Anda di halaman 1dari 100

RESUME TUTORIAL

SKENARIO 1

“Hidung Tersumbat”

Disusun oleh:
KELOMPOK I
Laila Auliya Noviyanti 152010101005
Warda Ayu Nadira 152010101019
Desi Dwi Cahyani 152010101022
Ahmad Hasbi Al-Muzaky 152010101024
Laila Rizqi Kurniawati 152010101041
Zain Irfan Rafii 152010101046
Ghani Silahuddin 152010101047
Cahyo Bagaskoro 152010101048
Erviana Dwi Nurhidayati 152010101072
Astri Mutia Saraswati 152010101087
Zulaikha Rizqina Rahmawati 152010101093
Willda Halizha Rhani 152010101106
Samuel Hobarto Sampe 152010101117
Prima Dhika Ayu Woro Astuti 152010101136

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
SKENARIO 1
HIDUNG TERSUMBAT

Tn. Adi usia 21 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan hidung tersumbat,
pilek dan bersin-bersin sejak 3 hari yang lalu. disertai demam, nyeri telan dan
suaranya serak. Dari anamnesis diketahui bahwa Tn. Adi bekerja di peternakan
ayam dan beberapa waktu lalu, ayam di peternakannya banyak yang mati
bersamaan . Tn. Adi khawatir penyakitnya ini berkaitan dengan kejadian tersebut.
Dulu Tn.Adi pernah juga periksa ke dokter karena hidungnya yang terasa kering
dan daya penciumannya berkurang. Dokter melakukan pemeriksaan rinoskopi
anterior didapatkan kavum nasi kiri lebih sempit dan mukosa tampak hiperemi,
terdapat secret mukopurulen.

Klarifikasi Istilah

1. Pemeriksaan rinoskopi anterior


Suatu teknik pemeriksaan pada hidung bagian depan dengan menggunakan
spekulum di kavum nasi.
2. Nyeri telan (odinofagi)
Kesulitan menelan yang dikarenakan adanya ulserasi pada orofaring akibat
inflamasi atau iritasi, selain itu nyeri tenggorok bisa juga disebabkan
karena infeksi tonsilitis.
3. Pilek
Inflamasi di rongga hidung akibat virus, alergi yang ditandai dengan lendir
yang lebih banyak dari biasanya.
4. Sekret mukopurulen
Sekret yang mengandung mukus (lendir) dan purulen (nanah), biasanya
berwarna kuning kehijauan.
5. Bersin
Usaha tubuh untuk mengeluarkan benda asing. Bersin juga merupakan
droplet transmission
6. Hidung tersumbat
Penyumbatan saluran hidung akibat peradangan pada lapisan hidung.
Peradangan ini terutama disebabkan oleh pembengkakan pembuluh darah
di hidung dan kelebihan produksi lendir.
7. Suara serak
Perubahan suara menjadi lebih kasar karena ada suatu kelainan dan
biasanya sering terjadi di laring.
8. Hiperemi
Peningkatan jumlah darah karena virus dan bakteri disertai dengan
pelepasan histamin dan prostaglandin. Hiperemi dibagi menjadi 2 yaitu
hiperemi aktif (dilatasi pembuluh darah) dan hiperemi pasif (gangguan
aliran darah).

Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan yang dialami Tn. Adi?
Jawab:
 Mekanisme Hidung Tersumbat
Alergen terinhalasi, tertumpuk di mucus, dan berdifusi dengan
jaringan hidung → Sel antigen akan menangkap allergen tersebut
→ antigen akan membentuk suatu komplemen molekul MHC
(Major Histocompatibility Complier) tipe II → komplemen
tersebut dipresentasikan terhadapa sel T helper (Th 0) → Th 0 akan
diaktifkan oleh sitokin yang dilepas oleh APC menjadi Th1 dan
Th2 → Th2 menghasilkan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, dll) →
IL3 dan IL4 akan diikat oleh sel limfosit B dan menjadi aktif →
Limfosit B menghasilkan IgE → Ige terdistribusi ke saluram darah
dan terikat dengan sel mast dan Basofil lalu sel tersebut aktif →
Terjadi reaksi alergi → mediator-mediator menyebabkan dilatasi
arteriveula hidung → terjadi edema, berkumpulnya darah pada
kavernosus sinusoid → hidung tersumbat
 Mekanisme Bersin
Bersin merupakan reaksi reflek untuk mengeluarkan udara
yang mengandung partikel atau benda asing yang mengganggu
atau menyebabkan gatal di dalam hidung dan juga membersihkan
rongga hidung atau saluran pernafasan bagian bawah. Dapat
dikatakan pula bahwa bersin merupakan salah satu cara tubuh
untuk mengatur ulang sistem di dalam tubuh.
Mekanisme terjadinya reflek bersin ini dimulai dari
terangsangnya bagian - bagian yang peka pada saluran pernafasan.
Rangsangan ditangkap oleh sensor taktil dan kemoreseptor aferen
melalui Nervous Vagus menuju pusat pernafasan (medula
oblongata). Sebagai contoh adalah rangsangan yang berupa benda
asing memasuki rongga hidung atau saluran pernafasan bagian
bawah, kemudian pusat pernafasan memerintah tubuh untuk
melakukan reflek bersin agar benda asing tersebut dapat
dikeluarkan. pada reflek bersin ovula dikondisikan ke bawah,
sehingga memungkinkan aliran udara ekspirasi (aliran udara yang
keluar) menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga
hidung.
Syaraf-syaraf yang terdapat di hidung dan mata itu
sebenarnya saling bertautan, sehingga pada saat kita bersin, maka
secara otomatis mata kita akan terpejam. Hal ini untuk melindungi
saluran air mata dan kapiler darah agar tidak terkontaminasi oleh
bakteri yang keluar dari membran hidung.Pada saat kita bersin,
secara refleks maka otot-otot yang ada di muka kita menegang, dan
jantung kita akan berhenti

2. Adakah keterkaitan RPS dengan RPD?


Jawab:
Ada jika pengobatan tidak dilakukan hingga pasien benar-benar sembuh
atau pasien terkena pajanan atau infeksi oleh organisme yang sama.
3. Adakah keterkaitan RPS dengan kematian ayam di peternakannya?
Jawab:
Ada, karena bisa saja virus yang membunuh ayam berada di udara
sehingga ketika orang tersebut masuk ke daerah udara yang sudah
terkontaminasi menerima virus secara droplet dan terinfeksi.
4. Apa sajakah yang dapat diamati melalui pemeriksaan rinoskopi anterior?
Jawab:
 Mukosa : warna, massa
 Septum : ada kelainan atau tidak
 Konka : ukuran
 Sekret : sifat dan lokasinya
5. Apakah hidung yang kering bisa mempengaruhi fungsi penghidu?
Jawab:
Bisa. Fungsi menghidu bisa berkurang karena:
 Transport loss : akses ke bulbus olfaktori terganggu
 Sensory loss : reseptor mengalami cedera
 Neural loss : jalur dari bulbus olfaktori ke otak terganggu
6. Mengapa cavum nasi kiri Tn. Adi lebih sempit?
Jawab:
Karena adanya deviasi septum. Penyempitan cavum bisa diakibatkan oleh:
 Sekret berlebih
 Pembengkakan konka
 Hiperemi
 Massa (tumor, polip, abses)
7. Apa diagnosis yang tepat untuk penyakit yang diderita Tn. Adi?
Jawab:
 Flu Burung
 ISPA non-spesifik
 Rhinitis Hipertrofi
Learning Objective
1. Anatomi Saluran Pernafasan Atas
2. Histologi Saluran Pernafasan Atas
3. Fisiologi Saluran Pernafasan Atas:
a. Menelan
b. Bicara
c. Respirasi
d. Menghidu
4. Patofisiologi:
a. Bersin
b. Suara Serak
c. Nyeri Telan
d. Anosmia/Hiposmia
e. Hidung Tersumbat
5. Penyakit:
a. Rhinitis
b. Sinusitis
c. Influenza
d. Faringitis
e. Tonsilitis
f. Deviasi Septum
g. Polip
h. Laringitis
i. Abses Peritonsil
j. Difteri
k. SARS
I. ANATOMI SALURAN PERNAFASAN ATAS

1. Hidung
Merupakan tempat masuk
utama udara pernafasan.
Udara pernafasan juga dapat
masuk melewati mulut
namun tidak mengalami
penyaringan seperti di
hidung. Hidung juga
memiliki persarafan untuk
penciuman. Udara yang
masuk akan mengalami
turbinasi di sekitar konka
konka dan mengalami pengaturan suhu dan kelembaban di hidung, sehingga jika
kita bernafas di tempat yang panas maupun yang dingin suhu udara yang masuk
ke sistem pernafasan akan tetap sama karena mengalami pengaturan suhu.
Kelembaban juga diatur dihidung karena oksigen butuh kondisi yang lembab
untuk dapat berdifusi.
Rongga hidung juga menjadi muara dari saluran sinus sinus di sekitarnya, seperti
sinus maxillary dan sinus frontal yang bermuara di meatus nasalis medius. Sinus
sphenoidal bermuara di meatus nasalis superior. Sedangkan meatus nasalis
inferior menjadi muara dari ductus nasolacrimal.

2. Faring
Tabung muskuler
berukuran 12,5 cm
. Saluran bersama
antara system
pernafasan dan
system
pencernaan. Saat
inspirasi dalam
keadaan normal,
udara masuk ke
faring melalui hidung, tetapi udara bisa juga masuk melalui mulut saat
saluran hidung tersumbat. Bagian-bagian faring:
1. Nasofaring
Batas nya mulai dari posterior nares interna sampai ke bagian atas palatum
molle. Struktur kecil namun memiliki banyak bagian penting. Batas antara
rongga hidung dan faring adalah choana. Di dalam nasofaring juga
terdapat muara tuba eustachius, torus tubarius, dan tonsila pharyngea.
2. Orofaring
Batas atas orofaring adalah palatum molle sedangkan batas bawahnya
adalah tulang rawan hyoid. Di dalam orofaring terdapat tonsil palatina dan
tonsil lingual.
3. Laringofaring
Struktur yang terdapat di laringofaring adalah epiglotis yang berguna
untuk menutup trakea saat sedang menelan makanan. Pada laringo faring
terdapat dua bukaan, bukaan anterior menuju ke trakea sedangkan bukaan
posterior menuju ke kerongkongan.

3. Laring
Laring atau disebut juga kotak
suara merupakan tabung tidak
teratur yang menghubungkan
antara faring dan trakea. Fungsi
sebagai penyokong (menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka),
katup untuk mencegah
masuknya makanan / cairan
yang ditelan ke dalam trakea,
dan alat penghasil suara. Suara
yang dihasilkan oleh laring
dihasilkan oleh plika vokalis lalu
suara dari plika vokalis ini akan
mengalami resonansi pada bagian mulut sehingga setiap orang memiliki
kekhasan suara. Pada laring terdapat epiglotis pharyngeal dan epiglotis
laryngeal. Di bawah epiglotis , mukosanya ada 2 lipatan, yaitu Pita suara
palsu dan Pita suara sejati.
Larynx merupakan tabung yang berbentuk seperti kotak triangular dan
ditopang oleh 9 kartilago: 3 berpasangan dan 3 tidak berpasangan
a. Kartilago tidak berpasangan
 Kartilago tiroid (jakun)
Terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid dan biasanya
berukuran lebih besar dan lebih menonjol pada laki-laki akibat
hormon yang disekresi saat pubertas
 Kartilago cricoid
Merupakan cincin anterior yang lebih kecil dan lebih tebal yang
terletak di bawah kartilago tiroid
 Epiglotis
Merupakan katup kartilago elastis yang melekat pada tepian
kartilago tiroid
b. Kartilago berpasangan
 Kartilago arytenoid
Terletak di atas dan di kedua sisi kartilago krikoid serta melekat
pada plica vocalis
 Kartilago corniculata
Melekat pada ujung kartilago arytenoid
 Kartilago cuneiform
Berupa batang-batang kecil yang membantu menopang jaringan lunak
II. HISTOLOGI SALURAN PERNAFASAN

Cavum Nasi :

Mukosa Cavum Nasi :

1. Respiratori : epitel berderet silindris dengan kinosilia & sel goblet.


Lamina basalis terlihat jelas, lamina propia.
2. Olfaktori : epitel berderet silindris tebal. Tidak ada sel goblet,
lamina basalis tidak terlihat atau tidak jelas, lamina propias, fila
olfactoria.
Pada Respirotori & Olfaktori terdapat Schnederian membrane yan terdiri
dari Periosteum dan Perikondrium.

Pharynx

Epitel berderet silindris dengan kinosilia dan sel goblet.

Terdapat Epiglotis yan terdiri dari dua sisi-sisi :

1. Sisi oral / pharyngeal : epitel berlapis pipih tebal, terdapat propia


papil, tidak terdapat kelenjar.
2. Sisi laryngeal : epitel berlapis pipih tipis, tidak ada propia papil,
terdapat kelenjar.
Larynx

Terdapat dua lipatan mukosa yang menonjol ke lumen :

1. Plika Ventrikularis
Epitel berderet silindris, terdapat kelenjar.
2. Plika Vokalis
Epitel berlapis pipih, terdapat muskulus dan ligamen vokalis.

Diantara dua lipatan mukosa terdapat ruangan yang disebut ventrikularis


morgagni.

Trakea & Bronkus Extra Pulmonalis

 Epitel berderet silindris dengan kinosilia & sel goblet.


 Lamina propia terdiri dari jaringan ikat kendor, terdapat infiltrasi
sel limfosit.
 Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor, pembuluh
darah, dan limfe.
 Tulang rawan hyalin berbentuk seperti tapal kuda.
 Tunika adventia terdiri dari jaringan ikat kendor, pembuluh darah,
dan saraf otonom.
Broncus Intra Pulmonalis

 Epitel berderet silindris pada proksimal dan epitel selapis silindris


pada distal dengan kinosilia dan sel goblet.
 Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor, kelenjar
mukus, limfoid .
 Terdapat otot polos yang mengelilingi broncus dan terputus-putus.
 Tulang rawan hyalin berbentuk pulau-pulau.

Bronciolus

 Epitel Selapis silindris rendah sampai kubis dengan kinosilia &


sel goblet.
 Tidak ditemukan tulang rawan.
Bronciolus terminalis

 Epitel selapis kubis.


 Tidak ada muara alveoli.

Bronciolus repiratori

 Epitel selapis kubis bersilia atau selapis pipih.


 Terdapat muara alveoli.
Alveoli

• Ruang bentuk hexagonal dg lubang besar u/ keluar masuk udara.


• Sabut elastis: memungkinkan alveoli mengembang dan
mengempis.
• Sabut retikulin: cegah pengembangan berlebihan.
• Letak berhimpitan, setiap alveoli memiliki dinding sendiri yang
berdekatan dipisahkan oleh: septum interalveolaris.
• Epitel selapis pipih sangat halus.
• Blood air barrier:
struktur yg dilalui gas pd proses pertukaran gas antara ruang
alveolus & darah dalam kapiler, t.a.:

o Epitel selapis pipih dari alveoli.


o Interstitial space (dibatasi lamina basalis epitel alv. dan
lamina basalis endotel kapiler).
o Endotel kapiler.

Septum Interalveolaris

• Sekat antara alveolus satu dengan lainnya.


Tiga sel pada septum interalveolaris:

• Sel tipe 1:
inti pipih, sedikit sitoplasma.

• Sel tipe 2=great alveolar cell=septal cell:


Berbentuk kuboid, inti lebih cerah, di pojok-pojok alveoli.
Menghasilkan surfaktan

• Sel endotel:
melapisi dinding kapiler, inti pipih.

III. FISIOLOGI SALURAN PERNAFASAN ATAS


A. Fisiologi Menelan
Menelan merupakan aksi fisiologis kompleks ketika makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung. Proses menelan dipersarafi oleh
saraf V (trigeminal), IX (glosopharing), X (vagus) dan XII (hipoglosal).

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut :

(1) pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang


baik

(2) usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase


menelan

(3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk
mendorong bolus makanan ke arah lambung

(4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam


nasofaring dan laring
(5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat
respirasi

(6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus

Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal.

Fase Oral

Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan
yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan
saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan
ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari.

Pada fase oral ini perpindahan bolus dari rongga mulut ke faring
segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan
bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah
terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah
menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.

Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding


posterior faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring
terangkat ke atas akibat kontraksi m. palato faringeus.

Fase Faringeal

• Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring


anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul.

• Pada fase faringeal ini terjadi :

1. m. Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X
dan n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat,
kemudian uvula tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah
nasofaring.
2. m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m ariepiglotika (n.IX,nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi
pita suara sehingga laring tertutup.

3. Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m. Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I).

4. Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m.


Konstriktor faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m.konstriktor faring
inferior (n.X, n.XI) menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti
oleh relaksasi m. Kriko faring (n.X)

5. Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus


esofagus dan dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus
makanan turun ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini
hanya berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama
bila menelan makanan padat.

Fase Esofageal

Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus


makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik.

Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :

1. Dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang


peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan
otot sirkuler dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang
peristaltik pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik
kedua yang merupakan respons akibat regangan dinding
esofagus.
2. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut
saraf pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal
dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak
seterusnya secara teratur menuju ke distal esofagus. Cairan
biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun
karena gerak peristaltik dan berlangsung selama 8-20
detik.Esophagal transit time bertambah pada lansia akibat dari
berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang
gelombang peristaltik primer.

B. Fisiologi Bicara
 Proses berbicara tidak hanya melibatkan sistem pernafasan tetapi juga :
1. Pusat pengatur saraf bicara spesifik dalam korteks serebri;
2. Pusat pengatur pernafasan di otak;
3. Struktur artikulasi dan resonansi rongga mulut dan hidung.
 Berbicara diatur 2 fungsi mekanis, yaitu fonasi oleh laring dan artikulasi
oleh mulut.
 Fonasi pada laring berfungsi sebagai penggetar (vibrator) oleh pita suara.
Pita suara menonjol di dinding lateral laring ke arah tengah glotis yang
dapat teregang oleh otot spesifik. Pada saat pernafan normal pita suara
terbuka lebar agar udara mudah lewat. Tetapi selama fonasi, pita suara
menutup sehingga aliran udara di antara pita akan menghasilkan
getaran/vibrasi.Pita suara dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke
depan maupun rotasi posterior dan kartilago aritenoid yang diaktivasi oleh
otot-otot yang meregang dari kartilago aritenoid ke kartilago krikoid. Otot-
otot dalam pita suara di sebelah lateral ligamen vokalis, yaitu otot
tiroaritenoid dapat menarik kartilago aritenoid ke kartilako tiroid sehingga
melonggarkan pita suara. Pergerakan otot-otot ini dalam pita suara dapat
merubah bentuk : bentuk tajam untuk suara nada tinggi, dan bentuk tumpul
untuk suara rendah (bass).
 Artikulsi dan resonansi
Artikulasi dilakukan di bibir, lidah dan paltum mole. Sedangkan resonator
terdapat pada mulut, hidung dan sinus nasal yang berhubungan dengan
faring dan rongga dada. Contohnya resonator pada hidung dapat merubah
kualitas suara ketika kita mengalam pilek yang berat.

C. Fisiologi Respirasi
Fungsi Sistem Respirasi :
1) Menyediakan permukaan untuk pertukaran gas antara udara dan sistem
aliran darah.
2) Sebagai jalur untuk keluar masuknya udara dari luar ke paru-paru.
3) Melindungi permukaan respirasi dari dehidrasi, perubahan temperatur,
dan berbagai keadaan lingkungan yang merugikan atau melindungi
sistem respirasi itu sendiri dan jaringan lain dari patogen.
4) Sumber produksi suara termasuk untuk berbicara, menyanyi, dan
bentuk komunikasi lainnya.
5) Memfasilitasi deteksi stimulus olfactory dengan adanya reseptor
olfactory di superior portion pada rongga hidung.

Sistem respirasi juga dibagi menurut divisinya, yakni :


1. Divisi konduksi
Divisi ini dimulai dari rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus,
himgga terminal bronkiolus
2. Divisi respirasi
Divisi ini dimulai dari bronkiolus hingga alveoli, udara memenuhi
kantung paru-paru dan terjadilah pertukaran gas antara udara dan
darah.
Mekanisme Respirasi
Secara umum, respirasi terdiri dari 2 proses: respirasi eksternal dan
respirasi internal. Respirasi eksternal meliputi pertukaran gas (oksigen dan
karbon dioksida) antara cairan interstisial tubuh dengan lingkungan luar.
Tujuan dari respirasi eksternal adalah untuk memenuhi kebutuhan respirasi
sel. Respirasi internal adalah proses absorpsi oksigen dan pelepasan
karbon dioksida dari sel. Proses respirasi internal ini disebut juga respirasi
selular, terjadinya di mitokondria.
Berikut adalah tahapan-ahapan dalam respirasi eksternal:
1. Ventilasi pulmoner atau bernapas, melibatkan perpindahan udara secara
fisik keluar masuk paru-paru.
2. Difusi gas, melewati membran respiratori antara ruangan alveolar dan
kapiler alveolar serta melewati kapiler alveolar dan kapiler jaringan.
3. Transportasi oksigen dan karbon dioksida; antara kapiler alveolar dan
kapiler jaringan.

Ventilasi Pulmoner
Adalah perpindahan udara secara fisik keluar masuk paru-
paru.Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan ventilasi
alveolar.Tekanan atmosfer memiliki peranan penting dalam ventilasi
pulmoner.
Menurut hukum Boyle, tekanan berbanding terbalik dengan
volume. Udara akan mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke tekanan
rendah. Kedua hukum ini merupakan dasar dari ventilasi pulmoner.Satu
siklus respirasi tunggal terdiri dari inhalasi/inspirsi dan
ekshalasi/ekspirasi.Keduanya melibatkan perubahan volume paru-
paru.Perubahan ini menciptakan gradien tekanan yang memindahkan
udara keluar atau masuk paru-paru.
Kedua paru-paru memiliki rongga pleural.Parietal dan viseral
pleura dipisahkan hanya oleh selaput tipis cairan pleural. Perbandingan
ikatan cairan terjadi antara parietal pleural dan viseral pleura Hasilnya,
permukaan masing-masing menempel pada bagian dalam dada dan
permukaan superior diafragma. Pergerakan dada dan diafragma ini akan
menyebabkan perubahan volume paru-paru. Volume rongga toraks
berubah ketika diafragma berubah posisinya atau tulang rusuk bergerak.
Saat diafragma berkontraksi, volume rongga toraks akan
bertambah, ketika diafragma berelasasi, volume rongga toraks akan
berkurang. Sementara pergerakan superior rusuk dan tulang belakang
menyebabkan volume rongga toraks bertambah.Pergerakan inferior rusuk
dan tulang belakang menyebabkan volume rongga toraks berkurang.
Saat bernapas dimulai, tekanan di dalam dan luar paru-paru sama,
tidak ada pererakan keluar masuk paru-paru. Saat rongga toraks
membesar, rongga pleural dan paru-paru akan berekspansi untuk
memenuhi rongga dada yang membesar. Ekspansi ini mengurangi tekanan
paru-paru, maka udara dapat memasuki saluran pernapasan karena tekanan
dalam paru-paru lebih rendah dari tekanan luar. Udara terus masuk sampai
volume paru-paru berhenti bartambah dan tekanan di dalam sama dengan
tekanan udara luar. Saat volume rongga toraks berkurang, tekanan alam
paru-paru naik sehingga udara dari paru-paru dikeluarkan dari saluran
pernapasan.

Compliance:
Compliance paru-paru merupakan indikasi kemampuan perluasan
paru-paru, bagaimana paru-paru dengan mudahnya mengembang dan
mengempis. Semakin rendah compliance, semakin besar gaya yang
dibutuhkan untuk mengisi dan mnegosongkan paru-paru. Semakin besar
compliance, semakin mudah bagi paru-paru, semakin mudah paru-paru
untuk mengisi dan mengosongkan paru-paru. Factor yang mempengaruhi
compliance adalah:
Struktur jaringan penghubung dari paru-paru. Kehilangan jaringan
penghubung menghasilkan kerusakan alveolar, seperti pada emfisema,
yang meningkatkan compliance
Produksi surfaktan, pada saat ekshalasi, alveoli yang kolaps karena
produksi surfaktan yang tidak mencukupi, seperti pada respiratory distress
syndrome, mengurangi compliance paru-paru
Mobilitas rongga toraks, arthritis atau kelainan skelet
lainnyamempengaruhi artikulasi rusuk atau kolom spinal juga mengurangi
compliance
Perubahan tekanan selama inhalasi dan ekshalasi
1. Tekanan intrapulmoner
Arah aliran udara ditentukan oleh hubungan antara tekanan atmosfer
dan tekanan intrapulmoner.Tekanan intrapulmoner adalah tekanan di
dalam saluran pernafasan, di alveoli.
Ketika sedang istirahat dan bernafas dengan normal, perbedaan antara
tekanan atmosfer dan tekanan intrapulmoner relative kecil. Pada saat
inhalasi, paru-paru mengembang dan tekanan intrapulmoner turun
menjadi 759 mm Hg. Karena tekanan intrapulmoner 1 mm Hg di
bawah tekanan atmosfer, tekanan intrapulmoner pada umumnya ditulis
dengan -1 mmHg. Pada saat ekshalasi, paru-paru mengempis dan
tekanan intrapulmoner meningkat menjadi 761 mmHg, atau +1 mmHg.
Ukuran gradient tekanan meningkat ketika bernafas dengan kuat.
Ketika atlet yang berlatih bernafas dengan kapasitas maksimum,
diferensial tekanan dapat mencapai -30 mmHg selama inhalasi dan
+100 mmHg jika individu menegang dengan glottis yang ettap
tertutup. Hal ini merupakan alasan mengapa atlet mengangkat beban
pada saat ekshalasi; karena ekshalasi menjaga tekanan intrapulmoner
dan tekanan peritoneal meningkat dengan signifikan yang bisa
menyebabkan alveolar rupture dan terjadi hernia.

2. Tekanan intrapleural
Tekanan intarpleural merupakan tekanan pada ruangan di antara
parietal dan visceral pleura.Rata-rata tekanan intrapleura adalah sekitar
-4 mmHg, tapi dapat mencapai – 18 mmHg selama inhalasi yang
dipaksakan.Tekanan ini di bawah tekanan atmosferyang diseabkan
hubungan antara paru-paru dan dinding tubuh.Pada awalnya, kita
mencatat bahwa paru-paru memiliki keelastisan yang tinggi.Pada
kenyataanya, paru-paru dapat kolaps jika elastic fiber dapat berbalik ke
keadaan normal dengan sempurna.Elastic fiber tidak bisa berbalik
secara signifikan Karena elastic fiber tidak cukup kuat untuk
mengatasi ikatan cairan antara parietal dan visceral pleura. Elastic fiber
selanjutnya melawan ikatan cairan dan menarik paru-paru menjauh
dari dinding dada dan diafragma, menurunkan tekanan intrapleural
.karena elastic fiber yang tersisa membesar bahkan setelah ekshalasi
penuh, tekanan intrapleural berada di bawah tekanan atmosfer melaui
siklus inhalasi dan ekshalasi normal.

Siklus Respirasi
Satu siklus respirasi terdiri dari satu kali inhalasi dan satu kali
ekshalasi.Jumlah udara yang keluar atau masuk paru-paru dalam satu
siklus respirasi disebut volume tidal. Saat siklus dimulai, tekanan atmosfer
dan intrapulmonar sama besar, tidak ada pertukaran udara. Inhalasi
dimulai dengan penurunan tekanan intrapleural yang diakibatkan ekspansi
rongga dada sehingga udara masuk.Saat ekshalasi dimulai, tekanan
intrapleural dan intrapulmonar naik denga cepat, mendorong udara keluar
dari paru-paru.

Otot yang Digunakan Saat Inhalasi

 Kontraksi diafragma membuat ‘lantai’ rongga dada menjadi rata,


menaikkan volumenya dan membuat udara masuk ke paru-paru.
Kontraksi diafragma berperan dalam hampir 75% pergerakan udara
pada pernapasan normal.
 Kontraksi otot eksternal interkostal membuat tulang rusuk
bergerak naik saat inhalasi. Kontraksi ini bertanggung jawab atas
25% volume udara di paru-paru.
 Kontraksi otot aksesori, seperti sternocleidomastoid, serratus
anterior, pectoralis minor, dan otot scalens. Otot-otot ini juga berperan
dalam pengangkatan tulang rusuk oleh otot eksternal interkostal. Otot-
otot ini meningkatkan jumlah dan kecepatan pergerakan tulang rusuk.
Otot yang Digunakan Saat Ekshalasi

 Otot internal inetrkostal dan transversus thoracis menekan tulang rusuk


dan menurunkan lebar dan kedalaman rongga dada.
 Otot abdominal, termasuk oblique internal dan eksternal, tranversus
abdominis dan otot rectus abdominis, dapat membantu otot internal
interkostal saat ekshalasi dengan memampatkan abdomen dan
mendorong diafragma untuk bergerak ke atas.

Pernapasan Biasa
Disebut juga eupnea, inhalasinya melibatkan kontraksi otot
diafragma dan eksternal interkostal, tetapi ekshalasinya merupakan proses
pasif. Saat pernapasan diafragma atau pernapasan dalam, kontraksi
diafragma mengakibatkan perubahan penting volume rongga dada.Udara
masuk ke paru-paru saat diafragma berkontraksi, dan diekshalasi secara
pasif saat diafragma berelaksasi.
Pada pernapasan kostal atau pernapasan dangkal, volume rongga
dada berubah karena tulang rusuk merubah bentuknya.Inhalasi terjadi saat
kontraksi otot eksternal interkostal menaikkan tulang rusuk dan
memperbesar volume rongga dada.Ekshalasi terjadi secara pasif ketika
otot-otot tersebut berelaksasi.

Pernapasan Kuat
Disebut juga hiperpnea, melibatkan pergerakan aktif inspiratori dan
ekspiratori.Inhalasi pada pernapasan kuat dibantu oleh otot aksesori,
ekshalasi melibatkan kontraksi otot internal interkostal.Pada tingkat
pernapasan kuat mutlak, otot abdominal juga dilibatkan dalam
ekshalasi.Kontraksinya dapat memampatkan isi abdomen, mendorongnya
ke atas melawan diafragma sehingga menurunkan volume rongga dada.
o Volume tidal (VT) adalah volume udara ketika ekspirasi atau inspirasi
dalam 1 siklus respirasi dengan kondisi rileks. Jumlah pada pria dan
wanita sama yaitu sekitar 500 ml.
o Volume inspirasi cadangan (VIC) adalah volume udara yang masih
dapat di inspirasi setelah melakukan inspirasi biasa.Jumlah pada pria
dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 3100 ml dan pada wanita
sekitar 1900 ml.
o Volume ekspirasi cadangan (VEC) adalah volume udara yang masih
dapat di ekspirasikan setelah melakukan ekspirasi biasa.Jumlah pada
pria dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 1200 ml dan pada
wanita sekitar 700 ml.
o Volume residu adalah volume udara yang masih terdapat dalam paru-
paru setelah melakukan ekspirasi maksimal.Jumlah pada pria dan
wanita dewasa berbeda tapi tidak terlalu signifikan, pada pria sekitar
1200 ml dan pada wanita sekitar 1100 ml.

Terdapat empat jenis kapasitas respirasi antara lain kapasitas vital,


residual fungsional, inspirasi, dan kapasitas paru-paru total. Dengan
masing-masing pengertian, sbb :
o Kapasitas total paru (KTP) adalah jumlah maksimal udara yang
terdapat dalam paru-paru setelah melakukan inspirasi maksimal.
Jumlah pada pria dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 6000
ml dan pada wanita sekitar 4200 ml. KTP = VT+ VIC+ VEC+ VR.
o Kapasitas vital (KV) adalah jumlah maksimal udara yang dapat di
ekspirasikan setelah melakukan inspirasi maksimal. Jumlah pada pria
dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 4800 ml dan pada wanita
sekitar 3100 ml. KV = VT+ VIC+ VEC (sekitar 80 % dari volume
KTP).
o Kapasitas inspirasi (KI) adalah jumlah maksimal udara yang dapat di
inspirasi setelah melakukan ekspirasi normal. Jumlah pada pria dan
wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 3600 ml dan pada wanita
sekitar 2400 ml. KI = VT+ VIC.
o Kapasitas residual fungsional (KRF) adalah jumlah udara yang masih
terdapat dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi biasa. Jumlah
pada pria dan wanita dewasa berbeda, pada pria sekitar 2400 ml dan
pada wanita sekitar 1800 ml. KRF= VEC+ VR.

Jenis-Jenis Pernapasan
 Quiet Breathing
Pada quiet breathing atau eupneu, inhalasi melibatkan kontraksi otot,
tapi ekshalasi merupakan proses yang pasif. Inhalasi melibatkan
kontraksi otot diafragma dan interkostal eksternal.
 Forced Breathing
Disebut juga hiperpnea; melibatkan inhalasi dan ekshalasi aktif.Pada
pernapasan jenis ini, otot aksesori ikut berperan dalam inhalasi,
sementara pada ekshalasinya yang juga turut berperan adalah otot
interkostal internal. Pada level paling maksimum forced breathing,
kontraksi otot abdominal digunakan dalam ekshalasi.

Ventilasi Alveolar
Ventilasi alveolar adalah jumlah udara yang mencapai alveoli tiap
menitnya.Hanya sebagian dari udara inhalasi yang mencapai permukaan
alveoli.Umumnya inhalasi menarik 500 ml udara ke dalam saluran
pernapasan.Sebanyak 350 ml masuk ke ruang-ruang alveolar, sisanya
hanya mencapai divisi konduksi dan tidak ikut berpartisipasi dalam
pertukaran gas dengan darah.
Udara di alveoli ini mengandung oksigen yang lebih sedikit dan
karbon dioksida yang lebih banyak daripada komposisi di udara.

Kecepatan Respirasi
Kecepatan respirasi adalah jumlah pernapasan dalam satu
menit.Kecepatan yang normal adalah 12 sampai 18 pernapasan per
menit.Pernapasan pada anak-anak lebih cepat, yaitu 18-20 kali per menit.
Pertukaran Gas Oksigen Dan Karbon Dioksida
Pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida antara udara alveolar
dan darah pulmoner terjadi melalui difusi pasif.peristiwa ini mengikuti dua
hukum gas, yaitu Hukum Dalton dan Hukum Henry. Hukum Dalton
penting untuk memahami peristiwa penurunan tekanan gas melalui proses
difusi, sedangkan hukum Henry menjelaskan bahwa kelarutan gas
mempengaruhi kecepatan difusinya.

Hukum Gas: Hukum Dalton dan Hukum Henry


Menurut hukum Dalton, setiap gas dalam campuran gas memiliki
tekanannya sendiri yang disebut tekanan parsial. Tekanan parsial
dilambangkan dengan Px, dengan x adalah rumus molekul gas
bersangkutan. Tekanan total campuran gas merupakan penjumlahan
tekanan parsial komponen-komponen gasnya. Udara atmosfer
mengandung nitrogen, oksigen, uap air, karbon dioksida, dan gas-gas lain
dalam jumlah yang sangat kecil. Dengan demikian, tekanan atmosfer
adalah:
Tekanan parsial gas-gas tersebut menentukan pergerakan oksigen
dan karbon dioksida antara atmosfer dan paru-paru, antara paru-paru dan
darah, dan antara darah dengan sel-sel tubuh.Setiap gas berdifusi melalui
membran permeabel dari daerah dengan tekanan parsial lebih tinggi ke
daerah dengan tekanan parsial lebih rendah.semakin besar perbedaan
tekanan parsial, maka laju difusi gas akan semakin cepat.
Dibandingkan dengan udara yang masuk ke paru-paru, udara
alveolar memiliki lebih sedikit O2 dan lebih banyak CO2.Hal ini
disebabkan oleh dua hal.Pertama, pertukaran gas di alveoli meningkatkan
komposisi CO2 dan menurunkan konsentrasi O2 udara alveolar.Kedua,
ketika udara masuk melalui saluran pernafasan, udara tersebut
dilembabkan.peningkatan konsentrasi uap air menyebabkan penurunan
konsentrasi O2. sebaliknya, udara yang dikeluarkan dari paru-paru
mengandung lebih banyak O2 dan lebih sedikit CO2 daripada udara
alveolar karena udara yang dikeluarkan sebagian bercampur dengan udara
pada dead space yang tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran gas.
Hukum Henry menyatakan bahwa kuantitas gas yang terlarut pada
cairan adalah proporsional terhadap tekanan parsial dan kelarutan gas
tersebut. Pada cairan tubuh, kemampuan gas untuk tetap berada di dalam
larutan lebih besar ketika tekanan parsial dan kelarutannya di dalam cairan
tubuh besar.CO2 terlarut lebih banyak di dalam plasma darah karena
kelarutan CO2 24 kali lebih besar daripada kelarutan O2, dan walaupun
kuantitas N2 paling banyak pada udara atmosfer, gas ini tidak memberikan
pengaruh yang begitu signifikan terhadap tubuh karena kelarutannya di
dalam plasma darah sangat rendah.
Laju pertukaran gas sistemik dan pulmoner dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:

 Perbedaan tekanan parsial gas-gas; semakin besar perbedaan tekanan


parsial gas-gas, maka lajudifusi semakin cepat.
 Luas permukaan pertukaran gas; jika luas permukaan pertukaran gas
semakin besar, maka laju difusi akan bertambah dan sebaliknya.
 Jarak difusi; laju difusi akan semakin besar jika jarak difusinya
semakin kecil.
 Berat molekul dan kelarutan gas; kelarutan gas yang besar akan
mempercepat laju difusi, sedangkan besar molekul yang besar
memperlambat laju difusi.

D. Fisiologi Menghidu
Hidung memiliki fungsi sebagai penghidu yang perannya di
jalankan oleh mukosa olfaktori. Suatu bercak mukosa 3 cm2 di atap
rongga hidung, mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel
penunjang, dan sel basal. Sel penunjang mengeluarkan mukus, yang
melapisi saluran hidung. Sel basal adalah prekursor untuk sel reseptor
olfaktorius baru, yang diganti sekitar setiap dua bulan. Sel
reseptorolfaktorius adalah neuron aferen yang bagian reseptornya
terletak di mukosa olfaktorius di hidung yang akson aferennya berjalan
kedalam otak. Akson sel-sel reseptorolfaktorius secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius.
Bagian reseptor dari sel reseptorolfaktorius terdiri dari sebuah
tombol yang membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang
berjalan seperti jumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung
tempar untuk mengikat odoran, molekul yang dapat dicium baunya.
Selama bernapas renang, odoran biasanya mencapai reseptor sensitive
hanya dengan difusi karena mukosa olfaktorius terletak di atas jalur
normal aliran udara. Tindakan mengendus meningkatkan proses ini
dengan menarik arus udara ke arah dalam rongga hidung sehingga lebih
banyak molekul odoriferus di udara yang berkontak dengan mukosa
olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu makan
dengan menghembus ke hidung dari mulut melalui faring (belakang
tenggorokan).
Agar dapat dibaui, suatu bahan harus:
(1) Cukup mudah menguap sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke
hidung melalui udara inspirasi dan
(2) Cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang
menutupi mukosaolfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat
terdeteksi oleh reseptor olfaktorius, molekul harus larut.
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan
1000 tipe berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau "diuraikan' menjadi
berbagai komponen. Setiap reseptor berespons hanya terhadap satu
komponen di skret suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran
keseluruhan. Karena itu, masing-masing bagian dari suatu odoran
dideteksi oleh satu dari ribuan reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat
berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat diberbagai
aroma. Bandingkan ini dengan tiga jenis sel kerucut untuk menyandi
penglihatan warna dan kuncup kecap yang berespons secara berbeda
terhadap hanya lima rasa primer untuk mendiskriminasikan rasa.
Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius
mengaktifkan protein G, memicu jenjang reaksi intrasel dependen-cAMP
yang menyebabkan terbukanya saluran Na-. Perpindahan ion yang
terjadi menyebabkan depolarisasi potensial resepror yang menghasilkan
potensial aksi di serat aferen. Frekuensi potensial aksi bergantung pada
konsentrasi molekul kimiawi perangsang.
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor di hidung
berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang gepeng yang
memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-serat
ini segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks
yang mengandung beberapa lapisan sel yang secara fungsional mirip
dengan lapisan retina mata. Bulbus olfaktorius yang kembar, satu di
masing-masing sisi, berukuran buah anggur kecil. Masing-masing bulbus
olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip-bola yang dikenal
sebagai glomerulus ("bola kecil"). Di dalam setiap glomerulus ini,
ujung-ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang komponen bau
tertentu bersinaps dengan sel berikutnya di jalur olfaktorius, sel mitral.
Karena masing-masing glomerulus menerima sinyal hanya dari reseptor
yang mendeteksi komponen bau tertentu, maka glomerulus berfungsi
sebagai "arsip bau". Komponen-komponen dari suatu bau disortir ke
dalam glomerulus yang berbeda-beda, satu komponen per arsip.
Karena itu, glomerulus, yang berfungsi sebagai stasiun pemancar
pertama untuk pemrosesan informasi bau, berperan kunci dalam
pengorganisasian persepsi bau.
Sel mitral tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di glomerulus
menyempurnakan sinyal bau dan memancarkannya ke otak untuk
pemrosesan lebih lanjut. Serat-serar yang meninggalkan bulbus
olfaktorius berjalan dalam dua rute berbeda:
a. Sebuah rute subkorteks yang terutama menujuk edaerah-daerah
sistem limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis
(dianggap sebagai korteks penciuman primer). Rute ini, yang
mencakup hipotalamus, memungkinkan koordinasi erat antara
bau dan reaksi perilaku yang berkaitan dengan makan, kawin,
dan orientasi arah.
b. Sebuah rute melalui talamus ke korteks. Seperti indera lain, rute
korteks penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus bau.

IV. PATOFISIOLOGI

A. Bersin
Bersin merupakan reaksi reflek untuk mengeluarkan udara yang
mengandung partikel atau benda asing yang mengganggu atau
menyebabkan gatal di dalam hidung dan juga membersihkan rongga
hidung atau saluran pernafasan bagian bawah. Dapat dikatakan pula
bahwa bersin merupakan salah satu cara tubuh untuk mengatur ulang
sistem di dalam tubuh.
Mekanisme terjadinya reflek bersin ini dimulai dari terangsangnya
bagian - bagian yang peka pada saluran pernafasan. Rangsangan
ditangkap oleh sensor taktil dan kemoreseptor aferen melalui Nervous
Vagus menuju pusat pernafasan (medula oblongata). Sebagai contoh
adalah rangsangan yang berupa benda asing memasuki rongga hidung
atau saluran pernafasan bagian bawah, kemudian pusat pernafasan
memerintah tubuh untuk melakukan reflek bersin agar benda asing
tersebut dapat dikeluarkan. pada reflek bersin ovula dikondisikan ke
bawah, sehingga memungkinkan aliran udara ekspirasi (aliran udara
yang keluar) menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga
hidung.
Syaraf-syaraf yang terdapat di hidung dan mata itu sebenarnya
saling bertautan, sehingga pada saat kita bersin, maka secara otomatis
mata kita akan terpejam. Hal ini untuk melindungi saluran air mata dan
kapiler darah agar tidak terkontaminasi oleh bakteri yang keluar dari
membran hidung.Pada saat kita bersin, secara refleks maka otot-otot
yang ada di muka kita menegang, dan jantung kita akan berhenti

B. Suara Serak
Selama Ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis. Plika vokalis
bergetar. Otot-otot pernafasan berkontraksi. Tekanan udara di
subglotis meningkat sehingga celah glotis terbuka. Setelah terjadi
pelepasan udara, tekanan subglotis berkurang dan plika vokalis ke
posisi adduksi, apabila pada proses ini plika vokalis terjadi
peradangan/mengalami edema sehingga saat adduksi tidak dapat
sempurna, masih terdapat celah. Celah tersebut membuat vibrasi plika
volakis yang dihasilkan tidak maksimal sehingga terbentuklah suara
yang lemah dan parau.
C. Nyeri Telan

Odinofagia didefinisikan sebagai nyeri telan dan dapat terjadi


dengan disfagia. Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala
yang sering dikeluhkan akibat adanya kelainan atau peradangan di
daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring. Odinofagi dapat dirasakan
sebagai sensasi ketat atau nyeri membakar, tidak dapat dibedakan dari
nyeri ulu hati di bagian tengah dada. Odinofagia dapat disebabkan oleh
spasme esophagus akibat peregangan akut atau dapat terjadi sekunder
akibat peradangan mukosa esofagus. (Price, 2006) Odinofagia
ditemukan lebih jarang dibandingkan dengan disfagia. Nyeri terasa
terus-menerus, tidak bersifat tajam seperti ditusuk. Nyeri menyebar ke
punggung. Sedangkan disfagia adalah perasaan sulit menelan atau
makanan terasa mengganjal di leher/dada atau makanan terasa tidak
turun ke lambung. Disfagia dapat terjadi karena kelainan esophagus
atau kesulitan mengalirkan makanan dari mulut ke dalam esofagus.
Odinofagia, atau rasa nyeri ketika menelan, dapat terjadi akibat
inflamasi mukosa dan kram muskuler. Odinofagia dapat menyertai
disfagia, tetapi kedua gejala ini dapat terjadi secara sendiri-sendiri.
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menemukan penyebab utama
dari disfagia dan atau odinofagia. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
pemeriksaan fisik daerah leher. Dapat pula dilakukan pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, esofagoskopi, dan
pemeriksaan manometrik.
D. Anosmia/Hiposmia
 Definisi Anosmia

Anosmia merupakan suatu tidak adanya/hilangnya sensasi


penciuman, dalam hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium
atau membau dari indera penciuman. Hilangnya sensasi ini bisa
parsial ataupun total.
 Etiologi Anosmia
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan
gangguan pembauan.
b. Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung
sehinga menghalangi aliran adorant / ke epitel
olfaktorius.
c. Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista
dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat
menderita hisposmia karena berkurang atau tidak
adanya aliran udara yang melalui hidung.

2. Defek Sentral / sensorineural


a. Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral
gangguan pada transmisi sinyal.
b. Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur
syaraf.
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme,
DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan
subarachnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan
atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan
mengakibatkan anosmia.
e. Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi
f. Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat
mempengarui pembauan.

3. Faktor resiko
a. Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson,
Alzheimer)
b. Proses degenaratife normal (penuaan)
c. Lingkungan
d. Perokok
e. Pencemaran bahan kimia
f. Cuaca
g. Virus bakteri pathogen
h. Usia: Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron
olfaktorius lambat laun akan berkurang sehingga mengurangi
daya penciuman.
i. Jenis kelamin: Perempuan lebih beresiko menderita anosmia
karena jumlah bulu hidung relative lebih sedikit daripada pria
dan imunitas yang kurang sehingga beresiko terhadap infeksi
pada hidung.

 Tanda Dan Gejala Anosmia


1. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa
mendeteksi bau.
2. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa
mendeteksi seluruh bau.
3. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat
dideteksi.
4. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang
dapat dideteksi)
5. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam
makanan yang di makan.
6. Berkurangnya nafsu makan.

 Patofisilogi Anosmia
Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam
system penginderaan kimia(chemosensation). Proses yang
kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul–
molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang
menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan.
Sel–sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa
khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di
stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar
adonan pada roti. Sel–sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan
kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka
terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi
karena adanya molekul–molekul yang menguap dan masuk
kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane. Manusia
memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila
molekul udara masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf
(Loncent, 1988). Pada mekanisme terdapat gangguan atau
kerusakan dari sel–sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat
mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat
kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan
impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari
saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi
impuls yang masuk.

 Pemeriksaan Diagnostik Anosmia


1. CT scan dan MRI dibutuhkan untuk menyingkirkan
neoplasma pada fossa kranii anterior yang tidak diduga
sebelumnya, sinusitis paranasolik dan neoplasma pada rongga
hidung dan sinus paranasalis.
2. Laboratorium darah

 Penatalaksanaan Anosmia
1. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki
kehilangan sesuai penciuman antara lain antihistamin bila
diindikasi penderita alergi
2. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah
kelebihan dapat digunakan dekongostan nasal.
4. Suplemen zink kadang direkomendasikan
5. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus
prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati.
6. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A

E. Hidung Tersumbat
Alergen terinhalasi, tertumpuk di mucus, dan berdifusi dengan
jaringan hidung → Sel antigen akan menangkap allergen tersebut →
antigen akan membentuk suatu komplemen molekul MHC (Major
Histocompatibility Complier) tipe II → komplemen tersebut
dipresentasikan terhadapa sel T helper (Th 0) → Th 0 akan diaktifkan oleh
sitokin yang dilepas oleh APC menjadi Th1 dan Th2 → Th2 menghasilkan
berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, dll) → IL3 dan IL4 akan diikat oleh sel
limfosit B dan menjadi aktif → Limfosit B menghasilkan IgE → Ige
terdistribusi ke saluram darah dan terikat dengan sel mast dan Basofil lalu
sel tersebut aktif → Terjadi reaksi alergi → mediator-mediator
menyebabkan dilatasi arteriveula hidung → terjadi edema, berkumpulnya
darah pada kavernosus sinusoid → hidung tersumbat

V. PENYAKIT
A. Rhinitis

RINITIS AKUT

1. Rinitis virus

Rinitis virus terbagi 3, yaitu:

 Rinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)


Etiologi. Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi
biasanya terjadi melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus
yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan
subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.

Gambaran klinis. Pada awalnya terasa panas di daerah


belakang hidung, lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat,
rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin,
dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer dan sangat
banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi
sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus,
pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae,
Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.

Pengobatan. Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah


penyakit semakin berat. Pasien disarankan minum air lebih dari
biasanya. Gejala-gejalanya dapat diatasi dengan pemberian
antihistamin dan dekongenstan. Analgesikberguna untuk
mengatasi sakit kepala, demam dan myalgia. Analgesik yang
tidak mengandung aspirin lebih dianjurkan karena aspirin dapat
menyebabkan virus semakin berkembang biak. Antibiotik
diberikan bila terdapat infeksi sekunder bakteri.

Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-


limiting) dan membaik secara spontan setelah 2-3 minggu,
tetapi kadang-kadang, komplikasi seperti sinusitis, faringitis,
tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan otitis media dapat terjadi.

 Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda
dan gejalanya mirip denagn common cold. Komplikasi
sehubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.

 Rinitis Eksantematous

Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan


dengan rinitis, dimana didahului dengan eksantemanya sekita
2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai
dan lebih berat.

2. Rinitis Bakteri

Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:

 Infeksi Non-spesifik

Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun


sekunder.

Rinitis bakteri primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat


dari infeksi pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus.
Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di
rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan
pendarahan.

Rinitis bakteri sekunder. Merupakan akibat dari infeksi bakteri


pada rinitis viral akut

 Rinitis difteri

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.


Rinitis difteri dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder
pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut atau
kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada
penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan
program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis akut
ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada
paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang
bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup
konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya
lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi
berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas
dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin
sistemik, dan antitoksin difteri.

3. Rinitis Iritan

Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau
gas yang bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-
lain. Atau bisa juga disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa
hidung selama masa manipulasi intranasal,contohnya pada
pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang
terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya
dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat
menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.
Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang
terjadi karenanya.

Tanda dan Gejala

Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit
dibedakan antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan
terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen. Mukosa hidung
dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya
diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit
kepala.

Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat


disertai sakit pada otot. Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi
sebelum tanda karekteristik atau ruam muncul. Ingus yang sangat
banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis iritan.

Diagnosis

Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya.


Walaupun pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama,
tetapi terdapat juga beberapa karekteristik yang khas membedakannya.
Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan kuman dari secret hidung.

Terapi dan Pencegahan

Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri


secara spontan setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya
terapi yang diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik,
antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai dengan
istirehat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila
terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik
perlu diberikan.

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis


akut adalah dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
Dengan begitu dapat terbentuknya system imuitas yang optimal yang
dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirehat yang
cukup, mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga
yang teraturjuga baik untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu,
mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan, seperti
vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.

RINITIS KRONIK

1. Rhinitis Hipertrofi
Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang
dalam hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi
dan vasomotor.

Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya
banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala.
Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol
ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.

Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab
timbulnya rhinitis hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat
kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan
kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.

2. Rhinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its lmpact
on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
lg E.

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang


dengan tahap sensitisani dan diikuti dengan tahap provokasi/rea
alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi
Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap
sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel
penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas ll membentuk komplek
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipersentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian
sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1
dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin IL 3, IL 4,
IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor lg E di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke
dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang suda terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia berrbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukoterin D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Face Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung
saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung da
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mokusa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Celluler Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan menyelepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil
dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti
sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF)
dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif
atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi
oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi.

Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh


darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan.
Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Bedasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara
pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D.
Pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis) kecoa, serpihan
epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan
(Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa
makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut,
udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ


sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau
debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis
alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respons primer:
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag).
Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai
disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder:
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3
kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral
atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap,
tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersentitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin
(delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringn yang banyak
dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam


berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di
Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada
di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah pollinosis.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada
penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan,
terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor)
contoh: tungau dan alergen diluar rumah (outdoor).
Alergen ingestan sering merupakan penyebab padda anak-
anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain,
seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena
lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang): bil gejala kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan
lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rinitis alergi


dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja
dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diatas.

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan


tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis
dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan
pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,


berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi.Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung
tangan. Keadaan ini dengan disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang didorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lekung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkab gangguan pertumbuhan gigi-
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).

3. Pemeriksaan penunjang :

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau


meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtiaria. Pemeriksaan berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung dari
sekret hidung atau kerokan mukosa walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara


pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET, SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini
banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional
Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu 2 mingggu. Karena itu pada "Challenge Test", makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama
5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari


kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1
sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah
azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H- 1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek
pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi
secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloraloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik
alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah
sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan
epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,
obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti lgE, DNA
rekombinan.

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
erat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan


gejala yang berat dan sudah berlangsung lama, serta
dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan
IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sub-lingual.

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:


1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip
hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif,terutama pada anak-anak.
3. Rinosinusitis.

3. Rhinitis Vasomotor
Definisi

Rhinitis Vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang di


diagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan
hormonal, dan pajanan obat.

Etiologi dan patofisiologi

1. Neurogenic (disfungsi sistem otonom)


Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis
segmen Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah
mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptide Y
yang menyebaban vasokontriksi dan penurunan sekresi
hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang
menyebabkan peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 24 jam. Keadaan ini disebut sebagai
“siklus nasi”. Dengan adanya siklus ini seseorang akan
mampu untuk bernafas dengan tetap normal melalui rongga
hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nucleus salivatori
superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk
n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan
terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi
pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan fase aktif intestinal
peptide yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
fase dilatasi sehingga terjadi kongesti hidung. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan.
Rhinitis vasomotor diduga sebagai ketidakseimbangan
impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
aktivitas parasimpatis yang berlebihan.

2. Neuropeptide
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf
sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal
saraf sensoris ini diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptide seperti subtanceP dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskuler dan sekresi kelenjar sehingga terjadi hiper-
reaktifitas hidung.

3. Nitric oksida
Kadar nitric oksida (NO) yang tinggi dan persisten
di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non
spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel.
Akibatnya terjadi terjadi peningkatan reaktifitas serabut
trigeminal dan rekruitmen refleks vascular dan kelenjar
mukosa hidung.

4. Trauma
Rhinitis vasomotor merupakan komplikasi jangka
panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenic
atau neuropeptida

Gejala Klinik

Gejala sering muncul oleh rangsangan non spesifik seperti


asap rokok, udara dingin, perubahan suhu ekstrim, alcohol, bau
menyengat, kelembaban, dan stress/emosi. Gejala yang dialami
mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan ialah
hidung tersumbat, bergantian antara kanan dan kiri bergantung
posisi tubuh, rinore mucoid atau serosa, dan jarang disertai
gejala mata.

Berdasarkan gejala dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

 Bersin (sneezers)
Memberikan respon baik pada terapi antihistamin
dan glukokortikosteroid tropical.
 Rinore (runners)
Diatasi dengan pemberian anti kolinergik tropical.
 Tersumbat (blockers)
Kongesti dapat diatasi dengan terapi
glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.

Diagnosis

Umumnya ditegakkan dengan eklusi yaitu menyingkirkan


dugaan adanya rhinitis alergi, infeksi, okupasi, hormonal, dan
akibat obat melalui anamnesis.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapat hasil berupa


edema pada mukosa hidung, konka berwarna merah gelap
tetapi dapat pula pucat, permukaan konka dapat licin atau
berbenjol-benjol (hipertrofi), rongga hidung terdapat secret
mucoid sedikit atau serosa tetapi banyak.

Pada pemeriksaan laboratorium didapat hasil untuk


menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi yaitu ditemukannya
eosinophilia pada secret dengan jumlah sedikit, tes cukit kulit
negative, dan kadar IgE spesifik tidak meningkat.
Penatalaksaan

 Menhindari stimulus/ faktor pencetus.


 Pengobatan simptomatis, dengan dekongestan oral, cuci
hidung dengan larutan garam fisiologis,
kauterisasikonka hipertrofi dengan AgNO3 25%atau
triklor-asetat.
 Operasi, dengan cara bedah beku, elektro kauter,
konkotomi parsial.
 Neurektomi n.vidianus, pemotongan pada n.Vidianus

Prognosis

Pengobatan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore,


karena rinore sangat mirip dengan vasomotor sehingga harus
dibedakan.

4. Rhinitis Medikamentosa
Definisi

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan dimana


gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan
pemakaian vasokonstriktor tropical (tetes hidung atau semprot
hidung) yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama,
sehingga sumbatan hidung menjadi menetap.

Patofisiologi

Mukosa hidung sangat peka terhadap rangsangan dan


iritan. Obat vasokontriksi tropical yang dikonsumsi secara
berlebihan akan mengganggu sistem siklus nasi dan akan
berfungsi normal jika obatnya dihentikan.

Pemakaian obat ini akan menyebabkan terjadinya fase


dilatasi berulang. Kadar agonis alfa-adregenikdi pembuluh
darah. Aktivitas saraf simpatis akan menyebabkan
vasokontriksi.

Berikut adalah kerusakan dalam pemakaian obat:

 Silia rusak
 Sel goblet berubah ukurannya,
 membrane basal menebal
 pembuluh darah melebar
 edema
 hipersekresi mucus dan perubahan Ph secret
hidung
 lapisan periosteum meninggal
Gelaja Dan Tanda
hidung tersumbat dengan edema atau hipertrofi
gempa juga ada

Penatalaksaan
 hentikan pemakaian obat tetes atau semprot
vasokontriktor hidung.
 Untuk mengataasi berulang, dapat diberikan
kortikosteroidoral dosis tinggi dan jangka
panjang
 Obat dekongestan oral

5. Rhinitis Atrofi
Definisi

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik yang


ditandai adanya atrofi progresif mukosa hidung dan tulang
konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan secret yang
kental dan cepat mongering sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk.

Wanita lebih sering terkena, dan biasanya berusia


muda. Sering ditemukan pada masyarakat yang tingkat
sosialnya rendah, serta sanitasi lingkungan yang buruk.

Pada pemeriksaan metaplasia epitel silindris bersilia


menjadi epitel kubis atau gepeng berlapis, silia menghilang,
lapisan submucosa menipis, dan kelenjar-kelenjar
berdegenerasi atau atrofi.

Etiologi

 Infeksi kuman spesifik. Yang sering ditemukan seperti


Klebsiella ozaena. Kuman lain yang di temukan adalah
Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas
aeruginosa.
 Defisiensi Fe
 Defisiensi vitamin A
 Sinusitis kronik
 Kelainan hormonal
 Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun

Gejala dan tanda klinis

Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ingus kental


berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, gangguan penghidu,
sakit kepala, dan hidung tersumbat.

Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung


yang sangat lapang, konka inferior dan media menjadihipotrofi
atau atrofi, ada secret purulent dan krusta.
Pemeriksaan penunjang untuk meningkatkan diagnosis
adalah pemeriksan histopatologi dari biopsy konka media,
pemeriksaan mikrobiologi, uji resistensi kuman dan CT scan
sinus paranasal.

Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk menangani etiologi dan


menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan bersifat
konserveratif dan operatif

Pengobatan konserveratif yaitu dengan diberikan


antibiotic berspektrum luas atau sesuai dengan uji resisten
kuman. Lama pengobatan bervariasi tergantung hiangnya tanda
klinis berupa secret purulent kehijauan.

Menghilangkan bau busuk akibat proses infeksi serta


secret purulent dan krusta, dapat menggunakan obat cuci
hidung dengan menggunakan larutan garam hipertonik.

R/
NaCl
Na4Cl
NaHCO3
Aqua
Larutan ini harus dicampurkan dengan perbandingan 1
sendok makan larutan dan 9 sendok air hangat. Larutan dihirup
dimasukkan rongga hidung, dihembuskan lagi kuat-kuat, yang
masuk nasofaring dikeluarkan melalui mulut, diakukan 2 kali
sehari. Jika sulit mendapat larutan diatas dapat diganti dengan
100cc air hangat dan 15cc betadine. Dapat juga diberikan
vitamin A 3x50.000 unit.
Pengobatan operatif dilakukan jika pengobatan
konserveratif tidak ada perbaikan, sehingga dilakukan tindakan
operasi. Teknik operasi nya yaitu dengan penutupan lubang
hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi.
Tndakan ini diharapkan mengurangi turbulensi udara,
pengeringan secret, pengurangan inflamasi mukosa, sehingga
mukosa kembali normal. Penutupan hidung dilakukan pada
nares anterior atau koana selama 2 tahun. Selain itu, juga bisa
dilakukan pembedahan sinus endoskopik fungsional, dengan
pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami
osteomyelitis. Diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi
dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi
mukosa.

B. Sinusitis
1. Sinusitis Akut
 Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus ethmoidalis dan
maxillaris, sedangkan sinus frontalis jarang terkena, dan sinus
sphenoidalis lebih jarang lagi.
Sinus maxillaris disebut juga antrum Highmore, karena
letaknya yang dekat dengan akar gigi rahang atas. Hal itu
menyebabkan infeksi gigi mudah menyebar ke sinus maxillaris,
yang disebut dengan Sinusitis Dentogen. Sinusitis dapat menjadi
berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang
sulit diobati.
 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis
hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan
merokok.

 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium
sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek
osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami
oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu.
Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai
sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan.
Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam
sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan
multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang
disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut,
akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin
berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari
mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Pada keadaan ini diperlukan tindakan operasi.

 Gejala
 Hidung tersumbat disertai nyeri pada muka dan ingus purulen
yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip)
 Nyeri pada daerah sinus yang terkena (ciri khas sinusitis akut)
 Referred pain, misalnya:
Nyeri pipi  sinus maksila
Nyeri di antara/di belakang kedua bola mata  sinus edhmoid
Nyeri di dahi  sinus frontal
 Gejala lain: sakit kepala, hiposmia/anosmia, batuk.

 Diagnosis
 Rinoskopi anterior
Mukosa merah, udim
Mukopus di meatus nasi medius (tidak selalu)
 Adanya nyeri tekan pada sisi yang sakit
 Transiluminasi : kesuraman pada sisi yang sakit
 CT Scan  gold standard diagnosis sinusitis  mahal
 Foto posisi waters, PA, dan lateral  umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus yang besar-besar
 Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi  untuk
mengambil sekret dari meatus media untuk mendapatkan
antibiotik tepat guna
 Sinoskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial
sinus maksila, melalui meatus inferior
 Tata Laksana
 Terapi medikamentosa berupa antibiotic selama 10-14 hari,
namun diperpanjang sampai gejala hilang. Jika dalam 48-72
jam tidak ada perubahan klinis, diganti dengan antibiotik untuk
kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin
atau ampisilin yang dikombinasi dengan asam klavunat
 Pemberian dekongestan untuk memperlancar drainase sinus.
Dapat diberikan sistemik maupun topical. Pemberian secara
topical harus dibatasi yaitu selama 5 hari untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa

 Pemeriksaan
 Laboratorium
 Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat
membantu diagnosis sinusitis akut
 Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada
sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada pasien
immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang
tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang
disebabkan sinusitis.
 Imaging
 Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa,
air-fluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris,
dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui
adanya abses gigi.
 CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis
sinusitis akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87%
pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%
pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk luas dan beratnya sinusitis.
 MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada
jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai
yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.

 Komplikasi
 Kelainan orbita
 Kelainan intrakranial
 Osteomielitis dan abses superiostal
 Kelainan paru

 Prognosis
Prognosis pada sinusitis akut baik apabila tidak terjadi
infeksi sekunder. Apabila hanya mencapai infeksi primer, maka
sinusitis dapat sembuh dengan sendirinya.

2. Sinusitis Dentogen
 Definisi
Infeksi sinus maksila yang disebabkan oleh infeksi gigi
rahang atas. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab
penting sinusitis kronik.

 Etiologi
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar
gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan
oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal
akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar
secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah limfe.
 Diagnosa
- Sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
- Ingus purulen
- Napas berbau busuk
 Penatalaksanaan
- Gigi yang trinfeksi harus dicabut/dirawat
- Pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob
- Irigasi sinus maksila

C. Influenza
 Definisi
Merupakan suatu penyakit akut saluran pernapasan
terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit tenggorok dan batuk
non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya
sembuh sendiri.

 Etiologi
Virus yang
menyebabkan
influenza merupakan
suatu Ortomyxovirus
golongan RNA dan
berdasarkan
namanya sudah jelas
bahwa virus ini
mempunyai afinitas
untuk myxoataumusin. Struktur antigenic virus Influenza meliputi
antara lain 3 bagian utama berupa: antigen S (Soluble antigen),
hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S merupakan suatu inti
partikel virus yang terdiri atas ribonukleoprotein. Antigen ini
spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin menonjol keluar
dari selubung virus dan memegang peran imunitas terhadap virus.
Neuraminidase juga menonjol keluar dari selubung virus dan hanya
memegang peran yang minim pada imunitas. Selubung inti virus
berlapis matriks protein sebelah dalam dan membrane lemak di
sebelah luarnya.

 Patogenesis
Transmisi influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya
di traktus respiratorius. Penularan bergantung dosis virus. Virus
akan melekat pada sel epitel di hidung dan bronkus. Setelah virus
berhasil menerobos masuk ke dalam sel, dalam beberapa jam
sudah mengalami replikasi. Kemudian partikel-partikel virus baru
ini kemuadian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan
langsung dapat meninggalkan sel untuk meninggalkan sel lain.
Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat
efek pirogen lipopolisakarida kuman gram negative.

 Gambaran Klinis
Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit
otot, batuk, pilek, dan kadang-kadang sakit waktu menelan dan
suara serak. Gejala ini dapat didahului perasaan malas dan rasa
dingin. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan hiperemi ringan
hingga berat pada selaput lender tenggorok. Gejala akut ini dapat
berlangsung untuk beberapa hari dengan gejala spontan. Setelah
episode sakit ini, dapat dialami rasa capek dan cepat lelah untuk
beberapa waktu.
 Diagnosis
 Diagnosis berdasarkan gejala yang dialami pasien.
 Diagnosis pasti dapat dilakukan isolasi virus maupun melalui
pemeriksaan serologis.
 Diagnosis cepat lainnya dapat diperoleh dengan antibody
fluoresen yang khusus tersedia tipe virus influenza A.
 PCR dan RT-PRC sangat berguna untuk diagnose yang dapat
pula menyerang saluran nafas antara lain adeno-virus,
parainfluenza, enterovirus.

 Penatalaksanaan
 Pasien dapat diobati secara simtomatik (analgesik, antipiretik,
dekongestan, mukolitik)
 Obat oseltamivir 2x75 mg sehari selama 5 hari akan
memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan
antimikroba untuk infeksi sekunder.

D. Faringitis
1. Faringitis Akut
 Definisi
Adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas
ke jaringan sekitarnya, biasanya timbul bersama dengan
tonsillitis, rhinitis, dan laryngitis.
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring
dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup
mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian
dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring

 Etiologi
 Bakteri streptococcus pyogenes (streptococcus group A
hemoliticus)
 Streptokokus group C
 Corynebacteria diphteriae
 Neisseria gonorrhoe
 Non bakteri misalnya adenovirus, influenza virus,
parainfluenza, rhinovirus, RSV, echovirus, coxsackievirus,
herpes simplex virus, EBV,dll.
 Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab
common cold, flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV (40-
60%).
 Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus
grup A, korine bakterium, arkano bakterium, Neisseria
gonorrhoeae atau Chlamydia pneumonia (5-40%).
 Bisa juga karena alergi, toksin, dan trauma.

 Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula - mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh
darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-
bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke
lateral, menjadi meradang dan membengkak.
 Gejala
 Demam tiba-tiba
 Faring, palatum, tonsil berwarna merah dan bengkak
 Nyeri tenggorokan
 Terdapat eksudat purulen
 Nyeri telan
 Leukositosis dan dominasi neutrofil
 Adenopati servikal
 Malaise
 Mual
Khusus untuk Faringitis oleh streptokokus :

 Demam tiba2
 Sakit kepala
 Anoreksia
 Nyeri tenggorokan
 Nyeri abdomen
 Rash/urtikaria
 Tonsillitis eksudatif
 Muntah
 Adenopati servical anterior
 Malaise
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus
maupun bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi
karena bakteri.

FARINGITIS VIRUS FARINGITIS BAKTERI

Biasanya tidak ditemukan nanah di Sering ditemukan nanah di


tenggorokan tenggorokan

Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau agak Jumlah sel darah putih normal sampai
meningkat sedang

Kelenjar getah bening normal atau Pembengkakan ringan sampai sedang


sedikit membesar pada kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan hasil Tes apus tenggorokan memberikan


negative hasil positif untuk strep throat

Pada biakan di laboratorium tidak Pada biakan di laboratorium tumbuh


tumbuh bakteri bakteri

 Pemeriksaan
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah
streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut.
Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-
tanda serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali
sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk
lainnya.
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan
awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise,
penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada
tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan
dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai
terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan
mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis
juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun,
peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-
kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin
terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring.
Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar
limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari
eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan
oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal
akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri
tekan atau tidak.
Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini
tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena.
Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu
jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel
polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering
ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah
leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan
penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh
masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya
tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit
lainnya jarang ditemukan.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih
dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit
kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala
tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat
mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu
tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah
keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa
sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran
kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa
nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit
hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para
penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita
mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus
kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati
servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus
kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung
hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap
dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling
mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang
disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-
kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau
tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-
gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang
disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan
dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis
yang disebabkan oleh virus4.Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan
suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan
streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak
lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada
diagnosis infeksi virus.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode
yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus
dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar
streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur
tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain
seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin
hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti
pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara
keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
leukositosis.
 Anamnesa
- Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri
menelan di bagian tengah tenggorok.
- Demam, sakit kepala, malaise.
 Pemeriksaan
Tampak folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior atau terletak lebih lateral menjadi radang dan
membengkak. Tampak hiperemi, serta sekresi mucus
meningkat.

 Tata laksana
 Untuk mengurangi nyeri tenggorokan diberikan obat pereda
nyeri (analgetik).
 Obat hisap atau berkumur dengan larutan garam hangat.
 Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan remaja
yang berusia dibawah 18 tahun karena bisa menyebabkan
sindroma Reye.
 Jika diduga penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik.
Untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (misalnya
demam rematik).
 Jika penyebabnya streptokokus, diberikan tablet penicillin.
Jika penderita memiliki alergi terhadap penicillin bisa diganti
dengan erythromycin atau antibiotik lainnya.
 Anti panas bila penderita panas
 Makanan lembek, panas & pedas dilarang

 Komplikasi
 Sinusitis
 Otitis media
 Mastoidis
 Abses Peritonsilar
 Demam rematik
 Glomerulonefritis
 Komplikasi terpenting yaitu Deman Rematik (DR).
Merupakan penyakit peradangan akut yang menindak lanjuti
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan
dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada
anak dan dewasa muda.

E. Tonsilitis
 Definisi
Tonsilitis adalah proses inflamasi atau peradangan di bagian
tonsil yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Hal ini
menyebabkan tonsil menjadi edema (bengkak) dan berwarna
merah.
Klasifikasi tonsillitis terdiri atas:
a. Tonsillitis akut : peradangan tonsil yang diakibatkan infeksi
bakteri maupun virus.
b. Tonsillitis membranosa : radang akut tonsil disertai
pembentukan selaput atau membrane pada permukaan tonsil
yang dapat meluas kesekitarnya.
c. Tonsillitis kronis : peradangan tonsil yang bersifat menahun.

 Etiologi
Tonsillitis dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.
Penyebab tonsillitis viral terdiri atas:
a. Herpes simplex virus
b. Epstein barr virus (EBV)
c. Cytomegalovirus
d. Adenovirus
e. Measless virus
Sebuah studi mengatakan bahwa kausa paling sering pada
kasus tonsillitis viral adalah EBV. Hampir 19% kasus tonsillitis
pada anak-anak diakibatkan oleh EBV. Kasus tonsillitis akibat
bakteri paling sering disebabkan oleh Group A Streptococcus β-
Hemolytic (GABHS) seperti Streptococcus pyogene. Bakteri
anaerob juga sering menyebabkan tonsillitis.
 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Tonsil berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun
virus yang masuk dan membentuk antibody terhadap infeksi.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsillitis akut
dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya
sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39C-40C). Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila
penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang
tinggi terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan
terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum
ada imunitas maka akan terjadi penyakit (Arwin, 2010). Sistem
imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga
membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan
(Sterwood, 2001).
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang
yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar
N,1993).
Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
radang berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta
terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang
mati, dan epitel yang lepas.
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah,2003 bahwa
adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh
dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun.
Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).

 Gejala dan Tanda


1. Nyeri tenggorokan
2. Tonsil hyperemia
3. Tonsil diselimuti oleh lapisan berwarna putih atau kuning
4. Suara serak
5. Sakit kepala
6. Kehilangan nafsu makan
7. Sakit telinga
8. Kesulitan menelan atau bernafas melalui mulut
9. Edema kelenjar di leher
10. Demam
11. Nafas bau (halitosis)
12. Mual, muantah (pada anak)
13. Nyeri abdomen (pada anak)

 Diagnosis dan Pemeriksaaan Penunjang


Dari pemeriksaan dapat dijumpai:
Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat
bertemu di tengah. Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan
pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio
tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara
pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil,
T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75% (Brodsky,
2006). Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran
tonsil atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼
jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak
pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula. T3: batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993). Penelitian
yang dilakukan di Denizli Turkey dari 1.784 anak sekolah usia 4-
17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni T1: 1.119
(62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2 (0,1%) (Akcay,
2006). 2.6.2 Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada
permukaan medial tonsil (Dhingra, 2008)
Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus
atau material menyerupai keju (Dhingra, 2008).
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan
mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan
infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2008).
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda
klinis dengan hasil pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa
tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah
kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan
tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada
seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran
kelenjar limfe submandibula (Primara, 1999). Disebutkan dalam
penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di
tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun,
palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai
dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta
tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
(Dass, 1988).
Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis
terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan
fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita (Kurien, 2000).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
a. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan
infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau
penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009).
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi,
didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan
swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat
dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan
yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus
( Kurien, 2000).
b. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di
Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi
ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis
(Ugras, 2008).

 Tata Laksana
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S, 2006 :
 Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral
(melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan
menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
 Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
- Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun
dalam kurun waktu 2 tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun
dalam kurunwaktu 3 tahun.
- Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian
antibiotik.

Menurut Mansjoer, A (1999) penatalaksanan tonsillitis akut adalah


:
- Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari
dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila
alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
- Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan
obat simptomatik.
- Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk
menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau
sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
- Pemberian antipiretik.

Menurut Fahrun Nur 2009, penatalaksanaan tonsilitis akut


dengan memperbaiki higiene mulut, pemberian antibiotika
spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B kompleks.
Pada beberapa penelitian menganjurkan pemberian antibiotik lebih
dari 5 hari. Pemberian antibiotik secepatnya akan mengurangi
gejala dan tanda lebih cepat. Meskipun demikian, tanpa antibiotik,
demam dan gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari. Pada
demam rematik, gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari.
Pada demam rematik, gejala dapat bertahan sampai 9 hari selama
pemberian terapi (Brook, 2008).
Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik
lini pertama untuk tonsilitis akut yang disebabkan bakteri Group A
Streptococcus B hemoliticus (GABHS). Walaupun pada kultur
GABHS tidak dijumpai, antibiotic tetap diperlukan untuk
mengurangi gejala. Jika dalam 48 jam gejala tidak berkurang atau
dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik dilanjutkan dengan
amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari (Christoper, Linda
2006; Current, 2007).
Pada tonsillitis kronik dilakukan terapi lokal untuk hygiene
mulut dengan obat kumur / hisap dan terapi radikal dengan
tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil. Mansjoer, A (1999).
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor
karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi
dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi
sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit (Wanri
A, 2007).

F. Deviasi Septum
 Definisi
Merupakan suatu kelainan dari bentuk hidung yang tidak
lurus sempurna digaris tengah. Bentuk septum normal ialah lurus
di tengah rongga hidung( garis medial tubuh). Deviasi septum yang
ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi. Septum nasi berfungsi sebagai penopang batang
hidung (dorsum nasi).

 Etiologi
 Trauma masa kehamilan, berlangsung saat masa kehamilan
ataupun setelah melahirkan.
 Ketidakseimbangan pertumbuhan, dapat membuat tulang sekat
hidung (septum) tumbuh dengan tidak sempurna seperti
bengkok, sebab pertumbungan tulang hidung tidak sesuai
dengan bentuk hidung sehingga penyebabkan kesulitan
bernafas
 Trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang
abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma
sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan
antara septum dan palatum juga menjadi penyebab adanya
deviasi septum nasi.
Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah
lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak
langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau
sabuk pengaman ketika berkendara.

 Gejala
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah
sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral,
sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri dikepala
dan disekitar mata. Selain dari itu penciuman bisa terganggu
apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis.

 Klasifikasi
Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak
deviasi, yaitu:

 Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran


udara.
 Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran
udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang
bermakna.
 Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan
turbinasi tengah).
 Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke
sisi lainnya).
 Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum,
sementara di sisi lain masih normal.
 Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-
ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.

 Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Bentuk Deformitas dari deviasi septum nasi ialah :

 Deviasi biasanya berbentuk S atau C


 Dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari
Krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung
 Penonjolan tulang dari tulang rawan septum, bila
memangjang dari depan belakang disebut Krista . bila
runcing dan pipih disebut spina.
 Bila deviasi atau Krista septum bertemu dan melekat
dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Dapat
menambah beratnya obstruksi

 Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan Penunjang :
 radiologi untuk memastikan diagnosis.
 rinoskopi anterior, untuk melihat penonjolan septum ke
arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi
ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.

 Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding adalah sejumlah keadaan yang
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat kronik
diantaranya pembesaran mukosa hidung, rinitis alergi kronik, risitis
kronik vasomotor, polip hidung, sinusitis kronik, atresia koana,
adenoiditis kronik, dan deformitas hidung yang terkait dengan
trauma.
 Tata Laksana
 Analgesik : digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
 Dekongestan :digunakan untuk mengurangi sekresi cairan
hidung.
 Pembedahan
Reseksi submukosa (SMR. Submucosa Resection)

Pada operasi ini muko perikondrium dan mukoperiostium


kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum.
Bagian tulang atau tulang rawan dari eptum kemudian
diangkat, sehingga muoperikondrium dan mukoperiostium sisi
kiri kanan akan langsung bertemu digaris tengah. Reaksi
submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadninya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung.
Oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak
diangkat.

Septoplasti atau reposisi septum

Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya


bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara
operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul
pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana.

 Komplikasi
 Sinusitis, karena terjadi penyumbatan ostium
 Infeksi telinga, karena hidung memiliki hubungan dengan telinga
 Sumbatan jalan nafas, karena sekat tulang hidung yang tidak
lurus, pembelokan sekat tulang hidup menutupi sebagian lubang
hidung sehingga penderita deviasi septum nasal menjadi susah
bernafas karena adanya sumbatan atau terhalang sekat tulang
hidung.
 Polip karena ruang hidung sempit.

 Prognosis
Mengarah baik bila penanganan dilakukan pada waktu dan
teknik yang tepat, tetapi bila terlambat dan sudah terjadi
komplikasi maka prognosis mengarah menjadi buruk. Prognosis
pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik.
dan pasien dalam 10 – 20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.

G. Polip
 Definisi
Adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa.

 Etiologi
Dulu diduga predisposisi polip nasi ialah rinitis alergi atau
penyakit atopi. Tetapi makin banyak penelitian yang
mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui
dengan pasti.

 Gejala dan Diagnosis


1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung terasa
tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia.Mungkin disertai
bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala
bagian frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati
post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat
timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Dapat menyebabkan gejala padasaluran nafas bawah,
berupa batuk kronik dan mengi, terutama penderita polip nasi
dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rinitis alergi,
asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat atau makanan
lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung
luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang
hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai
massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997),
stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2 :
polip sudah keluar dari meatu medius, tampak di rongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3 : polip yang
masif.

 Talaks
1. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi.
Dapat diberikan topikal atau sitemik.
2. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa
atau polip masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar
polip atau cunam dengan analgesik lokal, etmoidektomi
intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.Yang terbaik adalah
apabila tersedia endoskop maka dapat dilakukan tindakan
BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).

H. Laringitis
 Definisi
Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada laring
(letak pita suara di tenggorokan). Penderita laringitis umumnya
akan mengalami gejala-gejala, seperti nyeri tenggorokan, batuk-
batuk, demam, sulit bicara, suara yang dikeluarkan serak, atau
bahkan kehilangan suara sama sekali.

 Etiologi
Terjadinya radang atau pembengkakan pada laring bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Kerusakan pada pita suara karena adanya percepatan vibrasi


pada organ tersebut yang melebihi batas ketahanan, misalnya
akibat penderita berteriak terlalu keras atau bernyanyi dengan
suara yang tinggi. Selain itu, kerusakan pita suara juga dapat
terjadi akibat batuk berkepanjangan dan trauma saat penderita
melakukan aktivitas fisik atau trauma akibat kecelakaan.

2. Infeksi virus, bakteri, dan jamur. Virus yang umum


menyebabkan laringitis adalah virus flu dan pilek, dari golongan
bakteri salah satunya adalah bakteri penyakit difteria, dan dari
jenis jamur salah satunya adalah Candida yang juga
menyebabkan penyakit sariawan. Infeksi jamur dan bakteri pada
kasus laringitis sebenarnya jarang terjadi dibandingkan infeksi
virus. Biasanya infeksi jamur rentan dialami oleh orang-orang
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya
akibat efek samping obat steroid, kemoterapi, atau akibat
penyakit HIV/AIDS.
3. Reaksi alergi terhadap suatu zat kimia atau paparan debu.

4. Naiknya asam lambung ke tenggorokan lewat kerongkongan


pada kasus penyakit refluks gastroesofageal atau GERD. Jika
asam lambung mencapai tenggorokan maka risiko untuk
terjadinya iritasi laring cukup tinggi.

5. Mengering dan teriritasinya laring akibat merokok dan konsumsi


minuman beralkohol. Sama seperti kasus GERD, peluang
terjadinya infeksi pada laring yang teriritasi juga cukup tinggi.

 Diagnosis
Dalam mendiagnosis laringitis, dokter akan terlebih dahulu
melihat gejala yang dirasakan oleh pasien. Gejala laringitis yang
paling mudah dideteksi adalah suara yang berubah menjadi serak
atau bahkan hilang sama sekali. Untuk lebih memastikan bahwa
telah terjadi iritasi atau kerusakan pada pita suara, sebuah
pemeriksaan yang disebut laringoskopi dapat dilakukan.

Metode yang biasanya dilakukan oleh dokter spesialis


telinga hidung tenggorokan atau disingkat THT ini menggunakan
sebuah endoskopi yang dimasukkan ke mulut atau hidung pasien.
Endoskopi merupakan sebuah alat khusus berbentuk selang yang
dilengkapi lampu dan kamera di ujungnya. Jika ternyata pita suara
memang mengalami peradangan, maka metode diagnosis
berikutnya yang disebut biopsi bisa dilakukan. Melalui metode ini,
dokter akan mengambil sampel jaringan pita suara untuk diperiksa
di laboratorium guna mengetahui penyebab dasar terjadinya
laringitis.

 Tata Laksana
Sebenarnya kebanyakan kasus laringitis bisa pulih tanpa
menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu hingga satu
minggu. Tujuan pengobatan biasanya untuk mempercepat
kesembuhan dan meminimalisasi gejala yang mengganggu,
misalnya nyeri.

I. Abses Peritonsil
 Definisi
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut
yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar
antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsi. Infeksi
ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses
peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.

 Epidemiologi
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia
20 sampai 40 tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali yang
mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh, tetapi pada anak
infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas.
Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan
perempuan. Pada umumnya infeksi di bagian kepala leher terjadi
pada orang dewasa. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per
100.000 orang/ tahun. insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500
populasi atau 30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di
Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan
rata-rata usia 26.4 tahun

 Gejala Klinis
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke
arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar
3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis
berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan
yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa
nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual.
Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin
mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.
Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya
berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai
nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi
meluas
mengenai otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan
berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.

 Diagnosis
Anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah
yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis
yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Pemeriksaan
secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.
Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.
Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke
arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra
lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama
adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan
radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi
komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis
abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan
sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral
hypoechoic.

 Diagnosis Banding
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap
pembengkakan pada daerah peritonsilar harus dipertimbangkan
penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis banding.
Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing, tumor /
keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis
servikal, aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-
kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui
pemeriksaan darah, biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain.

 Tata Laksana
Penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial.
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah
insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi
beberapa minggu kemudian.

J. Difteri
 Definisi
Suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada
mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae.

 Etiologi
Bakteri basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan
Corynebacterium ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya
eksudat berbentuk membrane padat empat infeksi dan diikuti gejala
umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri
ini.
 Patogenesis
Pasien yang terinfeksi bakteri C.diphteriae dapat
menularkan langsung melalui droplet pernapasan dan secret
nasofaring dan secara tidak lansung melalui debu, baju ataupun
benda yang terkontaminasi.
Bakteri biasanya masuk melewati saluran pernapasan
bagian atas, tetapi dapat melalui kulit, saluran genital dan mata.
Permukaan sel C.diphteriae mempunyai 3 struktur pilus yang
berbeda, Kepekaan terhadap sel epitel pernapasan dapat sangat
berkurang dengan menghalangi produksi dari dua pili kecil atau
dengan menggunakan antibody yang diarahkan terhadap mereka.
C.diphteriae dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel epitel
mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang
ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Bakteri ini
kemudian menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan inflamasi
local, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis. Pada
daerah nekrosis akan terbentuk fibrin, yang kemudian diinfiltrasi
oleh sel darah putih akibatnya terbentuk patchy eksudat yang pada
awalnya dapat terkelupas. Namun pada keadaan lebih lanjut akan
terbentuk eksudat fibrosa yang lebih luas.
Toksin dari bakteri ini dapat menyerang jantung, ginjal, dan
saraf perifer. Pada jantung terjadi pembesaran karena miokarditis,
ginjal membengkak karena perubahan jaringan intersisiel. Pada
saraf perifer terjadi perubahan degenerative lemak dan selubung
noduler.

 GejaladanTanda
 Demam (Jarang>103 F) dan kadang-kadang menggigil.
 Malaise
 Sakit tenggorokan
 Sakit kepala
 Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan
pseudomembran
 Surara serak, disfagia
 Dispnea, stridor pernapasan, mengi, batuk

 Diagnosis
 Untuk menegakkan diagnosis C.diphteriae adalah dengan
mengisolasi bakteri dalam media kultur atau mengidentifikasi
toksinnya.
 Diagnose awal cepat dapat dilakukan dengan pewarnaan gram
dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif,
tidak berkapsul, berkelompok dan tidak bergerak.
 Diagnosa definitive dan identifikasi basil C.diphteriae dengan
kultur melalui tellurite atau loefler dengan sampel yang diambil
dari pseudomembran di orofaring, hidung, tonsil kriptus, atau
ulserasi di rongga mulut.
 Pemeriksaan serum terhadap antibodi dapat dilakukan dengan
shick test.
 Metode lain dengan PCR untuk deteksi urutan DNA encoding
subunit A tox + strain pemeriksaan cepat dan sensitive.

 Penatalaksanaan
 Perawatan umum :
o Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan
universal dari risiko penularan melalui droplet serta
membatasi jumlah kontak
o Istirahat di tempat tidur minimal 2-3 minggu.
o Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan
penderita, kebersihan jalan napas dan pembersihan lender.
 Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46
minggu untuk menegakkan diagnosis miokarditis dini.
 Anti-toksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis
ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
bakteriologis, dosis tergantung pada jenis difterinya, tidak
dipengaruhi umur pasiennya. Pemberian harus didahului
dengan uji sensitivitas.
o Difteri nasal/fausial yang ringan diberikan 20.000-40.000 U,
secara intavena dalam waktu 60 menit.
o Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U secara
intravena
o Difteri berat (bull neck diphteriae) diberikan 80.000-120.000
U secara intavena
 Pemberian antibiotik:
o Penisilin procain 1.200.000 unit/hari secara intamuskular, 2x
sehari selama 14 hari.
o Eritromisin: 2 gram perhari secara per oral dengan dosis
terbagi 4x sehari
o Preparat lain yang bias diberikan adalah amoksisilin,
rifampisindan klindamisin.

K. SARS
 Definisi
SARS pertama kali dikenal pada bulan Februari 2003.
Penyebabnya adalah coronavirus. Penyakit dengan gejala infeksi
saluranpernafasan berat disertai dengan gejala saluran pencernaan
yang prosentasenya belum diketahui secara pasti.
Gejala SARS diketahui berupa malaise, mialgia, demam
dan dengan cepat diikuti gejala pernafasan berupa batuk disertai
kesulitan bernafas. Dapat juga disertai dengan diare. Gejala-gejala
ini memberat beberapa hari kemudian disertai dengan viraemia, 10
hari setelah onset.
WHO menetapkan definisi kasus untuk tujuan surveilans
yaitu untuk penderita suspect (diduga) dan probable (mungkin).
Definisi ini didasarkan pada data klinis dan epidemiologis serta
didukung dengan data hasil pemeriksaan laboratorium. Definisi ini
secara berkala diperbaharui mengikuti kemajuan-kemajuan yang
dicapai dalam prosedur diagnostik dimana prosedur ini tersedia
semakin luas.
Definisi penderita suspect (diduga) adalah Demam tinggi (>
380C / 100,40F) disertai dengan batuk atau mengalami kesulitan
bernafas ditambah dengan adanya satu atau lebih riwayat pajanan
dalam 10 hari sebelum timbulnya gejala klinis yaitu :
1. Pernah kontak dekat dengan penderita suspect atau penderita
probable SARS (seperti merawat penderita, tinggal bersama,
menangani sekret atau cairan tubuh penderita);
2. Dan atau adanya riwayat pernah melakukan perjalanan
kedaerah yang sedang terjangkit SARS;
3. Dan atau tinggal didaerah yang sedang terjangkit SARS.
Definisi penderita probable (mungkin) adalah penderita
suspect seperti yang disebutkan diatas disertai dengan :
1. Gambaran radiologis adanya infiltrat pada paru yang konsisten
dengan gejala klinis pneumonia atau Respiratory Distress
Syndrome (RDS) yang ada.
2. Atau ditemukannya coronavirus SARS dengan satu atau lebih
metoda pemeriksaan laboratorium.
3. Atau pada otopsi ditemukan gambaran patologis RDS tanpa
sebab yang jelas.

 Etiologi
SARS disebabkan oleh coronavirus yang pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron sama dengan coronavirus pada
binatang. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu kamar
selama 1 – 2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada
penderita diare.
Virus SARS kehilangan infektivitasnya terhadap berbagai
disinfektan dan bahanbahan fiksasi. Pada pemanasan dengan suhu
540C (132.80F) akan membunuh coronavirus SARS dengan
kecepatan sekitar 10.000 unit per 15 menit.

 Cara Penularan
SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada
waktu merawat penderita, tinggal satu rumah dengan penderita
atau kontak langsung dengan sekret/cairan tubuh dari penderita
suspect atau probable. Diduga cara penyebaran utamanya adalah
melalui percikan (droplets) dan kemungkinan juga melalui pakaian
dan alat-alat yang terkontaminasi. Dilain kesempatan virus diduga
ditularkan melalui media lingkungan yaitu dari saluran limbah
(comberan) yang tercemar bahan infeksius; dengan aerosolisasi
mencemari udara atau secara mekanis dibawa oleh vector. Cara
penularan melalui saluran limbah tercemar ini sedang diteliti secara
retrospective.

 Pemeriksaan Penunjang
1. TES PCR
Untuk menyatakan suatu tes PCR positif untuk SARS
diperlukan paling sedikit 2 spesimen yang berbeda (yaitu
specimen yang diambil dari nasofaring dan tinja).
2. Tes ELISA atau IFA dikatakan positif apabila terjadi
serokonversi dari negatif pada serum darah akut menjadi positif
pada serum darah konvalesens. Atau terjadi peningkatan titer
antibodi sebanyak 4 kali antara serum darah akut dan
konvalesens yang diperiksa secara paralel.
 Cara Pencegahan
1. Lakukan identifikasi segera terhadap semua penderita suspect
dan probable sesuai dengan definisi kasus menurut WHO.
Setiap orang sakit yang datang ke fasilitas kesehatan (RS,
Puskesmas, Klinik di Bandara dan lain-lain) yang akan dinilai
terhadap kemungkinan menderita SARS dimasukkan ke ruang
triage dan disini segera dilakukan pemisahan untuk
mengurangi risiko penularan. Untuk penderita yang masuk
katagori probable segera dipasangi masker, sebaiknya masker
yang dapat menyaring udara ekspirasi untuk mencegah
percikan ludah keudara.
2. Lakukan tindakan isolasi terhadap kasus probable. Setiap
penderita probable harus segera diisolasi dan dirawat dengan
cara dan fasilitas dengan urut-urutan preferensi sebagai berikut
: diisolasi diruangan bertekanan negatif dengan pintu yang
selalu ditutup, kamar tersendiri dengan kamar mandi sendiri,
ditempatkan dalam ruangan kohort pada daerah dengan
ventilasi udara tersendiri dan memiliki system pembuangan
udara (exhaust system) serta kamar mandi sendiri. Apabila
tidak tersedia sistem supply udara tersendiri, maka semua AC
(mesin pendingin udara) dimatikan dan jendela dibuka untuk
mendapakan ventilasi udara yang baik (catatan : jendela harus
yang tidak mengarah ketempat umum).
3. Pelacakan terhadap kontak (contact persons) : yang disebut
kontak secara epidemiologis adalah mereka yang merawat dan
atau tinggal dengan atau mereka yang kontak dengan sekret
saluran nafas, cairan tubuh atau tinja penderita suspect atau
probable SARS.
DAFTAR PUSTAKA

Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Edisi


keenam.Jakarta:EGC
Paulsen F., Waschke J. Ed.23. Sobotta Atlas Manusia. 2012. Jakarta: EGC

https://www.scribd.com/doc/111454488/Referat-Suara-Serak-THT-Ridwan

Soepardi A. E. 2012. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,Edisi ketujuh.


Badan penerbit FKUI:Jakarta
Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University
School of Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-
Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 27 Agustus 2016]

Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and
Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8

Jasmin M. 2013. Anatomi-fisiologi-saluran pernapasan. Diunduh dari


http://documents.tips/documents/patofisiologi-mekanisme-bersin.html.
[diakses pada 28 Agustus 2016]

World Health Organization. Severe acute respiratory syndrome (SARS). Wkly


Epidemiol Rec 2003; 78: 81-3.
Adams, G.L., Boies, L.R., & Higler, P.A. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta:EGC. p:410
Strom, R.A. 2007. Odynophagia. UCLA Departemen Of Medicine.
http://www.med.ucla.edu/modules/wfsection/article.php?articleid=280.
Diakses pada27 Agustus 2016.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32582/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37533/4/Chapter%20II.pdf
emedicine.medscape.com/article/871977-overview#a1
www.juniordentist.com/tonsilitis.html
www.emedicinelog.com/diseases/ent/tonsillitis
www.mayoclinic.org/diseases-conditions/tonsillitis/basics/tests-diagnosis/con-
20023538
patient,info/doctor/tonsillitis-pro

Anda mungkin juga menyukai