Anda di halaman 1dari 9

C.

Tahap-tahap Berkembangnya Kreativitas


Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahap perkembangan kreativitas diantaranya:
1. Tahap prekonvensional (Preconventional phase)
Tahap ini terjadi pada usia 6–8 tahun. Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan
emosional dalam menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik
dan menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan
batasan dari luar.

2. Tahap konvensional (Conventional phase)


Tahap ini berlangsung pada usia 9–12 tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang
dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada
tahap ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang.

3. Tahap poskonvensional (Postconventional phase)


Tahap ini berlangsung pada usia 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini, individu sudah mampu
menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-
nilai konvensional yang ada di lingkungan.

D. Faktor yang Mempengaruhi Berkembangnya Kreatifitas


Hurlock (1993), mengatakan ada enam faktor yang menyebabkan munculnya variasi
kreativitas yang dimiliki individu, yaitu:
1. Jenis kelamin
Anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar dari anak perempuan, terutama setelah
berlalunya masa kanak-kanak. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan
terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk mandiri,
didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan didorong oleh para orangtua dan
guru untuk lebih menunjukkan inisiatif dan orisinalitas.

2. Status sosioekonomi
Anak dari kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih kreatif dari anak kelompok
yang lebih rendah. Lingkungan anak kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi memberi lebih
banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan bagi
kreativitas.

3. Urutan kelahiran
Anak dari berbgai urutan kelahiran menunjukkan tingkat kreativitas yang berbeda. Perbedaan ini
lebih menekankan pada lingkungan daripada bawaan. Anak yang lahir ditengah, belakang dan
anak tunggal mungkin memiliki kreativitas yang tinggi dari pada anak pertama. Umumnya anak
yang lahir pertama lebih ditekan untuk menyesuaikan diri dengan harapan orangtua, tekanan ini
lebih mendorong anak untuk menjadi anak yang penurut daripada pencipta.

4. Ukuran keluarga
Anak dari keluarga kecil bilamana kondisi lain sama cenderung lebih kreatif daripada anak dari
keluarga besar. Dalam keluarga besar cara mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosiekonomi
kurang menguntungkan mungkin lebih mempengaruhi dan menghalangi perkembangan
kreativitas.

5. Lingkungan
Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif dari anak lingkungan pedesaan.

6. Intelegensi
Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak yang
kurang pandai. Mereka mempunyai lebih banyak gagasan baru untuk menangani suasana sosial
dan mampu merumuskan lebih banyak penyelesaian bagi konflik tersebut.

E. Upaya Guru Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik


Sifat relasi bantuan untuk membimbing anak-anak kreatif, menurut Dedi Supriadi (1994),
sebenarnya sama saja dengan relasi untuk anak-anak pada umumnya. Hanya saja, idealnya para
guru dan pembimbing mengetahui mekanisme proses kreatif dan manifestasi perilaku kreatif.
Dalam konteks relasi dengan anak-anak kreatif ini, Torrance (1977) menamakan relasi bantuan itu
dengan istilah creative relationship yang memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Pembimbing mendorong anak untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tanpa
mengalami hambatan.
2. Pembimbing lebih menekankan pada proses daripada hasil sehingga Pembimbing di tuntut
mampu memandang permasalahan anak sebagai bagian dari keseluruhan dinamika
perkembangan dirinya.
3. Pembimbing berusaha menciptakan lingkungan yang bersahabat, bebas dari ancaman, dan
suasana saling menghargai.
4. Pembimbing tidak memaksakan pendapat, pandangan, atau nilai-nilai tertentu kepada
anak.
5. Pembimbing berusaha mengeksplorasi segi-segi positif yang dimiliki anak dan bukan
sebaliknya mencari-cari kesalahan anak.
6. Pembimbing berusaha menempatkan aspek berpikir dan perasaan secara seimbang dalam
proses bimbingan.

Supriadi (1994) mengemukakan sejumlah bantuan yang dapat digunakan untuk membimbing
perkembangan anak-anak kreatif, yaitu :
1. Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya;
2. Mengakui dan menghargai gagasan-gagasan anak;
3. Menjadi pendorong bagi anak untuk mengomunikasikan dan mewujudkan gagasan-
gagasan nya.
4. Membantu anak memahami dalam berpikir dan bersikap, dan bukan malah
menghukumnya;
5. Memberikan peluang untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya;
6. Memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia.
Disamping itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang desain pembelajaran
yang berpotensi mengembangkan kreatifitas siswa adalah:

 proses pembelajaran dirancang untuk membangun pengalaman belajar yang baru bagi siswa.
 proses pembelajaran dirancang agar siswa memperoleh informasi terbaru.
 proses belajar dirancang sehingga siswa dapat mengembangkan pikiran atau ide-ide baru.
 proses belajar dapat mengasilkan produk belajar yang berbeda dari produk sebelumnya.
 produk belajar diekspersikan dan dikomunikasi melalui media yang kreatif.

CONTOH :

Dari gambar kubus diatas apa yang dapat kamu simpulkan?

Cara :

1.
Pembelajaran Open-Ended

Pengertian Pembelajaran Open-Ended

Shimada mendefinisikan pembelajaran dengan pendekatan open-ended dimulai dengan


mempresentasikan permasalahan open ended terlebih dahulu kemudian pembelajaran diproses
dengan menggunakan banyak jawaban benar untuk memberkan siswa pengalaman dalam
menemukan sesuatu yang baru (Takashi, 2005). Masalah yang disusun sedemikian rupa hingga
memiliki jawaban yang benar (banyak penyelesaian) disebut masalah open-ended atau soal-soal
terbuka. Terdapat definisi dari para ahli tentang open-ended. Menurut Suherman dkk. (2003)
problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut problem tak lengkap
atau disebut juga open-ended problem (soal terbuka).

Pendekatan terbuka adalah suatu permasalahan yang tidak sempurna yang dikenalkan
terlebih dahulu. Pelajaran mengutamakan proses dengan menggunakan jawaban yang benar, atas
masalah yang diberikan untuk memberikan pengalaman di dalam menemukan sesuatu yang baru
dalam proses tersebut. Proses ini bisa dilakukan melalui kombinasi pengetahuan yang dimiliki
siswa, ketrampilan atau cara berfikir yang sudah dipelajari oleh siswa sebelumnya. Berdasarkan
kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open- ended
adalah suatu permasalahan terbuka yang diberikan kepada siswa dengan pengetahuan, cara, dan
metode yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan. Bukan berorientasi pada
jawaban (hasil akhir) namun dalam proses yang diharapkan pada merangsang kemampuan
intelektual dan pengalaman siswa dalam menemukan sesuatu yang baru.

Menurut Coney (2002), pertanyaan open ended memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Melibatkan matematika yang penting


2. Menghasilkan jawaban yang beragam
3. Membutuhkan komunikasi
4. Dinyatakan dengan jelas.
Tujuan Pembelajaran Berbasis Open-Ended

Menurut Nohda tujuan pembelajaran berbasis open-ended ialah membantu


mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa melalui problem possing
secara simultan (Suherman, 2003: 124). Dengan kata lain, kegiatan kreatif dalam pola pikir
matematika siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang
dimilki setiap siswa. Pendekatan open-ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menginvestasikan berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki untuk mengelaborasikan permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan
berfikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-
kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses pembelajaran. Inilah yang
menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan pendekatan open-ended, yaitu pembelajaran yang
membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mendorong siswa untuk
menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.

Misalnya siswa mengintegrasikan apa yang telah ia pelajari mengenai macam-macam


bangun datar dan berbagai bentuk garis, misalnya memilih bentuk bangun datar yang mana yang
mempunyai garis yang lurus dan mana bentuk bangun datar yang memiliki garis yang
merupakan lungkungan atau seperti kurva. Soal terbuka seperti ini disajikan dengan maksud guru
dapat mengemukakan permasalahan dalam format sederhana sehingga dapat direspon siswa
dengan cepat.

Aspek-Aspek Pendekatan Open-Ended

Kegiatan matematika dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek,
yaitu:

1. kegiatan siswa harus terbuka. Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah
kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan
segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka
2. kegiatan matematika merupakan ragam berfikir. Kegiatan matematika adalah
kegiatan yang didalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata
dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya
3. kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan suatu kesatuan.

Berikut beberapa contoh soal open-ended yang dikembangkan Gembong (2013)


berdasarkan penelitian yang dapat membangun kemampuan berpikir kreatif:

1. berapa ekor ayam yang diperlukan agar beratnya sama dengan 1 ekor kelinci?
2. jarak kota A dan kota B adalah 100 km. Jika Amir naik mobil dari kota A pukul
10.00, pukul berapa Amir tiba di kota B?

Pemecahan masalah matematika open-ended akan memberikan siswa kesempatan untuk


melakukan investigasi masalah matematika secara mendalam, sehingga dapat mengkonstruksi
segala kemungkinan pemecahannya secara kritis dan kreatif. Sehingga, pembelajaran
matematika open-ended adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang melibatkan para siswa
untuk menumbuhkan ketrampilan berfikir kreatif dan membuat siswa aktif dalam aktivitas
belajar.

B. Creative Problem Solving (CPS)

CPS adalah salah model operasional yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah
dengan menggunakan berbagai ide baru serta mempertimbangkan sejumlah pendekatan yang
berbeda untuk memecahkan masalah tersebut, serta merencanakan pengimpelentasian solusi
melalui tindakan yang efektif. Pengimplementasian CPS dapat dijadikan sarana untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, termasuk berpikir kreatif dan kritis (Tseng, Chang,
Lou, & Hsu, 2013). Dengan demikian CPS dapat dijadikan sebagai salah satu model
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat aktif dalam aktivitas pemecahan
masalah dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikirnya
Giangreco, Cloninger, Dennis, & Edelman (1994: 301) menyatakan tahapan model CPS yang
diadopsi dari pendapat Osborn (1993) dan Parnes (1992) meliputi:

1. Visionizing or Objective-Finding (menemukan visi atau tujuan), dimana pada tahap awal
ini, pemecah masalah (problem solver) meningkatkan kesadaran mereka melalui
pengimajinasian (membayangkan) tantangan-tantangan potensial yang diberikan.
2. Fact-Finding (menemukan fakta), dimana pemecah masalah mengumpulkan informasi
sebanyak mungkin tentang tantangan yang dipilih dengan menggunakan semua persepsi
dan indra mereka. Dengan bertanya “siapa, apa, di mana, kapan, mengapa, dan
bagaimana”. Pemecah masalah menyelesaikan tahap ini dengan mengidentifikasi fakta-
fakta yang mereka yakini paling relevan dengan tantangan.
3. Problem-Finding (menemukan masalah), dimana tujuan dari tahap ini adalah untuk
memperjelas tantangan atau masalah dengan mendefinisikan kembali dengan cara yang
baru dan berbeda. Dengan mengulang tantangan sebagai pertanyaan, “Dalam hal apa
mungkin saya/kami. . . ?”; dan dengan menanyakan pertanyaan “Mengapa?” atau “Apa
yang ingin benar-benar saya/kami capai?”. Proses ini diulang sampai pemecah masalah
menyajikan kembali masalah dengan cara yang paling masuk akal dan paling menarik
bagi mereka.
4. Idea-Finding (menemukan ide), tahap ini tujuannya adalah untuk menghasilkan ide
sebanyak mungkin yang berpotensi digunakan untuk memecahkan tantangan. Pada tahap
ini pemecah masalah mencoba untuk membuat koneksi baru antara ide-ide melalui
analogi, manipulasi ide, ataupun membuat asosiasi baru dari ide orang.
5. Solution-Finding (menemukan solusi), dimana pada tahapan pemecah masalah akan
mempertimbangkan berbagai kriteria dan dipilih untuk mengevaluasi kelebihan dari ide-
ide yang dikemukakan. Pemecah masalah menggunakan kriteria untuk membantu dalam
memilih solusi terbaik.
6. Acceptance-Finding (menemukan penerimaan), dimana pemecah masalah memperbaiki
solusi supaya lebih mudah diterapkan. Tujuannya adalah untuk mengubah ide menjadi
tindakan melalui pengembangan dan pelaksanaan rencana aksi. Selanjutnya hasil
pengembangan dan pelaksanaan rencana aksi tersebut dijadikan sebagai kesimpulan.
Selanjutnya Giangreco, et al (1994: 323) mengemukakan bahwa implikasi dari penggunaan
creative problem solving dalam pendidikan bagi siswa meliputi:

1. melibatkan siswa dalam pemecahan berbagai masalah dan tantangan dalam kehidupan
nyata yang merupakan karakteristik penting dari pendidikan yang efektif;
2. mendorong siswa untuk percaya bahwa mereka dapat memecahkan masalah, baik secara
mandiri maupun dengan dukungan dari orang lain di kelas;
3. menawarkan kesempatan bagi para siswa (baik dengan kemampuan akademik tinggi
maupun rendah) untuk membantu dalam memecahkan tantangan yang yang dihadapi oleh
mereka atau teman sekelas mereka dan menjadikan semua siswa sebagai kontributor yang
bernilai;
4. menawarkan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam aktivitas kelas secara
keseluruhan sesuai dengan kebutuhan pendidikan mereka masing-masing;
5. menawarkan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan mempraktekkan keterampilan-
keterampilan pemecahan masalah secara berkelanjutan untuk mengatasi tantangan yang
relevan;
6. aspek kolaboratif, tidak menghakimi, dan orientasi tindakan dari CPS mendorong rasa
kebersamaan dalam mengatasi tantangan yang menjadi perhatian kelompok siswa;
7. mendorong dan memperkuat banyak keterampilan akademik dan afektif (misalnya
observasi, analisis, evaluasi, mengambil sudut pandang, membangun ide-ide lain, dan
mensintesis ide-ide).

Anda mungkin juga menyukai