Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

KAJIAN TERHADAP KEWENANGAN APARAT PENEGAK


HUKUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Disusun untuk memenuhi nilai tugas Hukum Acara Pidana kelas E

Disusun oleh:
Kelompok 19
Chealse Tamara Sulistio 110110160307
Duhita Pradnya A. 110110160313
Amanda Kamalia 110110160323

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018

1
Posisi Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal Lembaga Pemasyarakatan atau
yang disebut LAPAS yang juga memiliki peranan sentral sebagai bagian dari aparatur
penegakan hukum di luar Polisi, Hakim, Jaksa, serta Advokat. Kesemua aparat penegak
hukum tersebut merupakan suatu sistem yang saling terkait dan memiliki tugas dan fungsi
masing-masing dalam proses penegakan hukum. Dalam pelaksanaannya, banyak kalangan
yang tidak mengetahui dan mengakui bahwa Lembaga Pemasyarakatan termasuk dalam
jajaran penegak hukum, dikarenakan penegakan hukum masih diartikan begitu sempit, yaitu
sebatas pada kegiatan mengimplementasikan unsur-unsur delik pidana yang tercantum dalam
undang-undang. Padahal, jika berkaca pada pengertian penegakan hukum dalam arti luas,
maka penegakan hukum tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh sistem itu sendiri.

Berkaitan dengan tujuan tersebut, belum ada hukum positif di Indonesia yang secara
eksplisit menyatakan teori pemidanaan apa yang dianut oleh Indonesia. 1 P.A.F. Lamintang
menyatakan tujuan pemidanaan ada tiga, yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu
sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan, dan untuk membuat
penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain,
yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sejalan
dengan hal tersebut, pemidanaan harus dilihat sebagai hal yang tidak semata-mata untuk
membuat pelaku jera atas tindakannya, namun lebih dari itu, tujuan ke depan yang hendaknya
dicapai adalah memperbaiki diri pelaku itu sendiri

Di Negara Indonesia, dalam Pasal 50 Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana


dinyatakan tujuan pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan
penduduk;
b. Membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi
baik dan berguna;
c. Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana;
d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan diperkirakan
merendahkan martabat manusia.

1 Satochid Kertanegara mengatakan terdapat tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu absolute atau
vergeldings theorieen (pembalasan), relative atau doel theorieen (maksud, tujuan) dan vereningings
theorieen (teori gabungan), dalam bukunya berjudul: Hukum Pidana Bagian Satu (Jakarta: Balai
Lektur Mahasiswa, 2012), hlm.56

2
Dengan dicantumkannya tujuan pemidanaan di dalam Pasal 51 Rancangan KUHP
(Baru), ada pergeseran cara pandang mengenai pemidanaan itu, sehingga pemidanaan
hendaknya lebih bersifat manusiawi. Sehubungan dengan hal itu, harus dibedakan antara
hukuman dengan tindakan. Bambang Poernomo menjelaskan perbedaan antara punishment
dengan treatment, sebagai berikut:

Pada punishment perlu dirasakan tidak enak dan berkaitan dengan kemanfaatan bagi
individu yang bersangkutan sebagai resiko telah melanggar hukum. Sedangkan pada
treatment menjurus pada berbagai pilihan (alternatif) untuk pencegahan, pembinaan,
pendidikan, latihan kerja, dan lain-lain tindakan yang kesemuanya itu berkaitan
dengan kemanfaatan pencegahan kejahatan di masa depan.2
Berdasarkan hal-hal di atas, disimpulkan bahwa tujuan penegakan hukum (pidana)
tidak hanya terbatas pada ketika hakim menjatuhkan putusan, akan tetapi masih berlanjut
pada manfaat yang diterima pelaku sekalipun itu merampas kemerdekaannya. Pengertian ini
ikut menjelaskan bahwa posisi pemasyarakatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
proses penegakan hukum dan memiliki peran strategis yaitu mewujudkan tujuan akhir dari
sistem peradilan pidana yang bertugas melakukan sebuat treatment rehabilitasi dan
resosialisasi pelaku tindak pidana, dalam rangka melakukan pengendalian dan pencegahan
kejahatan. Dalam kedudukannya sebagai pembina para terpidana, posisi Lembaga
Pemasyarakatan adalah merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana. Singkatnya,
tugas Lembaga Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi
sosial) warga binaan (narapidana) dengan atau ke dalam masyarakat, melalui suatu proses
yang melibatkan unsur-unsur (elemen-elemen) petugas pemasyarakatan, narapidana, dan
masyarakat.3

Pemasyarakatan merupakan kebijaksanaan atau perlakuan terhadap narapidana yang


bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi narapidana
yang tersesat dan memberi bekal hidup kepada narapidana setelah kembali dalam masyarakat.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan
sebagai berikut :

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri
2 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan
(Yogygakarta: Liberty, 1986), hlm. 77
3 Petrus Irawan Panjaitan, Pandopatan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam
Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 66.

3
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Konsep ini lahir dari pandangan Dr. Sahardjo, S.H. mengenai hukum sebagai
pengayoman. Dalam pidatonya, Saharjo mengemukakan rumusan tujuan pidana penjara
sebagai berikut:

1. Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap yang bersifat


mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para
marapidana yang “tersesat jalan” dan memberi bekal hidup bagi para narapidana
setelah kembali ke dalam masyarakat.
2. Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang dengan putusan
hakim untuk menjalani pidananya yang ditempatkan dalam Lembaga
Kemasyarakatan maka istilah penjara dirubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.
3. Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan
atas asas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu,
dan anggota masyarakat sekaligus.4

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana hanya dibatasi kemerdekaan bergeraknya


saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Hak Narapidana dalam Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mengatur mengenai
hak-hak seorang narapidana, antara lain Pembebasan Bersyarat. Pembinaan warga binaan
pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Balai Pemasyarakatan
(BAPAS). Ruang lingkup pemasyarakatan pada dasarnya meliputi Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan) Balai satuPemasyarakatan (Bapas) dan Rumah
Penyimpanan Barang Sitaan dan Barang Rampasan Negara (Rupbasan). Ke empat unit kerja
ini mempunyai tugas fungsi yang berlainan tetapi saling bersinergi antara unit kerja
satudengan yang lainnya

Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Lembaga Pemasyarakatan


Ketentuan mengenai Lembaga Pemasyarakatan disebutkan dalam 1 angka (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
4 Soedjono Dirdjosiswono, Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan) (Bandung:
Armico, -), hlm. 199

4
Mengenai definisi Lembaga Pemasyarakatan yang telah tercantum baik dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, KEPMEN Kehakiman R.I No. M.02-PK.04.10
Tahun 1990, maupun KEPMEN Kehakiman R.I No. M.01-PP.02.01 Tahun 1990 tersebut
menyiratkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya adalah tempat pendidikan dan
pembinaan bagi Narapidana, Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil.
Lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya, memiliki fungsi yang
dijelaskan pada Pasal 3 Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, yaitu
a. Melakukan pembinaan narapidana/anak didik;
b. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja;
c. Melakukan bimbingan sosial/kerokhaniaan narapidana/anak didik;
d. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan; dan
e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga

Seperti yang telah dikemukakan di atas, lembaga pemasyarakatan yang merupakan


salah satu sub sistem dalam sistem pemasyarakatan para narapidana memiliki peranan yang
tak kalah penting dari aparat hukum lainnya, terutama dalam hal mewujudkan tujuan akhir
dari pemidanaan itu sendiri. Hal ini tentunya tak luput dari peran serta lembaga
pemasyarakatan yang berwenang membina para narapidana supaya dalam masa
penahanannya terutama setelah selesai menjalani pidana atau putusan pengadilan berupa
tindakan dapat menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
Pembinaan warga binaan adalah segala upaya yang dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan untuk mengembalikan warga binaan yang sementara hidupnya tersesat.
Dasar hukum pembinaan narapidana yang pokok adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan yang penetapannya dilakukan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
a. bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber
daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem
pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem
kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan;
c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud huruf b, merupakan
rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

5
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab;
d. bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam Ordonnantie op de Voorwaardelijke
Invreheidstelling (Stb. 1917-749, 27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488 sepanjang
berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestichten Reglement (Stb. 1917- 708, 10
Desember 1917), Dwangopvoeding Regeling (Stb. 1917-741, 24 Desember
1917), dan Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardedijke Veroordeeling (Stb.
1926-487, 6 November1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan,
tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945

Secara umum, pelaksanaan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan


melalui proses yang dilakukan sejak narapidana yang bersangkutan masuk (admission)
sampai dengan yang bersangkutan dibebaskan (release). Dalam proses ini juga dapat dilihat
bahwa Lembaga pemasyarakatan adalah satu-satunya aparat penegak hukum yang memiliki
wewenang “power full” terutama dalam kaitannya dengan wewenang untuk membina
narapidana setelah dijatuhi putusan hakim yang telah inkracht dan membebaskan
narapidana demi hukum.
Berdasarkan aturan dan hierarki struktur organisasi dalam LAPAS, Kepala Lapas
menjadi salah satu bagian penting berjalannya pembinaan dan ketertiban dalam lembaga
pemasyarakatan. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyatakan bahwa penerimaan dan pembebasan narapidana menjadi
tanggung jawab Kepala LAPAS. Artinya, segala proses pembinaan, pembimbingan,
pengendalian keamanan, dan ketertiban berada di bawah wewenang Kepala LAPAS atau
dapat dikatakan Kepala Lapas memiliki kekuatan power full dalam proses pemasyarakatan
narapidana . Dalam menjalankan wewenangnya, tentunya wewenang tersebut harus dibatasi
oleh hukum karena jika tidak demikian akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan
cenderung disalahgunakan. Dalam kajian dari beberapa peraturan perundang-undangan
terkait, kami menemukan bahwa Kepala Lapas memiliki wewenang-wewenang sebagai
berikut:
1. Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995: Kepala LAPAS
bertanggung jawab penuh atas ketertiban dan keamanan LAPAS yang dipimpinnya
oleh karena itu ia berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan

6
hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar
peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.
tindakan Pendisiplinan itu berupa tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi
Narapidana atau Anak Pidana; dan atau menunda atau meniadakan hak tertentu
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995: Kepala LAPAS dalam keadaan
tertentu berwenang untuk menolak pelaksanaan penyidikan perkara lain.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999: Kepala LAPAS berwenang
memindahkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dari satu LAPAS ke
LAPAS lain jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
4. Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1999: Kepala LAPAS
berwenang memberikan narapidana izin cuti mengunjungi keluarga
5. Pasal 24 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999, dalam keadaan
darurat, Kepala LAPAS/Cabang LAPAS dapat mengirim tahanan yang sakit ke
rumah sakit tanpa izin instansi yang menahan terlebih dahulu.
6. Pasal 13 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Kepala LAPAS
berwenang mengusulkan remisi bagi narapidana kepada Menteri Hukum dan
Perundang-undangan (sekarang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Masih banyak kewenangan dari Kepala LAPAS yang tersebar dalam berbagai
perundang-undangan lain seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Kemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor: M.01-PK.04.10 Tahun 1998 tentang Ketentuan Mengenai Tugas, Kewajiban, dan
Syarat-Syarat Pembimbing Kemasyarakatan, Petunjuk Pelaksanaan Menteri Kehakiman RI
Nomor E. 39-PR.05.03 Tahun 1987 tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan, serta Petunjuk
Teknis Menteri Kehakiman RI Nomor: E.40-PR.05.03 Tahun 1987 tentang Bimbingan Klien
Pemasyarakatan.
Tak jarang, wewenang tersebut juga meluas ketika terdapat pengalihfungsian LAPAS
menjadi tempat untuk merawat tahanan yang seharusnya ditempatkan di Rumah Tahanan
(RUTAN). Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang
Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, LAPAS dapat
beralih fungsi menjadi RUTAN, dan begitu pula sebaliknya. RUTAN adalah tempat tersangka
atau terdakwa di tahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dalam hal ini, wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan yang

7
semula dilaksanakan oleh Kepala RUTAN menjadi dilaksanakan oleh Kepala
LAPAS/Cabang LAPAS. LAPAS pun berperan ganda dan ikut berwenang dalam melakukan
perawatan pada tahanan. Pemberian treatment yang berbeda perlu diperhatikan antara
penanganan tahanan dan pembinaan narapidana agar hak-hak masing-masing pihak tidak
diciderai.
Pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan tidak
hanya menjadi tanggung jawab Kepala LAPAS, tetapi juga tugas dan tanggung jawab Petugas
Pemasyarakatan yang terdiri dari atas: Pembina Pemasyarakatan; Pengaman Pemasyarakatan;
Pembimbing Kemasyarakatan. Petugas pemasyarakatan sendiri merupakan pejabat fungsional
penegak hukum yang berwenang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Sama halnya dengan Kepala LAPAS,
kewenangan para petugas pemasyarakatan juga tersebar dalam peraturan perundang-
undangan seperti: Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999: Petugas jaga
tahanan berwenang memeriksa dan meneliti surat izin kunjungan dari pejabat yang
berwenang menahan dan memeriksa dan atau menggeledah pengunjung termasuk barang-
barang bawaannya. Atau kewenangan lainnya terdapat pada Pasal 47 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang mana Petugas Pemasyarakatan berwenang dalam
pengeksekusian tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin atas perintah Kepala
LAPAS.
Tiap pelaksanaan kewenangan dalam Lembaga pemasyarakatan harus didasari dengan
Undang-Undang agar hak-hak narapidana tidak terabaikan. Dalam pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
1. Pengayoman
Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan agar menjadi
warga yang berguna dalam masyarakat;
2. Persamaan Perlakuan dan pelayanan
Pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan
pemasyarakatan tenapa mebeda-bedakan orang.
3. Pendidikan dan pembimbingan
Bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan
pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan
kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
4. Penghormatan harkat dan martabat manusia

8
Maksudnya adalah bahwa sebagai orang tersesat, warga binaan pemasyarakatan
harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
Maksudnya adalah bahwa warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam lapas
untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai kesempatan untuk
memperbaikinya. Selama di LAPAS, warga binaan pemasyarakatan tetap
memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain
bahwa hak-hak perdatanya tetap terlindugi seperti hak memperoleh perawatan
kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olehraga
atau rekreasi.
6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang tertentu
Maksudnya adalah bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di
LAPAS, tatapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak
boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat
dalambentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang
bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program
cuti mengunjungi keluarga.

Contoh Kewenangan Aparat Penegak Hukum Lembaga Pemasyarakatan

Kritik Terhadap Lembaga Pemasyarakatan


Lembaga Permasyarakatan merupakan tempat untuk membina para terpidana untuk
menjadi manusia yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya saat kembali ke
masyarakat. Namun, dalam praktiknya, lembaga permasyarakatan yang seharusnya menjadi
solusi penyelesaian masalah dalam hal kejahatan atau dalam kata lain membuat jera pelaku,
malah menimbulkan masalah baru. Salah satu masalah tersebut adalah adanya transaksi
narkoba dalam lembaga permasyarakatan. Hal yang mengejutkannya ialah para petugas
permasyarakatan sendiri, dikenal dengan istilah sipir, yang menjadi pengedar atau membantu
narapidana sebagai kurir dalam menyelundupkan narkoba ke dalam lapas. Contoh kasus
nyata permasalahan tersebut ialah baru-baru ini seorang sipir di Tangerang tertangkap sebagai
kurir narkoba dan dibayar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah). 5 Selain itu, tahun lalu
5 Chyntia Sami B, “Jadi Kurir Narkoba, Sipir Lapas Pemuda Tangerang Dibayar Rp400 Ribu”
(https://news.okezone.com/read/2018/03/02/338/1867291/jadi-kurir-narkoba-sipir-lapas-pemuda-

9
sekitar bulan Juli juga tetangkap seorag sipir yang menyelundupkan sabu ke dalam Lapas
Surabaya dan dibayar sejumlah Rp. 3.000.000,- (tiga juga rupiah).6
Permasalahan tersebut disebabkan oleh mental aparat atau petugas permasyarakatan
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang bahkan terdapat slogan ‘Apapun
bisa kalau ada uang’. Dalam hal ini mereka rela melakukan penyelewengan hanya demi
mendapatkan uang, salah satunya adalah menyusupkan narkoba ke dalam lapas dengan
menerima bayaran atau suap dari narapidana. Sesungguhnya petugas pemasyarakatan terikat
untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi pemasyarakatan. Penegakan
atas integritas profesi petugas pemasyarakatan tersebut meliputi fungsi dan tugas dalam
rangka pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan melalui Bapas. Namun
pada kenyataannya, bukan membina dan membimbing para narapidana untuk terlepas dari
jerat narkoba melainkan menjerumuskan narapidana semakin dalam terhadap jeratan narkoba.
Slogan ‘Apapun bisa kalau ada uang’ ini tidak hanya terbatas dalam menyelundupkan
narkoba saja, akan tetapi terjadi suap-suap lainnya terhadap hal lainnya seperti fasilitas
tertentu dengan mudah didapatkan oleh narapidana yang berduit hingga tahanan seperti hotel
berbintang. Seperti kasus Arthalita Suryani, tahun 2010, yang menjalani masa hukumannya di
Blok Anggrek Rutan Pondok Bambu, Jakarta memiliki ruang karaoke pribadi dalam sel
kurungannya berikut fasilitas pendingin udara (AC) dan dilengkapi kulkas beserta satu set
computer guna memudahkan aktivitasnya mengontrol kegiatan di luar rutan melalui internet. 7
Kemudian, narapidana yang ‘berduit’ bisa berpergian ke luar kota tanpa pengawalan. Pada
tahun 2010, Gayus Tambunan yang tengah di tahan di Rumah Tahanan Brimob Kepala Dua,
terdakwa kasus mafia hukum dan mafia pajak, tertangkap kamera oleh wartawan sedang
menonton pertandingan tenis antara Hantuchova dan Yanina Wickmayer dalam turnamen
Commonwealth Bank Tournamnet of Champions di Nusa Dua, Bali. Tak sekedar ke luar kota,
selama menjadi tahanan di Rutan, ia mengaku sempat berpelesir ke Makau, Kuala
Lumpur,dan Singapura dengan paspor palsu atas nama Sony Laksono. Demi melancarkan
rencananya, ia menghabiskan puluhan juta untuk menyuap sejumlah petugas Rutan Mako
Brimob, termasuk kepala Rutan, Kompol Iwan Suswanto.8 Dalam perkara Gayus ini, dapat
tangerang-dibayar-rp400-ribu, diakses 3 Maret 2018)
6 Masfiatur Rochma, “Sipir Selundupkan Sabu ke Dalam Lapas Surabaya Dibayar Rp. 3 Juta”
(https://www.merdeka.com/peristiwa/sipir-selundupkan-sabu-ke-dalam-lapas-surabaya-dibayar-rp-3-
juta.html, diakses 3 Maret 2018)
7 Tempo.co, “Penjara Mewah Artalyta Terungkap Berkat Laporan Warga”
(https://nasional.tempo.co/read/218341/penjara-mewah-artalyta-terungkap-berkat-laporan-warga,
diakses 3 Maret 2018)
8 Pijar Anugerah, “Empat ‘kemewahan’ yang Bisa Dinikmati Napi Berduit”
(http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38899071, diakses 3 Maret 2018)

10
dilihat bahwa kepala Rutan yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin kepada
seorang narapidana untuk berpergian keluar dengan alasan tertentu, seperti berobat,
menjenguk anggota keluarga yang sakit, dan kerja sosial, justru menyalahgunakan
wewenangnya hanya demi uang.
Permasalahan yang kedua ialah implikasi dari kelebihan penghuni dan overcrowding
yang dialami sebagian besar lapas Indonesia. Kelebihan penghuni yang dimaksud ialah
jumlah narapidana yang tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan ruangan lapas.
Sedangkan, overcrowding yang dimaksud adalah situasi krisis akibat kepadatan penghuni
lapas dimana hingga saat ini tidak ada solusi pemerintah yang komprehensif atas hal tersebut.
Salah satu contohnya hal ini terjadi di Lapas Klas I Cipinang. Per Juni 2017, Lapas CIpinang
diisi oleh 2.926 napi dan tahanan, padahal kapasitanya hanya unutk 880 narapidana. Bahkan
di Provinsi Riau kelebihan penghuni mencapai angka 203 persen dari kapasitas penghuni9
Permasalahan tersebut berdampak langsung dan menimbulkan permasalahan baru.
Pertama, tidak berjalan dengan baik pembinaan yang ada di lapas karena jumlah penghuni
yang terlalu banyak dan kurangnya jumlah personel akibat perbandingan penghuni dan
personel sangat jauh. Kedua, tingkat keamanan yang tidak lagi terjamin menyebabkan
kemungkinan tahanan melarikan diri semakin tinggi. Seperti yang terjadi di Lapas Klas IIB
Pekanbaru, pada 8 Mei 2017, 448 dari 1780 tahanan kabur dari lapas akibat dari tahanan yang
melebih kapasitas sehingga tingkat keamanan berkurang karena jumlah petugas lapas yang
jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah tahanan. Lapas Klas IIB Pekanbaru dihuni oleh 1780
tahanan yang melebihi kapasitas idealnya yaitu 561 orang. Ketiga, meningkatnya angka
kerusuhan lapas akibat gesekan besar yang terjadi di antara penghuni, perebutan makanan,
tempat tidur, kamar mandi, dan lain-lain. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak
terakomodasinya pelayanan dan fasilitas yang memadai bagi tahanan sehingga terjadi
pelanggaran hak-hak tahanan atas pelayanan dasar seperti ruang tahanan, air bersih, dan
makanan. Situasi kurangnya pelayanan dan fasilitas menjadi komoditas subur bagi petugas
lapas yang koruptif dan oknum yang mencari keuntungan. Hal ini pun didorong dengan
tahanan yang mulai mencari alternative lain dalam menyokong standar hidup dalam lapas
dengan menyuap petugas untuk didahulukan agar mendapatkan fasilitas yang memadai. Salah
satu penyebab kaburnya tahanan di Lapas Klas IIB Pekanbaru ialah tahanan yang merasa
kecewa dengan pelayanan petugas lapas yang diskriminatif dan sewenang-wenang.10

9 Supriyadi Widodo Eddyono, “Overcrowding yang Menghantui Lapas di Indonesia”


(https://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/12130041/.overcrowding.yang.menghantui.lapas.di.ind
onesia?page=all, diakses 4 Maret 2018)

11
Berdasarkan permasalahan diatas, usaha perbaikan yang dapat dilakukan ialah
membenahi sumber daya petugas lapas. Pertimbangan-pertimbangan fisik diletakkan paling
akhir, yang diutamakan adalah pendidikan, kualitas, dan kematangan jiwa atau mental
pegawai lapas agar tidak tergiur dengan penyuapan atau hal-hal lain untuk membantu
narapidana melanggar peraturan lapas dengan menyalahgunakan kewenangan yang ia miliki.

10 Marselinus Gunas, “Komnas HAM: Ada Pelanggaran HAM di Lapas Klas IIB Pekanbaru”
(http://www.jitunews.com/read/58555/komnas-ham-ada-pelanggaran-ham-di-lapas-klas-iib-
pekanbaru, diakses 4 Maret 2018)

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Dirdjosiswono, Soedjono. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan).
Bandung: Armico

Kertangera, Satochid. 2012. Hukum Pidana Bagian Satu. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa
Panjaitan, Petrus Irawan, dan Pandopatan Simonangkir. 1995. Lembaga Permasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan.


Yogyakarta: Liberty

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan

Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

Lain-lain
Chyntia Sami B. 2018. Jadi Kurir Narkoba, Sipir Lapas Pemuda Tangerang Dibayar Rp400
Ribu. Diambil dari: https://news.okezone.com/read/2018/03/02/338/1867291/jadi-kurir-
narkoba-sipir-lapas-pemuda-tangerang-dibayar-rp400-ribu. (3 Maret 2018)
Marselinus Gunas. 2017. Komnas HAM: Ada Pelanggaran HAM di Lapas Klas IIB
Pekanbaru. Diambil dari: http://www.jitunews.com/read/58555/komnas-ham-ada-
pelanggaran-ham-di-lapas-klas-iib-pekanbaru. (4 Maret 2018)
Masfiatur Rochma. 2017. Sipir Selundupkan Sabu ke Dalam Lapas Surabaya Dibayar Rp. 3
Juta. Diambil dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/sipir-selundupkan-sabu-ke-
dalam-lapas-surabaya-dibayar-rp-3-juta.html. (3 Maret 2018)
Pijar Anugerah. 2017. Empat ‘kemewahan’ yang Bisa Dinikmati Napi Berduit. Diambil dari:
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38899071. (3 Maret 2018)
Supriyadi Widodo Eddyono. 2017. Overcrowding yang Menghantui Lapas di Indonesia.
Diambil dari:
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/12130041/.overcrowding.yang.menghant
ui.lapas.di.indonesia?page=all. (4 Maret 2018)

13
Tempo.co. 2010. Penjara Mewah Artalyta Terungkap Berkat Laporan Warga. Diambil dari:
https://nasional.tempo.co/read/218341/penjara-mewah-artalyta-terungkap-berkat-
laporan-warga. (3 Maret 2018)
TribunJogja.com. 2018. Terkait Penemuan Ponsel di Kamar Sel, Napi akan Dapatkan Sanksi
Lebih Berat. Diambil dari: http://jogja.tribunnews.com/2018/02/09/terkait-penemuan-
ponsel-di- kamar-sel- napi-akan- dapatkan-sanksi-lebih- berat. (4 Maret 2018)
Yandi Mohammad. 2016. Hukuman Disiplin Berat Bayangi Labora Sitorus. Diambil dari:
https://beritagar.id/artikel/berita/hukuman-disiplin-berat-bayangi-labora-sitorus. (4
Maret 2018)

14

Anda mungkin juga menyukai