada saluran pernafasan.
Rangsangan ditangkap oleh sensor taktil dan kemoreseptor aferen
melalui Nervous Vagus menuju pusat pernafasan (medula
oblongata). Sebagai contoh adalah rangsangan yang berupa benda
asing memasuki rongga hidung atau saluran pernafasan bagian
bawah, kemudian pusat pernafasan memerintah tubuh untuk
melakukan reflek bersin agar benda asing tersebut dapat
dikeluarkan. pada reflek bersin ovula dikondisikan ke bawah,
sehingga memungkinkan aliran udara ekspirasi (aliran udara yang
keluar) menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga
hidung.
Syaraf-syaraf yang terdapat di hidung dan mata itu
sebenarnya saling bertautan, sehingga pada saat kita bersin, maka
secara otomatis mata kita akan terpejam. Hal ini untuk melindungi
saluran air mata dan kapiler darah agar tidak terkontaminasi oleh
bakteri yang keluar dari membran hidung.Pada saat kita bersin,
secara refleks maka otot-otot yang ada di muka kita menegang, dan
jantung kita akan berhenti
1. Hidung
Merupakan tempat masuk
utama udara pernafasan.
Udara pernafasan juga dapat
masuk melewati mulut
namun tidak mengalami
penyaringan seperti di
hidung. Hidung juga
memiliki persarafan untuk
penciuman. Udara yang
masuk akan mengalami
turbinasi di sekitar konka
konka dan mengalami pengaturan suhu dan kelembaban di hidung, sehingga jika
kita bernafas di tempat yang panas maupun yang dingin suhu udara yang masuk
ke sistem pernafasan akan tetap sama karena mengalami pengaturan suhu.
Kelembaban juga diatur dihidung karena oksigen butuh kondisi yang lembab
untuk dapat berdifusi.
Rongga hidung juga menjadi muara dari saluran sinus sinus di sekitarnya, seperti
sinus maxillary dan sinus frontal yang bermuara di meatus nasalis medius. Sinus
sphenoidal bermuara di meatus nasalis superior. Sedangkan meatus nasalis
inferior menjadi muara dari ductus nasolacrimal.
2. Faring
Tabung muskuler
berukuran 12,5 cm
. Saluran bersama
antara system
pernafasan dan
system
pencernaan. Saat
inspirasi dalam
keadaan normal,
udara masuk ke
faring melalui hidung, tetapi udara bisa juga masuk melalui mulut saat
saluran hidung tersumbat. Bagian-bagian faring:
1. Nasofaring
Batas nya mulai dari posterior nares interna sampai ke bagian atas palatum
molle. Struktur kecil namun memiliki banyak bagian penting. Batas antara
rongga hidung dan faring adalah choana. Di dalam nasofaring juga
terdapat muara tuba eustachius, torus tubarius, dan tonsila pharyngea.
2. Orofaring
Batas atas orofaring adalah palatum molle sedangkan batas bawahnya
adalah tulang rawan hyoid. Di dalam orofaring terdapat tonsil palatina dan
tonsil lingual.
3. Laringofaring
Struktur yang terdapat di laringofaring adalah epiglotis yang berguna
untuk menutup trakea saat sedang menelan makanan. Pada laringo faring
terdapat dua bukaan, bukaan anterior menuju ke trakea sedangkan bukaan
posterior menuju ke kerongkongan.
3. Laring
Laring atau disebut juga kotak
suara merupakan tabung tidak
teratur yang menghubungkan
antara faring dan trakea. Fungsi
sebagai penyokong (menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka),
katup untuk mencegah
masuknya makanan / cairan
yang ditelan ke dalam trakea,
dan alat penghasil suara. Suara
yang dihasilkan oleh laring
dihasilkan oleh plika vokalis lalu
suara dari plika vokalis ini akan
mengalami resonansi pada bagian mulut sehingga setiap orang memiliki
kekhasan suara. Pada laring terdapat epiglotis pharyngeal dan epiglotis
laryngeal. Di bawah epiglotis , mukosanya ada 2 lipatan, yaitu Pita suara
palsu dan Pita suara sejati.
Larynx merupakan tabung yang berbentuk seperti kotak triangular dan
ditopang oleh 9 kartilago: 3 berpasangan dan 3 tidak berpasangan
a. Kartilago tidak berpasangan
Kartilago tiroid (jakun)
Terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid dan biasanya
berukuran lebih besar dan lebih menonjol pada laki-laki akibat
hormon yang disekresi saat pubertas
Kartilago cricoid
Merupakan cincin anterior yang lebih kecil dan lebih tebal yang
terletak di bawah kartilago tiroid
Epiglotis
Merupakan katup kartilago elastis yang melekat pada tepian
kartilago tiroid
b. Kartilago berpasangan
Kartilago arytenoid
Terletak di atas dan di kedua sisi kartilago krikoid serta melekat
pada plica vocalis
Kartilago corniculata
Melekat pada ujung kartilago arytenoid
Kartilago cuneiform
Berupa batang-batang kecil yang membantu menopang jaringan lunak
II. HISTOLOGI SALURAN PERNAFASAN
Cavum Nasi :
Pharynx
1. Plika Ventrikularis
Epitel berderet silindris, terdapat kelenjar.
2. Plika Vokalis
Epitel berlapis pipih, terdapat muskulus dan ligamen vokalis.
Bronciolus
Bronciolus repiratori
Septum Interalveolaris
• Sel tipe 1:
inti pipih, sedikit sitoplasma.
• Sel endotel:
melapisi dinding kapiler, inti pipih.
(3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk
mendorong bolus makanan ke arah lambung
Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal.
Fase Oral
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan
yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan
saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan
ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari.
Pada fase oral ini perpindahan bolus dari rongga mulut ke faring
segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan
bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah
terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah
menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.
Fase Faringeal
1. m. Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X
dan n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat,
kemudian uvula tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah
nasofaring.
2. m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m ariepiglotika (n.IX,nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi
pita suara sehingga laring tertutup.
3. Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m. Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I).
Fase Esofageal
B. Fisiologi Bicara
Proses berbicara tidak hanya melibatkan sistem pernafasan tetapi juga :
1. Pusat pengatur saraf bicara spesifik dalam korteks serebri;
2. Pusat pengatur pernafasan di otak;
3. Struktur artikulasi dan resonansi rongga mulut dan hidung.
Berbicara diatur 2 fungsi mekanis, yaitu fonasi oleh laring dan artikulasi
oleh mulut.
Fonasi pada laring berfungsi sebagai penggetar (vibrator) oleh pita suara.
Pita suara menonjol di dinding lateral laring ke arah tengah glotis yang
dapat teregang oleh otot spesifik. Pada saat pernafan normal pita suara
terbuka lebar agar udara mudah lewat. Tetapi selama fonasi, pita suara
menutup sehingga aliran udara di antara pita akan menghasilkan
getaran/vibrasi.Pita suara dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke
depan maupun rotasi posterior dan kartilago aritenoid yang diaktivasi oleh
otot-otot yang meregang dari kartilago aritenoid ke kartilago krikoid. Otot-
otot dalam pita suara di sebelah lateral ligamen vokalis, yaitu otot
tiroaritenoid dapat menarik kartilago aritenoid ke kartilako tiroid sehingga
melonggarkan pita suara. Pergerakan otot-otot ini dalam pita suara dapat
merubah bentuk : bentuk tajam untuk suara nada tinggi, dan bentuk tumpul
untuk suara rendah (bass).
Artikulsi dan resonansi
Artikulasi dilakukan di bibir, lidah dan paltum mole. Sedangkan resonator
terdapat pada mulut, hidung dan sinus nasal yang berhubungan dengan
faring dan rongga dada. Contohnya resonator pada hidung dapat merubah
kualitas suara ketika kita mengalam pilek yang berat.
C. Fisiologi Respirasi
Fungsi Sistem Respirasi :
1) Menyediakan permukaan untuk pertukaran gas antara udara dan sistem
aliran darah.
2) Sebagai jalur untuk keluar masuknya udara dari luar ke paru-paru.
3) Melindungi permukaan respirasi dari dehidrasi, perubahan temperatur,
dan berbagai keadaan lingkungan yang merugikan atau melindungi
sistem respirasi itu sendiri dan jaringan lain dari patogen.
4) Sumber produksi suara termasuk untuk berbicara, menyanyi, dan
bentuk komunikasi lainnya.
5) Memfasilitasi deteksi stimulus olfactory dengan adanya reseptor
olfactory di superior portion pada rongga hidung.
Ventilasi Pulmoner
Adalah perpindahan udara secara fisik keluar masuk paru-
paru.Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan ventilasi
alveolar.Tekanan atmosfer memiliki peranan penting dalam ventilasi
pulmoner.
Menurut hukum Boyle, tekanan berbanding terbalik dengan
volume. Udara akan mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke tekanan
rendah. Kedua hukum ini merupakan dasar dari ventilasi pulmoner.Satu
siklus respirasi tunggal terdiri dari inhalasi/inspirsi dan
ekshalasi/ekspirasi.Keduanya melibatkan perubahan volume paru-
paru.Perubahan ini menciptakan gradien tekanan yang memindahkan
udara keluar atau masuk paru-paru.
Kedua paru-paru memiliki rongga pleural.Parietal dan viseral
pleura dipisahkan hanya oleh selaput tipis cairan pleural. Perbandingan
ikatan cairan terjadi antara parietal pleural dan viseral pleura Hasilnya,
permukaan masing-masing menempel pada bagian dalam dada dan
permukaan superior diafragma. Pergerakan dada dan diafragma ini akan
menyebabkan perubahan volume paru-paru. Volume rongga toraks
berubah ketika diafragma berubah posisinya atau tulang rusuk bergerak.
Saat diafragma berkontraksi, volume rongga toraks akan
bertambah, ketika diafragma berelasasi, volume rongga toraks akan
berkurang. Sementara pergerakan superior rusuk dan tulang belakang
menyebabkan volume rongga toraks bertambah.Pergerakan inferior rusuk
dan tulang belakang menyebabkan volume rongga toraks berkurang.
Saat bernapas dimulai, tekanan di dalam dan luar paru-paru sama,
tidak ada pererakan keluar masuk paru-paru. Saat rongga toraks
membesar, rongga pleural dan paru-paru akan berekspansi untuk
memenuhi rongga dada yang membesar. Ekspansi ini mengurangi tekanan
paru-paru, maka udara dapat memasuki saluran pernapasan karena tekanan
dalam paru-paru lebih rendah dari tekanan luar. Udara terus masuk sampai
volume paru-paru berhenti bartambah dan tekanan di dalam sama dengan
tekanan udara luar. Saat volume rongga toraks berkurang, tekanan alam
paru-paru naik sehingga udara dari paru-paru dikeluarkan dari saluran
pernapasan.
Compliance:
Compliance paru-paru merupakan indikasi kemampuan perluasan
paru-paru, bagaimana paru-paru dengan mudahnya mengembang dan
mengempis. Semakin rendah compliance, semakin besar gaya yang
dibutuhkan untuk mengisi dan mnegosongkan paru-paru. Semakin besar
compliance, semakin mudah bagi paru-paru, semakin mudah paru-paru
untuk mengisi dan mengosongkan paru-paru. Factor yang mempengaruhi
compliance adalah:
Struktur jaringan penghubung dari paru-paru. Kehilangan jaringan
penghubung menghasilkan kerusakan alveolar, seperti pada emfisema,
yang meningkatkan compliance
Produksi surfaktan, pada saat ekshalasi, alveoli yang kolaps karena
produksi surfaktan yang tidak mencukupi, seperti pada respiratory distress
syndrome, mengurangi compliance paru-paru
Mobilitas rongga toraks, arthritis atau kelainan skelet
lainnyamempengaruhi artikulasi rusuk atau kolom spinal juga mengurangi
compliance
Perubahan tekanan selama inhalasi dan ekshalasi
1. Tekanan intrapulmoner
Arah aliran udara ditentukan oleh hubungan antara tekanan atmosfer
dan tekanan intrapulmoner.Tekanan intrapulmoner adalah tekanan di
dalam saluran pernafasan, di alveoli.
Ketika sedang istirahat dan bernafas dengan normal, perbedaan antara
tekanan atmosfer dan tekanan intrapulmoner relative kecil. Pada saat
inhalasi, paru-paru mengembang dan tekanan intrapulmoner turun
menjadi 759 mm Hg. Karena tekanan intrapulmoner 1 mm Hg di
bawah tekanan atmosfer, tekanan intrapulmoner pada umumnya ditulis
dengan -1 mmHg. Pada saat ekshalasi, paru-paru mengempis dan
tekanan intrapulmoner meningkat menjadi 761 mmHg, atau +1 mmHg.
Ukuran gradient tekanan meningkat ketika bernafas dengan kuat.
Ketika atlet yang berlatih bernafas dengan kapasitas maksimum,
diferensial tekanan dapat mencapai -30 mmHg selama inhalasi dan
+100 mmHg jika individu menegang dengan glottis yang ettap
tertutup. Hal ini merupakan alasan mengapa atlet mengangkat beban
pada saat ekshalasi; karena ekshalasi menjaga tekanan intrapulmoner
dan tekanan peritoneal meningkat dengan signifikan yang bisa
menyebabkan alveolar rupture dan terjadi hernia.
2. Tekanan intrapleural
Tekanan intarpleural merupakan tekanan pada ruangan di antara
parietal dan visceral pleura.Rata-rata tekanan intrapleura adalah sekitar
-4 mmHg, tapi dapat mencapai – 18 mmHg selama inhalasi yang
dipaksakan.Tekanan ini di bawah tekanan atmosferyang diseabkan
hubungan antara paru-paru dan dinding tubuh.Pada awalnya, kita
mencatat bahwa paru-paru memiliki keelastisan yang tinggi.Pada
kenyataanya, paru-paru dapat kolaps jika elastic fiber dapat berbalik ke
keadaan normal dengan sempurna.Elastic fiber tidak bisa berbalik
secara signifikan Karena elastic fiber tidak cukup kuat untuk
mengatasi ikatan cairan antara parietal dan visceral pleura. Elastic fiber
selanjutnya melawan ikatan cairan dan menarik paru-paru menjauh
dari dinding dada dan diafragma, menurunkan tekanan intrapleural
.karena elastic fiber yang tersisa membesar bahkan setelah ekshalasi
penuh, tekanan intrapleural berada di bawah tekanan atmosfer melaui
siklus inhalasi dan ekshalasi normal.
Siklus Respirasi
Satu siklus respirasi terdiri dari satu kali inhalasi dan satu kali
ekshalasi.Jumlah udara yang keluar atau masuk paru-paru dalam satu
siklus respirasi disebut volume tidal. Saat siklus dimulai, tekanan atmosfer
dan intrapulmonar sama besar, tidak ada pertukaran udara. Inhalasi
dimulai dengan penurunan tekanan intrapleural yang diakibatkan ekspansi
rongga dada sehingga udara masuk.Saat ekshalasi dimulai, tekanan
intrapleural dan intrapulmonar naik denga cepat, mendorong udara keluar
dari paru-paru.
Pernapasan Biasa
Disebut juga eupnea, inhalasinya melibatkan kontraksi otot
diafragma dan eksternal interkostal, tetapi ekshalasinya merupakan proses
pasif. Saat pernapasan diafragma atau pernapasan dalam, kontraksi
diafragma mengakibatkan perubahan penting volume rongga dada.Udara
masuk ke paru-paru saat diafragma berkontraksi, dan diekshalasi secara
pasif saat diafragma berelaksasi.
Pada pernapasan kostal atau pernapasan dangkal, volume rongga
dada berubah karena tulang rusuk merubah bentuknya.Inhalasi terjadi saat
kontraksi otot eksternal interkostal menaikkan tulang rusuk dan
memperbesar volume rongga dada.Ekshalasi terjadi secara pasif ketika
otot-otot tersebut berelaksasi.
Pernapasan Kuat
Disebut juga hiperpnea, melibatkan pergerakan aktif inspiratori dan
ekspiratori.Inhalasi pada pernapasan kuat dibantu oleh otot aksesori,
ekshalasi melibatkan kontraksi otot internal interkostal.Pada tingkat
pernapasan kuat mutlak, otot abdominal juga dilibatkan dalam
ekshalasi.Kontraksinya dapat memampatkan isi abdomen, mendorongnya
ke atas melawan diafragma sehingga menurunkan volume rongga dada.
o Volume tidal (VT) adalah volume udara ketika ekspirasi atau inspirasi
dalam 1 siklus respirasi dengan kondisi rileks. Jumlah pada pria dan
wanita sama yaitu sekitar 500 ml.
o Volume inspirasi cadangan (VIC) adalah volume udara yang masih
dapat di inspirasi setelah melakukan inspirasi biasa.Jumlah pada pria
dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 3100 ml dan pada wanita
sekitar 1900 ml.
o Volume ekspirasi cadangan (VEC) adalah volume udara yang masih
dapat di ekspirasikan setelah melakukan ekspirasi biasa.Jumlah pada
pria dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 1200 ml dan pada
wanita sekitar 700 ml.
o Volume residu adalah volume udara yang masih terdapat dalam paru-
paru setelah melakukan ekspirasi maksimal.Jumlah pada pria dan
wanita dewasa berbeda tapi tidak terlalu signifikan, pada pria sekitar
1200 ml dan pada wanita sekitar 1100 ml.
Jenis-Jenis Pernapasan
Quiet Breathing
Pada quiet breathing atau eupneu, inhalasi melibatkan kontraksi otot,
tapi ekshalasi merupakan proses yang pasif. Inhalasi melibatkan
kontraksi otot diafragma dan interkostal eksternal.
Forced Breathing
Disebut juga hiperpnea; melibatkan inhalasi dan ekshalasi aktif.Pada
pernapasan jenis ini, otot aksesori ikut berperan dalam inhalasi,
sementara pada ekshalasinya yang juga turut berperan adalah otot
interkostal internal. Pada level paling maksimum forced breathing,
kontraksi otot abdominal digunakan dalam ekshalasi.
Ventilasi Alveolar
Ventilasi alveolar adalah jumlah udara yang mencapai alveoli tiap
menitnya.Hanya sebagian dari udara inhalasi yang mencapai permukaan
alveoli.Umumnya inhalasi menarik 500 ml udara ke dalam saluran
pernapasan.Sebanyak 350 ml masuk ke ruang-ruang alveolar, sisanya
hanya mencapai divisi konduksi dan tidak ikut berpartisipasi dalam
pertukaran gas dengan darah.
Udara di alveoli ini mengandung oksigen yang lebih sedikit dan
karbon dioksida yang lebih banyak daripada komposisi di udara.
Kecepatan Respirasi
Kecepatan respirasi adalah jumlah pernapasan dalam satu
menit.Kecepatan yang normal adalah 12 sampai 18 pernapasan per
menit.Pernapasan pada anak-anak lebih cepat, yaitu 18-20 kali per menit.
Pertukaran Gas Oksigen Dan Karbon Dioksida
Pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida antara udara alveolar
dan darah pulmoner terjadi melalui difusi pasif.peristiwa ini mengikuti dua
hukum gas, yaitu Hukum Dalton dan Hukum Henry. Hukum Dalton
penting untuk memahami peristiwa penurunan tekanan gas melalui proses
difusi, sedangkan hukum Henry menjelaskan bahwa kelarutan gas
mempengaruhi kecepatan difusinya.
D. Fisiologi Menghidu
Hidung memiliki fungsi sebagai penghidu yang perannya di
jalankan oleh mukosa olfaktori. Suatu bercak mukosa 3 cm2 di atap
rongga hidung, mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel
penunjang, dan sel basal. Sel penunjang mengeluarkan mukus, yang
melapisi saluran hidung. Sel basal adalah prekursor untuk sel reseptor
olfaktorius baru, yang diganti sekitar setiap dua bulan. Sel
reseptorolfaktorius adalah neuron aferen yang bagian reseptornya
terletak di mukosa olfaktorius di hidung yang akson aferennya berjalan
kedalam otak. Akson sel-sel reseptorolfaktorius secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius.
Bagian reseptor dari sel reseptorolfaktorius terdiri dari sebuah
tombol yang membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang
berjalan seperti jumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung
tempar untuk mengikat odoran, molekul yang dapat dicium baunya.
Selama bernapas renang, odoran biasanya mencapai reseptor sensitive
hanya dengan difusi karena mukosa olfaktorius terletak di atas jalur
normal aliran udara. Tindakan mengendus meningkatkan proses ini
dengan menarik arus udara ke arah dalam rongga hidung sehingga lebih
banyak molekul odoriferus di udara yang berkontak dengan mukosa
olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu makan
dengan menghembus ke hidung dari mulut melalui faring (belakang
tenggorokan).
Agar dapat dibaui, suatu bahan harus:
(1) Cukup mudah menguap sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke
hidung melalui udara inspirasi dan
(2) Cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang
menutupi mukosaolfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat
terdeteksi oleh reseptor olfaktorius, molekul harus larut.
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan
1000 tipe berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau "diuraikan' menjadi
berbagai komponen. Setiap reseptor berespons hanya terhadap satu
komponen di skret suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran
keseluruhan. Karena itu, masing-masing bagian dari suatu odoran
dideteksi oleh satu dari ribuan reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat
berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat diberbagai
aroma. Bandingkan ini dengan tiga jenis sel kerucut untuk menyandi
penglihatan warna dan kuncup kecap yang berespons secara berbeda
terhadap hanya lima rasa primer untuk mendiskriminasikan rasa.
Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius
mengaktifkan protein G, memicu jenjang reaksi intrasel dependen-cAMP
yang menyebabkan terbukanya saluran Na-. Perpindahan ion yang
terjadi menyebabkan depolarisasi potensial resepror yang menghasilkan
potensial aksi di serat aferen. Frekuensi potensial aksi bergantung pada
konsentrasi molekul kimiawi perangsang.
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor di hidung
berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang gepeng yang
memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-serat
ini segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks
yang mengandung beberapa lapisan sel yang secara fungsional mirip
dengan lapisan retina mata. Bulbus olfaktorius yang kembar, satu di
masing-masing sisi, berukuran buah anggur kecil. Masing-masing bulbus
olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip-bola yang dikenal
sebagai glomerulus ("bola kecil"). Di dalam setiap glomerulus ini,
ujung-ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang komponen bau
tertentu bersinaps dengan sel berikutnya di jalur olfaktorius, sel mitral.
Karena masing-masing glomerulus menerima sinyal hanya dari reseptor
yang mendeteksi komponen bau tertentu, maka glomerulus berfungsi
sebagai "arsip bau". Komponen-komponen dari suatu bau disortir ke
dalam glomerulus yang berbeda-beda, satu komponen per arsip.
Karena itu, glomerulus, yang berfungsi sebagai stasiun pemancar
pertama untuk pemrosesan informasi bau, berperan kunci dalam
pengorganisasian persepsi bau.
Sel mitral tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di glomerulus
menyempurnakan sinyal bau dan memancarkannya ke otak untuk
pemrosesan lebih lanjut. Serat-serar yang meninggalkan bulbus
olfaktorius berjalan dalam dua rute berbeda:
a. Sebuah rute subkorteks yang terutama menujuk edaerah-daerah
sistem limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis
(dianggap sebagai korteks penciuman primer). Rute ini, yang
mencakup hipotalamus, memungkinkan koordinasi erat antara
bau dan reaksi perilaku yang berkaitan dengan makan, kawin,
dan orientasi arah.
b. Sebuah rute melalui talamus ke korteks. Seperti indera lain, rute
korteks penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus bau.
IV. PATOFISIOLOGI
A. Bersin
Bersin merupakan reaksi reflek untuk mengeluarkan udara yang
mengandung partikel atau benda asing yang mengganggu atau
menyebabkan gatal di dalam hidung dan juga membersihkan rongga
hidung atau saluran pernafasan bagian bawah. Dapat dikatakan pula
bahwa bersin merupakan salah satu cara tubuh untuk mengatur ulang
sistem di dalam tubuh.
Mekanisme terjadinya reflek bersin ini dimulai dari terangsangnya
bagian - bagian yang peka pada saluran pernafasan. Rangsangan
ditangkap oleh sensor taktil dan kemoreseptor aferen melalui Nervous
Vagus menuju pusat pernafasan (medula oblongata). Sebagai contoh
adalah rangsangan yang berupa benda asing memasuki rongga hidung
atau saluran pernafasan bagian bawah, kemudian pusat pernafasan
memerintah tubuh untuk melakukan reflek bersin agar benda asing
tersebut dapat dikeluarkan. pada reflek bersin ovula dikondisikan ke
bawah, sehingga memungkinkan aliran udara ekspirasi (aliran udara
yang keluar) menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga
hidung.
Syaraf-syaraf yang terdapat di hidung dan mata itu sebenarnya
saling bertautan, sehingga pada saat kita bersin, maka secara otomatis
mata kita akan terpejam. Hal ini untuk melindungi saluran air mata dan
kapiler darah agar tidak terkontaminasi oleh bakteri yang keluar dari
membran hidung.Pada saat kita bersin, secara refleks maka otot-otot
yang ada di muka kita menegang, dan jantung kita akan berhenti
B. Suara Serak
Selama Ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis. Plika vokalis
bergetar. Otot-otot pernafasan berkontraksi. Tekanan udara di
subglotis meningkat sehingga celah glotis terbuka. Setelah terjadi
pelepasan udara, tekanan subglotis berkurang dan plika vokalis ke
posisi adduksi, apabila pada proses ini plika vokalis terjadi
peradangan/mengalami edema sehingga saat adduksi tidak dapat
sempurna, masih terdapat celah. Celah tersebut membuat vibrasi plika
volakis yang dihasilkan tidak maksimal sehingga terbentuklah suara
yang lemah dan parau.
C. Nyeri Telan
3. Faktor resiko
a. Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson,
Alzheimer)
b. Proses degenaratife normal (penuaan)
c. Lingkungan
d. Perokok
e. Pencemaran bahan kimia
f. Cuaca
g. Virus bakteri pathogen
h. Usia: Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron
olfaktorius lambat laun akan berkurang sehingga mengurangi
daya penciuman.
i. Jenis kelamin: Perempuan lebih beresiko menderita anosmia
karena jumlah bulu hidung relative lebih sedikit daripada pria
dan imunitas yang kurang sehingga beresiko terhadap infeksi
pada hidung.
Patofisilogi Anosmia
Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam
system penginderaan kimia(chemosensation). Proses yang
kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul–
molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang
menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan.
Sel–sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa
khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di
stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar
adonan pada roti. Sel–sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan
kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka
terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi
karena adanya molekul–molekul yang menguap dan masuk
kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane. Manusia
memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila
molekul udara masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf
(Loncent, 1988). Pada mekanisme terdapat gangguan atau
kerusakan dari sel–sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat
mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat
kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan
impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari
saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi
impuls yang masuk.
Penatalaksanaan Anosmia
1. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki
kehilangan sesuai penciuman antara lain antihistamin bila
diindikasi penderita alergi
2. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah
kelebihan dapat digunakan dekongostan nasal.
4. Suplemen zink kadang direkomendasikan
5. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus
prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati.
6. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A
E. Hidung Tersumbat
Alergen terinhalasi, tertumpuk di mucus, dan berdifusi dengan
jaringan hidung → Sel antigen akan menangkap allergen tersebut →
antigen akan membentuk suatu komplemen molekul MHC (Major
Histocompatibility Complier) tipe II → komplemen tersebut
dipresentasikan terhadapa sel T helper (Th 0) → Th 0 akan diaktifkan oleh
sitokin yang dilepas oleh APC menjadi Th1 dan Th2 → Th2 menghasilkan
berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, dll) → IL3 dan IL4 akan diikat oleh sel
limfosit B dan menjadi aktif → Limfosit B menghasilkan IgE → Ige
terdistribusi ke saluram darah dan terikat dengan sel mast dan Basofil lalu
sel tersebut aktif → Terjadi reaksi alergi → mediator-mediator
menyebabkan dilatasi arteriveula hidung → terjadi edema, berkumpulnya
darah pada kavernosus sinusoid → hidung tersumbat
V. PENYAKIT
A. Rhinitis
RINITIS AKUT
1. Rinitis virus
Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda
dan gejalanya mirip denagn common cold. Komplikasi
sehubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
Rinitis Eksantematous
2. Rinitis Bakteri
Infeksi Non-spesifik
Rinitis difteri
3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau
gas yang bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-
lain. Atau bisa juga disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa
hidung selama masa manipulasi intranasal,contohnya pada
pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang
terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya
dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat
menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.
Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang
terjadi karenanya.
Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit
dibedakan antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan
terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen. Mukosa hidung
dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya
diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit
kepala.
Diagnosis
RINITIS KRONIK
1. Rhinitis Hipertrofi
Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang
dalam hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi
dan vasomotor.
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya
banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala.
Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol
ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab
timbulnya rhinitis hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat
kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan
kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.
2. Rhinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its lmpact
on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
lg E.
Patofisiologi
Gambaran histologik
Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang :
In vitro :
In vivo :
Penatalaksanaan
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
erat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Komplikasi
3. Rhinitis Vasomotor
Definisi
2. Neuropeptide
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf
sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal
saraf sensoris ini diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptide seperti subtanceP dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskuler dan sekresi kelenjar sehingga terjadi hiper-
reaktifitas hidung.
3. Nitric oksida
Kadar nitric oksida (NO) yang tinggi dan persisten
di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non
spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel.
Akibatnya terjadi terjadi peningkatan reaktifitas serabut
trigeminal dan rekruitmen refleks vascular dan kelenjar
mukosa hidung.
4. Trauma
Rhinitis vasomotor merupakan komplikasi jangka
panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenic
atau neuropeptida
Gejala Klinik
Bersin (sneezers)
Memberikan respon baik pada terapi antihistamin
dan glukokortikosteroid tropical.
Rinore (runners)
Diatasi dengan pemberian anti kolinergik tropical.
Tersumbat (blockers)
Kongesti dapat diatasi dengan terapi
glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.
Diagnosis
Prognosis
4. Rhinitis Medikamentosa
Definisi
Patofisiologi
Silia rusak
Sel goblet berubah ukurannya,
membrane basal menebal
pembuluh darah melebar
edema
hipersekresi mucus dan perubahan Ph secret
hidung
lapisan periosteum meninggal
Gelaja Dan Tanda
hidung tersumbat dengan edema atau hipertrofi
gempa juga ada
Penatalaksaan
hentikan pemakaian obat tetes atau semprot
vasokontriktor hidung.
Untuk mengataasi berulang, dapat diberikan
kortikosteroidoral dosis tinggi dan jangka
panjang
Obat dekongestan oral
5. Rhinitis Atrofi
Definisi
Etiologi
Pengobatan
R/
NaCl
Na4Cl
NaHCO3
Aqua
Larutan ini harus dicampurkan dengan perbandingan 1
sendok makan larutan dan 9 sendok air hangat. Larutan dihirup
dimasukkan rongga hidung, dihembuskan lagi kuat-kuat, yang
masuk nasofaring dikeluarkan melalui mulut, diakukan 2 kali
sehari. Jika sulit mendapat larutan diatas dapat diganti dengan
100cc air hangat dan 15cc betadine. Dapat juga diberikan
vitamin A 3x50.000 unit.
Pengobatan operatif dilakukan jika pengobatan
konserveratif tidak ada perbaikan, sehingga dilakukan tindakan
operasi. Teknik operasi nya yaitu dengan penutupan lubang
hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi.
Tndakan ini diharapkan mengurangi turbulensi udara,
pengeringan secret, pengurangan inflamasi mukosa, sehingga
mukosa kembali normal. Penutupan hidung dilakukan pada
nares anterior atau koana selama 2 tahun. Selain itu, juga bisa
dilakukan pembedahan sinus endoskopik fungsional, dengan
pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami
osteomyelitis. Diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi
dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi
mukosa.
B. Sinusitis
1. Sinusitis Akut
Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus ethmoidalis dan
maxillaris, sedangkan sinus frontalis jarang terkena, dan sinus
sphenoidalis lebih jarang lagi.
Sinus maxillaris disebut juga antrum Highmore, karena
letaknya yang dekat dengan akar gigi rahang atas. Hal itu
menyebabkan infeksi gigi mudah menyebar ke sinus maxillaris,
yang disebut dengan Sinusitis Dentogen. Sinusitis dapat menjadi
berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang
sulit diobati.
Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis
hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan
merokok.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium
sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek
osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami
oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu.
Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai
sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan.
Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam
sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan
multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang
disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut,
akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin
berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari
mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Pada keadaan ini diperlukan tindakan operasi.
Gejala
Hidung tersumbat disertai nyeri pada muka dan ingus purulen
yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip)
Nyeri pada daerah sinus yang terkena (ciri khas sinusitis akut)
Referred pain, misalnya:
Nyeri pipi sinus maksila
Nyeri di antara/di belakang kedua bola mata sinus edhmoid
Nyeri di dahi sinus frontal
Gejala lain: sakit kepala, hiposmia/anosmia, batuk.
Diagnosis
Rinoskopi anterior
Mukosa merah, udim
Mukopus di meatus nasi medius (tidak selalu)
Adanya nyeri tekan pada sisi yang sakit
Transiluminasi : kesuraman pada sisi yang sakit
CT Scan gold standard diagnosis sinusitis mahal
Foto posisi waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus yang besar-besar
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi untuk
mengambil sekret dari meatus media untuk mendapatkan
antibiotik tepat guna
Sinoskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial
sinus maksila, melalui meatus inferior
Tata Laksana
Terapi medikamentosa berupa antibiotic selama 10-14 hari,
namun diperpanjang sampai gejala hilang. Jika dalam 48-72
jam tidak ada perubahan klinis, diganti dengan antibiotik untuk
kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin
atau ampisilin yang dikombinasi dengan asam klavunat
Pemberian dekongestan untuk memperlancar drainase sinus.
Dapat diberikan sistemik maupun topical. Pemberian secara
topical harus dibatasi yaitu selama 5 hari untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa
Pemeriksaan
Laboratorium
Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat
membantu diagnosis sinusitis akut
Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada
sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada pasien
immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang
tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang
disebabkan sinusitis.
Imaging
Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa,
air-fluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris,
dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui
adanya abses gigi.
CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis
sinusitis akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87%
pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%
pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk luas dan beratnya sinusitis.
MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada
jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai
yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.
Komplikasi
Kelainan orbita
Kelainan intrakranial
Osteomielitis dan abses superiostal
Kelainan paru
Prognosis
Prognosis pada sinusitis akut baik apabila tidak terjadi
infeksi sekunder. Apabila hanya mencapai infeksi primer, maka
sinusitis dapat sembuh dengan sendirinya.
2. Sinusitis Dentogen
Definisi
Infeksi sinus maksila yang disebabkan oleh infeksi gigi
rahang atas. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab
penting sinusitis kronik.
Etiologi
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar
gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan
oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal
akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar
secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah limfe.
Diagnosa
- Sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
- Ingus purulen
- Napas berbau busuk
Penatalaksanaan
- Gigi yang trinfeksi harus dicabut/dirawat
- Pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob
- Irigasi sinus maksila
C. Influenza
Definisi
Merupakan suatu penyakit akut saluran pernapasan
terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit tenggorok dan batuk
non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya
sembuh sendiri.
Etiologi
Virus yang
menyebabkan
influenza merupakan
suatu Ortomyxovirus
golongan RNA dan
berdasarkan
namanya sudah jelas
bahwa virus ini
mempunyai afinitas
untuk myxoataumusin. Struktur antigenic virus Influenza meliputi
antara lain 3 bagian utama berupa: antigen S (Soluble antigen),
hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S merupakan suatu inti
partikel virus yang terdiri atas ribonukleoprotein. Antigen ini
spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin menonjol keluar
dari selubung virus dan memegang peran imunitas terhadap virus.
Neuraminidase juga menonjol keluar dari selubung virus dan hanya
memegang peran yang minim pada imunitas. Selubung inti virus
berlapis matriks protein sebelah dalam dan membrane lemak di
sebelah luarnya.
Patogenesis
Transmisi influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya
di traktus respiratorius. Penularan bergantung dosis virus. Virus
akan melekat pada sel epitel di hidung dan bronkus. Setelah virus
berhasil menerobos masuk ke dalam sel, dalam beberapa jam
sudah mengalami replikasi. Kemudian partikel-partikel virus baru
ini kemuadian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan
langsung dapat meninggalkan sel untuk meninggalkan sel lain.
Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat
efek pirogen lipopolisakarida kuman gram negative.
Gambaran Klinis
Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit
otot, batuk, pilek, dan kadang-kadang sakit waktu menelan dan
suara serak. Gejala ini dapat didahului perasaan malas dan rasa
dingin. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan hiperemi ringan
hingga berat pada selaput lender tenggorok. Gejala akut ini dapat
berlangsung untuk beberapa hari dengan gejala spontan. Setelah
episode sakit ini, dapat dialami rasa capek dan cepat lelah untuk
beberapa waktu.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala yang dialami pasien.
Diagnosis pasti dapat dilakukan isolasi virus maupun melalui
pemeriksaan serologis.
Diagnosis cepat lainnya dapat diperoleh dengan antibody
fluoresen yang khusus tersedia tipe virus influenza A.
PCR dan RT-PRC sangat berguna untuk diagnose yang dapat
pula menyerang saluran nafas antara lain adeno-virus,
parainfluenza, enterovirus.
Penatalaksanaan
Pasien dapat diobati secara simtomatik (analgesik, antipiretik,
dekongestan, mukolitik)
Obat oseltamivir 2x75 mg sehari selama 5 hari akan
memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan
antimikroba untuk infeksi sekunder.
D. Faringitis
1. Faringitis Akut
Definisi
Adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas
ke jaringan sekitarnya, biasanya timbul bersama dengan
tonsillitis, rhinitis, dan laryngitis.
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring
dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup
mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian
dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring
Etiologi
Bakteri streptococcus pyogenes (streptococcus group A
hemoliticus)
Streptokokus group C
Corynebacteria diphteriae
Neisseria gonorrhoe
Non bakteri misalnya adenovirus, influenza virus,
parainfluenza, rhinovirus, RSV, echovirus, coxsackievirus,
herpes simplex virus, EBV,dll.
Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab
common cold, flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV (40-
60%).
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus
grup A, korine bakterium, arkano bakterium, Neisseria
gonorrhoeae atau Chlamydia pneumonia (5-40%).
Bisa juga karena alergi, toksin, dan trauma.
Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula - mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh
darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-
bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke
lateral, menjadi meradang dan membengkak.
Gejala
Demam tiba-tiba
Faring, palatum, tonsil berwarna merah dan bengkak
Nyeri tenggorokan
Terdapat eksudat purulen
Nyeri telan
Leukositosis dan dominasi neutrofil
Adenopati servikal
Malaise
Mual
Khusus untuk Faringitis oleh streptokokus :
Demam tiba2
Sakit kepala
Anoreksia
Nyeri tenggorokan
Nyeri abdomen
Rash/urtikaria
Tonsillitis eksudatif
Muntah
Adenopati servical anterior
Malaise
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus
maupun bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi
karena bakteri.
Jumlah sel darah putih normal atau agak Jumlah sel darah putih normal sampai
meningkat sedang
Pemeriksaan
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah
streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut.
Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-
tanda serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali
sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk
lainnya.
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan
awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise,
penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada
tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan
dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai
terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan
mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis
juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun,
peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-
kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin
terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring.
Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar
limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari
eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan
oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal
akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri
tekan atau tidak.
Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini
tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena.
Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu
jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel
polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering
ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah
leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan
penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh
masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya
tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit
lainnya jarang ditemukan.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih
dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit
kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala
tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat
mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu
tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah
keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa
sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran
kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa
nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit
hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para
penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita
mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus
kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati
servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus
kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung
hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap
dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling
mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang
disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-
kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau
tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-
gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang
disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan
dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis
yang disebabkan oleh virus4.Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan
suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan
streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak
lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada
diagnosis infeksi virus.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode
yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus
dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar
streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur
tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain
seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin
hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti
pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara
keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
leukositosis.
Anamnesa
- Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri
menelan di bagian tengah tenggorok.
- Demam, sakit kepala, malaise.
Pemeriksaan
Tampak folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior atau terletak lebih lateral menjadi radang dan
membengkak. Tampak hiperemi, serta sekresi mucus
meningkat.
Tata laksana
Untuk mengurangi nyeri tenggorokan diberikan obat pereda
nyeri (analgetik).
Obat hisap atau berkumur dengan larutan garam hangat.
Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan remaja
yang berusia dibawah 18 tahun karena bisa menyebabkan
sindroma Reye.
Jika diduga penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik.
Untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (misalnya
demam rematik).
Jika penyebabnya streptokokus, diberikan tablet penicillin.
Jika penderita memiliki alergi terhadap penicillin bisa diganti
dengan erythromycin atau antibiotik lainnya.
Anti panas bila penderita panas
Makanan lembek, panas & pedas dilarang
Komplikasi
Sinusitis
Otitis media
Mastoidis
Abses Peritonsilar
Demam rematik
Glomerulonefritis
Komplikasi terpenting yaitu Deman Rematik (DR).
Merupakan penyakit peradangan akut yang menindak lanjuti
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan
dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada
anak dan dewasa muda.
E. Tonsilitis
Definisi
Tonsilitis adalah proses inflamasi atau peradangan di bagian
tonsil yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Hal ini
menyebabkan tonsil menjadi edema (bengkak) dan berwarna
merah.
Klasifikasi tonsillitis terdiri atas:
a. Tonsillitis akut : peradangan tonsil yang diakibatkan infeksi
bakteri maupun virus.
b. Tonsillitis membranosa : radang akut tonsil disertai
pembentukan selaput atau membrane pada permukaan tonsil
yang dapat meluas kesekitarnya.
c. Tonsillitis kronis : peradangan tonsil yang bersifat menahun.
Etiologi
Tonsillitis dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.
Penyebab tonsillitis viral terdiri atas:
a. Herpes simplex virus
b. Epstein barr virus (EBV)
c. Cytomegalovirus
d. Adenovirus
e. Measless virus
Sebuah studi mengatakan bahwa kausa paling sering pada
kasus tonsillitis viral adalah EBV. Hampir 19% kasus tonsillitis
pada anak-anak diakibatkan oleh EBV. Kasus tonsillitis akibat
bakteri paling sering disebabkan oleh Group A Streptococcus β-
Hemolytic (GABHS) seperti Streptococcus pyogene. Bakteri
anaerob juga sering menyebabkan tonsillitis.
Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Tonsil berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun
virus yang masuk dan membentuk antibody terhadap infeksi.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsillitis akut
dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya
sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39C-40C). Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila
penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang
tinggi terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan
terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum
ada imunitas maka akan terjadi penyakit (Arwin, 2010). Sistem
imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga
membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan
(Sterwood, 2001).
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang
yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar
N,1993).
Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
radang berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta
terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang
mati, dan epitel yang lepas.
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah,2003 bahwa
adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh
dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun.
Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).
Tata Laksana
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S, 2006 :
Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral
(melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan
menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
- Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun
dalam kurun waktu 2 tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun
dalam kurunwaktu 3 tahun.
- Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian
antibiotik.
F. Deviasi Septum
Definisi
Merupakan suatu kelainan dari bentuk hidung yang tidak
lurus sempurna digaris tengah. Bentuk septum normal ialah lurus
di tengah rongga hidung( garis medial tubuh). Deviasi septum yang
ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi. Septum nasi berfungsi sebagai penopang batang
hidung (dorsum nasi).
Etiologi
Trauma masa kehamilan, berlangsung saat masa kehamilan
ataupun setelah melahirkan.
Ketidakseimbangan pertumbuhan, dapat membuat tulang sekat
hidung (septum) tumbuh dengan tidak sempurna seperti
bengkok, sebab pertumbungan tulang hidung tidak sesuai
dengan bentuk hidung sehingga penyebabkan kesulitan
bernafas
Trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang
abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma
sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan
antara septum dan palatum juga menjadi penyebab adanya
deviasi septum nasi.
Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah
lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak
langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau
sabuk pengaman ketika berkendara.
Gejala
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah
sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral,
sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri dikepala
dan disekitar mata. Selain dari itu penciuman bisa terganggu
apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis.
Klasifikasi
Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak
deviasi, yaitu:
Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan Penunjang :
radiologi untuk memastikan diagnosis.
rinoskopi anterior, untuk melihat penonjolan septum ke
arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi
ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.
Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding adalah sejumlah keadaan yang
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat kronik
diantaranya pembesaran mukosa hidung, rinitis alergi kronik, risitis
kronik vasomotor, polip hidung, sinusitis kronik, atresia koana,
adenoiditis kronik, dan deformitas hidung yang terkait dengan
trauma.
Tata Laksana
Analgesik : digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan :digunakan untuk mengurangi sekresi cairan
hidung.
Pembedahan
Reseksi submukosa (SMR. Submucosa Resection)
Komplikasi
Sinusitis, karena terjadi penyumbatan ostium
Infeksi telinga, karena hidung memiliki hubungan dengan telinga
Sumbatan jalan nafas, karena sekat tulang hidung yang tidak
lurus, pembelokan sekat tulang hidup menutupi sebagian lubang
hidung sehingga penderita deviasi septum nasal menjadi susah
bernafas karena adanya sumbatan atau terhalang sekat tulang
hidung.
Polip karena ruang hidung sempit.
Prognosis
Mengarah baik bila penanganan dilakukan pada waktu dan
teknik yang tepat, tetapi bila terlambat dan sudah terjadi
komplikasi maka prognosis mengarah menjadi buruk. Prognosis
pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik.
dan pasien dalam 10 – 20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.
G. Polip
Definisi
Adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa.
Etiologi
Dulu diduga predisposisi polip nasi ialah rinitis alergi atau
penyakit atopi. Tetapi makin banyak penelitian yang
mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui
dengan pasti.
Talaks
1. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi.
Dapat diberikan topikal atau sitemik.
2. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa
atau polip masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar
polip atau cunam dengan analgesik lokal, etmoidektomi
intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.Yang terbaik adalah
apabila tersedia endoskop maka dapat dilakukan tindakan
BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
H. Laringitis
Definisi
Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada laring
(letak pita suara di tenggorokan). Penderita laringitis umumnya
akan mengalami gejala-gejala, seperti nyeri tenggorokan, batuk-
batuk, demam, sulit bicara, suara yang dikeluarkan serak, atau
bahkan kehilangan suara sama sekali.
Etiologi
Terjadinya radang atau pembengkakan pada laring bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Diagnosis
Dalam mendiagnosis laringitis, dokter akan terlebih dahulu
melihat gejala yang dirasakan oleh pasien. Gejala laringitis yang
paling mudah dideteksi adalah suara yang berubah menjadi serak
atau bahkan hilang sama sekali. Untuk lebih memastikan bahwa
telah terjadi iritasi atau kerusakan pada pita suara, sebuah
pemeriksaan yang disebut laringoskopi dapat dilakukan.
Tata Laksana
Sebenarnya kebanyakan kasus laringitis bisa pulih tanpa
menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu hingga satu
minggu. Tujuan pengobatan biasanya untuk mempercepat
kesembuhan dan meminimalisasi gejala yang mengganggu,
misalnya nyeri.
I. Abses Peritonsil
Definisi
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut
yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar
antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsi. Infeksi
ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses
peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Epidemiologi
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia
20 sampai 40 tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali yang
mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh, tetapi pada anak
infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas.
Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan
perempuan. Pada umumnya infeksi di bagian kepala leher terjadi
pada orang dewasa. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per
100.000 orang/ tahun. insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500
populasi atau 30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di
Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan
rata-rata usia 26.4 tahun
Gejala Klinis
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke
arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar
3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis
berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan
yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa
nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual.
Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin
mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.
Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya
berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai
nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi
meluas
mengenai otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan
berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.
Diagnosis
Anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah
yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis
yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Pemeriksaan
secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.
Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.
Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke
arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra
lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama
adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan
radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi
komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis
abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan
sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral
hypoechoic.
Diagnosis Banding
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap
pembengkakan pada daerah peritonsilar harus dipertimbangkan
penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis banding.
Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing, tumor /
keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis
servikal, aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-
kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui
pemeriksaan darah, biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain.
Tata Laksana
Penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial.
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah
insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi
beberapa minggu kemudian.
J. Difteri
Definisi
Suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada
mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae.
Etiologi
Bakteri basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan
Corynebacterium ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya
eksudat berbentuk membrane padat empat infeksi dan diikuti gejala
umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri
ini.
Patogenesis
Pasien yang terinfeksi bakteri C.diphteriae dapat
menularkan langsung melalui droplet pernapasan dan secret
nasofaring dan secara tidak lansung melalui debu, baju ataupun
benda yang terkontaminasi.
Bakteri biasanya masuk melewati saluran pernapasan
bagian atas, tetapi dapat melalui kulit, saluran genital dan mata.
Permukaan sel C.diphteriae mempunyai 3 struktur pilus yang
berbeda, Kepekaan terhadap sel epitel pernapasan dapat sangat
berkurang dengan menghalangi produksi dari dua pili kecil atau
dengan menggunakan antibody yang diarahkan terhadap mereka.
C.diphteriae dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel epitel
mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang
ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Bakteri ini
kemudian menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan inflamasi
local, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis. Pada
daerah nekrosis akan terbentuk fibrin, yang kemudian diinfiltrasi
oleh sel darah putih akibatnya terbentuk patchy eksudat yang pada
awalnya dapat terkelupas. Namun pada keadaan lebih lanjut akan
terbentuk eksudat fibrosa yang lebih luas.
Toksin dari bakteri ini dapat menyerang jantung, ginjal, dan
saraf perifer. Pada jantung terjadi pembesaran karena miokarditis,
ginjal membengkak karena perubahan jaringan intersisiel. Pada
saraf perifer terjadi perubahan degenerative lemak dan selubung
noduler.
GejaladanTanda
Demam (Jarang>103 F) dan kadang-kadang menggigil.
Malaise
Sakit tenggorokan
Sakit kepala
Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan
pseudomembran
Surara serak, disfagia
Dispnea, stridor pernapasan, mengi, batuk
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis C.diphteriae adalah dengan
mengisolasi bakteri dalam media kultur atau mengidentifikasi
toksinnya.
Diagnose awal cepat dapat dilakukan dengan pewarnaan gram
dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif,
tidak berkapsul, berkelompok dan tidak bergerak.
Diagnosa definitive dan identifikasi basil C.diphteriae dengan
kultur melalui tellurite atau loefler dengan sampel yang diambil
dari pseudomembran di orofaring, hidung, tonsil kriptus, atau
ulserasi di rongga mulut.
Pemeriksaan serum terhadap antibodi dapat dilakukan dengan
shick test.
Metode lain dengan PCR untuk deteksi urutan DNA encoding
subunit A tox + strain pemeriksaan cepat dan sensitive.
Penatalaksanaan
Perawatan umum :
o Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan
universal dari risiko penularan melalui droplet serta
membatasi jumlah kontak
o Istirahat di tempat tidur minimal 2-3 minggu.
o Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan
penderita, kebersihan jalan napas dan pembersihan lender.
Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46
minggu untuk menegakkan diagnosis miokarditis dini.
Anti-toksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis
ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
bakteriologis, dosis tergantung pada jenis difterinya, tidak
dipengaruhi umur pasiennya. Pemberian harus didahului
dengan uji sensitivitas.
o Difteri nasal/fausial yang ringan diberikan 20.000-40.000 U,
secara intavena dalam waktu 60 menit.
o Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U secara
intravena
o Difteri berat (bull neck diphteriae) diberikan 80.000-120.000
U secara intavena
Pemberian antibiotik:
o Penisilin procain 1.200.000 unit/hari secara intamuskular, 2x
sehari selama 14 hari.
o Eritromisin: 2 gram perhari secara per oral dengan dosis
terbagi 4x sehari
o Preparat lain yang bias diberikan adalah amoksisilin,
rifampisindan klindamisin.
K. SARS
Definisi
SARS pertama kali dikenal pada bulan Februari 2003.
Penyebabnya adalah coronavirus. Penyakit dengan gejala infeksi
saluranpernafasan berat disertai dengan gejala saluran pencernaan
yang prosentasenya belum diketahui secara pasti.
Gejala SARS diketahui berupa malaise, mialgia, demam
dan dengan cepat diikuti gejala pernafasan berupa batuk disertai
kesulitan bernafas. Dapat juga disertai dengan diare. Gejala-gejala
ini memberat beberapa hari kemudian disertai dengan viraemia, 10
hari setelah onset.
WHO menetapkan definisi kasus untuk tujuan surveilans
yaitu untuk penderita suspect (diduga) dan probable (mungkin).
Definisi ini didasarkan pada data klinis dan epidemiologis serta
didukung dengan data hasil pemeriksaan laboratorium. Definisi ini
secara berkala diperbaharui mengikuti kemajuan-kemajuan yang
dicapai dalam prosedur diagnostik dimana prosedur ini tersedia
semakin luas.
Definisi penderita suspect (diduga) adalah Demam tinggi (>
380C / 100,40F) disertai dengan batuk atau mengalami kesulitan
bernafas ditambah dengan adanya satu atau lebih riwayat pajanan
dalam 10 hari sebelum timbulnya gejala klinis yaitu :
1. Pernah kontak dekat dengan penderita suspect atau penderita
probable SARS (seperti merawat penderita, tinggal bersama,
menangani sekret atau cairan tubuh penderita);
2. Dan atau adanya riwayat pernah melakukan perjalanan
kedaerah yang sedang terjangkit SARS;
3. Dan atau tinggal didaerah yang sedang terjangkit SARS.
Definisi penderita probable (mungkin) adalah penderita
suspect seperti yang disebutkan diatas disertai dengan :
1. Gambaran radiologis adanya infiltrat pada paru yang konsisten
dengan gejala klinis pneumonia atau Respiratory Distress
Syndrome (RDS) yang ada.
2. Atau ditemukannya coronavirus SARS dengan satu atau lebih
metoda pemeriksaan laboratorium.
3. Atau pada otopsi ditemukan gambaran patologis RDS tanpa
sebab yang jelas.
Etiologi
SARS disebabkan oleh coronavirus yang pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron sama dengan coronavirus pada
binatang. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu kamar
selama 1 – 2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada
penderita diare.
Virus SARS kehilangan infektivitasnya terhadap berbagai
disinfektan dan bahanbahan fiksasi. Pada pemanasan dengan suhu
540C (132.80F) akan membunuh coronavirus SARS dengan
kecepatan sekitar 10.000 unit per 15 menit.
Cara Penularan
SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada
waktu merawat penderita, tinggal satu rumah dengan penderita
atau kontak langsung dengan sekret/cairan tubuh dari penderita
suspect atau probable. Diduga cara penyebaran utamanya adalah
melalui percikan (droplets) dan kemungkinan juga melalui pakaian
dan alat-alat yang terkontaminasi. Dilain kesempatan virus diduga
ditularkan melalui media lingkungan yaitu dari saluran limbah
(comberan) yang tercemar bahan infeksius; dengan aerosolisasi
mencemari udara atau secara mekanis dibawa oleh vector. Cara
penularan melalui saluran limbah tercemar ini sedang diteliti secara
retrospective.
Pemeriksaan Penunjang
1. TES PCR
Untuk menyatakan suatu tes PCR positif untuk SARS
diperlukan paling sedikit 2 spesimen yang berbeda (yaitu
specimen yang diambil dari nasofaring dan tinja).
2. Tes ELISA atau IFA dikatakan positif apabila terjadi
serokonversi dari negatif pada serum darah akut menjadi positif
pada serum darah konvalesens. Atau terjadi peningkatan titer
antibodi sebanyak 4 kali antara serum darah akut dan
konvalesens yang diperiksa secara paralel.
Cara Pencegahan
1. Lakukan identifikasi segera terhadap semua penderita suspect
dan probable sesuai dengan definisi kasus menurut WHO.
Setiap orang sakit yang datang ke fasilitas kesehatan (RS,
Puskesmas, Klinik di Bandara dan lain-lain) yang akan dinilai
terhadap kemungkinan menderita SARS dimasukkan ke ruang
triage dan disini segera dilakukan pemisahan untuk
mengurangi risiko penularan. Untuk penderita yang masuk
katagori probable segera dipasangi masker, sebaiknya masker
yang dapat menyaring udara ekspirasi untuk mencegah
percikan ludah keudara.
2. Lakukan tindakan isolasi terhadap kasus probable. Setiap
penderita probable harus segera diisolasi dan dirawat dengan
cara dan fasilitas dengan urut-urutan preferensi sebagai berikut
: diisolasi diruangan bertekanan negatif dengan pintu yang
selalu ditutup, kamar tersendiri dengan kamar mandi sendiri,
ditempatkan dalam ruangan kohort pada daerah dengan
ventilasi udara tersendiri dan memiliki system pembuangan
udara (exhaust system) serta kamar mandi sendiri. Apabila
tidak tersedia sistem supply udara tersendiri, maka semua AC
(mesin pendingin udara) dimatikan dan jendela dibuka untuk
mendapakan ventilasi udara yang baik (catatan : jendela harus
yang tidak mengarah ketempat umum).
3. Pelacakan terhadap kontak (contact persons) : yang disebut
kontak secara epidemiologis adalah mereka yang merawat dan
atau tinggal dengan atau mereka yang kontak dengan sekret
saluran nafas, cairan tubuh atau tinja penderita suspect atau
probable SARS.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/111454488/Referat-Suara-Serak-THT-Ridwan
Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and
Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8