Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam beberapa tahun terakhir ini kita kerapkali membaca berita mengenai kasus
kekerasan seksual berupa perkosaan atau perampokan/pembunuhan yang disertai
perkosaan. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat
ditemukan diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia
maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden kejahatan seksual yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 (National Violence against
Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6% dari responden wanita dan 3% dari
responden pria pernah mengalami kekerasan seksual, beberapa diantaranya bahkan lebih
dari satu kali sepanjang hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang
pernah membuat laporan polisi.
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan
seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian rata-rata ada 20
perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang lebih
mengejutkan adalah bahwa lebih dari 3/4 dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan
oleh orang yang memiliki hubungan erat dengan korban.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap
suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang
dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara
pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana
terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang- undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang
menyatakan: “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang

1
dituduhkan atas dirinya”.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan
tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga
ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan: “Dalam
hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan: “Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh
yang berkepentingan”. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian
selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang
dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan
yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk
persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan
bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu
keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban,
terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu
persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawini atau tidak. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et
repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis
untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat
oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang
bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik- baiknya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
 Perawan adalah seorang wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual
kapanpun juga.
 Penyimpangan seksual adalah Pelanggaran kesusilaan yang tidak wajar (unnatural
sexual offerences) seperti: insest, sodomi, bestialiti, ekshibitionisme, nekrotisme,
pedofili, dll. Disini objek atau cara yang digunakan untuk mencapai kepuasan seksual
yang tidak wajar.
 Persetubuhan adalah masuknya alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin
perempuan sebagian atau seluruhnya dengan atau tanpa mengeluarkan air mani yang
mengandung sperma atau tidak.
 Perkosaan adalah Pelanggaran kesusilaan (natural sexual offerences) sebagai
manifestasi birahi yang tidak terkendalikan dan tertuju kepada objek yang wajar yaitu
kelamin yang berlawanan jenis (heteroseksual).
Di Indonesia pengertian perkosaan harus disesuikan dengan ketentuan hukum yang
terdapat dalam KUHP pasal 285, 286, 287.

 Perbuatan Cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan)


atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya : cium-ciuman, meraba –raba anggota kemaluan, dll.
 Perzinahan adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang
telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya atas
dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

2.2 Jenis Perkosaan


Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori
kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal
89 KUHP). Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun penjara. Terdapat berbagai jenis
perkosaan yang pada umumnya dikategorikan berdasarkan hubungannya pada situasi
dimana hal tersebut terjadi, jenis kelamin atau karakteristik si korban, dan/atau jenis
kelamin si pelaku. Jenis-jenis perkosaan yang lain termasuk diantaranya adalah:

3
perkosaan pada saat berkencan (date rape), perkosaan yang dilakukan oleh suatu
gang/kelompok (gang rape), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perkosaan
dibawah umur (Statutory rape) dan lain sebagainya. Sangatlah penting untuk diketahui
bahwa hampir seluruh jenis penelitian dan kasus perkosaan yang dilaporkan selama ini
adalah terbatas pada bentuk perkosaan antara laki-laki dan perempuan walaupun
diketahui kejadian perkosaan sesama jenis juga terjadi dan telah tertuang dalam pasal
292 KUHP, yaitu terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang cukup umur yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama kelaminnya yang belum cukup
umur.

2.3 Undang-Undang Tentang Kejahatan Seksual


Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-
undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP, yaitu bab
tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di dalam
perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.
KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
KUHP pasal 89
Yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak
berdaya lagi (lemah).
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 287
1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.

4
KUHP pasal 288
1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP:

1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,


tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya Ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.

Unsur-unsur tindak pidana perkosaan yang terdapat dalam Pasal 381 RUU
KUHP adalah sebagai berikut :

1. Unsur paksaan, dimana paksaan ini dapat berupa paksaan fisik maupun psikis.
2. Bentuk paksaan fisik dapat berupa pukulan pada tubuh korban yang dapat
menyebabkan tidak berdaya, sedangkan paksaan psikis dapat berupa ancaman dengan
kata-kata atau senjata tajam untuk dibunuh atau dilukai sehingga korban
menyetujuinya.
3. Korban adalah seorang perempuan, baik perempuan dewasa ataupun perempuan yang
berusia dibawah 14 tahun.
4. Unsur persetubuhan, persetubuhan yang dimaksud adalah persetubuhan dalam arti
sesungguhnya dan juga hubungan seks secara oral dan anal.
5. Perkosaan itu dapat terjadi di dalam maupun di luar perkawinan. Di dalam
perkawinan dapat ditafsirkan bahwa seorang suami yang memaksa istrinyamelakukan
persetubuhan tanpa ada kerelaan dari si isteri, maka dapat digolongkan termasuk
perkosaan.

5
2.4 Tanda-Tanda Keperawanan
Tanda-tanda keperawanan pada wanita normal dapat dilihat pada alat genitalnya
(kelamin) dan stuktur tubuhnya (dada).
1. Genital (alat kelamin)
Labia mayor biasanya tebal, kencang (supel), elastis, berbentuk lonjong, dan
melingkari vulva. Labia minora lembut (lembek), kecil dan berwarna kemerahan
dan klitoris berukuran kecil.
Vestibulum merupakan daerah triangular yang berada diantara labia minora
dengan klitoris dibagian puncak dan pada daerah anterior terdapat hymen (selaput
dara) sebagai dasarnya yang merupakan celah sempit.
Komisura Posterior (Frenulum ) dan Fourchette ( Frenulum labia pudenda )
bersatu dan berbentuk seperti bulan sabit (melingkar), yang jarang rusak dengan
hubungan seksual, tapi bisa rusak (robek) bila hubungan seksual dilakukan pada
anak kecil.
Vagina adalah celah sempit yang memiliki dinding yang melipat-lipat/rugae (tapi
lipatan-lipatan pada vagina /rugae tersebut tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menyatakan keperawanan seseorang). Setelah melahirkan pertamakali sebagian
rugae ini akan menghilang.
Himen (selaput dara) berupa lapisan tipis yang merupakan lipatan mukosa yang
membatasi ostium (orifisium) vagina pada gadis. Pada umumnya himen berupa
lubang ( cincin). Dengan saluran keluar yang terbuka yang melingkar atau
elevasi. Kosistensi himen juga berbeda-beda dari yang kaku sampai yang lunak
sama sekali. Hiatus himenalis dari yang seujung jari sampai yang mudah dilalui
oleh dua jari. Umumnya himen robek pada koitus atau hubungan seksual, dan
pada persalinan . Himen bisa robek pada beberapa tempat dan yang terlihat hanya
sisa-sisanya saja.
Disamping karena koitus atau persalinan, himen juga bisa robek karena kejadian
kejadian berikut :
a. Kecelakaan, misalnya; terjatuh, tersangkut pagar
b. Masturbasi, terutama bila menggunakan alat/ benda-benda asing
c. Robek akibat tindakan operasi
d. Pemasangan tampon terutama untuk himen dengan membrane yang tipis.
e. Benda asing yang digunakan sebagai instrument untuk melakukan koitus
(vibrator).

6
f. Ulserasi akibat difteri atau penyakit lain.
2. Dada
Dada pada seorang gadis (perawan) biasanya kencang, elastis, dan sedikit bulat,
dengan putting yang kecil, areolar yang belum tumbuh, berwarna merah jambu
pada kulit putih dan hitam pada kulit hitam.

2.5 Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Kasus Perkosaan

Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat
bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183
KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan dan kejahatan seksual
lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara:

1) Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara,


2) Pada tubuh atau pakaian korban,
3) Pada tubuh atau pakaian pelaku dan
4) Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis).

2.6 Kendala Pembuktian dalam Kasus Perkosaan


Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang seringkali dijabarkan dalam
prisma (segiempat) bukti dan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan
keyakinan hakim. Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan empat faktor ini tidak jelas
atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul keyakinan pada
hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang ringan dan sekadarnya.
Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah hal-hal sebagai
berikut:
a. Masalah keutuhan barang bukti.
Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut
umumnya akan merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih.
Seprei yang mengandung bercak mani atau darah seringkali telah dicuci dan diganti
dengan seprei yang baru sebelum penyidik tiba di TKP. Lantai yang mungkin
mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih dahulu agar "rapi"
7
kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter untuk
diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya terlebih
dahulu dengan yang baru dan bersih. Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan
menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut
pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan. Adanya
kelambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu
juga menyebabkan hilangnya benda bukti karena berlalunya waktu.
b. Masalah teknis pengumpulan benda bukti
Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat
mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang
mungkin ditinggalkan di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada
lantai, seprei atau kertas tissue di tempat sampah dsb. Tidak dilakukannya pencarian
benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang pengalaman atau
kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting untuk
pengungkanan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara pengambilan
sampel usapan vagina yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Pada
persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan dengan
kapas lidi bukan dilakukan dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja tetapi
harus dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang
pertama yang akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma. Adanya
bercak mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian
korban, adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah
atau epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal
yang tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.
c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium
Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma
sama sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan
akibat benda tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya melakukan pemeriksaan
sperma langsung saja tentu tak dapat membedakan tidak adanya persetubuhan
dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari orang yang tak memiliki sel sperma
(pasca vasektomi atau mandul tanpa sel sperma). Suatu klinik yang hanya
melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja misalnya tentu hanya

8
dapat menghasilkan kesimpulan terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini mungkin
sperma. Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji
PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan
yang dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya
mandul tanpa sel sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma.
Pemeriksaan pada kasus perkosaan untuk pencarian pelaku dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak cairan mani, bercak/cairan
darah atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan pola permukaaan luar (kutikula) rambut, pemeriksaan golongan darah
dan pemeriksaan sidik DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada bahan
yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku
perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus
perkosaan dengan banyak pelaku (salome).
Pemeriksaan golongan darah dan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika
korban sempat mencakar) juga dapat digunakan untuk mencari pelakunya. Jika
hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina,
maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juga diperiksa golongan
darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang
termasuk golongan sekretor (sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya
terdapat substansi golongan darah. Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan
akan meninggalkan cairan mani dan golongan darahnya sekaligus pada tubuh
korban. Sebaliknya orang yang termasuk golongan non-sekretor (15% dari populasi)
jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja tanpa golongan darah.
Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi golongan
darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai tersangkanya.
Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena tidak
dikenal adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal
tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka
secara konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas obyek dan
diberi uap lugol. Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap
merupakan bukti bahwa penis itu baru ‘bersentuhan' dengan vagina alias baru
bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran epitel
ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel vagina, karena epitel pria baik
yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing juga mempunyai

9
epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini jika searang pria diduga baru saja
bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air
cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR
(polymerase chain reaction)
d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter
umum. Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka
biasanya yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan
mengenai prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya
membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan.
Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka di sekitar
kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda
kekerasan didaerah lainnya tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan
darah atau urin untuk mendeteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau
tidak berdaya dengan obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada
tidaknya cairan mani biasanya hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja,
sehingga adanya cairan mani tanpa sperma tak mungkin dideteksi. Pemeriksaan
kearah pembuktian pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah dilakukan karena
masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini dasar dari
tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adal,ah hanya dari kesaksian korban
dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali sulit dipercaya
karena sifatnya yang subyektif.
e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum
Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar
pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat
tuduhan, misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika
penyidik, jaksa serta hakim hanya menganggap perlu mencari alat bukti berupa
pengakuan terdakwa dan mengabaikan pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan
medis dan kesaksian ahli maka tentunya pembuktian dilakukan seadanya.

10
2.7 Kriteria Diagnostik
Yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan pada kasus perkosaan adalah setiap
pemeriksaan yang dimaksudkan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis
dari penyidik berwenang. Korban pada kasus ini sebaiknya harus diantar oleh polisi
karena tubuh korban merupakan barang bukti. Kalau korban datang sendiri dengan
membawa surat permintaan dari polisi, maka sebaiknya pemeriksaan tidak dilakukan, dan
sebaiknya korban disuruh kembali kepada polisi.
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Ijin
tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban adalah
anak-anak, maka ijin dapat diminta pada orang tua atau walinya. Selain itu dalam
pemeriksaan sesorang dokter harus didampingi seorang perawat atau bidan, dan
sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat mungkin tanpa penundaan lagi untuk
menghindari perasaan cemas si korban sendiri. Visum et Repertum sebaiknya
diselesaikan secepat mungkin, karena dengan adanya Visum et Repertum maka perkara
akan dapat cepat diselesaikan. Dalam laporan perkosaan yang diharapkan dari dokter
adalah:
a. Menentukan adanya bukti persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina,
penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai
ejakulasi. Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian persetubuhan dipengaruhi
berbagai faktor, diantaranya:
 Besarnya penis dan derajat penetrasinya
 Bentuk dan elastisitas hymen

Bentuk Hymen Keterangan Bentuk Hymen Keterangan

Hymen Hymen
anular cribriform yang
dimana jarang,
lubang dikarakteristikkan
hymen oleh beberapa
berbentuk lubang kecil.
cincin. Ketika
hymen mulai
robek (akibat
hubungan
seksual atau

11
aktivitas
lain), maka
lubang
tersebut tidak
berbentuk
cincin lagi.

Hymen Hymen
crescentic denticular yang
atau lunar jarang, berbentuk
berbentuk seperti satu set
bulan sabit. gigi yang
mengelilingi
lubang vagina.

Hymen Hymen fimbria


seorang yang jarang,
wanita yang berbentuk
pernah ireguler,
melakukan mengelilingi
hubungan lubang vagina.
seksual atau
masturbasi
beberapa kali

Hymen Hymen labialis


seorang yang terlihat
wanita yang seperti bibir
hanya pernah vulva.
melakukan
aktivitas
seksual
sedikit atau
pernah
kemasukan
benda.

Vulva dari Hymen


seorang mikroperforatus
wanita yang dengan lubang
pernah sempit pada
melahirkan. hymen sehingga
Hymen memerlukan
secara operasi
lengkap
hilang atau
hampir hilang

12
seluruhnya.

Satu dari Hymen


2000 anak bifenestratus
perempuan atau bersepta
dilahirkan yang jarang
dengan sekali oleh karena
hymen ada jembatan
imperforate. yang
menyeberangi
lubang vagina.

Hymen yang
jarang,
hymen
subsepta,
mirip dengan
hymen
bersepta,
hanya septa
tidak
menyeberangi
seluruh
lubang
vagina.

1. Gambar Hymen belum robek.

13
2. Hymen yang mengalami sedikit perubahan ( robek sedikit) karena kecelakaan,
terkena benda keras, jatuh, masturbasi, dll

3. Hymen yang sudah robek

4. Hymen Yang Sudah Pernah Melahirkan.

 Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri


 Posisi persetubuhan

14
 Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Dengan demikian, tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
pada hymen hanya merupakan adanya suatu benda (penis atau benda lain), yang
masuk ke dalam vagina.

Gambar 1. Robekan hymen dengan dugaan kekerasan seksual

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat


tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung
sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat
dan dapat diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin, dan spermin. Baik enzim
asam fosfatase, kholin, maupun spermin bila dibandingkan dengan sperma, nilai
untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik.
Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar
asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berada dalam kelenjar
prostat. Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter dapat
mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya tidak ditemukan tanda-tanda
persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada

15
persetubuhan dan kedua persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan, harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih dapat ditemukan tidak
bergerak sampai 24-36 jam post-coital, dan bila wanitanya masih akan dapat
ditemukan sampai 7-8 hari. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat
ditentukan dari proses penyembuhan dari selaput dara yang robek. Pada umumnya
penyembuhan tersebut akan tercapai dalam waktu 7-10 hari post-coital. Hal lain
yang dapat diperiksa untuk menentukan terjadinya persetubuhan adalah pemeriksaan
adanya kehamilan dan adanya penyakit kelamin. Terjadinya kehamilan jelas
merupakan tanda adanya persetubuhan, akan tetapi oleh karena waktu yang
dibuthkan untuk itu cukup lama, dengan demikian nilai bukti ini menjadi kurang
oleh karena kemungkinan yang menadi tersangka pelaku kejahatan menjadi
bertambah, hal mana mempersulit penyidikan dan membutuhkan waktu yang lebih
banyak untuk dapat mengungkapkan kasusnya.
Terjangkitnya penyakit kelamin pada wanita hanya merupakan petunjuk bahwa
wanita itu telah mengalami persetubuhan dengan laki-laki yang menderita penyakit
kelamin sejenis. Penyakit kelamin yang masa inkubasinya singkat lebih bermakna di
dalam upaya pembuktian bila dibandingkan dengan penyakit kelamin yang masa
inkubasinya lama. Tanda-tanda persetubuhan dengan berlangsungnya waktu akan
menghilang dengan sendirinya, luka-luka akan sembuh dan mayat akan menjadi
hancur. Dengan demikian pemeriksaan sedini mungkin merupakan keharusan, bila
dari pemeriksaan diharapkan hasil yang maksimal.Pakaian korban yang telah
diganti, tubuh wanita yang telah dibersihkan akan menyulitkan pemeriksaan oleh
karena keadaannya sudah tidak asli.
b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Pada KUHP pasal 285 disebutkan kata kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi paksaan dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan. Seorang dokter dapat menentukan apakah ada
tanda-tanda kekerasan. Tetapi ia tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur
paksaan pada tindakan ini. Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak
selalu merupakan akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang

16
tidak ada hubungannya dengan paksaan. Demikian pula jika dokter tidak
menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan
tidak terjadi. Pada hakekatnya, seorang dokter tidak dapat menentukan unsur
paksaan yang terdapat pada tindak pidana ini. Oleh karena hal ini pada bagian
kesimpulan suatu visum et repertum hanya dituliskan ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan serta jenis kekerasan yang menyebabkan. Pada pemeriksaan perlu
diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran,
atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik, narkotik.
Apabila ada petunjuk bahwa alkohol, hipnotik, atau narkotik telah dipergunakan,
maka dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan akan keadaan pingsan atau tidak berdaya ini merupakan hal yang
penting karena sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP pasal 89 bahwa
membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan.
c. Menentukan perkiraan umur korban
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti
yang dikehendaki pasal 284 dan pasal 287 KUHP adalah merupakan hal yang tidak
mungkin dapat dilakukan. Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun hanya
sampai pada perkiraan umur saja. Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk badan korban sesuai dengan umur yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.
Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 sudah tumbuh atau belum; yang
terjadi pada usia kira-kira 12 tahun, sedangkan gigi geraham ke- 3 akan muncul pada
usia 17-21 tahun atau lebih. Untuk wanita yang telah tumbuh gigi geraham 2-nya,
perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota geraham 3
sudah mengalami mineralisasi (terbentuk), tapi akarnya belum maka usianya kurang
dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau
menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini
tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda.
d. Menentukan pantas atau tidak perempuan dikawini
Bila pernikahan dimaksudkan sebagai perbuatan yang suci dan baik, dimana
tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan maka penentuan
apakah seorang wanita itu sudah atau belum waktu untuk dikawin, semata-mata atas
dasar kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam

17
hal ini menstruasi. Bila pada wanita itu telah mengalami menstruasi, maka sudah
waktunya untuk dikawin. Bila seorang wanita menyatakan belum pernah menstruasi,
maka penentuaan ada atau tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan
agar dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah
selama itu wanita tadi mendapatkan menstruasi. Untuk menentukan apakah seorang
wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan
vaginal smear.
e. Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
Dari anamnesis dokter dapat menentukan apakah perkosaan dilakukan pada
korban dalam keadaan sadar ataupun pingsan. Dari pemeriksaan tubuh korban dapat
ditentukan apakah korban diperkosa dalam keadaan tidak berdaya.

2.8 Pemeriksaan Tersangka Pelaku Pesetubuhan Melawan Hukum


Pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium, setelah sebelumnya dapat
dilakukan wawancara. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan terhadap pakaian. Perlu
dicatat adanya bercak semen, darah, dll pada pakaian tersangka. Penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Mungkin dapat ditentukan tanda-tanda bekas kekerasan
akibat perlawanan oleh korban.
Pemeriksaan laboratorium terhadap tersangka pelaku dilakukan untuk menentukan
apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan dengan mencari ada tidaknya sel
epitel vagina pada glans penis. Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah cairan yang
masih melekat di sekitar corona glandis. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
menekankan kaca objek pada glans penis, daerah korona, atau frenulum, kemudian
diletakkan terbalik di atas cawan yang berisi larutan lugol. Uap yodium akan mewarnai
lapisan pada kaca objek tersebut. Sitoplasma sel epitel vagina akan berwarna coklat tua
karena mengandung glikogen. Warna coklat tadi cepat hilang namun dengan
meletakkan kembali sediaan di atas cairan lugol maka warna coklat akan kembali lagi.

18
Pada sediaan ini dapat pula ditemukan adanya spermatozoa.

Gambar 2. Pemeriksaan laboratorium pria tersangka pelaku kejahatan seksual

2.9 Pemeriksaan pada Korban Persetubuhan Melawan Hukum


Seperti halnya pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan,
pemeriksaan terhadap korban kejahatan kesusilaan juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium yang didahului dengan
wawancara. Berbeda dengan memeriksa pasien klinik seperti yang biasa dilakukan
seorang dokter, memeriksa korban kejahatan kesusilaan harus dilakukan dengan lebih
hati-hati dan seksama mengingat tubuh korban merupakan barang bukti dan korban
mungkin mengalami gangguan psikologis setelah apa yang dialaminya. Untuk itu
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemeriksaan. Hal-hal tersebut
adalah:
1. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari
jaksa atau magistrat pembantu. Lazimnya yang bertindak sebagai magistrat
pembantu adalah polisi. Polisi yang berpangkat serendah-rendahnya pembantu
letnan satu berwenang mengajukan permintaan tersebut.
2. Korban harus diantar oleh polisi, karena tubuh korban merupakan korpus delikti
(barang bukti).
3. Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan untuk visum et repertum diterima.Jika dokter
telah memeriksa seorang yang datang ke rumah sakit, atau di praktik atas inisiatif
sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan beberapa waktu kemudian polisi
mengajukan permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, dokter harus menolak.
Karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada
permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, merupakan rahasia kedokteran, dan
ia wajib untuk menyimpannya.

19
4. Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri, atau jika korban
seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu tindakan-
tindakan apa yang akan dilakukan pada pemeriksaan dan jelaskan bahwa
keterangan-keterangan yang diberikan korban dan hasil pemeriksaan akan
disampaikan kepada pengadilan.
5. Seorang perawat mendampingi dokter sewaktu korban diperiksa.
6. Pemeriksaan jangan ditunda terlalu lama
7. Segala sesuatu harus dicatat, jangan mengandalkan pada ingatan.
8. Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin.
9. Kadang-kadang dokter yang berpraktik pribadi diminta oleh seorang ibu atau ayah
untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa ragu apakah anaknya
masih perawan, atau karena ia curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi
persetubuhan. Dalam hal seperti itu sebaiknya ditanyakan dahulu maksud
pemeriksaan apakah karena ia ingin mengetahui saja, atau ada maksud untuk
mengadakan penuntutan. Kalau yang tersebut belakangan yang dimaksud,
sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Apabila hal-hal yang perlu
diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan telah terpenuhi, maka dokter dapat
memulai pemeriksaan terhadap korban.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat agar korban tidak
terlalu lama menunggu dalam perasaan cemas. Hal-hal yang harus ada dalam
pemeriksaan korban adalah sebagai berikut:
(1) Data-data
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan visum et repertum adalah:
a. Polisi yang meminta pemeriksaan
b. Nama, umur, alamat, pekerjaan korban (seperti tertulis dalam surat permintaan)
c. Nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal, dan pukul pemeriksaan
dilakukan
d. Nama dan pangkat petugas polisi yang mengantar korban
e. Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan
(2) Anamnesis
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya.
Sebaliknya anamnsesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Terdorong
oleh berbagai maksud atau perasaan, korban mungkin mengemukakan hal-hal yang
tidak benar. Anamnesis merupakan sesuatu yang tidak dilihat dan ditemukan oleh

20
dokter, bukan hasil pemeriksaan objektif, jadi seharusnya anamnesis tidak
dimasukkan dalam visum et repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan
pada visum et repertum di bawah kalimat keterangan yang diperoleh dari korban.
Dalam mengambil anamnesis dokter meminta kepada korban untuk menceritakan
segala sesuatu tentang kejadian itu. Anamnesis terdiri atas bagian yang sifatnya
umum dan yang sifatnya khusus.
a. Umum
 Umur, tanggal lahir
 Status perkawinan
 Haid: siklus haid, haid terakhir
 Penyakit kelamin dan penyakit kandungan
 Penyakit lain
 Apakah pernah bersetubuh, kapan persetubuhan terakhir, apakah
menggunakan kondom.
b. Khusus
 Waktu kejadian
Kalau antara kejadian dan dilaporkannya kejadian pada berwajib terpisah
beberapa hari atau minggu, orang sudah dapat mengira bahwa peristiwa itu
bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada dasarnya telah
disetujui oleh perempuan yang bersangkutan.
 Dimana terjadinya
Informasi ini dapat memberi petunjuk dalam pencarian trace evidence yang
berasal dari tempat kejadian.
 Apakah korban melawan
Jika korban mengadakan perlawanan, pada pakaian mungkin didapatkan
robekan, dan pada tubuh korban mungkin ditemukan tanda-tanda kekerasan.
Nail scrapping (goresan kuku) menunjukkan adanya sel-sel epitel dan darah
yang berasal dari penyerang. Pada penyerang mungkin dapat ditemukan
tanda-tanda bekas dilawan.
 Apakah korban pingsan
Ada kemungkinan korban menjadi pingsan karena ketakutan, tetapi mungkin
juga korban dibuat pingsan oleh pelaku dengan pemberian obat-obatan.
Dalam hal ini pengambilan sampel urin dan darah untuk pemeriksaan

21
toksikologi wajib dilakukan.
 Apakah telah terjadi penetrasi dan ejakulasi
 Apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti pakaian.
(3) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan pakaian
Pakaian dalam keadaan rapi atau tidak. Helai demi helai diteliti apakah terdapat
robekan: baru atau lama, sepanjang jahitan, atau melintang pada bahan pakaian,
kancing putus, bercak darah, air mani, lumpur, dan sebagainya, benda-benda
yang menempel. Pakaian yang mengandung trace evidence dikirim ke
laboratorium kriminologi untuk diperiksa lebih lanjut.
b. Pemeriksaan badan
1) Umum
 Lukisan rupanya (rambut, wajah) rapi atau kusut.
 Keadaan emosi: tenang, sedih, gelisah, dan sebagainya.
 Adakah tanda-tanda bekas hilang kesadaran atau tanda-tanda bekas
berada di bawah pengaruh alkohol, obat tidur, atau obat bius.
 Apakah ada tanda-tanda needle mark, bila ada maka merupakan indikasi
untuk mengambil sampel darah dan urin.
 Adakah tanda-tanda bekas kekerasan. Memar atau luka lecet pada daerah
mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam, punggung.
 Adakah trace evidence yang menempel pada tubuh
a) Perkembangan alat seks sekunder
b) Pupil
c) Tekanan darah, kor, pulmo, abdomen, refleks
2) Khusus (pemeriksaan daerah genital)
 Adakah rambut kemaluan yang melekat menjadi satu karena air mani
yang mengering. Bila ada, rambut tadi digunting untuk diperiksa.
 Adakah bercak air mani di sekitar alat kelamin. Bila ada, hapus dengan
lidi berkapas yang dibasahi larutan garam fisiologis.
 Pada vulva teliti adanya tanda bekas kekerasan seperti hiperemi, edema,
memar, dan luka lecet.

22
 Periksa jenis selaput dara, adakah ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan
ruptur lama atau baru dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium.
 Periksa frenulum labiorum pudendi dan comissura labiorum posterior
utuh atau tidak.
 Periksa vagina dan spekulum bila keadaan alat genital memungkinkan :
periksa tanda-tanda adanya penyakit kelamin dan periksa tanda-tanda
kehamilan.
(4) Pemeriksaan laboratorium cairan vagina
Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pengambilan
sampel. Sampel didapat dari cairan vagina untuk pemeriksaan air mani dan sekret
uretra untuk pemeriksaan penyakit kelamin. Cairan vagina disedot dengan pipet
Pasteur, atau diambil dengan ose. Pada anak-anak, atau jika selaput dara utuh
sebaiknya pengambilan bahan dibatasi sampai vestibulum.
a. Penentuan spermatozoa
 Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa dengan
pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan apakah
spermatozoa bergerak.Dapat diambil sebagai patokan bahwa spermatozoa
masih bergerak kira-kira 4 jam postkoital.
 Dengan pewarnaan
Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan di udara,
fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam air, tunggu 10-
15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish 1% dalam air,
tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan dan diperikasa di bawah
mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah bagian basis kepala sperma
berwarna ungu, bagian hidung berwarna merah muda.
b. Penentuan cairan mani
 Reaksi asam fosfatase
Cairan mani menunjukkan aktitifitas enzim fosfatase yang tinggi, rata-rata
2500 unit K.A., sedangkan dalam sekret vagina, setelah 8 hari abstinensia
seksualis, ditemukan 0-6 unit. Sebagai reagen digunakan brentamin fast blue
b yang dilarutkan di dalam larutan buffer yang telah ditambah sodium a-

23
naphtyl fosfat. Enzim asam fosfatase menghidrolisis a-naphty fosfat; a-
naphtol yang telah dibebaskan bereaksi dengan brentamine di atas kertas
saring, disemprot dengan reagen, ditentukan dalam berapa detik warna violet
timbul (reaction time). Davis dan Wilson menyatakan bahwa bila waktu
reaksi kurang dari 30 detik dapat dianggap indikasi baik dan adanya cairan
mani, jika kurang dari 65 detik dapat dianggap sebagai indikasi cukup, tetapi
masih perlu dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforetik. Waktu reaksi yang
lebih dari 65 detik belum dapat menyingkirkan sepenuhnya adanya cairan
mani, karena pernah ditemukan waktu reaksi yang lebih dari 65 detik, tetapi
spermatozoa ditemukan.
 Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk diamati di
bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal kholin-
peryodida tampak berbentuk jarum-jarum yang berwarna coklat.
 Tes Berberio
Cairan vagina ditetesi larutan asam pikrat, kemudian kristal yang terbentuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya
kristal-kristal spermin pikrat berbentuk rhombik atau jarum kompas yang
berwarna kuning kehijauan.
 Elektroimmunodifusi
Digunakan serum anti air mani manusia. Selain spesifik terhadap antigen
manusia, serum ini juga mengandung zat anti terhadap enzim fosfatase.
Apabila serum ini direaksikan dengan air mani akan terbentuk enzim antibodi
kompleks yang ternyata masih memiliki sifat enzimatik dan dapat dinyatakan
dengan reagen asam phospatase. Sebagai medium digunakan plat agar yang
mengandung serum anti dalam konsentrasi kecil.
 Elektroforetik
Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan buffer pH 3
dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal bergerak
sejauh 4 cm dan asam fosfatase vaginal sejauh 3 cm.
(5) Pemeriksaan air mani yang terdapat pada pakaian
a. Visual
Tampak sebagai bercak yang berbatas jelas dan lebih gelap dari sekitarnya.

24
Bercak yang sudah agak tua berwarna sedikit kekuning-kuningan. Pada bahan
sutera atau nilon batasnya sering tidak jelas, tetapi selalu lebih gelap dari
sekitarnya.
b. Sinar ultraviolet
Menunjukkan flouresensi putih. Apa yang menyebabkan hal ini tidak diketahui.
Cara ini kurang memuaskan. Bercak air mani pada sutera buatan, nilon,
biasanya tidak memberikan flourosensi. Bahan makanan, urine, sekret vagina
juga sering menimbulkan flourosensi.
c. Taktil
Diraba dengan jari-jari tangan terasa kaku seperti cairan kanji yang tidak
menyerap. Bila diraba permukaan bercak terasa kasar.
d. Penapisan dengan reagen asam fosfatase
Selembar kertas saring yang dibasahi dengan aqua destilata dilekatkan di atas
pakaian atau sprei yang diperiksa. Setelah 5-10 menit kertas saring diangkat,
didiamkan sampai hampir kering dan disemprot dengan reagen. jika terbentuk
bercak violet, kertas saring diletakkan kembali di atas bahan sesuai dengan
letaknya semula. Dengan demikian letak bercak mani pada bahan dapat dilokasi.
e. Pencairan spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa yang terbesar terdapat di bagian sentral dari bercak.
Dari bagian itu diambil sebagian kecil, dipulas dengan pewarnaan Baeechi.
Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci di dalam HCl 1%, dihidrasi dalam alkohol
70%, 80%, dan 95-100%, dan dijernihkan dengan xilol. Kemudian dikeringkan
dengan meletakkannya di atas kertas saring. Dengan jarum preparir atau jarum
suntik diambil sehelai atau dua benang, diletakkan di atas kaca mikroskopik dan
diurai sampai menjadi serabut-serabut. Ditutup dengan balsem Kanada dan
diperiksa dengan pembesaran 500x.

2.10 Pemeriksaan DNA


Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa
pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus
sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat
divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip
dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA
ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama

25
persis dengan orang lain. Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari
benda bukti atau karban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka
menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma. Adanya kemungkinan
percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena
pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya
kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya memiliki saudara kembar
identik. Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak
DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan tehnik
Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya dua.
Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat
digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan
pelaku lebih dari satu.
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (Polymerase Chain
Reaction atau PCR) membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan
metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah
karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin
yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan
juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini
analisis DNA dapat dilakukan dengan sistem dotblot yang berbentuk bulatan berwarna
biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa
dengan metode sekuensing.

26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si korban dipaksa untuk
melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, di luar
kemauannya sendiri. Perkosaan sekarang dikenal sebagai sebuah tindak kriminal
perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari suatu kelompok seksual oleh suatu
anggota kelompok seksual lainnya. Dalam pengertian lain, perkosaan adalah segala
bentuk pemaksaan hubungan seksual. Dalam perundang-undangan yang ada di
Indonesia, Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak penyidik membutuhkan
keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada
pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan membutuhkan bantuan
keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu
keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan
korban. Kekerasan seksual masih merupakan hal yang tabu dan memalukan di
lingkungan masyarakat. Karena tindak perkosaan dapat memberi dampak psikologis
yang besar bagi korbannya, kasus perkosaan seringkali gagal terungkap dan terdapat
banyak kesulitan dalam pembuktiannya, terutama di Indonesia. Pembuktian secara
kedokteran pada setiap kasus kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya
terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-
tanda kekerasan, perkiraan umur, serta pembuktian apakah seseorang itu memang
sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak. Proses pemeriksaan tersebut
harus dilakukan dengan teliti dan sewaspada mungkin, pemeriksa juga harus yakin akan
semua bukti yang ditemukannya karena tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti, karena semuanya
berhubungan dengan bukti-bukti yang akan menjadi dasar untuk membebaskan atau
menuntut tersangka pelaku perkosaan tersebut.

3.2. Saran
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.
Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya

27
yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai
prinsip- prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak
bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan. Selain itu, akan lebih
baik apabila dalam kasus perkosaan dapat dilengkapi dengan visum yang melibatkan
psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka panjang seperti
post traumatic stress disorder atau post traumatic rape syndrome. Keterlibatan psikiater
atau relawan pendamping (umumnya psikolog, sosiolog, atau sarjana keperawatan)
sebagai "lingkaran dalam" korban karena berkesempatan menangkap aktualitas
penderitaan korban. Adapun dokter forensik sering berkesempatan memeriksa lewat
dari tiga hari kejadian perkosaan.
Semoga kedepannya penanganan kasus perkosaan dapat semakin ditingkatkan,
karena perkosaan merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus keseluruhan dari trias
HAM perempuan. Trias HAM perempuan tersebut yaitu hak atas persamaan, hak atas
otonomi, dan hak integritas pribadi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian


Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang. 2004: 130-131.
3. Idries A. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara, Jakarta.
4. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan;
2011. h. 1-5.
5. Meilia, Putri Dianita Ika. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)
Kekerasan Seksual. Cermin Dunia Kedokteran-196. 2012; 39(8); 579-583.
6. Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah. 2011;
11(1); 187-200.

29

Anda mungkin juga menyukai