Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PRE EKLAMSI BERAT (PEB)

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:

MAYA JUWITAWATI (16037)

AKADEMI KEPERAWATAN GIRI SATRIA HUSADA


WONOGIRI
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
PRE EKLAMSI BERAT (PEB)

1. Pengertian
Pre eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin
dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan protein uria tetapi tidak menjukkan
tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya
biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih. (Nanda & NIC
NOC, 2013)
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Nugroho, 2012).
Preeklampsia adalah gangguan multisistem yang bersifat spesifik terhadap
kehamilan dan masa nifas, lebih tepatnya penyakit ini merupakan penyakit plasenta
karena juga terjadi pada kehamilan di mana terdapat trofoblas tetapi tidak ada jaringan
janin (kehamilan mola komplet) (Norwitz & Schorge, 2008).
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi
yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et
al, 2008). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah
adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar,
2008).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1
jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum
yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan
darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi
terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.
Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam
proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/
agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya
vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan
koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif
koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan
darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di
keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer
akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula
suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,
paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada
hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas
terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari
filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus
arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai
pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat
terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan
risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan
ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat,
merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi
metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit
yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya
ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul
diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan
seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang
pengetahuan.

4. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu
hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik
medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam
penegakkan diagnosa pre eklamsia.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut
jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and
Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP
merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya
enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome
dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya
yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-
tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan
sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat
dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali
seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan
istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium
tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1
sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak
begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat.
Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan janin :
kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila
keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan
minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak
ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat
diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta berat
badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e) Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc
dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya
dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru
dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV
lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu
dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian
diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi seperti
: levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan dan
kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
8. Pathway
NANDA & NIC NOC, 2013
Tekanan darah

Meningkat (140/90 mmHg) Normal

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia Kejang (-) Kejang (+)

Faktor predisposisi PE : PRE EKLAMSIA EKLAMSIA


Primigravida atau primipara mudab (85%),
Grand multigravida, Sosial ekonomi
rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; <
Penurunan aliran darah
20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah
pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya,
Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola
hidatidosa, Pemuaian uterus yang Prostaglandin plasenta menurun
berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan
ganda atau polihidramnion (14-20%),
Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan Iskemia uterus
eklamsia (ibu dan saudara perempuan),
Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik,
Hiperplasentosis: mola hidatidosa,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi Hiperoksidase lemak & pelepasan
besar, dan diabetes mellitus, Obesitas, renin uterus
Interval antar kehamilan yang jauh.

Merangsang pengeluaran
Renin+darah  hati Proses endotheliosis
bahan tropoblastik

Renin+angiotensinogen
Merangsang pelepasan tromboplastin

Angiotensin I  Angiotensin II
Merangsang pengeluaran Aktivasi/agregasi trombosit
bahan tromboksan deposisi fibrin

Angiotensin II + tromboksan Vasospasme PD Koagulasi intravaskuler

Lumen arteriol menyempit Penurunan perfusi darah &


konsumtif koagulatif

Hanya 1 SDM yg dpt lewat


Penurunan trombosit &
Tek. Perifer meningkat  faktor pembekuan darah
kompensasi oksigen

Gangguan fisiologis
*HIPERTENSI homeostasis

Gangguan Multi Organ Gangguan perfusi darah


Gangguan Multi Organ

Otak Darah Paru Hati Mata

Endotheliosis Penumpukan darah Vasokontriksi PD Spasmus arteriola


Edema serebri
miokard

Peningkatan LAEDP Edema duktus optikus


Peningkatan PD pecah SDM pecah Gangguan kontraktilitas dan retina
tek.intrakranial miokard
Kongesti vena pulmonal
Perdarahan Anemia
hemolitik Diplopia
Risiko Kejang Payah jantung
Proses perpindahan cairan
Ketidakefektifa
karena perbedaan tekanan
n Perfusi Kelemahan Ketidakseimb Risiko Cedera
Risiko
Jaringan Otak angan suplay Penurunan Curah
Cedera
& kebutuhan Timbul edema (gangguan Jantung
O2 fungsi alveoli (ronchi,
rales, takipnea, PaCO2
menurun
Intoleransi
Aktivitas
Gangguan Pertukaran
Gas
Gangguan Multi Organ

Ginjal Plasenta Ekstremitas GI Tract

Adanya rangsangan Vasospasme Penurunan perfusi plasenta Metabolisme HCL meningkat


angiotensin II pada arteriol pada ginjal anaerob
gland.suprarenal 
Hipoksia/anoksia Peristaltik turun
aldosteron
ATP diproduksi  2 ATP
Penurunan Peningkatan
Peningkatan GFR permeabilitas Gangguan
reabsorpsi Na protein pertumbuhan Pembentukan
Peningkatan Konsti
plasenta asam laktat
akumulasi gas pasi
Retensi cairan Diuresis >> protein yg
menurun lolos dari Intra Uterine Growth Cepat lelah &
Kembung
filtrasi Retardation (IUGR) lemah
*EDEMA glomerulus
Oliguri/anuri
Kelemahan umum Mual & Muntah Nyeri
Risiko Gawat
Kelebihan Volume
*PROTEINURIA Janin
Cairan Gangguan
Intoleransi Ketidakseimba
Eliminasi
Aktivitas ngan nutrisi:
Urin
kurang dari
kebutuhan
tubuh
9. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre
eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg
atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan
biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan
atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,
uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

10. Diagnosa Keperawatan


Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai
berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat penimbunan
cairan paru : adanya edema paru.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.
g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
11. Rencana Asuhan Keperawatan
No Dx Tujuan Intervensi Rasional
1 Risiko ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Neurologic monitoring
perfusi jaringan otak keperawatan selama 1 jam 1. Monitor ukuran pupil, 1. Klien dengan cedera
berhubungan dengan pre diharapkan status neurologi bentuk, simetris dan kepala akan
eklamsia berat. membaik dan ketidakefektifan reaktifitas pupil mempengaruhi
perfusi jaringan serebral teratasi 2. Monitor keadaan klien reaktivitas pupil karena
dengan indikator: dengan GCS pupil diatur oleh syaraf
NOC: Management neurology 3. Monitor TTV cranialis
Indikator Awal Target 4. Monitor status respirasi: 2. Mengetahui penurunan
Status 2 3 ABClevels, pola nafas, kesadaran klien
neurologi: kedalaman nafas, RR 3. Memantau kondisi
syaraf sensorik 5. Monitor reflek muntah hemodinamik klien
dan motorik dbn 6. Monitor pergerakan otot 4. Mengetahui kondisi
Ukuran pupil 4 4 7. Monitor tremor pernafasan klien
Pulil reaktif 3 4 8. Monitor reflek babinski 5. Peningkatan TIK
Pola pergerakan 3 4 9. Identifikasi kondisi 6. Memonitor kelemahan
mata gawat darurat pada 7. Memonitor persyarafan
Pola nafas 3 5 pasien. di perifer
TTV dalam 3 4 10. Monitor tanda 8. Reflek babinsky (+)
batas normal peningkatan tekanan menunjukan adanya
Pola istirahat 3 4 intrakranial perdarahan otak
dan tidur 11. Kolaborasi dengan dokter 9. Peningkatan TIK
Tidak muntah 5 5 jika terjadi perubahan dengan tanda muntah
Tidak gelisah 3 4 kondisi pada klien proyektil, kejang,
Keterangan : penurunan kesadaran
1= keluhan ekstrim
2= keluhan substansial
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan
5= tidak ada keluhan
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan NIC: Airway management
berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam, status 1. Posisikan klien untuk 1. Untuk mempermudah
ventilasi-perfusi akibat respiratori: pertukaran gas dengan memaksimalkan potensi pertukaran gas
penimbunan cairan paru : indikator: ventilasinya.
adanya edema paru. 1. Status mental dalam batas 2. Identifikasi kebutuhan klien 2. Untuk memantau
normal akan insersi jalan nafas baik kondisi jalan nafas klien
2. Dapat melakukan napas aktual maupun potensial.
dalam 3. Lakukan terapi fisik dada 3. Untuk mengeluarkan
3. Tidak terlihat sianosis 4. Auskultasi suara nafas, sputum
4. Tidak mengalami somnolen tandai area penurunan atau 4. Memantau kondisi
5. PaO2 dalam rentang normal hilangnya ventilasi dan pernafasan klien
6. pH arteri normal adanya bunyi tambahan
7. ventilasi-perfusi dalam 5. Monitor status pernafasan 5. Memantau kondisi klien
kondisi seimbang dan oksigenasi, sesuai
kebutuhan

3 Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi adanya nyeri dada 1. Menunjukan jantung
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam 2. Catat adanya disritmia dalam kondisi abnormal
perubahan preload dan diharapkan penurunan curah jantung jantung 2. Takikardi, bradikardi
afterload. teratasi dengan indikator: 3. Catat adanya tanda dan 3. Tanda dan gejala
NOC: gejala penurunan cardiac penurunan cardiac
- Cardiac Pump effectiveness putput output : pucat, akral
- Circulation Status 4. Monitor status pernafasan dingin, udema
- Vital Sign Status yang menandakan gagal ekstermitas
- Tissue perfusion: perifer jantung 4. Gagal jantung kiri
Indikator Awal Target 5. Monitor balance cairan menyebabkan udema di
TTV dbn 2 3 6. Monitor respon pasien paru dan gagal jantung
Dapat 1 3 terhadap efek pengobatan kanan menyebabkan
mentoleransi antiaritmia udema ekstermitas
aktivitas, tidak 7. Monitor adanya dyspneu, 5. Mengetahui adanya
ada kelelahan fatigue, tekipneu dan kelebihan cairan karena
Tidak ada edema 1 1 ortopneu klien biasanya udema
paru 8. Anjurkan untuk 6. Mengetahui respon
Tidak ada asites 5 5 menurunkan stress pasien terhadap obat
Tidak ada 2 2 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan 7. Udema paru
udema perifer RR menyebabkan dyspnea
Tidak terjadi 5 5 10. Monitor irama jantung 8. Stres menambah berat
penurunan 11. Monitor frekuensi dan kerja jantung
kesadaran irama pernapasan 9. Mengetahui kondisi
Tidak ada 5 5 12. Monitor pola pernapasan hemodinamik klien
distensi Vena abnormal 10. Suara jantung tambahan,
jugularis 13. Monitor suhu, warna, dan S3, S4
Warna kulit 1 2 kelembaban kulit 11. Ronchi basah
normal 14. Monitor sianosis perifer menunjukan adanya
Keterangan : 15. Jelaskan pada pasien tujuan cairan di pulmo
1= keluhan ekstrim dari pemberian oksigen 12. Dyspnea, cepat dan
2= keluhan substansial 16. Kelola pemberian obat anti dangkal
3= keluhan sedang aritmia dan vasodilator 13. Memungkinkan
4= keluhan ringan terjadinya sianosis
5= tidak ada keluhan 14. Kurang 02
menyebabkan sianosis
perifer
15. Membantu suplai O2 ke
pasien
16. Obat antiaritmia dan
vasodilatator untuk
membantu pengelolaan
kontraktilitas jantung

4 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pengeluaran urin, 1. Pengeluaran urin
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, catat jumlah dan warna saat mungkin sedikit dan
gangguan mekanisme regulasi diharapkan volume cairan pasien dimana diuresis terjadi. pekat karena penurunan
stabil dengan kriteria hasil: perfusi ginjal.
1. Keseimbangan intake dan output 2. Monitor dan hitung intake Pemantauan urin dengan
cairan. dan output cairan selama 24 memperhatikan jumlah
2. TTV normal. jam. dan warna urin akan
3. BB stabil dan tidak terdapat membantu dalam proses
edema. penentuan diagnosa
4. Menyatakan pemahaman tentang 3. Pertahankan duduk atau tirah pasien.
pembatasan cairan individual. baring dengan posisi 2. Pemantauan intake dan
semifowler atau posisi yang output cairan membantu
nyaman bagi pasien selama dalam proses penentuan
fase akut. keseimbangan cairan
dan elektrolit pasien.
3. Posisi duduk atau tirah
baring dengan posisi
4. Monitor TTV terutama TD semifowler dapat
dan CVP (bila ada). meningkatkan filtrasi
ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga
meningkatkan diuresis.
4. Hipertensi dan
5. Monitor rehidrasi cairan dan peningkatan CVP
batasi asupan cairan. menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat
menunjukkan kongesti
paru serta gagal jantung.
6. Timbang berat badan setiap 5. Pemantauan dan
hari jika memungkinkan dan pembatasan cairan akan
amati turgor kulit serta menentukan BB ideal,
adanya edema. keluaran urin, dan
respon terhadap terapi.
7. Kolaborasi pemberian 6. Berat badan, turgor
medikasi seperti pemberian kulit, dan adanya edema
diuretik: furosemid, mempengaruhi kondisi
spironolacton, dan cairan dalam tubuh.
hidronolacton. 7. Diuretik bertujuan untuk
menurunkan volume
plasma dan menurunkan
retensi cairan dijaringan
sehingga menurunkan
risiko terjadinya edema.

5 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji aktivitas dan periode 1. Mengetahui aktivitas
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, istirahat pasien, rencanakan dan periode istirahat
kelemahan umum pasien mempunyai cukup energi dan jadwalkan periode pasien serta upaya untuk
untuk beraktivitas sehingga toleran istirahat dan tirah baring menurunkan keletihan
terhadap aktivitas, dengan kriteria yang cukup dan adekuat. dan kelemahan pasien.
hasil:
1. TTV normal. 2. Berikan latihan aktivitas fisik 2. Tahapan-tahapan yang
2. EKG normal. secara bertahap (ROM, diberikan membantu
3. Koordinasi otot, tulang, dan ambulasi dini, cara proses aktivitas secara
anggota gerak lainnya baik. berpindah, dan pemenuhan perlahan dengan
4. Pasien melaporkan kemampuan kebutuhan dasar). menghemat tenaga
dalam ADL. namun tujuan tepat.
3. Bantu pasien dalam 3. Mengurangi pemakaian
memenuhi kebutuhan dasar. enargi sampai kekuatan
pasien pulih kembali.
4. Lakukan terapi komponen 4. Mencegah dan
darah sesuai resep bila pasien mengurangi anemia
menderita anemia berat. berat yang berakibat
pada kelemahan.
5. Kaji aktivitas dan respon 5. Menjaga kemungkinan
pasien setelah latihan adanya respon abnormal
aktivitas (Monitor TTV). dari tubuh sebagai
akibat dari latihan.
6 Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan tidakan 1. Kaji pola makan, kebiasaan 1. Meningkatkan nafsu
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan selama 3x24 jam makan, dan makanan yang makan pasien dan
b.d faktor psikologis dan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien disukai pasien. menghindari makanan
ketidakmampuan untuk terpenuhi dengan kriteria hasil: yang alergi.
mencerna, menelan, dan a. Masukan per oral meningkat. 2. Monitor KU pasien,
mengabsorpsi makanan. b. Porsi makan yang disediakan 2. Kaji TTV pasien secara rutin, mengetahui kemampuan
habis. status mual, muntah, dan pasien dalam memenuhi
c. Masa dan tonus otot baik. bising usus. kebutuhan nutrisi.
d. Tidak terjadi penurunan BB. 3. Meminimalkan
e. Mual dan muntah tidak ada. anoreksia dan
3. Berikan makanan sesuai diet mengurangi iritasi
dan berikan selagi hangat. gaster.
4. Pasien termotivasi untuk
4. Jelaskan pentingnya makan.
makanan untuk kesembuhan. 5. Meningkatkan
5. Anjurkan pasien makan kenyamanan saat
sedikit tetapi sering. makan.
6. Anjurkan pasien untuk 6. Glukosa dalam
meningkatkan asupan nutrisi karbohidrat cukup
yang adekuat terutama efektif untuk
makanan yang banyak pemenuhan energi,
mengandung karbohidrat sedangkan lemak sulit
atau glukosa, protein, dan untuk diserap sehingga
makanan berserat. akan membebani hepar,
protein baik untuk
meningkatkan dan
mempercepat
kesembuhan pasien,
makanan berserat
membantu mencegah
terjadinya konstipasi.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi 7. Meningkatkan proses
untuk pemberian diet sesuai penyembuhan
indikasi.

7 Risiko cedera berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi keterbatasan 1. Mengetahui


dengan diplopia, dan keperawatan selama 3x24 jam, fisik dan kognitif pasien penyebab pasien
peningkatan intrakranial: diharapkan tidak terjadi cedera, yang dapat meningkatkan mengalami risiko
kejang dengan kriteria hasil: risiko cedera. cedera.
1. Pasien tidak mengeluh 2. Ajarkan pasien untuk 2. Memberikan
pusing. meminimalkan cedera, pengetahuan kepada
2. Pasien tidak mengalami misalnya ketika ditempat pasien
cedera. tidur maka gunakan side sehinggapasien bisa
3. Pasien mampu menjelaskan rail, ketika mobilitas dari terhindar dari
cara mencegah terjadinya tempat tidur anjurkan cedera.
cedera. untuk dibantu oleh
keluarga atau gunakan
tongkat sebagai pegangan
dan jika pasien pusing
anjurkan untuk istirahat 3. Mengantisipasi hal-
terlebih dahulu. hal yang dapat
3. Dampingi pasien dalam menyebabkan
melakukan pemenuhan terjadinya cedera.
kebutuhan ADL.
4. Anjurkan pasien untuk 4. Sayuran hijau dapat
banyak mengkonsumsi menambah darah
makanan yang dapat dan mengobati
menambah darah seperti anemia serta diet
sayur-sayuran hijau dan rendah garam dapat
diet rendah garam untuk mengurangi
menurunkan tekanan kekambuhan
darah, sehingga bisa penyakit hipertensi.
mengurango pusing.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif Huda Amin, Kusuma Hardhi.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Mediaction Publishing : Jogjakarta

Febriani, Ferra (2013). Laporan Pendahuluan Keperawatan MaternitasPeb (Pre


EklamsiBerat)Di Ruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma. Kementerian
Pendidikan Nasional Universitas Jenderal SoedirmanFakultas Kedokteran Dan Ilmu-
Ilmu KesehatanJurusan KeperawatanProgram Profesi NersPurwokerto.

Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan
dan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:


EGC.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU
Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika

Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2008). At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Gelora Aksara Pratama

Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4, Cet. 4.


Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai