Anda di halaman 1dari 3

Nama: Cisilliya Tandraini

NIM: 362015712269

Prodi: Farmasi 7

Makul: Analisis Kehalalan Produk Farmasi

1. Alasan diperbolehkannya menggunakan bahan yang najis atau haram yaitu ketika seorang
muslim dalam keadaan terpaksa atau dalam status darurat, tetapi juga harus dalam batasan
yang tidak melebihi kebutuhannya. Menurut kaidah agama islam kondisi darurat adalah
kondisi yang mengancam keselamatan jiwa atau kehidupan manusia. Selain itu juga harus
disadari dan dipahami bahwasannya kedaruratan itu bersifat sementara, harus dibatasi
waktunya, tidak boleh berlaku selamanya. Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan
obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat syarat sebagai berikut: 1. Terdapat bahaya yang
mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat. 2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai
ganti Obat yang haram itu. 3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang
dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
kebolehan mengonsumsi obat haram ini tidak berlaku mutlak.
Mereka yang mendukung pendapat ini mensyaratkan beberapa hal penting :
a. Usahakan yang halal terlebih dulu. Selama masih ada obat halal, obat haram tidak boleh
digunakan, sebab unsur kedaruratannya hilang. Dengan kata lain, kita harus terlebih dulu
berusaha mendapatkan obat-obatan halal sebelum berpindah kepada yang hukumnya
haram.
b. Tidak menikmati. Orang yang dengan terpaksa mengonsumsi makanan yang haram
karena keadaan darurat pengobatan tidak boleh menikmati makanan haram itu. Kalau
dinikmati, status kedaruratannya menjadi tidak ada nilainya.
c. Berobat secukupnya. Terpaksa berobat dengan makanan yang haram hanya dibenarkan
jika terbatas pada dosis yang telah ditoleransi dokter. Berlebihan dalam mengonsumsi
yang haram karena alasan pengobatan sama saja dengan melanggar ketentuan
kedaruratan itu sendiri.
d. Terbukti manjur secara mutlak. Syarat yang paling penting dari semua itu adalah obat
yang dianggap bisa menyembuhkan tetapi haram itu selama ini memang telah terbukti
khasiatnya. Dengan kata lain, sifatnya bukan coba-coba atau sekadar bereksperimen.
Sesuatu yang darurat tidak dilakukan dengan jalan coba-coba, sebab risikonya terlalu
besar sementara belum ada kepastian apakah makanan haram itu benar-benar bisa
mengobati. Jangan sampai kita hanya terjebak mitos.

2. Standar kehalalan produk kosmetika berdasarkan bahan penyusun produk menurut para ulama
di Komisi Fatwa MUI telah menetapkan tidak boleh ada intifa’ atau pemanfaatan bahan dari
babi dalam proses produksi dan pengolahan produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika.
Beberapa contoh diantaranya adalah :
a. Alkohol yang digunakan sebgai pelarut pada beberapa produk perawatan kulit. Kalau
alkohol dibuat dari bahan industri khamr, maka hal itu diharamkan oleh para ulama.
b. Kolagen berasal dari jaringan ikat kulit hewan terutama dari babi, meski bisa juga dari
biri-biri, sapid an kambing. Bahan ini sering dipakai untuk produk anti aging, lipstick agar
lebih glossy, hand and body lotion dan perawatan kulit (skin care) agar kulit halus, putih
dan menjaga kelenturan kulit. Berdasarkan informasi yang didapat dari kalangan industry,
kolagen terbaik dan sering dipergunakan dalam produk kosmetik saat ini adalah kolagen
yang berasal dari babi. Selain itu, ketersediaannya juga melimpah dengan harga yang jauh
lebih murah dari pada bahan yang dibuat dari biri-biri ataupun sapi.
c. Plasenta, atau lebih dikenal dengan ari-ari. adalah suatu media yang berkembang di dalam
rahim selama masa kehamilan yang berfungsi untuk memberikan nutrisi dari induk kepada
embrio. Plasenta akan keluar bersamaan dengan lahirnya bayi. Sumber plasenta bisa
berasal dari hewan (sapi, kambing, biri-biri, domba maupun babi), bahkan juga manusia.
Jika menggunakan produk kosmetika dengan plasenta manusia sebagai salah satu
bahannya, maka itu jelas diharamkan dalam Islam. Sedangkan jika plasenta hewan, maka
harus diketahui dengan pasti, apakah hewan yang halal atau tidak.
3. Ketentuan penggunaan bahan mikrobial sehingga produk terjamin kehalalannya. Dalam fatwa
MUI menyatakan bahwa mikroba pada dasarnya halal selama tidak membahayakan dan tidak
terkena barang najis. Kehalalan mikrona bisa dinilai dari kesucian media pertumbuhannya,
apabila media pertumbuhannya suci maka hukumnya halal, namu apabila media
pertumbuhannya najis maka haruslah disucikan terlebih dahulu dengan komponen air mutlaq
minimal dua kullah maka hukumnyapun halal.
4. Ketentuan penggunaan alkohol agar terjamin kehalalan suatu produk farmasi. Berdasarkan
fatwa MUI :
a. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan, minuman,
kosmetika, dan obat‐obatan, hukumnya haram.
b. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis
kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses
produksi produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat‐obatan, hukumnya: mubah,
apabila secara medis tidak membahayakan.
c. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil
sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr)
untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat‐obatan,
hukumnya: haram, apabila secara medis membahayakan.
d. Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman
yang mengandung alkohol minimal 1% (satu persen). Sehingga untuk kehati-hatian, kami
sarankan untuk meninggalkan obat beralkohol jika kandungan alkoholnya di atas 1%.
5. A. Apa yang dilakukan purin belumlah tepat sebab bila alasan purin adalah berhias untuk
menyenangkan suami maka hendaknya dilakukan dengan kosmetik yang sudah jelas
kehalalannya. Meskipun dari produk yang digunakannya tercantumkan bahan dari plasenta
sapi, dimana hukum menggunakan bahan tersebut adalah halal karena merupakan turunan
dari hewan halal tapi jika tidak diketahui cara penyembelihan dan perolehannya makan
hukumnya adalah makruh tahrim sehingga harus dihindari.
B. Jika saya berada di posisi purin maka saya akan meninggalkan produk tersebut dengan
alasan yang telah diuraikan di atas. Tapi saya akan mencari alternatif produk kosmetik lain
yang sudah terjamin kehalalannya sehingga niat baik untuk menyenangkan suami juga
dibarengi dengan ikhtiyar yang baik dan ikhtiyar yang baik yaitu dengan menggunakan
kosmetik atau produk perawatan halal.

Anda mungkin juga menyukai