Anda di halaman 1dari 14

6.

ADENOIDITIS AKUT DAN KRONIK


1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Adenoid / tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior nasofaring. Adenoid terletak
pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi dan sinus
paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius –telinga tengah-
kavum mastoid pada bagian lateral.
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis
eksternal, beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan
a.fasialis. Inervasi sensible merupakan cabang minor berasal dari
n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik dari adenoid
menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatine.
Adenoid adalah organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk
lipatan yang dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila
palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing – masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi.
Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan
jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer.
Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting system pertahanan tubuh.
Secara histologist, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada
permukaannya : epitel kolumnar bertingkat dengan silia, epitel berlapis
skuamous dan epitel transisional. Infeksi kronik atau pembesaran adenoid
cenderung akibat peningkatan proporsi epitel berlapis skuamous ( aktif untuk
proses antigen ) dan berkurangnya epitel respirasi ( aktif untuk kirens
mukosilier)

2. PATOFISIOLOGI
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada
anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil
dan adenoid ( pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam
tubuh yang memfagosit kuman – kuman pathogen. Jaringan tonsil dan
adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon
imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel
limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan

1
merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan
mikroorganisme pathogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping – pong yang
mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga
dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas sebagai akibat terjadinya
ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi udara.
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba
eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam
telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya
sumbatan.

3. ADENOIDITIS AKUT
a. Definisi
Radang dari adenoid pada bayi – anak < 12 tahun
b. Diagnosis ;
1. Keluhan ( dari ibunya ) :
- Panas tinggi → konvulsi
- Buntu hidung → bayi tidak dapat menyusu → gelisah, lapar, berat
badan turun
2. Pemeriksaan ( dikerjakan pada anak besar & kooperatif )
- Rhinoskopi anterior ; adenoid edem, hiperemi, secret + , fenomena
palatum –
- Rhinoskopi Posterior : Adenoid hiperemi
- Biasanya bersamaan dengan tonsillitis akut
c. Terapi ;
- Antibiotika
- Simtomatis
d. Komplikasi :
- Melalui tuba auditiva → kavum timpani → OMA
- Ke bawah → laring, trakeitis, bronchitis, bronkopneumonia

4.ADENOIDITIS KRONIK
a. Etiologi :
- Post nasal drip → secret kavum nasi jatuh ke belakang
- Sekret berasal dari : sinus maksilaris & ethmoid
b. Gejala klinis

2
Disebabkan oleh hipertrofi adenoid → buntu hidung, menyebabkan :
- Rinolalia oklusa ( bindeng ) karena koane tertutup
- Mulut terbuka untuk beernafas → muka terkesan bodoh ( adenoid
face )
- Aproseksia nasalis
- Sefalgia
- Pilek dan batuk
- Nafsu makan menurun
- Oklusio tuba
c. Terapi
- Adenoidektomi ( ADE )
- Bila disertai tonsilektomi ( TE ) → adenotonsilektomi ( ATE )
Indikasi adenotonsilektomi :
- Sumbatan → sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas
melalui mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi ( adenoid face )
- Infeksi → adenoiditis berulang / kronik, otitis media efusi
berulang/ kronik, otitis media akut berulang
- Kecurigaan neoplasma jinak / ganas
Tekhnis adenoidektomi terbagi menjadi atas dua cara yaitu :
a. Eksisi melalui mulut
Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di
keluarkan melalui mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan
suatu alat dan menarik langit – langit mulut. Suatu cermin digunakan
untuk melihat adenoid karena adenoid teletak pada rongga hidung
bagian belakang melalui pendekatan ini beberapa instrument dapat
dimasukkan.

1. Cold Surgical Technique

● Currete adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional


yang sukses dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang
tajam dan bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan mata
pisau yang tajam setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring.
Perdarahan dapat dikontrol dengan elektrocauter.

3
● Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan
satu instrument bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan
di atas adenoid kemudian celah itu ditutup dan pisau bedah
mengangkat adenoid.

● Magil Forceps : Adalah suatu instrument yang berbentuk


bengkok yang digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada
adenoid.

2. Elektrocauter dengan suction bovie : Tekhnik kedua dengan


menggunakan elektrocauter dengan suatu suction bovie yang
berfungsi untuk mencabut jaringan adenoid.

3. Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan


metode microdebrider, sebagian orang mengaggapnya lebih
efektif. Perdarahan pasti terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian
besar dilaporkan perdarahan dengan menggunakan tradisional
currete. Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid yang sulit
di jangkau oleh teknik lain.

b. Eksisi melalui hidung


Satu – satunya teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid
melalui rongga hidung dengan menggunakan alat
mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan
dikontrol dengan menggunakan cauter suction.

4
8. DIFTERI FARING / TONSIL

Difteri merupakan infeksi akut Corynebacterium Diphteriae yang dapat mengenai


mukosa tonsil sehingga terbentuk pseudomembran yang tebal, putih abu-abu, kotor,
melekat pada dasar, yang bila dilepaskan akan terjadi perdarahan. Pesudomembran
dapat meluas dari tonsil ke faring bahkan dapt ke laring. Banyak terjadi pada anak-
anak terutama yang belum di vaksinasi Difteri.

Dosis Pemberian :

1. Difteri ringan (hidung, mata, kulit) : 20.000 U im


2. Difteri sedang (tonsil, faring, laring) : 40.000-60.000 iv drip
3. Difteri berat (dengan penyulit) : 100.000 U iv drip

Untuk antibiotika :

Penisilin procain im. ( 1 vial = 3 juta IU ) BB<50 kg : 1,2 juta x 2 perhari, BB>50 kg
: 1,5 juta x 2 perhari (pagi dan sore), selama 10 hari. over PPC : terjadi hipotonia
yang dapat melemahkan gerak otot respirasi. Bila alergi terhadap Penisilin, dapat
digunakan Eritromisin 500 mg tiap 6 jam per oral, selama 10 hari.

Cara Pemberian :

1. Injeksi ADS ( 1 vial = 5 cc berisi 20.000 U) perlu di skin tes dulu.


2. Cara skin tes : ambil 1 cc ADS dimasukkan spuit 10 cc add aquabidest, lalu
ambil 1 cc dengan spuit 1 cc, dan injeksikan 1 strip dari spuit 1 cc ( 1 strip =
1/50 dari 1 cc) pada intrakutan lengan bawah volar.
3. Masukkan 1 vial ADS = 5 cc berisi 20.000 U ke dalam cairan infuse
Dekstrose 5 % dan di drip ke pasien, maksimal drip ADS 1 vial habis dalam 1
hari.
4. Bila belum 1 hari drip ADS sudah habis, infuse dapat diganti Ringer Lactat,
baru besok pagi di drip ADS lagi.
5. Missal anak umur 11 tahun dengan Difteri sedang pewrlu ADS 60.000 U,
maka perlu 3 vial ADS dan diberikan selama 3 hari berturut-turut (1 vial habis
dalam 1 hari).

5
9. LARINGITIS AKUT PADA ANAK

1.1.DEFINISI
Laringitis akut (non spesifik) pada anak adalah infeksi akut pada mukosa laring.
Laryngitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu
kurang lebih 3 minggu. Bila gejala lebih dari 3 minggu dinamakan laryngitis
kronis.

1.2.ETIOLOGI
Laringitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur. Virus merupakan
etiologi laryngitis yang paling sering, yaitu rhinovirus, virus influenza, virus
parainfluenza, adenovirus, coxsackievirus, coronavirus, dan respiratory synsitial
virus (RSV).

Sedangkan, beberapa bakteri yang menyebabkan laryngitis yaitu :


- Streptokokus group A
- C. Diphteriae
- Moraxella Catarrhalis
- Mycobacterium tuberculosis laryitis akibat bakteri ini biasanya sulit
dibedakan dengan kanker laring karena tidak terdapat tanda, gejala, dan hasil
pemeriksaan radiologis yang spesifik.

Jamur juga dapat menyebabkan laryngitis, yaitu :

- Histoplasma
- Blastomyces ; biasanya menyebabkan laryngitis sebagai komplikasi dari
inflamasi sistemik
- Candida ; biasanya menyebabkan laryngitis dan esofagitis pada pasien
imunosupresi
- Coccidioides
- Cryptococcus

Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan suara yang berlebihan (


menyanyi, mengajar), pajanan terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada
pita suara. Refluks gastroesofageal, bronchitis, dan pneumonia juga dapat
menyebabkan laryngitis. Onset dari laryngitis berhubungan dengan perubahan
suhu yang tiba – tiba, malnutrisi, atau keadaan menurunnya system imun.

6
1.3. PATOFISIOLOGI
Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring
yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut
disebabkan oleh adanya suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja
membunuh mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian
akan menjadi tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami
gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan
oleh gangguan fonasi. Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna
kemerahan dan membengkak.

1.4.DIAGNOSIS
1. Hetero-anamnesis
- Biasanya didahului dengan panas badan ( subfebril), batuk, dan pilek
- Kemudian diikuti dengan suara membesar, kemudian parau dapat sampai
afoni ( tidak ada suara sama sekali)
- Sering didapatkan sesak nafas

2. Pemeriksaan Fisik
- Suara parau, bila berat dapat afoni
- Panas badan subfebris
- Sering terdapat gejala sumbatan jalan nafas atau, yaitu :
● Stridor inspirasi
● Sesak nafas inspirasi
● Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrium

3. Pemeriksaan Tambahan

- Laringoskopi dilakukan bila sesak sudah berkurang atau sudah dilakukan


trakeotomi.

Tampak :

● Korda vokalis dan mukosa laring lainnya edem dan hiperemi

● Rima glotidis sempit

1.5.DIAGNOSIS BANDING

7
- Laringitis difteri
● Terdapat pseudomembran
● Sesak tidak berkurang dengan kortikosteroid

1.6. KOMPLIKASI

- Penyumbatan laring

- Trakeitis

- Bronkitis

- Pneumoni

1.7. TERAPI

- Kortikosteroid : Deksametason 0,1 – 0,2mg/kgBB/hr p.o

- Ampisilin 4x 25 mg/kgBB/p.o atau Kloramfenikol 4x12,5mg/kg/BB p.o


sehari

- Obat – obatan diberikan selama 5 – 10 hari

- Bila ada gejala sumbatan jalan nafas atas :

● Oksigen

● Kortikosteroid : Deksametason 0,3mg/kgBB i.m

● Kalau masih sesak diulang

● Stoom up air, untuk mengencerkan lender dengan kelembaban tinggi

8
13. CORPUS ALIENUM TRAKEA-BRONKUS

1. BATASAN

Corpus alienum adalah benda aSing yang berasal dari luar atau dalam tubuh yang
dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh.

2. JENIS-JENIS

Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen, biasanya
masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yang berasal dari dalam tubuh
disebut benda asing endogen. Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair,
atau gas. Benda asing eksogen terdiri dari zat organic seperti kacang-kacangan
(yang berasal dari tumbuh-tumbuhan), tulang (yang berasal ari kerangka
binatang) dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu, dan lain-lain. Benda
asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif, seperti zat kimia,
dan benda cair non-iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4. Benda asinng endogen
dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta, perkijuan,
membran difteri, bronkolit.

3. GEJALA

Gejala orofaring biasanya terdaat sensasi benda asing terutama setelah memakan
ayam ataupun ikan. Rasa tidak nyaman dari ringan sampai berat. Pasien biasanya
mengeluh sulit menelan atau tidak dapat mengontrol air liur. Biasanya pasien
dapat melokalisir benda asing tersebut. Disfagia biasa dikeluhkan oleh pasien
dewasa dengan ketidakmampuan mengendalikan sekresi air liur. Pada pasien anak
biasanya tidak terdapat gejala yang khas. Orangtua biasanya memberitahu kepada
dokter bahwa anaknya telan menelan sesuatu. Rasa tersumbat ditenggorok,
muntah, dan sakit tenggorokan biasanya muncul. Jika benda asing berlangsung
lama maka biasanya anak menjadi tidak ingin makan, rewel, gagal tumbuh, dan
demam,

4. DIAGNOSIS

Benda asing pada orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di tonsil,
dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang menyebabkan rasa nyeri pada waktu
menelan (odinofagi), baik makanan maupun ludah, terutama bila benda asing
tajam seperti duri ikan. Benda asing pada ororfaring biasanya dapat terlihat dan
mudah diambil. Untuk memeriksa dan mencari benda di dasar lidah, valekula dan

9
sinus piriformis diperlukan kaca tenggorok besar (no. 8-10). Pada pasien yang
kooperatif dapat dilakukan laringoskopi indirek atau nasofaringoskopi serat optik.

5. PENATALAKSANAAN

Benda asing di tonsil dapat diambil dengan memakai pinset atau cunam. Benda
asing dapat dilihat dengan kaca tenggorok yang besar. Pasien diminta menarik
lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanan memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila
pasien sangat perasa sehingga menyukarkan tindakan, maka sebelumnya dapat
disemprotkan obat anastesikum, seperti xylocain atau pantocain.

10
13. KARSINOMA LARING

1.1.BATASAN
Karsinoma yang mengenai laring ( supraglotik, glotik, subglotik)

1.2.ETIOLOGI
Diduga rokok dan alcohol berpengaruh besar terhadap timbulnya karsinoma laring.
Merupakan keganasan daerah kepala dan leheer. Umumnya tersering 40 – 50 tahun,
laki – laki lebih banyak dari pada wanita dengan perbandingan 10:1.

1.3. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala dini : suara parau, suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring yang seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit progresif.
Kesulitan menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah
meluas ke faring atau esophagus. Pembesaran kelenjar leher ( kadang –
kadang ).
2. Pemeriksaan fisik :
- Pemeroksaan YHT : pada laringoskopi indirekta (LI) dan laringoskopi
direkta (LD) atau laringoskopi serat optic (LSO) dapat diketahui tumor di
laring.
- Pemeriksaan leher :
a. Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring
dan tiroid.
b. Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid
atau tirohioid yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra
laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid
membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening
leher..
3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan radiologic :
- X-foto leher AP dan lateral ( jaringan lunak )
- Tomogram laring atau “CT Scan” ( bila tersedia fasilitas )
Biopsi : dilakukan dengan LI, LD, atau FOL

11
1.4.DIAGNOSIS BANDING
- Tuberkulosis laring
- Tumor jinak laring ( papiloma,kista,polip)
- Nodul vocal
-
1.5.PENATALAKSANAAN
- Trakeotomi : dilakukan pada penderita yang mengalami sesak nafas.
- Pembedahan :
a. Laringektomi parsial ( LP )
b. Laringektomi total ( LT )
Dapat dikombinasikan dengan :
Deseksi leher fungsional ( DLF )
Deseksi leher radikal ( DLR )
- Radioterapi dan kemoterapi :
a. Stadium I : radiasi, bila gagal, diteruskan dengan tindakan
pembedahan (LP/LT)
b. Stadium II : LP/LT
c. Stadium III : dengan/tanpa NI : LT dengan/tanpa DLF/DLR diikuti
radiasi.
d. Stadium IV : tanpa N/M : LT+DLF diikuti radiasi.
e. Stadium IV lainnya : radioterapi dan kemoterapi.

12
15. LARINGITIS DIFTERI

1.1 Definisi

Suatu peradangan laring karena infeksi corynebacterium diphteriae.


Bisanya dimulai dengan invasi lokal diikuti nekrosis jaringan. Bakteri batang
gram positif ini akan memproduksi eksotoksin menyebabkan timbulnya
gambaran klinis.

1.2 Patofiiologi

Kuman corynebacterium diphteriae masuk melalui mukosa / kulit,


melekat serta bekembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang menembus ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembentukan protein dalam sel.

1.3 Manifestasi Klinis

Penularan terutam melalui saluran nafas dengan gejala bervariasi dari


asimptomatis (dan penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang
ditandai dengan obstruksi jalan nafas atau danya kompikasi (miokarditis yang
dapat menyebabkan complete heart block., neuritis). Masa inkubasi antara 1-5
hari dengan perjalanan penyakit bersifat perlahan-lahan dimulai dengan gejala
yang tidak spesifik seperti demam, lesu, nafsu makan menurun sampai
kemudian muncul gejala klinis yang khas diantaranya; sekret hidung
bercampur darah (serosanguinus) dan kemudian mukopurulen, membran putih
keabu-abuan ditonsil/faring/laring (pseudomembran) yang bila dilepaskan
akan mengakibatkan perdarahan, limfadenitis servikalis dan submandibula
disertai dengan edema jaringan lunak leher (bullneck), serta stridor akibat
obstruklsi jalan nafas atas.

1.4 Diagnosis

Diagnosis harus ditegakan berdasarkan gejala-gejal klini tanpa


menunggu hasil mikrobiologi. Diagnosis pasti dengan isolasi
Corynobacterium diphteriae dengan pembiakan pada media loffler dilanjutkan
dengan tes toksigenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih

13
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Biula diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

1.5 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah:

1. Menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,


2. Mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
3. Mengeliminasi Corynebacterium diphteriae untuk mencegah penularan
4. Mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri

1.6 Pengobatan

1. Anritoksin : anti difteri serum (ADS)


ADS yang dipakai untuk laringitis difteri adalah dengan dosis 40.000 KI
yang dapat diberikan intramuskular ataupun intravena.
2. Antibiotik
Corynebacterium diphteriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in-
vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisisn dan
tetrasiklin. Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita debgan
difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya duabiakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
(atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
3. Kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas ( dapat disertai atau tidak bullneck) dan
bila terdapat penyulit miokarditis ternyata tidak terbukti. Kortikosteroid
yang sering diberikan adalah prednison. Dosis prednison yang diberikan
adalah 1,0-1,5 mg/kg/BB/hari, p.o tiap 6-8 jsm pada kasus berat selama 14
hari.

1.7 Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan


penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum. Prognosis difteri setelah ditemukan ADS dan
antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya. Kematian tersering pada anak
kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.

14

Anda mungkin juga menyukai