Anda di halaman 1dari 2

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Pendekatan konstruktivisme akhir-akhir ini banyak dibahas dan berkembang menjadi wacana
nasional berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendekatan ini
dianggap sebagai fenomena baru yang menjanjikan dalam upaya melaksanakan pembelajaran
yang efektif dan mendukung mengembangkan potensi siswa secara optimal. Pendekatan ini
memang mempunyai cirri khusus yang berbeda dengan pendekatan pembelajaran
sebelumnya.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai sejarah yang cukup panjang. Cirri


pendekatan ini bahkan dapat ditelusuri mulai dari Socrate, filosof Yunani terkenal yang hidup
pada tahun 470-399 sebelum Masehi. Socrates menggunakan metode bertanya untuk
mendidik murid-murid berpikir kritis. Dalam bentuk kelompok diskusi, Socrates
membimbing murid-murid untuk aktif berpikir dan menghasilkan suatu kesimpulan dari
berbagai permasalahan. Dalam bentuknya yang sekarang, pendekatan konstruktivisme telah
berkembang melalui beberapa pemikir seperti Vygotsky, Piaget, dan John Dewey.

Ruang Lingkup Perspektif Konstruktivisme


Perspektif atau pendekatan pendidikan berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.
Perspektif pendidikan saat ini, perkembangannya tidak terlepas dari perspektif pendidikan
sebelumnya. Bahkan seringkali perspektif yang baru merupakan kombinasi, akumulasi
ataupun sinergi berbagai pandangan sebelumnya. Perspektif yang lahir kemudian juga
seringkali merupakan reaksi atau koreksi terhadap perspektif yang mendahuluinya.
Pembahasan mengenai pengertian perspektif konstruktivisme akan menjadi lebih bermakna
bila dikaitkan dan dibandingkan dengan perspektif pendidikan terdahulu, seperti
behaviorisme, kognitivisme, dan sebagainya.

KARAKTERISTIK PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME

Beberapa karateristik yang juga merupakan prinsip dasar perspektif konstruktivisme


dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

1. Mengembangkan strategi alternative untuk memperoleh dan menganalisis informasi.


2. Dimungkinkannya perspektif jamak (multiple perspective) dalam proses belajar.
3. Peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan
proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
4. Penggunaan scaffolding dalam pembelajaran.
5. Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilisator dan mentor untuk mendukung
kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.
6. Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.
Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diterapkan guru dalam pembelajaran, misalnya
dengan:

Mengembangankan strategi alternative untuk memperoleh dan menganalisis informasi.


Siswa perlu dibiasakan untuk dapat menemukan (mengakseskan) infomrmasi dari berbagai
sumber, seperti buku, majalah, Koran, pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan
‘internet’ yang sekarang sedang giat dikampanyekan oleh pemerintah. Sesuai dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, mereka perlu belajar menganalisis informasi, sejauh mana
kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan
informasi dan menyederhanakan informasi yang banyak. Atau dengan istilah lain siswadilatih
bagaimana ‘memproses informasi’. Ketika mempelajari suatu materi, siswa dapat mencoba
membuat ringkasan dengan mengidentifikasi inti atau esensi materi, membuat pertanyaan
berkaitan dengan materi, mencoba membuat penjelasan lanjut dari materi yang dipelajari,
atau bahkan membuat prediksi atau perkiraan yang akan terjadi pada penerapan konsep
materi yang dibahas. Dalam hal ini guru perlu aktif dan kreatif dalam member penugasan
kepada siswa. Dalam proses belajar, kesalahanberpikir yang dilakukan siswa secara positif
dapat dilihat sebagai indicator bagaimana cara berpikir siswa sehingga guru dapat
memancing atau mendorong siswa untuk mencari alternative berpikir lain, yang dinilai lebih
baik.

Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilisator dan mentor untuk mendukung
kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.

Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma dari ‘pembelajaran berorientasi guru’ menjadi
‘pembelajaran berorientasi siswa.’ Siswa diharapkan mampu untuk secara sadar dan aktif
mengelola belajarnya sendiri, dalam arti mempunyai pemahaman tentang tujuan belajarnya
dan pengertian yang jernih mengapa tujuan belajar tersebut mempunyai nilai bagi dirinya,
serta bagaimana dia akan mencapainya.

Penugasan seperti ini jelas akan membuat siswa menjadi aktif dan termotivasi untuk belajar,
karena dia dapat melihat manfaat atau nilai tugas bagi perkembangan intelektualnya. Dalam
hal ini peran guru lebih sebagai wasit, atau mediator bila diperlukan, untuk memfasilitasi
siswa memperoleh data dan melakukan analisis dengan cermat.

Anda mungkin juga menyukai