PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abu Bakar ra. adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti
Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar ra. digantikan oleh Umar bin Khattab ra., lalu
Umar bin Khattab ra. digantikan oleh Usman bin ‘Affan ra., dan Usman bin
‘Affan ra. digantikan oleh Ali bin Abi Tholib ra. Empat pemimpin di atas dikenal
sebagai al-Khulafa ar-Rosyidun (para pemimpin yang diridai)1.
1
DR. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Rosda, 2003, hal. 37
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Masa ini adalah masa kedua dalam perkembangan Tasyri’ Islam, mulai
wafatnya Nabi Muhammad SAW. sampai wafatnya Ali bin Abi Tholib ra. (11 H-
40 H/632 M-661 H). Wilayah perbatasan pemerintahan Islam dengan cepat
meluas, selama dua puluh tahun pertama dari masa ini, hingga mencakup Syiria,
Yordania, Mesir, Iraq dan Persia. Dengan demikian, umat Islam segera terlibat
kontak dengan sistem-sistem dan budaya yang benar-benar baru serta pola
perilaku yang ketentuan spesifiknya tidak terdapat dalam hukum Syari’ah. Dalam
menghadapi problem-problem baru yang sangat banyak, para sahabat bersandar
pada keputusan-keputusan Ijma’ dan juga Ijtihad, di mana mereka telah dilatih
oleh Nabi SAW. ketika masih bersama beliau setelah hijrah ke Madinah. Dalam
hal penggunaan Ijma’ dan Ijtihad, para sahabat menetapkan prosedur-prosedur
yang kemudian menjadi dasar bagi penetapan hukum dalam Islam2.
Para sahabat telah mewarisi apa yang telah ada pada masa Rosulullah
SAW., dan dihadapkan pula kepada mereka masalah-masalah baru. Beliau
memutuskan hukum Islam, dan para sahabat lainnya dilibatkan dalam masalah
fatwa, mengeluarkan keputusan Qadha, mengajarkannya kepada orang lain,
melakukan Ijtihad, mengintepretasikan ayat-ayat, dan sebagainya3.
Pada masa Abu Bakar ra. disebut masa penetapan tiang-tiang (Da’a’im).
Pada zaman tersebut umat Islam memerangi orang-orang yang murtadz dan
pembangkang penyerahan zakat. Saat itu pula al-Quran dikumpulkan dalam satu
Mushaf. Setelah Abu Bakar ra. wafat, diangkatlah Umar bin Khattab menjadi
Khalifah pada tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah Islam berkembang dan
meluas, antara lain: Mesir, Iraq, dan Siria. Umar bin Khattab ra. telah mengusir
orang-orang Yahudi dari Jazirah Arab, dan yang pertama kali menyusun
administrasi pemerintahan, menetapkan pajak, dan Kharaj atas tanah subur yang
2
Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh, Bandung, Nuansa, 2005,
hal. 47.
3
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Masail al-Fiqhiyyah, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2006, hal. 9.
dimiliki orang non-muslim. Juga menetapkan peradilan dan perkantoran serta
kalender penanggalan4.
Khalifah berikutnya adalah Utsman bin Affan ra. Pada masa itu
diperintahkan Zaid bin Tsabit, Abdulloh bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan
Abdurrahman bin Harits untuk mengumpulkan al-Quran dengan Qiraah (dialek)
yang satu dengan Mushaf satu macam pula, yaitu pada tahun 30 H/650 M.
Kemudian pengganti dari Utsman bin Affan ra. adalah Ali bin Abi Tholib ra.
Beliau adalah sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW., karena itu banyak
orang yang berpendapat bahwa beliau lebih berhak menjadi Khalifah dari pada
yang lainnya, yang berpendapat demikian adalah yang sering kita sebut dengan
aliran Syiah. Ali bin Abi Tholib ra. terkenal dengan kemahirannya sebagai Qadli
sejak zaman Nabi SAW. Dengan wafatnya Ali bin Abi Tholib ra. berakhirlah masa
al-Khulafa ar-Rosyidun dalam perkembangan Tasyri’ Islam.
4
Proyek Pembinaan Prasaran dan Sarana PTA/IAIN, Perkembangan Ilmu Fiqih di Dunia Islam,
Jakarta, 1986, hal. 11.
berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hafalan dan catatan. Pada awalnya, Abu
Bakar ra. menolak usulan tersebut, karena Rosulullah SAW. tidak melakukan dan
tidak memerintahkannya. Akhirnya, al-Quran disusun dengan berdasarkan bahan-
bahan yang ada. Sahabat yang paling intens keterlibatannya dalam pengumpulan
al-Quran adalah Zaid bin Tsabit karena beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad
SAW.
5
DR. Jaih Mubarok, Op. Cit., hal. 38.
d) Jika tidak ada sahabat lain yang memberikan keterangan, beliau
mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara
mereka, beliau menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada masa ini adalah: al-
Quran, Sunnah dan Ijtihad (Ro’yu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk
kolektif, di samping individual. Dalam melakukan Ijtihad kolektif, para sahabat
berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat
itu disebut Ijma’6.
b) Apa yang terjadi ketika Rosulullah SAW. mengutus Muadz bin Jabal
menjadi Qadli di negeri Yaman, di mana Rosul SAW. bertanya kepadanya:
“Bagaimana cara kamu menentukan suatu hukum?” Muadz bin Jabal
menjawab: “Aku menentukan hukum dengan kitab Allah SWT.”. Nabi
SAW. bertanya: “Kalau kamu tidak menemukan (dalam kitab Allah
SWT.)?” Muadz bin Jabal menjawab: “Aku menentukannya dengan
Sunnah”. Nabi SAW. bertanya lagi: “Kalau kamu masih tidak
menemukannya (dalam Sunnah)?” Muadz bin Jabal menjawab: “Aku akan
ber-Ijtihad (usaha) dengan fikiranku”. Kemudian Nabi SAW. mengakui
jawaban itu seraya memuji kepada Allah SWT. atas pemberian Taufiq-Nya
kepada beliau.
c) Apa yang mereka fahami dari adanya penyebutan Illat (alasan) pada
sebagian hukum di dalam al-Quran dan Sunnah, bahwa tujuan dari
penetapan hukum tersebut ialah guna mewujudkan kemaslahatan umat
manusia. Dan ketika kemaslahatan menghendaki peraturan, maka umat
7
Prof. A. Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh at-Tasyi’ al-Islami, Solo, Ramadhani, 1991, hal. 34.
Islam wajib berusaha menyusun peraturan yang bisa mewujudkan
kemaslahatan tersebut.
Perbedaan pendapat sudah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW. Sahabat
berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga
dari kekeliruan.
Setelah Nabi SAW. wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang
otoritas kepemimpinan umat Islam8. Hal ini berhubungan langsung dengan
otoritas penetapan hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Quran setelah Nabi
Muhammad SAW. wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka- menurut Nash
dari Nabi Muhammad SAW. – yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-
masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah SWT. Kelompok ini tidak
menemukan kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu, karena setelah Nabi
Muhammad SAW. wafat masih terdapat para pewarisnya yang terjaga dari
kesalahan (Ma’sum) dan mengetahui makna al-Quran, baik dalam dataran
eksoteris (luar) maupun esoteris (dalam). Kelompok ini kelak dikenal dengan
kelompok Syi’ah.
8
DR. Jaih Mubarok, Op. Cit.
Ikhtilaf yang muncul dikalangan sahabat untuk sebagian besar bersifat
alamiah dan tidak terelakkan. Sebagian besar perselisihan itu disebabkan
penalaran yang berbeda-beda yang telihat dengan beragamnya tafsiran-tafsiran
mereka terhadap ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Ada juga sebab-sebab lain yang
menimbulkan Ikhtilaf pada masa itu, yang kemudian bisa dihilangkan. Seperti,
tersebarnya Hadits Nabi SAW. secara luas menyebabkan masing-masing sahabat
mustahil untuk mengetahui semuanya, dan karena itu, sangat dimungkinkan
adanya ketetapan hukum yang salah akibat kurangnya informasi. Bila demikian,
tentu saja mereaka tidak bisa disalahkan atas keputusan-keputusan yang mereka
buat, yang sudah tentu tidak disengaja. Lebih jauh lagi, jelas sekali mereka selalu
siap untuk membetulkan keputusan-keputusan mereka yang tidak tepat ketika
informasi yang Shohih atau bukti yang relevan bisa ditemukan. Adanya kesediaan
mengoreksi kembali atau membuang keputusan-keputusan yang salah dalam
upaya mencari kebenaran akan menyelamatkan ketetapan-ketetapan yang
bertentangan tersebut dari kategori yang menyesatkan.
Terkait dengan hal ini Rosulullah SAW. bersabda: “Jika seorang hakim
berijtihad secara sungguh-sungguh kemudian membuat keputusan yang benar, dia
menerima dua pahala, namun jika dia berijtihad dan salah dia akan menerima satu
pahala.9” Berdasarkan atas hadits ini, para sahabat dipandang terbebaskan dari
kesalahan dalam ketetapan hukum mereka yang saling bertentangan.
Bagaimanapun, ketidaksesuaian apapun yang tampak dalam keputusan mereka
yang saling bertentangan tidak boleh dipuja-puja dan dikekalkan.
9
Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Op. Cit., hal. 190.
pendapat sementara keduanya berada di tengah kerumunan massa yang melihat
dari dekat dan meniru-niru? Ubay benar, dan Ibnu Mas’ud hendaknya berheni!
Jika saya mendengar siapapun saja berselisih tentang masalah tersebut setelah ini,
saya akan menghadapinya.”
2) Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua Nash yang saling
berlawanan.
10
Roibin M.Hi., Tasyri’ dalam Lintas Sejarah, 2007, hal. 36-37.
pergaulan dan interaksi sesama mereka. Perkembangan itu pada akhirnya
mendorong umat Islam untuk mencari sumber hukumnya dalam al-Quran dan
Sunnah11.
Tentu saja al-Quran dan Sunnah tidak memuat semua peristiwa yang
terjadi dan bakal terjadi pada kaum muslimin. Sebagai konsekuensinya, dalam
keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab
persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ijtihad
merupakan pencurahan segala kemampuan dalam mengistimbathkan hukum
syara’ berdasarkan pada dalil syar’i yaitu kitab Allah SWT. dan Sunnah Rosul
SAW12.
1. Ijtihad Abu Bakar ra. berkenaan dengan seorang nenek yang datang kepada
beliau dan bertanya tentang kadar bagian yang dapat diterimanya dalam salah
satu pembagian harta pusaka. Abu Bakar ra. tidak menemukan ketentuannya
dalam al-Quran. Beliau kemudian bertanya kepada sahabat. Di antara sahabat
yang memberikan tanggapan adalah Mughiroh bin Syu’bah. Dia mengatakan
bahwa Nabi SAW. memberikan seperenam kepada nenek. Riwayat dari
Mughiroh bin Syu’bah itu dikuatkan oleh Muhammad bin Musalamah.
11
Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1995, hal. 33.
12
Muhammad Hudhori, Tarikh at-Tasyi’ al-Islami, al-Haromain, hal. 114.
13
CyberMQ.com, diakses: 10-04-2009, 02.56 PM.
2. Ijtihad Umar bin Khattab ra. yaitu, pada zaman Nabi Muhammad SAW. umat
Islam melaksanakan ibadah Ramadhan, terutama shalat Tarawih, atau Qiyam
al-Ramadhan yang dilaksanakan di masjid secara individual (Munfarid).
Kemudian Umar bin Khattab ra. mengumpulkan mereka dan umat Islam yang
ada di masjid diperintahkan untuk shalat Tarawih berjamah dengan dipimpin
oleh seorang imam. Umar bin Khattab ra. berpendapat bahwa berjamaah
shalat Tarawih adalah Mandub.
3. Ijtihad Usman bin Affan ra. adalah bahwa isteri yang dicerai suaminya yang
sedang sakit yang kemudian suaminya meninggal dunia karena sakitnya itu,
mendapatkan harta pusaka, baik si isteri itu dalam waktu tunggu ataupun
tidak. Sedangkan Umar bin Khattab ra. berpendapat bahwa isteri seperti itu
mendapatkan harta pusaka apabila suaminya meninggal dalam waktu tunggu;
apabila (mantan) suaminya meninggal setelah waktu tunggu, si isteri itu tidak
mendapatkan harta pusaka.
4. Ijtihad Ali bin Abi Tholib ra. yaitu dalam al-Quran larangan meminum
khamar yang keharamannya ditetapkan secara berangsur-angsur. Pada
awalnya disebutkan bahwa khamar lebih banyak mudlaratnya dari pada
manfaatnya (Q. S. 2: 219); larangan kedua menyebutkan bahwa orang yang
hendak melaksanakan shalat dilarang meminum khamar (Q. S. 4: 43);
terakhir ditegaskan bahwa khamar diharamkan secara mutlak (Q. S. 5: 90).
Akan tetapi dalam tiga ayat tersebut tidak ada sanksi bagi yang melanggar
keharaman tersebut. Ali bin Abi Tholib berpendapat bahwa sanksi bagi
peminum khamar adalah 80 kali pikulan, karena pelanggaran atau tindakan
meminum khamar di-qiyas-kan pada penuduh zina (qadzf). Beliau
mengungkapkan: “Apabila minum khamar, orang akan mabuk; orang mabuk
akan menuduh; dan sanksi bagi penuduh adalah delapan puluh kali
cambukan.14”
BAB III
PENUTUP
14
DR. Jaih Mubarok, Op. Cit.hal. 44-48.
Simpulan
3. Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada masa ini adalah: al-
Quran, Sunnah dan Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas).
DAFTAR PUSTAKA
Ali as-Saayis, Muhammad. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ameenah Bilal Philips, Abu . 2005. Asal-usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung:
Nuansa.