Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Sebelum membahas pengertian asuransi kesehatan sosial atau yang dikenal dengan

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), beberapa pengertian yang patut diketahui terkait dengan

asuransi tersebut adalah:3

 Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari

peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi

yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).

 Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan

Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan.

 Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar

dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dimulai sejak 1 Januari tahun 2014

yang dilakukan secara bertahap dengan harapan dapat mencapai Universal Health Coverage

pada tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang Undang. Tujuan Jaminan Kesehatan

Nasional dijelaskan dalam UU SJSN (2004) Pasal 2 yang menyatakan bahwa kebijakan ini

dipilih oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat

Indonesia. Dengan demikian prinsip keadilan harus dipergunakan dalam kebijakan JKN.4

2. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional

Kepesertaan JKN merupakan setiap orang termasuk warga asing yang bekerja paling

singkat selama enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.

Kepesertaan dalam Jaminan Kesehatan Nasional meliputi:5


1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong

fakir miskin dan orang yang tidak mampu.

2. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah orang yang tidak tergolong fakir

miskin dan orang tidak mampu yang terdiri dari:

a. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya yaitu:

1) Pegawai Negeri Sipil;

2) Anggota TNI;

3) Anggota Polri;

4) Pejabat Negara;

5) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;

6) Pegawai Swasta; dan

7) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai angka (6) yang menerima Upah.

b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya yaitu:

1) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri;

2) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) yang bukan penerima Upah;

3) Pekerja sebagaimana dimaksud angka (1) dan angka (2), termasuk warga Negara

Asing yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan.

c. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri dari:

1) Investor;

2) Pemberi Kerja;

3) Penerima Pensiun;

4) Veteran;

5) Perintis Kemerdekaan; dan

6) Bukan Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (5) yang

mampu membayar Iuran.


d. Penerima pensiun terdiri dari:

1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;

2) Anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;

4) Penerima Pensiunan selain angka (1), (2) dan (3); dan

5) Janda, duda atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud

pada angka (1) sampai dengan angka (4) yang mendapat hak pensiun.

3. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas dua jenis yaitu manfaat medis berupa

pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans

hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang

ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.6

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan

kebutuhan medis.6

Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

1. Penyuluhan kesehatan perorangan

Penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan

sehat.

2. Imunisasi dasar

Imunisasi yang meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertussis Tetanus dan

Hepatitis (DPTHB), polio dan campak

3. Keluarga berencana
Pelayanan yang meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi bekerja

sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar

dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah

4. Skrining kesehatan

Diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah

dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Namun ada manfaat yang tidak dijamin dalam

JKN yaitu pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,

pelayanan yang bertujuan kosmetik, tidak sesuai dengan prosedur, general check up,

pengobatan alternatif, pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi,

pasien bunuh diri dan narkoba.

4. PRINSIP PRINSIP JAMINAN KESEHATAN NASIONAL3

Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) berikut:

- Prinsip kegotongroyongan

Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup

bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam

SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang

kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan

peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN

bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui

prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

- Prinsip nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah

nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama
adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang

dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya,

akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

- Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang

berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

- Prinsip portabilitas

Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang

berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat

tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

- Prinsip kepesertaan bersifat wajib

Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat

terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya

tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan

penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal,

bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga

pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.

- Prinsip dana amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan

penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana

tersebut untuk kesejahteraan peserta.

- Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial

dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar

kepentingan peserta.
Program JKN merupakan implementasi dari Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial

Nasional dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk mencapai UHC. Jaminan

kesehatan yang meyeluruh harus mencakup 3 (tiga) akses: 5

1. Akses Fisik

Di mana ketersediaan layanan kesehatan yang baik, terjangkau dari segi jarak, jam buka yang

tersedia pada saat dibutuhkan.

2. Keterjangkauan Keuangan

Memperhitungkan kemampuan membayar pasien, tidak hanya dari biaya pelayanan

kesehatan, tapi juga opportunity cost yang terjadi.

3. Akseptabilitas

Kesediaan orang untuk mencari layanan. Penerimaan pasien terhadap layanan rendah ketika

melihat layanan tidak efektif atau ketika faktor-faktor sosial dan budaya seperti bahasa atau

usia, jenis kelamin, dan etnis/agama dari penyedia kesehatan mencegah mereka mencari

layanan tersebut.

5. ISI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL OLEH BPJS

KESEHATAN2

Dalam konteks implementasi kebijakan, keberhasilan sebuah kebijakan menurut Marille S

Grindle (1980) dibagi menjadi dua bagian yaitu isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Isi

kebijakan terdiri dari: (1) Kepentingan kelompok sasaran, (2) Tipe Manfaat, (3) Letak

pengambilan keputusan, (4) Derajat Perubahan, (5) Pelaksana program, (6) Sumber Daya.

- Kepentingan Kelompok Sasaran

Jaminan Kesehatan Nasional memiliki sasaran untuk semua masyarakat Indonesia tanpa

memisahkan golongan apapun, karena mereka miliki misi pada tahun 2019 semua

masyarakat Indonesia sudah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Hal tersebutlah

yang menjadi kelompok sasaran dari Jaminan Kesehatan Nasional, jadi semua masyarakat
Indonesia yang menjadi kelmpok sasaran. Kepentingan masyarakat dari semua golongan

sebagai sasaran atau objek program jaminan kesehatan nasional dari Pemkot Semarang

adalah untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik di fasilitas-fasilitas kesehatan yang

telah ditetapkan dengan anggaran APBN dan bisa dijangkau oleh masyarakat golongan

bawah.

- Manfaat Yang Dapat Diperoleh Dari Peserta Jaminan Kesehatan Nasional

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan mutu

kesehatan dan mampu dijangkau oleh semua golongan, terutama kalangan masyarakat

menengah ke bawah. Pelayanan kesehatan menjadi aspek penting yang diperhatikan oleh

pemerintah selain pendidikan dan ekonomi. Masyarakat yang sudah terdaftar sebelumnya

sebagai peserta ASKES, ASKESKIN, JAMKESMAS, JAMKESDA secara otomatis tersebut

tidak lagi membayar iuran setiap bulannya karena sudah mendapatkan Penerima Bantuan

Iuran (PBI). Dana yang diperoleh BPJS Kesehatan untuk peserta PBI diambil dari APBD

Jawa Tengah. Akan tetapi, berbeda lagi dengan peserta yang melakukan pendaftaran secara

mandiri. Mereka dikenakan premi pembayaran setiap bulannya tergantung kelas yang

dipilihnya. Manfaat yang didapat dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta

JKN terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

- Letak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Untuk dapat diimplementasikan, kebijakan-kebijakan yang telah diambil dan dibuat oleh

berbagai instansi pemerintah, kemudian dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis dan juga

mempunyai kekuatan hukum. Dokumen tertulis yang lazim ini disebut dengan produk

hukum, dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki pengambilan keputusan dalam kebijakan.

Kebijakan JKN sudah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Dasar hukumnya adalah

UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ketika awal pelaksanaan
JKN tahun 2014 ini memang memiliki banyak masalah yang terjadi di lapangan karena masih

terjadi kurangnya koordinasi. Akhirnya munculah Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun

2014 tentang pedoman pelaksanaan JKN. Semua pelaksanaan sudah diatur dalam Permenkes

No. 28 tersebut. Dalam penerapan kebijakan JKN, ada tiga lembaga yang juga berpengaruh

didalamnya yaitu BPJS Kesehatan selaku lembaga yang ditugaskan untuk menjalankan JKN,

Kementrian Kesehatan Pusat serta Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

- Derajat Perubahan Jaminan Kesehatan Nasional

Setiap kebijakan memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Seperti halnya kebijakan Jaminan

Kesehatan Nasional, memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dan juga

meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. meningkatkan mutu

kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pada awalnya, pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh pemerintah baik itu pusat maupun kabupaten/kota masih jauh dari harapan

terutama bagi masyarakat golongan kebawah. Akan tetapi, pemerintah terus berusaha untuk

memberikan pelayanan kesehatan yang baik dengan memunculkan kebijakan-kebijakan

terkait jaminan kesehatan.

Puncaknya adalah ketika pada tanggal 1 Januari 2014 silam yaitu dengan di terbitkannya

Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sebagai wujud perbaikan

system jaminan kesehatan yang ada di Indonesia. BPJS Kesehatan ini merupakan bentuk

transformasi dari PT. ASKES (Persero). Tentunya, kemunculan kebijakan Jaminan Kesehatan

Nasional ini merupakan awal perubahan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Indonesia guna meningkatkan mutu kesehatan. Agar nantinya tidak ada lagi yang merasa

disulitkan ketika akan berobat kerumah sakit terutama bagi masyarakat miskin.

- Sumber Daya Terhadap Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Peranan sumber daya bagi implementasi sebuah kebijakan memiliki peranan yang sangat

penting terutama sumber daya manusia dan sumber daya finansial atau anggaran. Sebuah
kebijakan pastilah dibutuhkan sumber daya untuk menjamin keberlangsungan kebijakan

terebut baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran. Sumber daya manusia

sebagai implementasi suatu kebijakan, sehingga dapat berjalan secara efisisien apabila

sumber dayanya mencukupi dan dapat bekerja secara professional dan efektif didalam

menjalankan sebuah prigram sesuai dengan rumusan kebijakan yang telah ditentukan.

Adapun sumber daya finansial juga memiliki kedudukan yang sangat penting karena

implementasi kebijakan tidak akan berjalan apabila secara finansial tidak mencukupi.

Akibatnya implementasi kebijakan akan berjalan lamban.

Sumber : Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD. Dr. Adjidarmo Kabupaten Lebak
Sumber : Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD. Dr. Adjidarmo Kabupaten Lebak

Jaminan kesehatan ini diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi

sosial dan prinsip ekuitas dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Manfaat jaminan ini meliputi pelayanan kesehatan perseorangan mulai dari pelayanan

promotif, preventif, kuratif,hingga rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai

yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan milik

pemerintah dan swasta yang menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS). Namun, dalam keadaan darurat, pelayanan dapat diberikan di fasilitas

kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS.8


Dalam UU SJSN, peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang yang telah

membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Mereka yang dibayarkan oleh

Pemerintah (PBI) adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan, orang yang mengalami cacat

total, fakir miskin dan orang tidak mampu. Untuk peserta yang mengalami pemutusan

hubungan kerja, kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku selama enam bulan setelah

pemutusan hubungan kerja. Namun, jika setelah enam bulan belum mendapat pekerjaan dan

tidak mampu membayar iuran, iuran dibayar oleh pemerintah.8

Besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan

persentase dari upah sampai dengan batas tertentu yang secara bertahap ditanggung bersama

oleh pekerja dan pemberi kerja. Untuk peserta yang tidak menerima upah, besaran iuran

jaminan kesehatan ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala. Sedangkan

untuk PBI, besaran iuran ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.8

Dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional, dipilih mekanisme asuransi sosial dan

bukan mekanisme pajak. Oleh karenanya, besaran iuran dan jaminan yang didapat perlu

dihitung secara benar. Hitungan para ahli menyimpulkan besaran iuran sebesar Rp25.424 per

orang per bulan untuk PBI yang dibayar oleh pemerintah. Besaran iuran tersebut untuk

pelayanan di puskesmas dan rumah sakitpemerintah. Sedangkan iuran berbasis harga

keekonomian dengan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan juga oleh fasilitas kesehatan

milik swasta sebesar Rp59.413 per orang per bulan. Untuk PBI, Kementerian Kesehatan

mengusulkan iuran sebesar Rp22.000 per orang per bulan dan Dewan Jaminan Sosial

Nasional mengusulkan iuran sebesar sebesar Rp27.000 per orang per bulan. Namun, besaran

iuran PBI yang ditetapkan sebesar Rp19.225 per orang per bulan. Pembayaran iuran PBI oleh

pemerintah ke BPJS merupakan mekanisme aliran dana dari pusat ke daerah yang paling

efektif. Penduduk yang dijamin ada di daerah sedangkan iuran dibayar oleh pemerintah pusat.

Jika sakit, dapat memperoleh pelayanan kesehatan di daerah.8


Di sisi lain, besaran iuran bagi pekerja penerima upah ditetapkan 5% dari gaji. Untuk

Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI/ Polri, persentase tersebut terdiri dari 3% yang

ditanggung pemerintah sebagai pemberi kerja dan 2% ditanggung setiap pegawai. Sedangkan

untuk pekerja dengan pendapatan tetap yang selama ini menjadi anggota Jamsostek,

pemerintah berkeinginan menetapkan 4% ditanggung pengusaha sebagai pemberi kerja dan

1% ditanggung pekerja. Namun, para pekerja menuntut iuran sepenuhnya menjadi tanggung

jawab pengusaha. Besaran iuran tersebut sudah disepakati dalam rapat koordinasi dengan

sejumlah menteri tetapi belum ditetapkan sebagai peraturan presiden padahal pelaksanaan

Jaminan Kesehatan Nasional kurang dari empat bulan lagi.8

6. SISTEM RUJUKAN BERJENJANG

Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang

mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik

baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau

asuransi kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.7

Tata Cara Sistem Rujukan Berjenjang

1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan

medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat

pertama

b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas

kesehatan tingkat kedua

c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas

rujukan dari faskes primer.

d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan

dari faskes sekunder dan faskes primer.

2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya

untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan

pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.

3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

a. terjadi keadaan gawat darurat;

Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku

b. bencana;

Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah

c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien;

untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat

dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan

d. pertimbangan geografis; dan

e. pertimbangan ketersediaan fasilitas


4. Pelayanan oleh bidan dan perawat

a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan

tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi

pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan

kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter

dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama

5. Rujukan Parsial

a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan

kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang

merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.

b. Rujukan parsial dapat berupa:

1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan

2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang

c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien

dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

7. PROGRAM RUJUK BALIK ERA JKN

Program rujuk balik di era jaminan kesehatan nasional (JKN) ini menjadi salah satu

program unggulan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS

Kesehatan. Selain mempermudah akses pelayanan kepada penderita penyakit kronis, program

rujuk balik membuat penanganan dan pengelolaan penyakit peserta BPJS Kesehatan menjadi

lebih efektif.5,6
Jika pasien sudah dinyatakan pulih oleh dokter rumah sakit, maka pengobatan

dilanjutkan di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, misalnya Puskesmas. Mekanisme

ini diawali surat rekomendasi dokter rumah sakit tentang kondisi pasien. Selanjutnya, pasien

bisa mendaftar ke fasilitas pelayanan primer atau kantor cabang BPJS untuk dimasukkan

dalam mekanisme rujuk balik.

Setelah itu, pasien akan menerima pengobatan di fasilitas kesehatan primer dan

menebus obat di apotek yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pada awal

dimulainya JKN, obat bagi penderita penyakit kronis sempat menjadi masalah, karena obat

hanya diberikan 3-7 hari. Obat tersebut pun harus diambil di rumah sakit melalui rujukan dari

faskes primer. Kondisi ini membuat tidak nyaman peserta BPJS Kesehatan karena harus

bolak-balik mengantre untuk mendapatkan obat.

Sesuai SE Menkes Nomor 32 tersebut, pada masa transisi terdapat 3 jenis obat yang

dapat ditagihkan diluar paket InaCBGs, yaitu pelayanan kronis bagi pasien yang kondisinya

belum stabil, pelayanan obat kronis bagi pasien yang kondisinya sudah stabil dan pelayanan

obat kemoterapi untuk penderita Thalasemia dan Hemofilia akan ditambahkan tarif top up.

Keluhan pelayanan obat banyak disampaikan oleh peserta BPJS eks peserta Askes

karena sebelumnya mendapat obat rutin untuk 30 hari. Namun dikarenakan terdapat

perubahan terhadap pola pembayaran ke rumah sakit dengan menggunakan INA CBG’s saat

PT Askes berubah menjadi BPJS Kesehatan.

Kini, persoalan itu sudah bisa di atasi dan pengelolaan di faskes primer. Dalam JKN

cakupan pelayanan obat yang diperoleh oleh peserta BPJS Kesehatan adalah pemberian obat

di Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)/Rawat Inap Tingkat Pertama di fasilitas kesehatan
tingkat primer, serta pemberian obat di Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)/Rawat Inap

Tingkat Lanjutan (RITL) di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.

Daftar dan harga obat dan bahan medis habis pakai (BMHP) mengacu pada daftar dan

harga obat dan BMHP yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Untuk daftar obat dan

BMHP mengacu kepada Formularium Nasional (Fornas) dan untuk daftar harga obat dan

BMHP mengacu kepada e-catalogue.

Untuk sistem pembiayaannya, pelayanan obat dan BMHP di fasilitas kesehatan

tingkat pertama sudah termasuk dalam komponen kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan.

Begitu pula dengan pelayanan obat, alat kesehatan dan BMHP pada fasilitas kesehatan

rujukan tingkat lanjutan merupakan salah satu komponen yang dibayarkan dalam paket INA

CBGs.5,6

Pelayanan Obat Penyakit Kronis yang Kondisinya Belum Stabil.5,6

Apabila kondisi penyakit kronisnya belum stabil, maka fasilitas kesehatan tingkat

lanjutan dapat memberikan tambahan resep obat penyakit kronis (mengacu kepada Fornas)

diluar paket INA CBGs sesuai indikasi medis sampai jadwal kontrol berikutnya.

Peserta yang menderita penyakit kronis yang belum stabil diberikan resep obat untuk

kebutuhan 30 hari sesuai indikasi medis yang pemberiannya terbagi dalam 2 (dua) resep:

1. Kebutuhan obat untuk sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari disediakan oleh rumah sakit,

biaya sudah termasuk dalam komponen paket INA CBGs.

2. Kebutuhan obat untuk sebanyak-banyaknya 23 (dua puluh tiga) hari diresepkan oleh

dokter yang merawat, diambil di Instalasi farmasi Rumah Sakit atau Apotek/Depo
Farmasi yang ditunjuk. Biaya obat ini ditagihkan secara fee for service kepada BPJS

Kesehatan oleh IFRS/ Apotek/Depo Farmasi tersebut.

Pelayanan Obat Penyakit Kronis yang Kondisinya Sudah Stabil5,6

Obat untuk penyakit kronis yang kondisinya sudah stabil dapat diberikan oleh fasilitas

kesehatan tingkat pertama sebagai Program Rujuk Balik. Obat Program Rujuk Balik

diresepkan oleh dokter fasilitas kesehatan tingkat pertama berdasarkan rekomendasi dari

dokter spesialis/sub spesialis.

Jenis penyakit yang termasuk di dalam cakupan Program Rujuk Balik adalah Diabetes

Mellitus, Hipertensi, Jantung, Asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Epilepsi,

Schizophrenia, Stroke, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Sirosis Hepatis. Namun

sesuai dengan rekomendasi perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dan Komite

Nasional Fornas, Sirosis Hepatis tidak dapat dilakukan rujuk balik ke fasilitas kesehatan

tingkat pertama karena:

1. Sirosis Hepatis merupakan penyakit yang tidak curable

2. Tidak ada obat untuk Sirosis Hepatis

3. Setiap gejala yang timbul mengarah kegawatdaruratan (misal: esophageal bleeding)

harus ditangani di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan

4. Tindakan-tindakan medik untuk menangani gejala umumnya hanya dapat dilakukan

di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.

Resep obat Program Rujuk Balik dapat diberikan untuk kebutuhan 30 hari dan obat diambil

di Apotek/Depo Farmasi yang melayani Program Rujuk Balik.


Pelayanan obat Kemoterapi, Thalassemia dan Hemophilia5,6

Disamping dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat III, pemberian obat kemoterapi,

thalassemia dan hemophilia dapat juga dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat II denga

mempertimbangkan kemampuan fasilitas kesehatan dan kompetensi SDM kesehatan.

Pemberian obat kemoterapi dan thalassemia dapat diberikan pada pelayanan Rawat

Jalan Tingkat Lanjutan berdasarkan indikasi medis. Pada masa transisi:

1. Pelayanan kemoterapi baik pada rawat jalan maupun rawat inap ditagihkan dengan

paket INA CBGs dan obatnya dapat ditagihkan secara fee for service kepada BPJS

Kesehatan

2. Pelayanan obat mengacu kepada Fornas, Pedoman Pelaksanaan Fornas dan ketentuan

lain yang berlaku

3. Pasien thalassemia yang dilayani di rawat jalan tingkat lanjutan ditagihkan sebagai

kasus rawat inap

4. Pasien hemophilia A dan Hemophilia B yang dirawat inap, pengajuan klaim berupa

tarif INA CBGs ditambah tarif top up sesuai ketetapan Menkes, diajukan secara fee

for service

5. Tarif tambahan tersebut sama untuk semua tingkat keparahan dan kelas perawatan

Pelayanan Program Rujuk Balik adalah Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada

penderitapenyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau

asuhankeperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di Faskes Tingkat Pertama atas

rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis yang merawat.7

1. Bagi Peserta

a. Meningkatkan kemudahan akses pelayanan kesehatan


b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang mencakup akses promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif

c. Meningkatkan hubungan dokter dengan pasien dalam konteks pelayanan holistik

d. Memudahkan untuk mendapatkan obat yang diperlukan

2. Bagi Faskes Tingkat Pertama

a. Meningkatkan fungsi Faskes selaku Gate Keeper dari aspek pelayanan komprehensif

dalam pembiayaan yang rasional

b. Meningkatkan kompetensi penanganan medik berbasis kajian ilmiah terkini (evidence

based)

melalui bimbingan organisasi/dokter spesialis

c. Meningkatkan fungsi pengawasan pengobatan

3. Bagi Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan

a. Mengurangi waktu tunggu pasien di poli RS

b. Meningkatkan kualitas pelayanan spesialistik di Rumah Sakit

c. Meningkatkan fungsi spesialis sebagai koordinator dan konsultan manajemen penyakit

Peserta mendaftarkan diri pada petugas Pojok PRB dengan menunjukan :

a. Kartu Identitas peserta BPJS Kesehatan

b. Surat Rujuk Balik (SRB) dari dokter spesialis

c. Surat Elijibilitas Peserta (SEP) dari BPJS Kesehatan

d. Lembar resep obat/salinan resep

Setelah peserta mengisi formulir pendaftaran peserta PRB, peserta menerima buku kontrol

Peserta PRB

8. PERMASALAHAN YANG HADIR DALAM KEHIDUPAN DI ERA JKN

Kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai harapan apabila badan pelaksana

mampu memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat melalui sosialisasi


yang berdampak pada penerimaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.Akan tetapi realita

yang terjadi tidak semua masyarakat dan badan usaha sepenuhnya memahami secara detail

mengenai kebijakan ini, termasuk mengenai hal-hal teknis yang bersifat prosedural untuk

mengikuti jaminan kesehatan ini.Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dari masyarakat

dan itu merupakan bagian dari tugas penyelenggara jaminan kesehatan untuk melakukan

sosialisasi secara kontinu agar tidak terjadi ketidakpahaman masyarakat mengenai kebijakan

tersebut. Dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan melalui BPJS

Kesehatan yang kepesertaannya bersifat wajib bagi setiap Warga Negara (Kemenkes, 2013),

salah satu indikator keberhasilan dari kebijakan jaminan kesehatan ini dinilai dari penerimaan

masyarakat yang ikut terlibat sebagai peserta dari BPJS Kesehatan.4

Pengaruh Lingkungan Kebijakan Terhadap Isi Kebijakan Jaminan Kesehatan

Nasional

Analisis pengaruh lingkungan terhadap keberhasilan implementasi kebijakan dapat

dilihat dari keterkaitan keadaan sosial ekonomi dan budaya serta responsifitas dari

masyarakat.

- Kebijakan Operasional Jaminan Kesehatan Nasional

Suatu kebijakan yang dibuat, perlu diperhitungkan terlebih dahulu kekuatan atau

kekuasaan, kepentingan, dan juga aktor yang berperan didalamnya guna

memperlancar jalannya kebijakan tersebut. Dalam kebijakan pelaksanaan Jaminan

Kesehatan Nasional di kota besar kekuasaan dan kepentingan dari aktor tidak

mempengaruhi keberlangsungan jalannya kebijakan JKN. Hal itu dikarenakan

semuanya dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan dan diawasi oleh Kementrian

Kesehatan yang bertanggung jawab langsung dibawah presiden.

- Karakteristik Lembaga
Karakteristik lembaga merupakan lingkungan dimana berpengaruhnya dari

pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam konteks pelaksanaan Kebijakan Jaminan

Kesehatan Nasional di Kota besar, dua lembaga yang berperan penting dalam

pelaksanaannya adalah Dinas Kesehatan Kota dan BPJS Kesehatan Kantor Cabang

Utama

- Tingkat Kepatuhan dan Respon Pelaksana

Berdasarkan pengamatan dan penjelasan di kota Semarang yang diberikan oleh para

narasumber, tidak ditemukan adanya penolakan dari pihak internal BPJS Kesehatan

Kantor Cabang Utama Semarang ataupun Dinas Kesehatan Kota Semarang terhadap

pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Semarang. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh cukup tersedianya sumber-sumber dana dalam pelaksanaan JKN dan

juga karena memang JKN ini sumber dananya lebih besar berasal dari hasil premi

masyarakat dan anggaran APBN secara langsung yang turun untuk BPJS Kesehatan

selaku lembaga penyelenggara JKN tersebut.

Hambatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional9

Dalam pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan, muncul beberapa hambatan dan

keluhan yang terjadi baik dari eksternal yang dialami oleh pemberi pelayanan yang berasal

dari luar organisasi itu sendiri maupun internal hambatan yang berasal dari dalam organisasi

itu sendiri.

a. Hambatan Eksternal

1. Kurangnya kesadaran dari masyarakat Untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri

masyarakat memang tidak mudah. Banyak masyarakat yang tidak mengerti

pentingnya jaminan sosial. Banyak masyarakat yang tidak memahami pentingnya

berbadi dalam subsidi silang ini. Tidak hanya dari kaum menegah kebawah yang

merasa pembayaran masih mahal, namun datang juga dari kaum menengah keatas
dimana mereka malah menggunkan atau memilih golongan III yaitu dengan biaya

premi terendah, padahal mereka mampu untuk membayar dengan golongan I.

2. Kesadaran bagi peserta mandiri untuk membayar iuran Banyak warga yang

mendaftar JKN hanya untuk mendaptkan pengobatan gratis selama dia sakit, setelah

itu banyak warga yang tidak membayar lagi setelah merasa sakitnya sudah sembuh.

Padahal sudah dijelaskan jika warga tidak membayar iuran selama 6 bulan maka

keanggotaannya akan dicabut, dan berdasarkan peraturan baru dijelaskan bahwa

keanggotaan baru setidaknya menunggu 7 hari sebelum mendapat jaminan.

Seharusnya dapat dipahami oleh semua warga bahwa jaminan kesehatan itu sangatlah

penting.

3. Peserta JKN belum paham sistem rujukan berjenjang dan prosedur pelayanan JKN

Hal ini terkait dengan sosialisasi yang dilakukan, mungkin kurang menyeluruh atau

bisa juga cenderung masyarakat yang acuh apabila ada petugas datang dan

menjelaskan mengenai Jaminan Kesehatan ini. Banyak masyarakat yang bingung

mengenai dimana tempat Fasilitas Kesehatannya, dimana dia harus berobat kalau

dirujuk, dan sebagainya. Hal ini diharapkan menjadi perhatian besar bagi

penyelenggara dan juga pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional.9

b. Hambatan internal

1. Regulasi yang masih terus mengalami perubahan Pemerintah selalu berupaya

memberikan pilihan kebijakan yang terbaik bagi masyarakatnya, dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan mengikat inilah kebijakan dapat ditegakkan dengan

baik. Peraturan yang ada diupayakan untuk dibuat semaksimal mungkin. Dalam

pelaksanaannya, pemerintah merasa masih banyak hal hal yang perlu diperbaiki dalam

peraturannya, seperti misal mengenai perubahan kapitasi.9


Kebijakan JKN menurut masyarakat

Pengukuran respon masyarakat dengan 3 indikator yang terdiri dari persepsi, sikap

dan partisipasi. Adapun respon masyarakat peserta baik berupa pemahaman pengetahuan,

penilaian, penolakan ,pengharapan, menikmati, pelaksanaan, menilai, peran serta dan kualitas

dari ketiga indikator tersebut.10

Menurut Supriyanto & Wulandari mutu adalah pelayanan yang dapat memenuhi

ekpektasi pelanggan dan memahami kebutuhan pelanggan di masa mendatang. Mutu

pelayanan kesehatan menurut Donabedian adalah aplikasi dari ilmu medis dan teknologi

untuk memaksimalkan manfaat kesehatan tanpa adanya peningkatan resiko. Selanjutnya

menurut Mosadeghrad baiknya mutu pelayanan kesehatan bila pasien dilayani dengan

pelayanan yang sesuai,baik dari segi cara melayani yang berkompeten, komunikasi yang

baik, pengambilan keputusan bersama dan kepekaan budaya. Pelayanan yang sesuai berarti

pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, tidak berlebihan dalam memberikan

pelayanan, tidak memberikan pelayanan yang kurang atau bahkan tidak memberikan

pelayanan yang dibutuhkan pasien. Banyak definsi mengenai mutu secara luas maupun mutu

pelayanan kesehatan, hal ini karena mutu memiliki konsep yang abstrak. Konsep mutu yang

abstrak menyebabkan definisi mutu bergantung pada perspektif masing-masing individu.

Selain sulit mendefinisikan mutu pelayanan kesehatan karena memiliki konsep yang asbtrak,

penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan juga menjadi sulit karena karakteristik mutu

pelayanan kesehatan yang bersifat intangible.11

Kepuasan pengguna pelayanan kesehatan sering kali digunakan sebagai indikator

mutu pelayanan kesehatan. Hal ini karena fasilitas kesehatan memiliki orientasi terhadap

pengguna (customer orientated) dalam memasaarkan pelayanannya, sehingga fasilitas

kesehatan perlu mengevaluasi mutu pelayanannya berdasarkan perspektif pengguna

layanannya tersebut. Kepuasan pengguna pelayanan merupakan persepsi dan evaluasi


pengguna terhadap pelayanan yang mereka terima. Puas atau tidaknya seorang individu

ditentukan berdasarkan persepsi mereka terhadap suatu pelayanan yang mereka terima.

Ketika individu menerima pelayanan melebihi atau sesuai dengan harapannya, maka individu

akan merasa puas. Namun ketika individu menerima pelayanan kurang dari harapan atau

ekspektasi mereka, maka individu akan merasa kurang puas atau tidak puas. Kepuasan

merupakan outcome dari proses layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan.

Terdapat beberapa indikator kepuasan yang dapat digunakan untuk mengatahui kualitas atau

mutu pelayanan yaitu seperti indikator Reliability, Assurance, Tangibles, Empathy, dan

Responsiveness (RATER).11

Terdapat 14 unsur atau indikator untuk menilai kepuasan masyarakat menurut

Kepmenpan Nomor Kep/25/M.PAN/2/2004 yaitu sebagai berikut: Indikator pertama adalah

indikator prosedur pelayanan. Pada indikator ini masyarakat menilai unit pelayanan instanasi

pemerintah berdasarkan kemudahan masyarakat dalam memahami alur pelayanan yang ada

di unit tersebut. Indikator kedua adalah persyaratan pelayanan. Masyarakat menilai

kemudahan mereka dalam memenuhi persyaratan teknis maupun administratif untuk

mendapatkan Pelayanan di intansi pemerintah. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) juga

menjadi salah satu aspek penilaian masyarakat terhadap pelayanan di unit pelayanan instansi

pemerintah, terutama SDM yang memberikan pelayanan tersebut. Hal ini terlihat pada

indikator ketiga, indikator keempat, indikator kelima, indikator keenam dan indikator

kesembilan. 11

Indikator ketiga adalah mengenai kejelasan petugas pelayanan. Keberadaan dan

kepastian petugas pemberi pelayanan menjadi aspek yang dinilai oleh masyarakat untuk

mengetahui tingkat kepuasan masyarakat. Kepastian yang dimaksud dalam indikator ini

adalah kepastian nama, jabatan, kewenangan dan tanggung jawab petugas pelayanan.

Indikator keempat adalah kedisiplinan petugas yaitu sikap disiplin petugas pelayanan selama
memberikan pelayanan. Indikator kelima adalah tanggung jawab petugas pelayanan.

kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas selama memberikan pelayanan menjadi

penilaian dalam indikator ini. Selanjutnya adalah indikator kelima yaitu indikator

kemampuan petugas pelayanan. Aspek yang dilihat oleh masyarakat yaitu keahlian dan

keterampilan petugas dalam memberikan pelayanan. Indikator terakhir yang berkaitan dengan

sumber daya manusia adalah indikator kesembilan yaitu kesopanan dan keramahan petugas

pelayanan. Sikap ramah dan sopan petugas pemberi pelayanan dalam memberikan pelayanan

terhadap masyarakat merupakan poin penting yang dinilai oleh masyarakat. 11

Indikator ketujuh dalam menilai kepuasan masyarakat adalah kecepatan pelayanan.

Kecepatan pelayanan didasarkan pada yaitu standar waktu dalam menyelesaikan pelayanan

yang telah ditentukan oleh fasilitas pemberi pelayanan. Indikator kedelapan adalah keadilan

mendapat pelayanan. Keadilan yang dimaksud adalah tidak adanya pembedaan golongan

atau status masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aspek keuangan

juga menjadi salah satu aspek yang dinilai masyarakat terhadap unit pelayanan instanasi

pemerintah. Hal ini terlihat pada indikator kesepuluh dan kesebelas merupakan indikator

yang berkaitan dengan biaya. Indikator kesepuluh adalah kewajaran biaya pelayanan yaitu

masyarkat menilai dari keterjangkauan biaya pelayanan oleh masyarakat. Selanjutnya

indikator kesebelas adalah kepastian biaya pelayanan yaitu kesesuaian antara biaya yang

dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan oleh fasilitas pemberi pelayanan. Selain

sebelas indikator diatas, aspek kepastian jadwal pelayanan menjadi salah satu indikator

untuk menilai kepuasan masyarakat. Jadwal pelayanan dianggap pasti bila waktu pelayanan

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh unit pelayanan instansi

pemerintah.Kondisi lingkungan fasilitas pemberi pelayanan juga menjadi indikator penilaian

masyarakat. Indikator ketiga belas adalah kenyamanan lingkungan. Kondisi sarana dan

prasarana fasilitas pemberi pelayanan yang bersih rapi, teratur dan nyaman menjadi tolak
ukur indikator ini.Indikator terakhir penialian masyarakat terhadap unit pelayanan instanasi

pemerintah adalah keamanan pelayanan. Hal ini terkait tingkat keamanan lingkungan, sarana

dan prasarana fasilitas pemberi pelayanan.11

Ketidakpusaan yang dirasakan oleh pasien yang dinilai dari dimensi mutu seperti

waktu tunggu yang lama, kecepatan prosedur pelayanan yang terganggu karena petugas yang

tidak ada di tempat pada saat pasien membutuhkan pelayanan, waktu untuk berkonsultasi

mengenai masalah kesehatan yang sedikit,dan pasien tidak terlayani karena berobat di luar

jam kerja FKTP. Hal ini merupakan indikasi adanya permasalahan dalam kepuasan pasien

JKN sedangkan kepuasan pasien merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan program

JKN.12

Hasil penelitian Ni Made Widiastuti (2015) menunjukkan bahwa pasien JKN yang

dilayani di dokter umum dan di Puskesmas memiliki peluang puas yang hampir sama yaitu

sebanyak 90% dan lebih besar dibandingkan dengan pasien JKN di klinik yang hanya

menyatakan puas sebanyak 47%.(7) Sedangkan dari penelitian analisis Survei Aspek

Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Hidayat, 2010) menyatakan bahwa peserta asuransi

cenderung memilih provider swasta dibandingkan milik pemerintah karena tidak memberikan

kepuasan konsumen.12

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden tidak puas dengan jaminan

kesehatan nasional tidak sejalan dengan hasil survey Departemen Komunikasi dan Hubungan

Masyarakat BPJS Kesehatan yang menyatakan bahwa 81% puas terhadap layanan di Fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, Kantor Cabang,

dan BPJS Kesehatan Center. Menurut peneliti sebagian besar responden tidak puas terhadap

pelayanan jaminan kesehatan nasional dikarenakan kepuasan masyarakat dibentuk oleh

subyektivitas. Hal ini disebabkan pada saat penelitian iuran premi kelas I dan kelas II BPJS

Kesehatan mengalami kenaikan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016
presiden telah menetapkan iuran peserta perorangan kelas III tidak berubah, tetap Rp 25.500

seperti ketentuan awal, sedangkan untuk kelas 2 dan kelas 1, besarannya Rp 51.000 dan Rp

80.000 naik dari ketentuan sebelumnya Rp 42.500 dan Rp 59.500.12


BAB III

KESIMPULAN

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial di

bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya dimulai 1

Januari 2014. Kebijakan ini menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang layak

melalui penerapan sistem kendali mutu dan kendali biaya, dan diselenggarakan berdasarkan

prinsip asuransisosial dan equitas bagi seluruh penduduk di wilayahRepublik Indonesia.

Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional dijelaskan dalam UU SJSN (2004) Pasal 2 yang

menyatakan bahwa kebijakan ini dipilih oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan

keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan demikian prinsip keadilan harus dipergunakan

dalam kebijakan JKN.

Anda mungkin juga menyukai