Anda di halaman 1dari 59

ASKEP KEGAWATDARURATAN SISTEM PERKEMIHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas asuhan keperawatan kegawatdaruratan


program strudi S1 keperawatan

oleh :

Brigita Diana Sari

Iip Syaeful Falah

Lisbeth Berniat Gulo

Maria Yosa

Natalia Normarita S

Yohanes Uga

Yosepha Novia

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

PADALARANG

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batu ginjal adalah bentuk deposit mineral,paling umum oksalat dan
fosfat, namun asam urat dan kristal lain juga pembentuk batu. Meskipun
kalkus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari saluran perkemihan, batu ini
paling umum ditemukan pada pelvis dan kalik ginjal (unimus, 2011).
Cedera renal yang paling sering adalah kontusi, laserasi, ruptur dan
cidera pedikel renal atau laserasi internal kecil pada ginjal. Ginjal
menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal; oleh karena itu
meskipun hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat
menyebabkan perdarahan pasif.

Tubular nekrosis akut adalah suatu entitas klinikopatologi yang


secara morfologis ditandai dengan destruksi sel epitel tubulus dan secara
klnis oleh supresi akut fungsi ginjal. Kelainan ini merupakan penyebab
tersering gagal ginjal akut. ATN adaalah suatu lesi ginjal reversible yang
timbul pada berbagai situasi klinis (Robbins; 2007).

B. Tujuan Penulisan
Sebagai pemenuhan tugas Asuhan Keperawatan Kegawat Durat
Perkemihan
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah
menggunakan metode kepustakaan yaitu mencari sumber dari buku
maupun media elektronik (internet)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

1. Ginjal

Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm


dan tebal 3,5-5 cm, terletak di ruang belakang selaput perut tubuh
(retroperitonium) sebelah atas. Ginjal kanan terletak lebih ke bawah
dibandingkan ginjal kiri.

Ginjal dibungkus oleh simpai jaringan fibrosa yang tipis. Pada sisi
medial terdapat cekungan, dikenal sebagai hilus, yang merupakan tempat
keluar masuk pembuluh darah dan keluarnya ureter. Bagian ureter atas
melebar dan mengisi hilus ginjal, dikenal sebagai piala ginjal (pelvis
renalis). Pelvis renalis akan terbagi lagi menjadi mangkuk besar dan kecil
yang disebut kaliks mayor (2 buah) dan kaliks minor (8-12 buah). Setiap
kaliks minor meliputi tonjolan jaringan ginjal berbentuk kerucut yang
disebut papila ginjal. Pada potongan vertikal ginjal tampak bahwa tiap
papila merupakan puncak daerah piramid yang meluas dari hilus menuju
ke kapsula. Pada papila ini bermuara 10-25 buah duktus koligens. Satu
piramid dengan bagian korteks yang melingkupinya dianggap sebagai
satu lobus ginjal.

Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau sampai


jaringan lemak dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas
bagian korteks dan medula yang satu sama lain tidak dibatasi oleh
jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke korteks dan
ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bagian-bagian yang terdapat
pada korteks dan medula ginjal adalah

a. Korteks ginjal terdiri atas beberapa bagian yaitu


1) Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bagian
berbentuk cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
2) Bagian sistim tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan
tubulus kontortus distal.
b. Medula ginjal terdiri atas beberapa bagian yang merupakan bagian
sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle,
bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan
duktus papilaris Bellini.

2. Korpus Malphigi

Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bagian yaitu kapsul Bowman


dan glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan pelebaran ujung
proksimal saluran keluar ginjal (nefron) yang dibatasi epitel. Bagian ini
diinvaginasi oleh jumbai kapiler (glomerulus) sampai mendapatkan
bentuk seperti cangkir yang berdinding ganda. Dinding sebelah luar
disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding dalam disebut
lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat pada jumbai glomerulus .
Ruang diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan
ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke dalam
tubulus kontortus proksimal.

Glomerulus merupakan bagian yang berbentuk khas, bundar dengan


warna yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih
padat. Glomerulus merupakan gulungan pembuluh kapiler. Glomerulus
ini akan diliputi oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar
terdapat ruang Bowman yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan
meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal. Ruang ini dibungkus
oleh epitel pars parietal kapsul Bowman.

Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan


tubulus kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan
pada kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan
keluar dari glomerulus. Kutub ini disebut kutub vaskular. Arteriol yang
masuk disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi
sejumlah kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler. Pembuluh
kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut sel podosit yang
merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat dilihat
dengan mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi
membentuk arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut
vasa eferen, yang berupa sebuah arteriol.

3. Apartus Juksta-Glomerular

Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah


sifatnya menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam
sitoplasmanya terdapat granula yang mengandung ensim renin, suatu
ensim yang diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini
dikenal sebagai sel yuksta glomerular. Renin akan mengubah
angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi
angiotensin I. Selanjutnya angiotensin I ini akan diubah menjadi
angiotensin II oleh ensim angiotensin converting enzyme (ACE)
(dihasilkan oleh paru). Angiotensin II akan mempengaruhi korteks
adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk melepaskan hormon aldosteron.
Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan klorida termasuk
juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus kontortus distal dan
mengakibatkan bertambahnya volume plasma. Angiotensin II juga dapat
bekerja langsung pada sel-sel tubulus ginjal untuk meningkatkan
reabsopsi natrium, klorida dan air. Di samping itu angiotensin II juga
bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya dinding
pembuluh darah.

Sel-sel yuksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-


sel makula densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal
yang berjalan berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel
dinding tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel makula
densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium dalam
cairan di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik akan
menyebabkan menurunnya produksi filtrat glomerulus yang berakibat
menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam cairan tubulus kontortus
distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus
kontortus distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai
osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-sel yuksta glomerulus
agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan yuksta glomerular
bersama-sama membentuk aparatus yuksta-glomerular.

Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa


eferen glomerulus terdapat kelompokan sel kecil-kecil yang terang
disebut sel mesangial ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan) atau
sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas, tetapi diduga sel-sel ini
berperan dalam mekanisma umpan balik tubuloglomerular. Perubahan
konsentrasi ion natrium pada makula densa akan memberi sinyal yang
secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Sel-sel mesangial
ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan sinyal di makula
densa ke sel-sel yuksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan
hormon eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan merangsang sintesa
sel-sel darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.

4. Tubulus Ginjal (Nefron)

a. Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan


berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars
desendens Ansa Henle). Dindingnya disusun oleh selapis sel
kuboid dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti sel bulat, bundar,
biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu sama lain.
Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border).
Tubulus ini terletak di korteks ginjal.

Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi


filtrat glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via
transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan protein
seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

b. Ansa Henle

Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun


(pars asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik
(pars asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip
dengan tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik
mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis
ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah,
tetapi epitelnya sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng,
sedikit lebih tebal sehingga sitoplasmanya lebih jelas terlihat.
Selain itu lumennya tampak kosong. Ansa henle terletak di medula
ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau
mengencerkan urin.

c. Tubulus kontortus distal

Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok.


Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel
yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel
bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan.
Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang
mengahadap lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini
terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam
pemekatan urin.

d. Duktus koligen
Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya
jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan lebih pucat. Duktus koligen
tidak termasuk ke dalam nefron. Di bagian medula yang lebih ke
tengah beberapa duktus koligen akan bersatu membentuk duktus
yang lebih besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini
disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan papil
sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak seperti
sebuah tapisan (area kribrosa). Fungsi duktus koligen adalah
menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit
absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH).

Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada


juga bagian korteks yang menjorok masuk ke dalam medula
membentuk kolom mengisi celah di antara piramid ginjal yang
disebut (Gb-11) sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada
juga jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah
korteks membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus Ferreini.

e. Sawar Ginjal

Sawar ginjal adalah bagian-bagian yang memisahkan darah


kapiler glomerulus dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini
terdiri atas endotel kapiler bertingkap glomerulus, lamina basal dan
pedikel podosit yang dihubungkan dengan membran celah (slit
membran). Sel podosit adalah sel-sel epitel lapisan viseral kapsula
Bowman. Sel-sel ini telah mengalami perubahan sehingga
berbentuk bintang. Selain badan sel sel-sel ini mempunyai
beberapa juluran (prosessus) mayor (primer) yang meluas dari
perikarion dengan cara seperti tentakel seekor gurita. Sebuah
prosessus primer mempunyai beberapa prosessus sekunder yang
kecil atau pedikel. Pedikel podosit yang berdekatan saling
berselang-seling dalam susunan yang rumit dengan sistem celah
yang disebut celah filtrasi (Slit pores) di antara pedikel. Pedikel-
pedikel ini berhubungan dengan suatu membran tipis disebut
membran celah (Slit membran). Di bawah membran slit ini
terdapat membran basal sel-sel sel endotel kapiler glomerulus.

Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-


molekul yang boleh melewati lapisan filtrasi tersebut dan molekul-
molekul yang harus dicegah agar tidak keluar dari tubuh. Molekul-
molekul yang dikeluarkan dari tubuh adalah molekul-molekul yang
sudah tidak diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa metabolisma atau zat-
zat yang toksik bagi tubuh. Molekul-molekul ini selanjutnya akan
dibuang dalam bentuk urin (air kemih). Proses filtrasi ini
tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus.

5. Peredaran Darah Ginjal

Masing-masing ginjal mendapat cabang langsung dari aorta


abdominalis (arteri renalis). Arteri ini bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan di antara piramid ginjal. Pada perbatasan
korteks dan medula ginjal arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arteri arkuata atau arsiformis yang meninggalkan pembuluh asalnya
hampir tegak lurus menelusuri dasar piramid medula dan berjalan sejajar
dengan permukaan ginjal. Arteri ini kemudian bercabang-cabang lagi.
Cabang-cabang arteri ini berjalan secara radier ke tepian korteks dan
dikenal sebagai arteri interlobularis. Dari arteri interlobularis ini terdapat
banyak cabang-cabang menjadi arteri intralobularis yang akan berakhir
sebagai arteriol glomerular aferen yang mendarahi glomerulus.

6. Fungsi ginjal
a. Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea
dan kreatinin yang dihasilkan dari metabolisme makanan oleh
tubuh, bahan asing dan produk sisa.
b. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit
c. Mengatur keseimbangan asam dan basa.
d. Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan
darah.
e. Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam proses
pembentukan eritrosit di sumsum tulang.

7. Ureter

Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan


adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong
oleh lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel
permukaan bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid (bila kandung
kemih kosong atau tidak teregang) sampai gepeng (bila kandung kemih
dalam keadaan penuh/teregang). Sel-sel permukaan ini mempunyai batas
konveks (cekung) pada lumen dan dapat berinti dua. Sel-sel permukaan
ini dikenal sebagai sel payung. Lamina propria terdiri atas jaringan
fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat elastin. Lumen pada
potongan melintang tampak berbentuk bintang yang disebabkan adanya
lipatan mukosa yang memanjang. Lipatan ini terjadi akibat longgarnya
lapis luar lamina propria, adanya jaringan elastin dan muskularis. Lipatan
ini akan menghilang bila ureter diregangkan.

Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal


disebelah dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan susunan
otot polos di saluran cerna). Lapisan adventisia atau serosa terdiri atas
lapisan jaringan ikat fibroelsatin.

Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal


ke dalam kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek
lapisan mukosa dan merangsang reseptor saraf sensoris sehingga akan
timbul rasa nyeri yang amat sangat dan menyebabkan penderita batu
ureter akan berguling-gulung, keadaan ini dikenal sebagai kolik ureter.

8. Kandung kemih

Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan


serosa/adventisia. Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih
tebal dibandingkan ureter (terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat
longgar yang membentuk lamina propria dibawahnya. Tunika
muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot polos yang tersusun
berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan tertentu. Di
antara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar. Tunika
adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik.

9. Uretra

Panjang uretra pria (Gb-16) antara 15-20 cm dan untuk keperluan


deskriptif terbagi atas 3 bagian yaitu:

a. Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada
kandung kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat.
Pada bagian ini bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan
saluran keluar kelenjar prostat.
b. Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat
di antara otot rangka pelvis menembus membran perineal dan
berakhir pada bulbus korpus kavernosus uretra
c. Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus
korpus kavernosum dan bermuara pada glands penis.

Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika,


lalu pada bagian lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat
silindris dan akhirnya epitel gepeng berlapis pada ujung uretra pars
kavernosa yang melebar yaitu di fosa navikularis. Terdapat sedikit sel
goblet penghasil mukus. Di bawah epitel terdapat lamina propria terdiri
atas jaringan ikat fibro-elastis longgar.

Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm


panjangnya. Epitelnya bervarias dari transisional di dekat muara kandung
kemih, lalu berlapis silindris atau bertingkat hingga berlapis gepeng di
bagian ujungnya. Muskularisnya terdiri atas 2 lapisan otot polos tersusun
serupa dengan ureter .

10. Proses pembentukan urine

Tahap pembentukan urine

a. Proses filtrasi di glomerulus


Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan
darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat, dll, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairsn yang disaring
disebut filtrate glomerolus.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar
dari glikosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion bikarbonat.
Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus
proximal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali
penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh.
Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya
dialirkan pada papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal
dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.

11. Regulasi Tekanan Darah


Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah,
terutama dengan mengaturvolume plasma dan tonus vaskular (pembuluh
darah). Volume plasma dipertahankan melaluireabsorpsi air dan
pengendalian komposisi cairan ekstraselular (mis., terjadi dehidrasi).
Korteks adrenal mengeluarkan aldosteron.Aldosteron membuat ginjal
menahan natrium yang dapat mengakibatkan reabsorpsi air.Modifikasi
tonus vaskular oleh ginjal dapat juga mengatur tekanan darah.Hal ini
dilakukan terutama oleh sistem reninangiotensin aldosteron. Renin adalah
hormon yang dikeluarkan oleh juksta glomeruli dari nefron sebagai
respons terhadap berkurangnya natrium, hipoperfusi arteri renal, atau
stimulasi saraf renal melalui jaras simpatis waktu tekanan darah menurun,
Renin menstimulasi konversi angiotensinogen (zat yang dikeluarkan
hepar) ke angiotensin I. Konversi angiotensin I ke angiotensin II oleh
enzim pengubah angiotensin dari paruparu, menghasilkan vasokonstriksi
umum yang kuat. Mekanisme ini dapat membuat tekanan darah
meningkat.

12.Persarafan ginjal

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasonotor).


Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam
ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk
ke ginjal.

B. Urolithiasis

1. Definisi
Batu ginjal adalah bentuk deposit mineral,paling umum oksalat dan
fosfat, namun asam urat dan kristal lain juga pembentuk batu. Meskipun
kalkus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari saluran perkemihan, batu ini
paling umum ditemukan pada pelvis dan kalik ginjal (unimus, 2011).
Batu ginjal adalah batu (kalkuli) didalam nefron dan keberadaanya
dapat menghambat aliran urin, terjadinya obstruksi, secara perlahan dapat
merusak unit fungsional (nefron) ginjal. Selain itu dapat menyebabkan
nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan (Smeltzer, 2006).

2. Etiologi

a. Penyebab dan faktor predisposisi


1) Hiperkalemia dan hiperkalsiuria disebabkan oleh
hiperparatiroidisme, asidosis tubulus ginjal, multiple myeloma,
serta kelebihan asupan vitamin D, susu, dan alkali.
2) Dehidrasi kronis, asupan cairan yang buruk, dan imobilitas.
3) Diet tinggi purin dan abnormalitas metabolisme purin
(hiperuremia dan gout).
4) Infeksi kronis dengan urea mengandung bakteri (proteus
vulgaris).
5) Sumbatan kronis di mana urine tertahan akibat benda asing
dalam saluran kemih.
6) Kelebihan absorpsi oksalat penyakit imflamasi usus dan rekresi
atau ileostomi.
7) Tinggal di daerah yang beriklim panas dan lembab.
b. Batu dapat ditemukan di berbagai sistem perkemihan dan ukurannya
bervariasi.
c. Sekitar tigaatau empat pasien dengan batu ginjal adalah laki-laki
dengan rentang usia 20-30 tahun. Banyak batu berpindah dari atas ke
bawah (menyebabkan kolik hebat) dan ditemukan di saluran kemih
bawah. Batu secara spontan pada saluran dapat diantisipasi 80% pada
pasien urolithiasis.
d. Batu bisa tertinggal di dalam pelvis ginjal, ureter, atau leher kandung
kemih yang menyebabkan sumbatan, edema, infeksi sekunder, dan
berbagai kasus, kerusakan nefron.
e. Orang yang pernah menderita batu ginjal cenderung untuk kambuh.

3. Patofisiologi
Batu dalam perkemihan berasal dari obstruksi saluran kemih.
Obstruksi mungkin hanya parsial atau lengkap. Obstruksi yang lengkap
bisa menjadi hidronefrosis yang di sertai tanda-tanda dan gejala-gejalanya.
Proses pathofisiologi dari batu perkemihan sifatnya mekanis. Urolithiasis
merupakan kristalisasi dari mineral, pus, darah jaringan yang tidak vital.
Komposisi mineral dari batu ginjal bervariasi kira-kira tiga perempat
bagian dari batu adalah kalsium, fosfat, asam urine dan custine.
Peningkatan konsentrasi larutan urine akibat dari intake cairan rendah dan
juga peningkatan bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kmeih atau
urine statis, dan menjadi sarang untuk pembentukan batu. Ditambah
dengan adanya infeksi meningkatkan kebasaan urine (oleh produksi
amonium), yang berakibat presipitasi kalsium fosfat dan magnesium
ammonium fosfat.
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus
urinarius. Batu terbentuk dari traktur urinarius ketika konsentrasi
substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan asam urat
meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi
tertentu, seperti sitrst secara normal mencegah kristalisasi dalam urin.
Kondisi lain mempengaruhi laju pembentukan batu mencangkup PH urine
dan status cairan klien.
Batu dapat ditemukan di setiap bagian ginjal sampai ke kandung
kemih dan ukurannya bervariasi dan deposit granuler yang kecil, yang
disebut pasir atau krikil, sampai batu membesar kandung kemih berwarna
orange. Faktor tertentu yang mempengaruhi pembentukan batu, mencakup
infeksi, statis urine, periode immobilisasi (drainase renal yang lambat dan
perubahan metabolisme kalsium).
Faktor-faktor ini mencetuskan peningkatan konsentrasi kalsium di
dalam darah dan urine, menyebabkan pembentukan batu kalsium.
Pembentukan batu urinarius juga terjadi pada penyakit inflamasi usus dan
pada individu dengan ileustomi tau reseksi usus, karena individu ini
mengabsorbsi secara berlebihan.

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung


pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran
urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan
distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Iritasi batu yang terus-menerus
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi (pielonefritis dan sistitis) yang
sering disertai dengan keadaan demam, mengggil dan disuia. Beberapa
batu dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan nyeri yang luar biasa
(Brunner & Suddarth, 2001)
1. Batu di piala ginjal
a. Menyebabkan rasa sakit yang dalam dan terus-menerus di
area kostovertebral.
b. Nyeri yang berasal dari daerah renal menyebar secara anterior
dan pada wanita mendekati kandung kemih sedangkan pada
pria mendekati testis.
c. Dapat dijumpai hematuria dan piuria
d. Kolik renal : bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri
tekan diseluruh area kostovertebral,dan muncul mual muntah.

2. Batu yang terjebak pada ureter


a. Menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa, akut dan
kolik yang menyebar ke paha dan genetalia.
b. Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin
yang keluar,dan biasanya mengandung darah akibat aksi
abrasi batu.

3. Batu yang terjebak di kandung kemih


a. Menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi
traktus urinarius dan hematuri.
b. Batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih
sehingga akan terjadi retensi urin
c. Jika infeksi berhubungan dengan adanyabatu, maka kondisi
akan lebih serius disertai sepsis.

5. Penatalaksanaan

Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu,


menentukan jenis batu, mencegah kerusakan neuron, mengendalikan
infeksi, dan mengurangi destruksi yang terjadi (Brunner & Suddarth,
2001)
1. Pengurangan nyeri
Morfin atau meperiden untuk mencegah syok dan sinkop akibat
nyeri yang luar biasa, mandi air panas atau hangat di area panggul,
pemberian cairannkecuali untuk pasien muntah ataumenderita
gagal jantung kongestif. Pemberian cairan dibutuhkan
mengurangikonsentrasi kristaloid urin, mengencerkan urin, dan
menjamin haluaran yang besar serta meningkatkan tekanan
hidrostatik pada ruaang dibelakangbatu sehingga mendorong
masase batu kebawah.
2. Pengangkatan batu
Pemeriksaan sitoskopik dan pasase ureter kecil untuk
menghilangkan batu yang obstruktif. Jika batu teranggkat, dapat
dilakukan analisa kimiawi untuk menentukan kandungan batu.
Analisis batu dapat membuktikan indikasi yang jelas mengenai
penyakit yang mendasari.
3. Terapi nutrisi dan medikasi. Terapi nutrisi berperan penting dalam
mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat dan
menghindari makanan tertentu dalam diet yang merupakan bahan
utama pembetuk batu efektif untuk mencegah pembentukan batu.
Setiap pasien batu renal harus minum paling sedikit 8 gelas air
sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali
dikontraindikasikan.
Batu kalsium. Kebanyakan batu mengandung kalsium yang
berkombinasi dengan fosfat atau substansi lain. Pada pasien ini,
pengurangan kandungan kalsium dan fosfor dalam diet dapat
membantu mencegah pembentukan batu lebih lanjut. Urin dapat
menjadi asam dengan pemakaian medikasi seperti amonium
klorida atau asam asetohidroksamik. Natrium selulosa fosfat telah
dilaporkan efektif dalam mencegah batu kalsium.
Batu fosfat. Diet rendah fosfor dapat diresepkan untuk pasien yang
memiliki batu fosfat. Untuk mengatasi kelebihan fosfor, jeli
aluminium hodroksoda dapat diresepkan karena agens ini
bercampur dengan fosfor, dan mengekstresikannya melalui saluran
intestinal bukan ke sistem urinarius.
Batu urat. Untuk mencegah batu urat, apsien diharuskan diet
rendah purin untuk mengurangi eksresi asam urat dalam urin.
Allupurinol dapat diserepkan untuk mengurangi kadar asam urat
serum dan aksresi asam urat ke dalam urin. Urin dibasakan. Untuk
batu sistin, diet rendah protein diresepkan, urin dibasakan, dan
penisilamin diberikan untuk mengurangi jumlah sistin dalam urin.
Batu oksalat. Untuk batu oksalat dipertahankan dengan pembatasan
masukan oksalat. Makanan yang harus dihindari mencakup sayuran
hijau berdaun banyak; kacang, seledri, gula bit, buah beri hitam,
kelembak; coklat; teh, kopi dan kacang tanah.
4. Lithotripsi gelombang kejut eksternal
ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy) merupakan
prosedur non invasif yang digunakan untuk menghancurkan batu di
kaliks ginjal. Setelah batu pecah menjadi bagian kecil seperti pasir,
sisa batu akan dikeluarkan secara spontan. Kebutuhan anestesi
bergantung pada tipe Lithotripsy yang digunakan, ditentukan oleh
jumlah dan intensitas gelombang kejut yang disalurkan.
5. Metode endourologi pengangkatan batu
Endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan
urologi untuk mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor.
Nefrostomi perkutan dilakukan dengan nefroskop dimasukkan ke
traktur perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim renal.
Batu dapat diangkat dengan forsep atau jaring, tergantung dari
ukuran. Alat ultrasound dapat dimasukkan melalui selang
nefrostomi disertai pemakaian gelombang ultrasound untuk
menghancurkan batu.
6. Uretroskopi
Mencakup visualisasi dan akses ureter dengan memasukkan suatu
alat uretroskop melalui sistoskop. Batu dapat dihancurkan dengan
menggunakan laser.
7. Pelarutan batu
Infus cairan kemolitik, misal ; agens pembuat basa (alkylating) dan
pembuat asam (acidifying) untuk melarutkan batu dapat dilakukan
sebagai alternatif pananganan untuk pasien kurang beresiko
terhadap terapi lain dan menolak metode lain atau mereka yang
memiliki batu yang mudah larut (struvit).
8. Pengangkatan bedah
Dilakukan pada 1%-2% pasien dengan indikasi batu tersebut tidak
berespon terhadap bentuk penanganan lain atau mengkoreksi setiap
abnormalitas anatomik dalam ginjal untuk memperbaiki drainase
urin.

6. Komplikasi
a. Gagal ginjal
Terjadinya kerusakan neuron yang lebih lanjut dan pembuluh darah
yang disebut kompresi batu pada membran ginjal oleh karena suplai
oksigen terhambat. Hal ini menyebabkan iskemik ginjal dan jika
dibiarkan menyebabkan gagal hinjal.
b. Infeksi
Dalam aliran urine yang statis merupakan tempat yag baik untuk
perkembangbiakan mikroorganisme. Sehingga akan menyebabkan
infeksi pada peritoneal.
c. Hidronefrosis
Oleh karena aliran urin terhambat menyebabkan urin tertahan dan
menumpuk di ginjal dan lama-kelamaan ginjal akan membesar karena
penumpukan urin.
d. Avaskuler iskemia
Avaskuler karena aliran darah ke dalam jaringan berkurang sehingga
terjadi kematian jaringan.

7. Tindakan Keperawatan Pada Klien Kolik Renal

a. Penilaian keadaan penderita dilakukan dengan survey primer dan


sekunder. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan primary survery yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu,dengan
berpatokan pada urutan berikut:
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine
control) .

B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation


control.

C: Circulation dengan control perdarahan (bleeding control) dan


volume darah.

D: Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon


Pupil). Menilai tingkat kesadaran klien baik dengan menilai
menggunakan skala AVPU: Alert (klien sadar), Verbal (klien berespon
dengan dipanggil namanya), Pain (klien baru berespon dengan
menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon (klien tidak berespon
baik dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri)

E: Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah


hipotermia Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa
harus dikenali dan resusitasinya dilakukan saat itu juga. Pengkajian
primary survey di atas dalam bentuk berurutan(sekuensial), sesuai
prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam praktek hal-hal di atas
sering dilakukan bersamaan (simultan). Tindakan keperawatan yang
dilakukan tentu mengacu pada ABCDE. Yakinkan airway dan
breathing clear.

b. Apabila teridentifikasi henti nafas dan henti jantung maka resusitasi


harus segera dilakukan. Kaji circulation dan control volume cairan
tubuh dimana keadaan yang menunjukkan kurangnya volume cairan
intravaskuler adalah nadi biasanya lemah, kecil, dan cepat . Tekanan
darah sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok
hipovolemik, hitung MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera
pasang intravenous line berikan cairan kristaloid Ringer Laktat untuk
dewasa pemberian awal 2 liter, dan pada anak 20cc/kgg, bila pada anak
sulit pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian cairan
melalui akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya
kurang dari 6 tahun. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-
tanda vital.
c. Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara
head to toe, dan observasi hemodinamik klien setiap 15 – 30 menit
sekali meliputi tanda-tandavital (TD,Nadi,Respirasi).
d. Selanjutnya, bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan
observasi setiap 1 jam sekali.Pasang cateter untuk menilai output
cairan, terapi cairan yang diberikan dan tentu saja hal penting lainnya
adalah untuk melihat adanya perdarahan pada urine.
e. Observasi status mental, vomitus, nausea, rigid/kaku, bising usus, urin
output setiap 15 – 30 menit sekali.
f. Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila
memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini
dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan
keluarga.

8. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian keperawatan

1) Kaji riwayat batu ginjal dan fokuskan pada riwayat adanya batu
ginjal pada keluarga, khususnya dehidrasi, imobilitas yang lama,
infeksi saluran kemih, diet, dan riwayat pengobatan.
2) Kaji lokasi nyeri dan radiasi. Yingkat nyeri dikaji dengan
menggunakan skala 1-10. Amati adanya gejala yang
berhubungan, misalnya mual, muntah, diare, atau distnsi
abdomen.
3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran kemih seperti
menggigil, demam, disuria, dan sering berkemih. Periksa urine
untuk mengetahui adanya hematuria.
4) Observasi tanda vital dan gejala sumbatan seperti sering
berkemih dalam jumlah sedikit, oliguria, dan anuria.

b. Diagnosis keperawatan
1) Nyeri b.d inflamasi, sumbatan, dan abrasi saluran kemih oleh
pndahnya batu ditandai dengan :
DS : adanya nyeri
DO : rasa tidak enak diperut, ekspresi wajah menringis, posisi
menahan sakit, sulit tidur dan istirahat, dan berusahan mencari
posisi untuk menghilangkan nyeri.
2) Gangguan eliminasi urine b.d sumbatan aliran urine oleh batu
yang ditandai dengan :
DS : adanya kesulitan untuk berkemih
DO : sakit saat berkemih, urine tidak lancar, dan hematuria.
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan ginjal akibat sumbatan yang
lama sebelum pengangkatan batu ditandai dengan :
DS : telah lama menderita batu ginjal
DO : IVP terdapat sumbatan batu pada ginjal dan atau saluran
kemih, perut tidak enak, mual, muntah, diare, dan kristal positif
melalui pemeriksaan mikroskop.
Urinalisis : hematuria dan pyuria.

c. Intervensi keperawatan
Diagnosis keperawatan 1
Tujuan : nyeri terkontrol
1) Berikan analgesik narkotik (biasanya IV atau IM) hingga penyebab
nyeri dapat dihilangkan.
a) Monitor pasien secara ketat, peningkatan nyeri
mengindikasikan ketidakadekuatan analgesik.
b) Berikan narkotik dosis tinggi untuk menghilangkan nyeri
serta monitor depresi pernapasan dan penurunan tekanan
darah.
2) Bantu pasien mengatur posisi untuk mengurangi keluhan.
3) Berikan antiemetik (IM atau supositoria rektal) jika diindikasikan
untuk muntah.
Diagnosis keperawatan 2
Tujuan : aliran urien teratur
1) Berikan cairan secara oral atau IV (jika muntah) untuk mengurangi
konsentrasi kristaloi urine dan amati ketidakadekuatan output
urine.
2) Monitor jumlah output urine dan pola berkemih. Laporkan oliguri
atau anuria.
3) Saring urine dengan kasa untuk mendapatkan batu. Amati sisi
urinal/pot untuk mengetahui pecahan batu.

Diagnosis keperawatan 3
Tujuan : infeksi terkontrol
1) Berikan antibiotik parenteral atau oral sesuai resep selama
pengobatan dan monitor efek samping obat.
2) Kaji warna dan bau urine
3) Ukur tanda vital dan monitor demam serta gejala sepsis (takikardia
dan hipotensi)

d. Evaluasi
1) Laporan bahwa nyeri berkurang
2) Output urine cukup dengan gravitasi rendah
3) Tidak demam dan urine jenuh.

C. Trauma

1. Trauma Renal
Berbagai tipe cedera panggul, punggung, dan abdomen atas dapat
menyebabkan memar, laserasi, atu ruptur actual pada ginjal. Normalnya
ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, muskulatur tulang punggung
posterior, dan oleh lapisan dinding abdomen serta visera anterior.
Semuanya dapat digerakkan da “Difiksasi” hanya pada pedikel renal
(batang pembuluh darah renal dan ureter). Adanya cedera traumatic,
menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling bawah, sehingga terjadi
kontusi dan ruptur. Fraktur iga atau fraktur prosesus transversus lumbar
vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau laserasi. Cedera
dapat tumpul (kecelakaan lalulintas, jatuh, cedera atletik, akibat pukulan)
atau penetrasi (luka tembak, luka tikam). Lalai dalam menggunakan sabuk
pengaman sangat berperan dalam menimbulkan trauma renal pada
kecelakaan lalu lintas. Trauma renal sering dihubungkan dengan cidera
lain; lebih dari 80% pasien trauma renal mengalami cedera pada organ
internal yang lain.
Cedera renal yang paling sering adalah kontusi, laserasi, ruptur dan
cidera pedikel renal atau laserasi internal kecil pada ginjal. Ginjal
menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal; oleh karena itu
meskipun hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat
menyebabkan perdarahan pasif.
2. Cedera vaskuler

Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada hemoragi “bebas”, ada


hematoma, atau berkembangnya thrombus intraluminal. Cedera
perlambatan mendadak dapat menyebabkan perobekan dari pembuluh
darah yang kecil atau merobek intima arteri renal, yang juga dapat
mengarah pada trombosis pembuluh darah. Tanda dan gejalanya terdiri
atas hematuria, nyeri, dan massa panggul. Karena perdarahannya adalah
retroperitoneal, maka akan menjadi lebih sulit untuk dideteksi. CT-Scan,
pielogram intravena atau angiogram biasanya dapat membantu dalam
menegakkan diagnose. Laserasi yang lebih kecil diperbaiki, sedangkan
yang lebih besar mengharuskan dilakukan nefroktomi. pengkajian pasca
operasi dan pengembalian fungsi ginjal sangatlah penting. Akan diberikan
dopamine dosis rendah, dan keseimbangan cairan harus dipertahankan
untuk menjamin perfusi ginjal. Komplikasi utamanya adalah trombosis
arterial atau vena dan gagal ginjal akut.

3. Cedera parenkim

Trauma tumpul atau penetrasi yang menyebabakan laserasi atau


kontusio parenkim ginjal atau pecahnya system koligentes. Fraktur iga
bawah harus meningkatkan kecurigaan terhadap cedera yang berkaitan
dengan ginjal. diagnosanya serupa dengan cedera bvaskuler ginjal. cedera
minor dapat diatasi secara konserfatif, dengan observasi dan tirah baring
sampai tidak terjadi hematuria. Pembedahan diperlukan untuk cedera yang
lebih besar. Komplikasi lainnya adalah perdarahan, sepsis (terutama
dengan ekstravasasi dari urin yang terinfeksi), berkembangnya fistula
uriner, dan awitan lambat hipertensi.

4. Cedera kandung kemih

Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pesah, paling sering


sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kandung kemih
seringkali berhubungan dengan fraktur pelvic. Adanya hematuria, nyeri
abdomen bawah, atau ketidakmampuan berkemih memerlukan
pemerikasaan aterhadap cedera uretra dengan uretrogram retrograde
sebelum pemasangan kateter urine. Cedera pada kandung kemih dapat
menyebabkan ekstravasasi urine intraperitoneal atau ekstraperitoneal.
Ekstravasi ekstraperitoneal dapat ditangani dengan drainase kateter urine.
Ekstravasi intraperitonel memerlukan pembedahan atau dengan
pemasangan selang sistostomi suprapubik. Komplikasi jarang terjadi
namun dapat saja terjadi infeksi karena uriner atau sepsis akibat
ektravasasi urine.

5. Fraktur pelvic

Fraktur pelvic yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang


tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paling sering dari
kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalita.
Radiografi dan CT-Scan dapat memeastikan adanya dan menentukan
tingkat fraktur pelvic. Fraktur pelvic sering menyebabkan laserasi
pembuluh darah kecil yang member darah ke dalam jaringan pada rongga
retroperitoneal. Areal ini meluas dari diafragma sampai kepertengahan
paha dan akan menambung beberapa liter darah sebelum terjadi
tamponade. Angiogram seringkali dieprlukan untuk menemukan letak dan
menyumbat sumber perdarahan.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan
primer. PASG mungkin dipasang sebelum masuk rumah sakit atau unit
gawat darurat, tetapi janrang digunakan di unit rawat intensif. PASG dapat
membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi. Karena PASG
menurunkan volume tidal, maka ada kemungkinan dibutuhkan bantuan
ventilator mekanik. Fiksasi interna atau eksterna adalah lebih efektif dalam
manstabilkan fraktur juga dalam mengontrol perdarahan. Selain itu, fiksasi
dini mengurangi nyeri dan membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan
untuk mengontrol hemoragi mungkin juga diperlukan.
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Transfuse multiple dan pemantauan
hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Hematoma pelvic dapat menjadi sumber dari sepsis dan dapat memerlukan
drainase perkutan atau pembedahan. Komplikasi utama lainya fari fraktur
pelvic termasuk keterlibatan saraf pelvic dan emboli pulmonal. Penting
untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitasi yang
sering.

6. Manifestasi Klinis

a. Nyeri

b. Kolik renal (akibat bekuan darah/fragmen dari sistem duktus


kolektikus yanag terobstruksi)

c. Hematuria

d. Massa di rongga panggul

e. Ekimosis

f. Laserasi

g. Luka di abdomen lateral dan rongga pinggul

h. anda dan gejala hipovolemia dan syok menyertai hemoragi yang


signifikan.

7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengendalikan hemoragi,


nyeri, dan infeksi; untuk mempertahankan dan melindungi fungsi ginjal;
dan untuk mempertahankan drainase urine.
Hematuria merupakan manifestasi yang paling umum; oleh karena
itu, adanya darah dalam urine setelah suatu cedera menunjukkan
kemungkinan cedera renal. Tidak terdapat hubungan antara tingkat
hematuria dengan keparahan cedera. Namun demikian, hematuria mungkin
tidak muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
Seluruh urine dikumpulkan dan dikirimkan ke laboratorium untuk
dianalisis guna mendeteksi adanya sel darah merah dan untuk mengikuti
perjalanan perdarahan. Kadar hematocrit dan hemoglobin dipantau dengan
ketat; penurunan nilai substansi tersebut menunjukkan adanya hemoragi.

Pasien dipantau akan adanya oliguria dan tanda syok hemoragik,


karena cedera pedikel atau ginjal yang hancur dapat menyebabkan
eksanguinasi (kehilanagan banyak darah yang mematikan). Hematoma
yang meluas dapat menyebabkan rupture kapsul ginjal. Untuk mendeteksi
adanya hematoma, area disekitar iga paling bawah, lumbar vertebra atas,
panggul dan abdomen di palpasi akan adanya nyeri tekan. Terabanya
massa disertai nyeri tekan, bengkak dan ekimosis pada panggul atau
abdominal menunjukkan adanya hemoragi renal. Area massa ditandai
dengan pensil sehingga pemeriksa dapat mengevaluasi perubahan pada
area tersebut.

Trauma renal sering dihubungkan dengan cedera lain pada organ


abdominal (hati,usus besar, usus halus); oleh karena itu, kulit pasien dikaji
akan adanya abrasi, laserasi, dan tempat masuk serta keluarnya luka di
abdomen adtas dan toraks bawah, karena kondisi ini mungkin
berhubungan dengan cidera renal.

Mekanisme dan keparahan cedera. Trauma renal dapat


digolongkan berdasarkan mekanisme cedera (tumpul versus penetrasi),
lokasi anatomis atau keparahan cedera.

a. Trauma renal minor : kontusi, hematom, dan beberapa laserasi di


korteks ginjal
b. Cedera renal mayor : laserasi mayor disertai rupture kapsul ginjal
c. Trauma renal kritikal : laserasi multipel yang parah pada ginjal disertai
cedera pada suplai vaskuler ginjal.

Pada ginjal cedera minor, penyembuhan memerlukan tindakan


konservatif. Pasien tirah baring sampai hematuria hilang. Infus intravena
mungkin diperlukan karena perdarahan retroperitoneal vdapat
menyebabkan reflek ileus paralitik. Medikasi antimicrobial dapat
diresepkan untuk mencegah infeksi akibat hematoma perirenal atau
urinoma (sebuah kista yang mengandung urin). Pasien hematoma
retroperitoneal dapat mengalami demam ringan dan absorpsi bekuan
darah.

Pasien harus dievaluasi dengan sering selama hari-hari pertama


setelah cedera untuk mendeteksi nyeri panggul dan abdominal, spasme
otot, serta bengkak di panggul.

a. Setiap perubahan mendadak pada kondisi pasien dapat menunjukkan


adanya hemoragi dan memerlukan intervensi bedah. Tanda-tanda vital
pasien, haluaran urin, dan tingkat kesadaran dipantau untuk
mendeteksi bukti perdarahan syok. Analgesik opioid dihindari karena
dapat mengaburkan gejala abdominal yang menyertai.
b. Pasien disiapkan untuk bedah eksplorasi jika denyut nadi meningkat,
hipotensi, dan terajdi syok.

Cedera renal mayor dapat ditangani secara konservatif (tirah


baring, tanpa pembedahan) atau melalui intervensi bedah, bergantung
pada kondisi pasien dan asal cedera.

Cedera ginjal kritikal dan kebanyakan cedera penetrasi


memerlukan bedah eksplorasi akibat tingginya insidens keterlibatan organ
lain dan seriusnya komplikasi yang terjadi jika cedera tidak ditangani.
Ginjal yang rusak harus diangkat (nefroktomi).
Komplikasi dini pascaoperatif (dalam 6 bulan) mencakup
perdarahan ulang, abses, sepsis, ekstravasasi urin, dan pembentukan
fistula. Komplikasi lain mencakup pembentukan batu, infeksi, kista,
aneurisma vaskuler, dan hilangnya fungsi renal.

8. Penyuluhan pasien

Perawatan tindak lanjut mencakup pemantauan tekanan darah


untuk mendeteksi hipertensi. Aktivitas biasanya dibatasi selama 1 bulan
setelah trauma untuk meminimalkan perdarahan berulang. Pasien
dijelaskan tentang perubahan yang harus dilaporkan ke dokter, seperti
demam, hematuria, nyeri panggul, atau setiap tanda penurunan fungsi
ginjal. Pedoman untuk meningkatkan altivitas secara bertahap juga
disediakan.

9. Penatalaksanaan

Penanganan rupture traumatic kandung kemih meliputi bedah


eksplorasi segera dan perbaikan laserasi, disertai drainase suprapubis dari
kandung kemih dan ruang perivesikal (disekitar kandung kemih)
bersamaan dengan insersi kateter urin indwelling.
Selain itu, perawatan umum pascaoperatif setelah bedah urologi terhadap
system drainase (suprapubis, kateter indwelling, dan drainase perivesikal)
dipantau dengan ketat untuk menjamin drainase yang adekuat sampai
terjadi penyembuhan. Pasien ruptur kandung kemih mungkin mengalami
perdarahan hebat untuk beberapa hari setelah perbaikkan.

10. Pengkajian primer


a. Airway
1) Kaji penyebab terjadinya obstruksi atau gangguan jalan nafas
seperti tersedak adanya benda asing
2) Non obstruksi, kaji penyebab adanya trauma medula spinalis
b. Breathing
1) Kaji penyebab adanya penurunan kesadaran
2) Kaji penyebab adanya fraktur iga
3) Kaji penyebab adanya cyanosis sentral sekitar mulut

c. Circulation

1) Kaji penyebab adanya gangguan berhubungan dengan darah dan


pembuluh darah

2) Kaji penyebab adanya perdarahan

3) Kaji penyebab nadi tidak teratur

4) Kaji penyebab CRT lebih dari 2 detik

5) Kaji penyebab cyanosis perifer

6) Kaji penyebab pucat

Neurologi

1) Nilai GCS (E : M: V: )

2) Kesadaran kuantitatif

d. Diasability

1) Pupil isokor , anisokor

2) Refleks cahaya

3) Besar pupil

Drug

1) Morphine
2) Nitrogliserin
3) Aspirin

e. Exprosure

1) Kaji adanya luka atau jejas


Folley catheter

1) pemasangan kateter

2) Urine yang dikeluarkan

3) Warna urine

D. Tubular nekrosis akut


1. Pengertian
Hipoperfusi yang lebih parah atau berkepanjangan dapat
menyebabkan cedera iskemik yang sering dinamai nekrosis tubular
akut (NTA, acute tubular nekrosis) (jameson, J larry dan joseph
loscalzo; 2013).
Tubular nekrosis akut adalah suatu entitas klinikopatologi yang
secara morfologis ditandai dengan destruksi sel epitel tubulus dan
secara klnis oleh supresi akut fungsi ginjal. Kelainan ini merupakan
penyebab tersering gagal ginjal akut. ATN adaalah suatu lesi ginjal
reversible yang timbul pada berbagai situasi klinis (Robbins; 2007).
Nekrosis tubular akut adalah dapat disebabkan oleh syok septik
tanpa hipotensi yang memanjang; ATN juga dapat dimediasi melalui
hormon vasoaktif, endotoksin, dan sitokin. ATN juga dapat terjadi di
dalam konteks hipoperfusi berat, cedera toksik atau anoksin.(William,
Schwartz; 2004).
Kerusakan langsung nefron atau korteks renalis menyebabkan
pembengkakan tubulus dan kemudian terjadi nekrosis yang disebut
nekros tubular akut.(terry, Cynthia lee, 2014).
Jadi. Tubular nekrosis akut adalah terjadinya hipoperfungsi yang
berkepanjangan sehingga menyebabkan cedera iskemik pada ginjal
adanya destruksi sel epitel tubulus dan adanya syok seprik.

2. Etiologi
Nekrosis tubular akut dapat terjadi karena
a. Epitel tubulus yang sakit sehingga menyebabkan prembasan filtrate
melalui membrane glomerulus dan reabsorbsi filtrate ke dalam
darah.
b. Obstuksi aliran daran akibat penumpukan sel-sel yang rusak,
silinder, sel darah merah, dan debris seluler lain di dalam dinding
tubulus renal
c. Cedera iskemik pada sel-sel epitel glomerulus yang
mengakibabkan kolaps vaskuler dan penurunan permeabilitas
kapiler glomerulus.
d. Cedera iskemik pada endotel vaskuler yang akhirnya
mengakibatkan pemberngkakan sel dan obstruksi tubulus.

Penyebab lain

a. NTA Terjadi terutama pada pasien yang menjalani bedah


kardiovaskular mayor atau menderita trauma berat, perdarahan,
sepsis, dan atau deplesi volume.
b. Pasien dengan faktorlain untuk GGA (mis. Pajanan terhadap
nefrotoksin atau mengidap penyakit ginjal kronik) beresiko
mengalami NTA.
c. Iskemia
d. Toksin eksogen
e. Toksin endogen

3. Tanda dan gejala


Nekrosis tubuler akut biasanya sulit dikenali pada stadium dini
karena efek yang ditibulkan penyakit primer yang membuat pasien
dalam kondisi sakit yang kritis dapat menutupi gejala nekrosis tubuler
akut, akan tetapi, tanda dan gejala dapat meliputi:
a. Penurunan haluaran urine yang umumnya merupakan efek pertama
yang terdeteksi
b. Hyperkalemia
c. Sindrom uremik dengan oliguria atau kadang-kadang anuria dan
kebingungan, yang kemudian dapat berlanjut ke dalam keadaan
koma uremik
d. Membrane mukosa dan kulit kering
e. Gejala SSP, seperti letargi, kedutan atau serangan kejang
f. Tanda-tanda trauma/ imobilisasi jangka panjang
g. Demam
4. Klasifikasi

Trauma berat sampai pankreatitis parah sampai septicemia,


memiliki kesamaan, yaitu episode berkurangnya aliran darah ke organ
perifer, biasanya dalam situasi hipotensi berat dan syok. Pola ATN
yang berkaitab dengan syoj disebut ATN iskemik

Ketidakcocokan transfusi darah dan krisis hemolitik lain, serta


mioglobinuria, juga menimbulkan gambaran mirip ATN iskemik. Pola
kedua, yang disebut ATN nefrotoksik, disebabkan oleh beragam racun,
termasuk logam berat (missal, merkuri); pelarut organic (misal, karbon
tetraklorida); dan medium kontras radiografik.

5. Patogenesis

Proses kritis pada ATN iskemik dan nefrotoksik diperkirakan


adalah Cedera tubulus dan Gangguan aliran darah yang menetap dan
berat.

Sel eptel tubulus sangat peka terhadap anoksia serta rentan


terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami
cedera toksik, termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk
reabsorbsi tubulus, system transport aktif untuk ion dan asam organic,
dan kemampuan melakukan pemekatan secara efektif. Iskemia
menyebabkan banyak perubahan structural di sel epitel. Hilangnya
polaritas sel tempatnya merupakan kejadian awal yang penting secara
fungsional (reversible). Hal ini menyebabkan redistribusi protein
membrane (mis. Na, Kalium, `ATPase). Dari permukaan basolateral
kepermukaan luminal sel tubulus sehingga penyaluran natrium ke
tubulus distal meningkat. Yang terakhir, melalui system umpan balik,
tubuloglomerulus, menyebabkan vasokonstriksi. Kerusakan lebih
lanjut di tubulus dan terbentuknya debris tubulus dapat menghambat
aliran keluar urin dan akhirnya meningkatkan tekanan intratubulus
sehingga GFR meningkat. Selain itu, cairan dari tubulus yang rusak
dapat bocor kedalam interstisium sehingga tekanan intertisium
meningkat dan tubulus kolaps. Sel tubulus yang iskemik juga
mengekspresikan sitokin dan molekul perekat yang berfungsi merekrut
dan mengimobilasi leukosit yang dapat ikut serta menimbulkan cedera
ini.

Cedera ginjal iskemik juga ditandai perubahan hemodinamik yang


mencolok yang menyebabkan GFR menurun. Salah satu adalah
vasokonstriksi intraranal yang menyebabkan penurunan aliran plasma
glomerulus dan penurunal penyaluran oksigen ke tubulus di medulla
bagian luar ( pars asenden yang tebal dan segmen lurus tubulus
proksimal). Walaupun sejumlah jalur vasokonstritor diperkirakan
berperan dalam fenomena ini (mis. Renin, angiotensin, dan
norepinefrin), yang sebagian dipicu oleh peningkatan penyaluran
natrium di distal, opini yang sekarang berkembang adalah bahwa
vasokonstriksi diperantarai oleh cedera endotel sub letal, yang
menyebabkan peningkatan pengeluaran vasokonstriktor endotel
endotelin dan penurunan pembentukan vasodilator nitrat oksida.
Akhirnya juga terdapat bukti bahwa terjadi efek langsung iskemia/
toksin pada glomerulus, yang menyebabkan penurunan koefien
ultrafiltrasi glomerulus, mungkin karena penurunan pemukaan filtrasi
efektif.

6. Patologi NTA iskemik dan Nefrotoksik

Gambaran patologi klasik NTA iskemik adalah nekrosis fokal dan


patchy di epitel tubulus, disertai terlepasnya dari membrane basal, dan
oklusi lumen tubulus oleh silinder yang terdiri dari sel epitel utuh atau
rusak, protein tamn-horsfall, dan pigmen. Akumulasi leukosit sering
diamati di vasa recta namun, morfologi glomerulus dan pemubuluh
darah ginjal biasanya normal. Nekrosis paling parah terjadi di segmen
tubulus proksimal meskipun dapat juga mengenai ansa henle pars recta
medularis.

Pada pajanan terhadap nefrotoksin, kelainan morfologi cenderung


paling jelas dibagian tubulus proksimal pars convuluta dan pars recta.
Nekrosis sel lebih ringan daripada yang dijumpai padai NTA.

7. Perjalanan Penyakit/Stadium

Stadium awal, pemeliharaan dan pemulihan. Stadium awal


berlangsung disekitar 36 jam pada ATN bentuk iskemik biasanya
didominasi oleh proses medis, bedah, atau obstetric pemicu. Satu-
satunya petunjuk kelainan ginjal, adalah penurunan ringan keluaran
urin disertai peningkatan nitrogen urea darah. Pada tahap ini oliguria
dapat dijelaskan berdasarkan penurunan transien aliran darah ke ginjal.

Stadium pemeliharaan/tetap dimulai setiap saat antara hari kedua-


keenam. Keluaran urin turun drastic, biasanya menjadi antara 50
sampai 400ml/hari. Kadang-kadang keluaran menurun hingga hanya
beberapa milliliter/hari akan tetapi anuria total jarang terjadi. Oliguria
mungkin berlangsung hanya beberapa hari atau mungkin menetap
sampai 3 minggu. Gambaran klinis didominasi oleh gejala dan tanda
uremia yang kelebihan cairan. Tanpa adanya perawatan penunjang
yang tepat atau dialysis, pasien dapat meninggal selama fase ini.
Namun, dengan perawatan yang benar pasien dapat selamat.

Pemulihan ditandai dengan peningkatan volume urin, mencapai


hampir sekitar 3l/hari dalam beberapa hari. Karena fungsi tubulus
masih terganggu, selama fase ini dapat terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit yang serius. Tampaknya juga terjadi peningkatan kerentanan
terhadap infeksi. Oleh karena itu, sekitar 25% kematian akibat ATN
terjadi selama fase ini.
Selama fase akhir, terjadi pemulihan tahap kesejahteraan pasien.
Volume urin kembali normal namun, gangguan fungsi ginjal terutama
ditubulusnya, mungkin menetap berbulan-bulan. Dengan metode
perawatan modern, pasien yang tidak meninggal akibat penyakit
pemicu memiliki kemungkinan 90% hingga 95% pulih dari ATN.

8. Fase-fase

Perjalanan NTA iskemik biasanya ditandai oleh 4 fase :

Inisiasi/awal, perluasan, pemeliharaan, dan pemulihan

Fase awal belangsung (beberapa jam hingga hari ), LFG turun karena

a. Tekanan ultrafiltrasi glomerulus berkurang akibat berkurangnya


aliran darah ginjal.
b. aliran filtrate melalui tubulus mengalami obstruksi oleh slinder
yang terdiri dari sel epitel yang luruhdan debris nekrotik.
c. Terjadi kebocoran balik fitrat glomerulus, melalui epitel tubulus
yang cedera.
Cedera iskemik paling menonjol disegmen ditubulus proksimal
dan bagian medularis angsahenle pars recta segmen-segmen tubulus ini
sangat pekat terhadap iskemia karena tingginya kecepatan transport zat
terlarut aktif dependen adenosine trisfosfat (ATP) dan lokasi di
medulla luar, daerah tekanan parsial oksigen rendah, bahkan pada
keadaan basal. Iskemia sel menyebabkan deplesi ATP, inhibisi
transport aktif natrium, kerusakan rangka sel (sitoskeleto), hilangnya
polaritas sel perlekatan sel ke sel dan sel ke matriks dan pembentukan
radikal bebas oksigen. Cedera ginjal dapat dibatasi oleh pemulihan
aliran darah ginjal selama periode ini.jika parah, maka cedera sel
menyebabkan apotoksis atau nekrosis.
Fase perluassan atau (ekstensi) mengikuti fase awal yang
ditandai oleh inflamasi serta cedera iskemik yang berlanjut.
Diperkirakan bahwa kerusakan endotel yang menyebabkan kongesti
vascular berperan dalam kedua proses ini. Selama fase pemeliharaan
biasanya satu sampai dua minggu, LFG mengalami stabilisasi dititik
terendahnya biasanya 5-10ml/menit, curah urin paling rendah dan
dapat timbul penyulit uremia. Belum jelas mengapa LFG tetap rendah
selama fase ini, meskipun terjadi koreksi terhadap hemodinamika
sistemik. Mekanisme yang diperkirakan berperan dalam antara lain
adalah vasokonstriksi intrarenal persistem dan iskemia medulla yang
dipicu oleh acak mediator-mediator faso aktif dari sel endotel yang
cedera, bendungan aliran darah medulla, dan cedera reperfusi yang
dipicu oleh spesies oksigen reaktif dan mediator inflamasi yang sering
dilepaskan oleh leukosit atau sel parenkim ginjal. Selain itu, cedera sel
epitel mungkin ikut berperan dalam menyebabkan vasokonstriksi
intrarenal persistem melalui umpan balik tubuluglomerulurus. Sel-sel
epitel khusus diregio macula densa tubulus distal mendeteksi
peningkatan penyaluran garam di distal terjadi sebagai akibat
gangguan reabsorbsi oleh segmen-segmen nefron yang lebih
proksimal. Sel-sel macula densa, pada gilirannya merangsang
konstriksi arteriol aferen sekitar melalui mekanisme yang belum
diketahui dan semakin memperburuk perfusi dan filtrasi glomerulus,
sehingga terjadi lingkaran setan.
Fase pemulihan ditandai perbaikan dengan degeneralisasi sel
epitel tubulus serta pemulihan LFG secara bertahap menuju tingkat
premorbid fase pemulihan dapat mengalami penyulitt oleh fase
diuretik yang mencolok akibat tertundanya pemulihan sel epitel/
reabsorbsi zat terlarut dalam air sehubungan dengan fitrasi glomerulus.

9. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin bisa meliputi:

a. Gagal jantung
b. Pericarditis uremik
c. Edema paru,
d. Anemia
e. Anoreksia, muntah persistem
f. Kesembuhan luka yang buruk akibat keadaan umum yang jelek

9. Pemeriksaan Diagnosis

Penegakan diagnosis biasanya terlambat sampai kondisi pasien


masuk ke stadium lanjut. Petunjuk laboratorium yang paling signifikan
meliputi sedimen urine yang mengandung sel darah merah serta
silinder dan urine yang encer dengan berat jenis rendah (1,010).
Osmolalitas yang rendah (kurang dari 400mOsm/kg), dan kadar
natrium yang tinggi ( 40 hingga 60 mEq/L).

Pemeriksaan darah memperlihatkan kenaikkan kadar ureum darah


dan kreatinin serum, anemia, defek pada daya lekat trombosit, asidosis
metabolic, serta hyperkalemia.

Elektokardiogram dapat menunjukkan aritmia jantung (akibat


ketidakseimbangan elektrolit) dan jika keadaan ini disertai
hiperkaemia, hasil EKG memperlihatkan pelebaran segmen QRS,
gelombang P yang menghilang dan glombang T yang tinggi serta
runcing.

11. Penanganan

Pada fase akut:

a. Tindakan suportif yang itensif sampai fungsi ginjal kembali normal


b. Pada mulanya, mungkin pemberian preparat diuretic dan infus
cairan dengan volume yang besar untuk membilas tubulus dari
silinder seluler serta debris dan mengantikan cairan yang hilang
(resiko kelebihan muatan cairan jika terapi ini dilakukan )
c. Penggantian kehilangan cairan yang diproyeksikan dan dihitung
setiap hari (termasuk kehilangan cairan yang tidak dirasakan
(insensible water loss).
d. Tindakan lain yang tepat untuk mengendalikan komplikasi
meliputi:
e. Transfusi packed red cells untuk mengatasi anemia; pemberian
seperti epoetin alfa untuk menstimulasi produksi sel darah merah
sebagai alternative bagi transfuse darah..
f. Pemberian untuk antibiotic untuk mengatasi infeksi.
g. Pemberian secara darurat IV larutan glukos 50 %, pemberian
teratur insulin dan larutan natrium bikarbonat untuk mengatasi
hyperkalemia.
h. Pemberian natrium polistiren sulfonat disertai sorbitor pe oral atau
melalui enema untuk menurunkan kadar kalium ekstrasel.
i. Dialysis peritoneal atau hemodialysis jika pasien berada dalam
keadaan katabolic atau bila keadaan hyperkalemia dan kelebihan
volume cairan tidak bisa dikendalikan dengan tindakan lain.
11. Pertimbangan khusus
a. Pertahankan keseimbangan cairan. Awasi kemungkinan kelebihan
muatan cairan,yaitu komplikasi terapi yang sering terjadi. Catat
secara akurat asupan serta haluaran cairan, yang meliputi cairan
drainase dari luka, dan keseimbangan cairan hemodialysis serta
dialysis pereoneal. Timbang berat badan pasien setiap hari.
b. Pantau kadar hemoglonin serta nilai hematocrit, dan berikan
produk darah jika diperlukan. Gunakan preparat packed red cells
yang baru ketimbang whole blood untuk menghindari kelebihan
muatan cairan dan gagal jantung.
c. Pertahankan kesembangan elektrolit. Pantau hasil-hasil
laboratorium dan laporkan ketidakseimbangan elektrolit yang
terjadi. Terapkan diet dengan membatasi makanan yang
mengandung natrium dan kalium, seperti pisang, jus jeruk, dan
kentang panggang. Periksa kandungan kalium dalam obat yang
diresepkan dokter (misalnya preparat potassium penisilin). Berikan
cukup kalori dan asam amino esensial sementara membatasi
asupan protein untuk mempertahankan status anabolik. Terapi
nutrisi parenteral total dapat diberikan pada pasien katabolic atau
pasien dengan keadaan umum yang buruk.
d. Gunakan teknik steril, khususnya ketika menangani kateter karena
pasien yang keadaan umumnya buruk rentan terhadap infeksi.
Segera laporkan gejala demam, menggigil, kesembuhan luka yang
lambat, atau rasa nyeri pada pinggang jika pada pasien dipasang
indwelling catheter.
e. Awasi timbulnya komplikasi. Jika keadaan anemia bertambah berat
(pucat, lemah, letargi, disertai penurunan kadar hemoglobin),
berkaitan transfuse sel darah merah sebagaimana diinstuksikan
dokter. Untuk mengatasi asidosis, beri suntikan larutan natrium
bikarbonat atau lakukan dialysis pada kasus-kasus yang berat
menurut instruksi dokter. Awasi tanda-tanda penurunan perfusi
renal (hipotensi dan penurunan haluaran urine). Dorong pasien
agar mau batuk dan bernapas dalam untuk mencegah komplikasi
paru.
f. Lakukan latihan RPS yang pasif. Lakukan perawatan kulit yang
baik; oleskan losion atau bath oil untuk mengatasi kekeringan kulit.
Bantu pasien berjalan segera mungkin tetapi pasien harus dijaga
agar tidak terlalu lelah.
g. Tenteramkan perasaan dan berikan dukungan emosi. Dorong
pasien dan keluarganya agar mengekspresikan rasa takut mereka.
Jelaksan dengan lengkap setiap prosedur yang akan dilakukan;
ulang penjelasan setiap kali prosedur itu dilakukan. Bantu pasien
dan keluarga menetapkan tujuan yang realistis menurut prognosis
masing-masing.
h. Untuk mencegah nekrosis tubular akut, pastikan pasien sudah
mendapatkan terapi hidrasi yang baik sebelum pembedahan atau
sesudah pemeriksaan radiologi yang menggunakan media kontras.
Berikan manitol menurut instruksi dokter kepada pasien beresiko
tinggi sebelum dan sesudah prosedur ini dilakukan pemantauan
yang cermat pada pasien yang mendapat transfuse darah untuk
mendeteksi tanda-tanda dini reaksi transfuse (demam, ruam,
menggigil) dan hentikan transfuse dengan segera jika timbul tanda-
tanda tersebut.

12. Pemeriksaan Serum


a. Peningkatan myoglobin, kreatinin kinase
b. Plasma merah muda, peningkatan LDH hiperurisemia, peningkatan
LDH
c. Spike (lonjakan) monoclonal di sirkulasi, anemia
d. Asidosis Gap metabolic disertai gap osmolal, toksikologi positif,

Pemeriksaan Urin

a. U/A positif untuk hem tetapi tidak terdapat hematuria


b. Urin merah muda posisi hem tanpa hematuria
c. Kristal urat
d. Proteinuria (negatif pada tes stik celup), lonjakan monoclonal pada
elektroforesis
e. Krisrtal oksalat
f. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan tambahan untuk reaksi transfuse

a. Biopsy sumsum tulang atau ginjal

Penatalaksanaan terapi

NTA iskemik

a. Pulihkan hemodinamika sistemik dan perfusi ginjal melalui


resusitasi volume dan pemakaian vasopressor

NTA nefrotoksik

a. Hentikan obat nefrotoksik

b. Pertimbangkan tindakan spesifik toksin, mis. Diuresis alkali paksa


untuk rabdominalis, allopurinol/rasburicase untuk sindrom lisis
tumor.

13. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Klien Tubular


Nekrosis Akut

1. Pengkajian
Fase 1
Survey Primer
a. Keluhan Utama : penurunan haluaran urine, penurunan
kesadaran, membran mukosa dan kulit kering, letargi,
serangan kejang.
b. Airway:
- Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien
dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
- Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada
pasien antara lain:
- Adanya snoring atau gurgling
- Stridor atau suara napas tidak normal
- Agitasi (hipoksia)
- Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical
chest movements
- Sianosis
c. Breathing:
o Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien.
o Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting.
Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis,
penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
o Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi
berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
o Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada
dada.
o Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding
dada pasien jika perlu.
o Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien;
kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas
pernafasan pasien.
o Penilaian kembali status mental pasien.
o Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
o Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak
adekuat dan / atau oksigenasi:
- Pemberian terapi oksigen
- Bag-Valve Masker
- Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
o Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk
advanced airway procedures
o Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam
jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
d. Circulation
o Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
o CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap
untuk digunakan.
o Kontrol perdarahan yang dapat mengancam
kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
o Palpasi nadi radial jika diperlukan:
o Menentukan ada atau tidaknya
o Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
o Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
o Regularity
o Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
o Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
o Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
o Pada primary survey, disability dikaji dengan
menggunakan skala AVPU :
o A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat,
misalnya mematuhi perintah yang
o diberikan
o V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau
mengeluarkan suara yang tidak bisa
o dimengerti
o P - responds to pain only (harus dinilai semua
keempat tungkai jika ekstremitas
o awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
o U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon
baik stimulus nyeri
o maupun stimulus verbal.

Fase II
Survei sekunder
- Untuk menentukan apa penyebab dari gangguan fisiologis
tersebut. pemeriksa.
- Identitasklien (nama, jenis kelamin, agama,suku bangsa/ras,
pendidikan, nama orang tua dan alamat)
- Riwayat penyakit sekarang :
- Riwayat kesadaran :
-
Hasil pemeriksaan fisik persistem :
- Sirkulasi
Tanda : Nadilemah (hipovolemia), takikardi, hipotensi
(padakasusberat), aritmiajantung, pucat, sianosis,
keringatbanyak.
- GI Tract
Iritasi mulut, rasa terbakar pada selaput mukosa mulut dan
esofagus, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, konstipasi,
ketidakmampuan membersihkan secret.
- Kardiovaskuler
Disritmia, peningkatan tekanandarah, penurunan tekanan darah,
takikardia, bradikardia, syok
- Pernafasan
takipnea, bradipnea, sianosis
- Integumen
Kulit pucat,nyeri berkeringat, hipertermia, hipotermia, asidosis
metabolic.
- Ginjal
Aliguria, hematuria,
Diagnosa Keperawatan

 Nyeri berhubungan dengan inflamasi, obstruksi dan abrasi


traktus urinarius
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi
 Kekurangan Volume cairan
 Gangguan Eliminasi berhubungan dengan disfungsi dalam
eliminasi urine
 Nyeri berhubungan dengan inflamasi, obstruksi dan abrasi
traktus urinarius

Hasil NOC

 Tingkat kenyamanan : tingkat persepsi positif terhadap


kemudahan fisik dan psikologis
 Pengendalian nyeri : tindakan individu untuk mengendalikan
nyeri
 Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan

Kriteri Evaluasi

 Memperlihatkan pengendalian nyeri dengan tingkat nyeri


berkurang atau hilang
 Intervensi NIC
 Pemberian analgesik
 Manjemen medikasi
 Manajemen nyeri
 Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien (patient
controlled analgesia (PCA)
 Manajemen sedasi
 Aktivitas Keperawatan
 Lakukan pengkajian nyeri yang meliputi lokasi, karakteristik,
awita dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
nyeri, dan factor presipitasinya
 Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan
 Penyuluhan untuk pasien/ keluarga
 Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang
disarankan.
 Manajemen nyeri (NIC): berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan
antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur
 Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis

Aktivitas Kolaboratif
Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiat yang
terjadwal atau PCA

Manajemen Nyeri (NIC):

 Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi


lebih berat
 Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil
 Aktivitas lain
 Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian
nyeri dan efek samping
 Bantu pasien mengidentifikasikan tindakan kenyamanan yang
efektif
 Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman
dan aktivitas lain untuk membantu relaksasi
 Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi

Intervensi NIC

 Terapi aktivitas: memberi anjuran tentang dan bantuan dalam


aktivitas fisik, kognitif, social, dan spiritual yang spesifik untuk
meningkatkan rentang, frekuensi, atau durasi aktivitas individu
(atau kelompok)
 Manajemen energi: menagtur penggunaan energi untuk
mengatasi atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan
fungsi.
 Manajemen lingkungan: memanipulasi lingkungan sekitar
pasien untuk memperoleh manfaat terapeutik, stimulasi
sensorik, dan kesejahteraan psikologis.
 Terapi latihan fisik:latihan pengendalian otot : menggunakan
aktivitas atau protocol latiahn yang spesik untuk meningkatkan
atau memulihkan gerakan tubuh yang terkontrol.

Manajemen Energi (NIC)


 Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri, dan
pengobatan)
 Pantau, respons kardiorespiratori terhadap aktivitas (misalnya,
takikardia, disritmia lain, dispnea, diaforesis, pucat, tekanan
hemodinamik, dan frekuensi pernapasan)
 Pantau respons oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama
jantung, dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas
perawatan diri atau aktivitas keperawatan
 Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi
yang adekuat
 Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya
waktu tidur dalam jam
 Penyuluhan untuk pasien/keluarga
 Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam:
 Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
 Mengenali tanda dan gejala intoleran aktivitas, termasuk
kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
 Pentingnya nutrisi yang baik
 Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas
 Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi)
selama aktivitas
 Aktivitas koalboratif
 Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri
merupakan salha satu factor penyebab
 Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk
mendapatkan pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu
 Kekurangan Volume cairan

NOC

Keseimbangan Elekrolit Asam dan basa

Klien diharapkan mampu untuk:

 Denyut jantung, irama jantung, pernapasan, irama napas,


kekuatan otot
 Keseimbangan Cairan
 Klien diharapkan mampu untuk:
 Tekanan darah
 Tekanan arteri
 Tekanan vena sentral
 Palpasi nadi perifer
 Kesimbangan intake & output (24jam)
 Kestabilan berat badan
 Konfusi yang tidak tampak
 Hidrasi kulit
 Hidrasi
 Klien diharapkan mampu untuk:
 Hidrasi kulit
 Kelembaban membran mukosa
 Haus yang abormal (-)
 Perubahan suara napas (-)
 Napas pendek (-)
 Mata yang cekung (-)
 Demam (-)

Keringat

NIC

 Manajemen Elektrolit
 Intrevensi yang akan dilakukan :
 Monitor serum elektrolit abnormal
 Monitor manifestasi imbalance cairan
 Pertahankan kepatenan akses IV
 Berikan cairan sesuai kebutuhan
 Catat intake dan output secara akurat
 Manajemen Syok

Intrevensi yang akan dilakukan :

 Monitor tanda dan gejala perdarahan yang konsisten.


 Catat pendarahan tertutup pada pasien.
 Cegah kehilangan darah (melakukan penekanan pada tempat
terjadi perdarahan)
 Berikan cairan IV, yang tepat/
 Catat Hb/Ht sebelum dan sesudah kehilangan darah sesuai
indikasi.
 Berikan tambahan darah (platelet, plasma) yang sesuai.
 Monitor faktor koagulasi, termasuk waktu protombin (PT),
PTT, fibrinogen, degrtadasi fibrin, den jumlah platelet, jika
diperlukan.
 Pemantauan Cairan

Intrevensi yang akan dilakukan :

 Kaji tentang riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan pola
eliminasi
 Kaji kemungkinan factor resiko terjadinya imbalan cairan
(seperti : hipertermia, gagal jantung, diaforesis, diare, muntah,
infeksi, disfungsi hati)
 Monitor BB, intake dan output
 Monitor nilai elektrolit urin dan serum
 Monitor osmolalitas urin dan serum
 Monitor denyut jantung, status respirasi

4. Gangguan Eliminasi berhubungan dengan disfungsi dalam


eliminasi urine

NOC

 Eliminasi urin
 Klien diharapkan mampu untuk:
 Pola eliminasi
 Bau urin
 Jumlah urin
 Warna urin
 Partikel urin yang bebas
 Kejernihan urin
 Pencernaan cairan yang adekuat
 Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam]Urin yang
keluar disertai nyeri
 Urin yang tak lancar keluar
 Tahu akan keluarnya urin

NIC

 Manajemen cairan
 Intrevensi yang akan dilakukan :
 Timbang BB tiap hari
 Hitung haluran
 Pertahankan intake yang akurat
 Pasang kateter urin
 Monitor status hidrasi (seperti :kelebapan mukosa membrane,
nadi)
 Monitor TTV
 Monitor perubahan BB klien sebelum dan sesudah dialisa
 Monitor status nutrisi

Dk tambahan

a. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan distress


pernapasan
Tujuan : Mempertahankan pola napas tetap efektif
Intervensi :
- Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum pasien dalam
menentukan tindakan selanjutnya
- Berikan O2 sesuai anjuran dokter
Rasional : Terapi oksigen meningkatkan suplai oksigen ke
jantung
- Jika pernafasan depresi ,berikan oksigen(ventilator) dan
lakukan suction.
Rasional : Ventilator bisa membantu memperbaiki depresi jalan
napas
- Berikan kenyamanan dan istirahat pada pasien dengan
memberikan asuhan keperawatan individual
Rasional : Kenyamanan fisik akan memperbaiki kesejahteraan
pasien dan mengurangi kecemasan,istirahat mengurangi
komsumsi oksigen miokard

b. Penurunan kesadaran berhubungan dengan depresi sistem saraf


pusat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan
dapat mempertahankan tingkat kesadaran klien
(komposmentis)
Intervensi :
- Monitor vital sign tiap 15 menit
Rasional : bila ada perubahan yang bermakna merupakan
indikasi penurunan kesadaran
- Catat tingkat kesadaran pasien
Rasional : Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan
aliran darah otak.
- Kaji adanya tanda-tanda distress pernapasan,nadi cepat,sianosis
dan kolapsnya pembuluh darah
Rasional : Gejala tersebut merupakan manifestasi dari
perubahan pada otak, ginjal, jantung dan paru.
- Monitor adanya perubahan tingkat kesadaran
Rasional : Tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan
hidup, meliputi resusitasi : Airway, breathing, sirkulasi
- Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti dotum
Rasional : Anti dotum (penawar racun) dapat membantu
mengakumulasi penumpukan racun
E. Acut Renal Failure

1. Definisi
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) adalah penurunan
fungsi ginjal tiba-tiba yang ditentukan dengan peningkatan kadar BUN
dan kreatinin plasma (Baradero, Marry. 2005)
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi
mengekskresi produk-produk limbah metabolism, biasanya karena
hipoperfusi ginjal. Sindrom ini berakibat azotemia (uremia), yaitu
akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah atau uliguria, dimana
haluaran urin kurang dari 400 ml/24 jam (Tambayong, 2000)
Gagal ginjal akut adalah penurunan atau penghentian fungsi ginjal
secara tiba-tiba akibat berbagai proses penyakit (Cecily. 2004)
2. Etiologi

Menurut Brunner & Suddarth (2002),menyatakan tiga kategori


utama penyebab gagal ginjal akut antara lain:

a. Prarenal (hipoperfusi ginjal).


Kondisi klinis yang umum adalah status penipisan volume misalnya
karena kekurangan cairan mendadak (dehidrasi) seperti pada pasien
muntaber yang berat atau kehilangan darah yang banyak (Lumenta &
Nefro, 2004 :65), vasodilatasi (sepsi dan anafilaksis), gangguan fungsi
jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik).
b. Intrarenal Penyebabnya adalah akibat dari kerusakan struktur
glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat
benturan, infeksi, agen nefrotoksik, adanya hemoglobin dan mioglobin
akibat cedera terbakar mengakibatkan toksik renal/ iskemia atau keduanya,
transfusi terus menerus dan pemakaian obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAID).
c. Pasca renal
Yang termasuk kondisi penyebab pascarenal antara lain : Obstruksi traktus
urinarius, batu, tumor, BPH, striktur uretra dan bekuan darah. (Brunner &
Suddarth, 2002: 1444)

3.Patofisiologi

Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran


darah renal dan gangguan fungsi ginjal yaitu hipovelemia, hipotensi,
penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif, obstruksi ginjal
atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal,
obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan
diperbaiki sebelum ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN,
oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan gagal ginjal akut
dapat ditangani.
Terdapat beberapa tahapan klinik dari gagal ginjal akut(Dongoes):
a. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya
oliguria.
b. Stadium Oliguria.Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah
rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami
stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini
pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan
pemekatan). Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress
dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Gejala
pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai
sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih
beberapa kali pada waktu malam hari. Dalam keadaan normal
perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1
atau 4 : 1.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada
penyakit yang terutamam menyerang tubulus, meskipun poliuria
bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya
ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara
5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala
kekurangan farahm tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan,
aktifitas penderita mulai terganggu.
c. Stadium III.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam
keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari
sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual,
muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan
akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir
timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR
nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar
5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan
kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari
karena kegagalan glomerulus.

Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal


ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan
periode perbaikan.
a) Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya
oliguria.
b) Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai
dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya
diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation
intraseluler-kalium dan magnesium). Pada tahap ini gejala uremik
untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa
seperti hiperkalemia terjadi.
c) Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine
secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus.
Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat,
fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan
ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi,
tanda uremik meningkat.
d) Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal
dan berlangsung selama 3-12 bulan. Nilai laboratorium akan
kembali normal.
4.Klasifikasi

5.Manifestasi Klinik

Adapun gejala yang ditimbulkan pada penderita gagal ginjal yaitu


:

a. Tekanan darah meningkat karena overload cairan dan produksi


hormon vasoaktif diciptakan oleh ginjal melalui RAS (renin-
angiotensin system), meningkatkan risiko seseorang
mengembangkan hipertensi dan atau penderitaan dari gagal jantung
(kongestif)
b. Urea terakumulasi, yang mengarah ke azotemia dan akhirnya uremia
(gejala mulai dari kelesuan ke perikarditis dan ensefalopati). Urea
diekskresikan oleh keringat dan mengkristal pada kulit ("frost
uremic").
c. Kalium terakumulasi dalam darah (dikenal sebagai hiperkalemia
dengan berbagai gejala termasuk malaise dan berpotensi fatal aritmia
jantung)
d. SintesisErythropoietinmenurun (berpotensi menyebabkan anemia,
yang menyebabkan kelelahan)
e. Overload volume Fluida, gejala dapat berkisar dari ringan edema
untuk mengancam kehidupan edema paru
f. Hyperphosphatemia, karena ekskresi fosfat berkurang, terkait
dengan hipokalsemia (karena 1,25 hidroksivitamin D3 defisiensi),
yang karena stimulasi faktor pertumbuhan fibroblast
g. Belakangan ini berkembang menjadi hiperparatiroidisme sekunder,
osteodistrofi ginjal dan kalsifikasi vaskular yang berfungsi juga
mengganggu jantung.
h. Metabolik asidosis, karena akumulasi sulfat, fosfat, asam urat dll ini
dapat menyebabkan aktivitas enzim diubah oleh kelebihan asam
yang bekerja pada enzim dan eksitabilitas juga meningkat membran
jantung dan saraf dengan promosi (hiperkalemia) karena kelebihan
asam (asidemia)
6.Test Diagnostik

a. Urine :
Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein, PH (lebih
dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal
kronik)
b. Darah :
BUN/ kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium
serum, Kalium, Magnesium, fosfat, Protein, Osmolaritas serum
c. Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
d. Pielografi retrograd,
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
e. Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,
massa.
f. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi
g. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
h. Biopsi ginjal
Dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis
i. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria
dan pengangkatan tumor selektif
j. EKG
EKG abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

7.Penatalaksanaan Medis

a. Penatalaksanaan secara umum adalah:


Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus
keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa
konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan
diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi
apakah kandung kemih penuh, ada pembesaan prostat,
gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang
kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga
untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan
pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
b. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi,
mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal,
arteriografi, atau tes lainnya.
Penatalaksanaan gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air.
Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan
cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30
mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam
sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi
kalori atau hiperalimentasi intravena. Glukosa dan insulin
intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena
pada kedaruratan jantung dan dialisis.
3) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan
terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus
segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera
dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat
disingkirkan.
4) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses
diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan
endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya
antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada
pasien sebagai profilaksis.
5) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai
ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan.
Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum
continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik
dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten
dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan
sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat
dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
8.Komplikasi

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare


(2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiostensin-aldosteron

Daftar Pustaka
Nursalam. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta : salemba medika

Smeltzer, Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol.2.


Jakarta:EGC

Suzanne, Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Suzanne, Smeltzer. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M dan Nancy R, Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan : Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta:
EGC

Robbins.2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta:EGC

Jameson, J Larry. 2013. Harrison: Nefrotologi dan Gangguan Asam Basa. Jakarta:
EGC

William, Schwartz, M. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai