Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, 2009).

Berdasarkan National Kidney & Urologic Diseases Information

Clearinghouse, sebanyak 527.283 penduduk Amerika Serikat pada akhir tahun

2007 menerima perawatan akibat gagal ginjal kronis tahap akhir dan dari

jumlah tersebut, 368.544 orang adalah pasien dialisis dan 17.513 orang telah

melakukan transplantasi ginjal. Data dari Departemen Kesehatan pada tahun

2006, penyakit gagal ginjal menduduki nomor 4 angka penyebab kematian di

rumah sakit Indonesia (Depkes, 2007).

Penderita penyakit gagal ginjal kronik mempunyai risiko kematian yang

jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi

terhadap tingginya risiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah

gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan

gangguan metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme

mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium (Erwinsyah, 2011).

1
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu

komplikasi penyakit gagal ginjal kronik yang harus mendapat perhatian karena

mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas. Pada gagal

ginjal kronik, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia

yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia.

Selanjutnya, hiperfosfatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan

sekresi hormon paratiroid (HPT). Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia ini

pada umumnya terjadi pada kliren kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Pada

keadaan seperti ini diperlukan pemberian agen pengikat fosfat untuk mencegah

terjadinya hiperfosfatemia. Agen pengikat fosfat yang sering digunakan adalah

kalsium karbonat (CaCO3) dengan dosis insial yang digunakan adalah 500–1000

mg setiap harinya (Tomasello, 2008).

Pasien dengan kadar fosfat serum sangat tinggi (> 11 mg/dL) memiliki

tingkat kematian yang meningkat dengan faktor sekitar 2,5 dibandingkan dengan

pasien dengan kadar fosfat lebih rendah (4 sampai 5 mg/dL). Block (2004),

melakukan penelitian tentang peningkatan risiko kematian yang berkaitan dengan

hiperfosfatemia pada 6.407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis regular. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa penderita

dengan kadar fosfat serum 6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang

meningkat sebesar 27%. Hiperfosfatemia pada penyakit gagal ginjal kronik

memberikan konsekuensi antara lain adalah hiperparatiroidisme, peningkatan

insiden kalsifikasi jaringan ikat lunak dan sindrom kalsifilaksis, serta gangguan

terhadap sekresi hormon paratiroid (HPT).

2
Belum diketahui secara pasti, penyebab dari percepatan progresivitas gagal

ginjal, apakah karena vitamin D aktif atau kelebihan hormon fosfaturik FGF 23.

Block dkk (2004), lewat penelitian cohort berskala besar melaporkan bahwa, yang

berperan besar dalam kejadian tersebut adalah hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan

hiperparatiroidisme yang berat. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk

mengatasi hiperfosfatemia pada gagal ginjal kronis tersebut antara lain adalah

restriksi asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat (phosphate binder),

meningkatkan efektivitas dialisis, dan pemakaian bahan kalsimemetik

(calcimemetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, Kidney Disease

Outcome Quality Initiative (KDOQI) menargetkan kadar fosfat serum penderita

gagal ginjal kronik adalah 3,5 – 5,5 mg/dl dan perkalian kadar fosfat (Ca x P)

serta kalsium kurang dari 55 mg2/dl2. Target ini masih belum sepenuhnya bisa

dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia pada pasien

gagal ginjal kronik. United States Renal Data System (USRDS) (1993), mencatat

prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah

diberikan pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat

(dietary intervention), dialisis yang ketat, dan pemakaian obat - obatan yang

dilakukan selama ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam

mengatasi hiperfosfatemia (Suwitra, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, penggunaan CaCO3 sebagai agen pengikat

fosfat perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit

Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Rumah Sakit Akademik

UGM didesain dengan konsep mendasar pada pelayanan kesehatan terpadu dan

3
terintegrasi dalam klaster-klaster dengan multiprofessional team work dan sistem

pendidikan klinik “interprofessional and transprofessional“. Rumah Sakit

Akademik UGM juga memiliki pelayanan unggulan yaitu unit pelayanan renal

dan hemodialisa (Anonim5, 2013).

Melihat berbagai alasan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan terapi CaCO3 sebagai agen pengikat fosfat yang

diberikan dengan 3x500 mg setiap harinya dengan kadar hormon paratiroid pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin di Rumah Sakit

Akademik UGM Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan bagi Rumah Sakit Akademik UGM Yogyakarta pada khususnya dan

rumah sakit lainnya dalam menetapkan kebijakan pelayanan kesehatan khususnya

pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) dalam menangani penyakit gagal

ginjal kronik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat

dirumuskan permasalahan apakah terapi kalsium karbonat dapat menurunkan

kadar hormon paratiroid intak pada pasien hemodialisis rutin di rumah sakit

akademik UGM Yogyakarta?

4
C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pemeriksaan kadar fosfat dan kalsium pada pasien gagal

ginjal yang menjalani hemodialisis rutin pernah dilakukan oleh peneliti lain

seperti yang tercantum dalam tabel 1.

Tabel 1. Pemeriksaan kadar fosfat, kalsium, dan hormon paratiroid intak pada
pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin

Peneliti Judul Hasil Penelitian


Octawati, Profil kadar hormon Didapatkan 70 subyek penelitian, rerata
2005 Paratiroid, Kalsium dan kadar HPT intak: 387,126 + 275,456 pg/ml,
Fosfat pada pasien sebanyak 61,42% subyek dengan HPT
gagal ginjal kronik tinggi, Rerata kadar kalsium: 7,12+2,7
yang menjalani mg/dl, 64,29% terjadi hipokalsemia, rerata
Hemodialisis di RS Dr. kadar fosfat adalah 7,936+4,277 mg/dl,
Sardjito Yogyakarta sebanyak 77,14% subyek dengan
hiperfosfatemia.
Faris, Hubungan antara kadar Terdapat korelasi positif lemah walaupun
2003 hormon paratiroid tidak bermakna anatara PTH intak dengan
dengan kalsium dan Ca dimana PTH intak cenderung lebih tinggi
fosfat pada penderita pada kelompok penderita dengan Ca yang
hemodialisis kronik. tinggi. Terdapat korelasi positif lemah antara
PTH intak dengan P dan tidak bermakna,
dimana PTH intak cenderung tinggi pada P
yang tinggi.
Hellman, Correlation between Terdapat korelasi positif antara plasma
2009 plasma calcium, kalsium dan BMI (P = 0,0003), lingkar
parathyroid hormone pinggang (P = 0,0009) dan resistensi insulin
(PTH) and the (P = 0,079). Selain itu juga didapatkan
metabolic syndrome korelasi positif antara PTH dan BMI (P
(MetS) in a community- <0,0001), lingkar pinggang (P <0,0001),
based cohort of men tekanan darah sistolik (P = 0,0034), tekanan
and women. darah diastolik (P = 0,0008), trigliserida
serum (P = 0,0003) serta resistensi insulin (P
= 0,0003), sedangkan serum high density
lipoproteins (HDL) (P = 0,036) dan PTH
berkorelasi negatif.
Lee, Correlations among PTH serum secara signifikan berkorelasi
2002 serum calcium, vitamin negatif dengan serum kalsium (r = - 0,33, p
D and parathyroid <0,05) tetapi tidak untuk 25 (OH) D (r =-
hormone levels in the 0,21 ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
elderly in southern wanita tua yang diteliti memiliki kadar PTH
Taiwan. serum yang lebih tinggi dan tingkat ini

5
berkorelasi negatif dengan kadar kalsium
serum menunjukkan bahwa tingkat PTH
lebih tinggi pada wanita lanjut usia mungkin
terkait dengan kerentanan osteoporosis.

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian mengenai

kadar hormon paratiroid, kasium, dan fosfat pada pasien gagal ginjal sudah pernah

dilakukan. Namun, penelitian sebelumnya hanya melihat kadar hormon paratiroid,

kalsium, dan fosfat pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis secara

rutin tanpa terapi dengan agen pengikat fosfat yaitu CaCO3 seperti pada penelitian

ini.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

berbagai pihak, antara lain :

1. Farmasis

Sebagai bahan dan motivasi farmasis untuk dapat meningkatkan peran

farmasi klinik dalam pharmaceutical care terutama dalam penatalaksanaan

terapi penyakit gagal ginjal kronik dan peningkatan kualitas pelayanan

kesehatan.

2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain

Sebagai informasi bagi rumah sakit mengenai efektivitas penggunaan CaCO3

pada pasien hemodialisis rutin sehingga dapat digunakan sebagai masukan

dalam penyusunan dan penetapan kebijakan mengenai strategi tatalaksana

terapi penyakit gagal ginjal kronik di rumah sakit,

6
3. Peneliti

Memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan khususnya

pada penyakit gagal ginjal kronik serta sebagai pembanding dan pelengkap

untuk penelitian selanjutnya.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan terapi kalsium karbonat dengan kadar hormon paratiroid intak pada

pasien hemodialisis rutin di rumah sakit akademik UGM Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai