oleh
Raisya Nadirawati, S. Kep
NIM 162311101311
2018
A. Konsep Teori
1. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah penyakit renal tahap akhir yang merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreveribel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001). Gagal ginjal kronik terjadi apabila
laju filtasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit / 1,73m2 selama tiga
bulan atau lebih, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan kerusakan
serta penurunan fungsi ginjal dapat berasal dari genetik,perilaku, lingkungan,
maupun, proses degeneratif (Ponsibidang, 2015)
2. Epidemologi
Menurut Kemenkes RI (2017) berdasarkan riskesdas tahun 2013 populasi
umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 02,% dan angka
ini lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi GGK di negara lainnya.
hasil Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006 mendapatkan
prevalensi sebesar 12,3%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi
meningkat dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada
kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun.
prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%),
prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat pedesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/ nelayan/ buruh (0,3%), dan
kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing
0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi
Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4%.
Gambar 1.2 Prevalensi Gagal Ginjal Kronis menurut Karakteristik di Indonesia Tahun 2013
3. Klasifikasi
CKD dapat diklasifikasikan atas dasar derajat (stage) penyakit. Klasifikasi
atas dasar penyakit dibuat berdasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault (Suwitra, 2006). NKF-
K/DOQI juga mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit yang
ditunjukkan pada tabel 1 (National Kidney Foundation, 2002).
LFG (ml/mnt/1.73 m2) = (140-umur) x berat badan *)
72 kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2. Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit
Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG
(ml/mnt/1.73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber: National Kidney Foundation (2002)
4. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronis salah terdiri dari diabetes militus,
glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi
saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi herediter,
dan agen toksik (timah, kadmium, dan merkuti) (Nauri dan Widayati, 2017).
Salah satu dari hasil penelitian menunjukkan adahubungan antara hipertensi
dengan kejadian gagal ginjal. Penyakit tekanan darah tinggi merupakan suatu
keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas
normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang memiliki
penyakit hipertensi 21.45 kali lebih berisiko mengalami penyakit gagal ginjal
kronik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki penyakit hipertensi.
Tingginya tekanan darah akan membuat pembuluh darah dalam ginjal
tertekan. Akhirnya, pembuluh darah menjadi rusak dan menyebabkan fungsi
ginjal menurun hingga mengalami kegagalan ginjal. Salah satu dampak
jangka panjang dari tekanan darah tinggi adalah ketika pembuluh darah pada
ginjal mengerut sehingga aliran zat-zat makanan menuju ginjal terganggu dan
mengakibatkan kerusakan sel-sel ginjal, dan jika hal ini terjadi secara terus-
menerus maka sel sel ginjal tidak akan berfungsi lagi (Pongsibidang, 2015).
Menurut Thomas (2014) kejadian peningkatan darah dapat mengakibatkan
resiko kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh terutama di otak
(mengarah ke stroke), pembuluh koroner, dan pembuluh ginjal. Arteri ginjal
atau vena ginjal yang lebih kecil dapat menyempit oleh arteriklerosis (misal
stenosis arteri ginjal atau penyakit renovaskular). Ini akan menyebabkan
gangguan aliran darah ginjal yang akan merangsang pelepasan renin, dan
siklus hipertensi memburuk. Oleh karena itu hipertensi dapat menjadi
penyebab dan hasil dari penyakit ginjal.
5. Patofisologi
Hipertensi yang berlangsung lama mengakibatkan perubahan-perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama keadaan ini adalah
jantung, otak, ginjal, dan mata. Bila hipertensi esensial tetap jinak, pasien
tidak akan menderita kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan kematian
akibat uremia. Sebagian besar kasus insufisiensi ginjal yang dihubungkan
dengan nefrosklerosis jinak memiliki penyakit ginjal yang mendasarinya.
Proteinuria dan azotemia ringan dapat berlangsung selama bertahun-tahun
tanpa gejala dan kebanyakan pasien meninggal akibat uremia yang
disebabkan oleh hipertensi yang sudah memasuki stadium maligna, hal ini
terjadi pada kurang dari 10% kasus hipertensi esensial (Price & Wilson,
2005).
Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia
karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Nefrosklerosis
maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan
struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial (Price
& Wilson, 2005).
Arteria renalis dapat tersumbat oleh plak aterosklerotik atau displasia
fibromuskular sehingga mengakibatkan hipertensi yang sering merupakan
jenis progresif cepat. Aterosklerosis sering ditemukan pada laki-laki tua dan
biasanya mengenai sepertiga proksimal arteria renalis didekat aorta. Stenosis
arteria renalis dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bila ukuran arteri
berkurang sampai 70% atau lebih, maka terjadilah iskemia ginjal. Iskemia
ginjal mengaktifkan sistem renin-angiotensin yang diikuti hipertensi.
Meskipun jarang menyebabkan hipertensi (sekitar 0,5% dari kasus
hipertensi), stenosis arteria renalis termasuk kasus yang penting karena
koreksi dengan pembedahan dapat mengurangi hipertensi dan menimbulkan
perbaikan yang cukup nyata (Price & Wilson, 2005).
6. Manifestasi Klinis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) Tanda dan gejala pada gagal ginjal
kronik, menurut perjalanan klinisnya adalah:
a. Menurunnya cadangan ginjal pada pasien asimtomatik, namun GFR
dapatmenurun hingga 25% dari normal
b. Infusiensi ginjal pada keadaan ini pasien mengalami poliuria dan
nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar creatinin serum dan
BUN sedikit meningkat diatas normal.
c. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) /sindrom uremik (yang ditandai
dengan lemah, letargi, anoreksia, mual dan muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,perikarditis,
kejang-kejang sampai koma), yang ditandai dengan GFR < 5-10
ml/menit, kadarserum kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi
perubahan biokimia dan gejala yang komplek.
Sedangkan Menurut Smeltzer & Bare (2007), tanda dan gejala pada gagal
ginjal kronik yaitu :
a. Sistem kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
pembesaran vena leher, friction sub pericardial
b. Sistem pulmoner: krekel, nafas dangkal, kusmaul, sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal: anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran
GI, ulserasi dan pardarahan mulut, nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang
e. Sistem integumen: warna kulit abu-abu mengkilat, pruritis, kulit kering
bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
f. Sistem reproduksi: amenore, attrofi testis
g. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum
tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit
dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi
trombosis dan trombositopeni
7. Pemeriksaan Penujang
Dalam melakukan pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal akut
dan kronis tidak jauh beda dalam prosedur pemeriksaan diagnosis,
perbedaannya terletak pada beberapa hal atau point dari hasil pemeriksaan
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Adapun pemeriksaan urin
mencaku evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton
dalam urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan
pemusingan (centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah
(hematuria), sel darah putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria),
pus (piuria) dan bakteri (bakteriuria).
Adapun hal- hal dapat ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal
ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadi setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat
dihasilkan urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang
dari 1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk
memekatkan, sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari
1,015 dan akan menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan
ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan
jumlah yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium dengan baik
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada
derajat rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau
nefritis interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat
protenuria terletak pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan
glomerulus bila terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges,
2000).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan
dengan pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium
dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit,
kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin
urin, urinalisis
1) Hb: menurun pada adanya anemia
2) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup
3) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan
hasil akhir metabolisme
4) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
5) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine
6) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
7) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun
9) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat
10) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
c. EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk
mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
2) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses
/ batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing
3) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Konservatif
a) Dilakukan pemeriksaan lab dan urin
b) Observasi balance cairan
c) Observasi adanya odema
d) Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1) Peritoneal dialysisi: Biasanya dilakukan pada kasus emergency,
sedangkan dialysisi bisa dilakukan dimana saja yng atidak bersifat akut
adalah CAPD (continues Ambulatory Peritonial Dialysis).
2) Hemodilasis: yaitu dialisis yang dilalakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan
3) AV fistule: menggabungkan vena dari arteri
4) Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
c. Operasi
1) Pengambilan batu
2) Tranpalansi ginjal
B. Konsep Hemodalisa
1. Definsi
Hemodialisis adalah pengalihan darah dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah
kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke
sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke
dan dari dializen (tempat terjadi pertukaran cairan elektrolis dan zat sisa
tubuh), serta dialiser (Baradero dkk, 2008). Fungsinya untuk mengganti
fungsi ginjal dan merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal dan
peritoneal dialisis pada orang-orang dengan penyakit ginjal kronik.
Indikasi hemodialisis adalah semua pasien dengan GFR < 15mL/menit,
GFR < 10mL/menit dengan gejala uremia, dan GFR < 5mL/menit tanpa
gejala gagal ginjal (Rahman, 2013)
2. Proses Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua kompartemen. Kompartemen
tersebut terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang
dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan. Kompartemen dialisat dialiri
oleh cairan dialisat yang berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip
serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Darah
pasien dipompa dan dialirkan menuju kompartemen darah. Selanjutnya,
akan terjadi perbedaan konsentrasi antara cairan dialisis dan darah karena
adanya perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah (Sudoyo, 2009).
Pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap
dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan
dialisat dapat berdifusi ke dalam darah. Untuk itu, diperlukan reverse
osmosis. Air akan melewati pori-pori membran semi-permeabel sehingga
dapat menahan zat dengan berat molekul ringan. Terdapat dua jenis cairan
dialisat, yaitu asetat dan bikarbonat. Cairan asetat bersifat asam dan dapat
mengurangi kemampuan tubuh untuk vasokonstriksi yang diperlukan
tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi setelah
hemodialisis. Sementara cairan bikarbonat bersifat basa, sehingga dapat
menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien GGK. Cairan
bikarbonat juga tidak menyebabkan vasokonstriksi (Sudoyo, 2009).
3. Persiapan pasien Hemodialisis
Keperluan penanganan predialysis meliputi bantuan psikologis,
termasuk monitor klinis tentang kondisi gangguan ginjal. Semua pasien
dengan kondisi CKD dengan creatinine plasma diatas 150 mmol L- 1 dan
/atau signifikansi proteinuria (< 1 g 24 h-1) sebaiknya dirujuk kepada ahli
nephrologis. Pasien dengan kreatinin di atas 300 mmol L-1 sebaiknya
dirujuk secepat mungkin. Untuk keperluan hemodialisis jangka panjang,
ada sejumlah pilihan yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan
lokasi treatmen haemodialysis.
a. Inserting Accses Hemodialysis
Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan aliran
darah yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada produk sisa
tergantung pada aliran dialisat, permeabilitas membran, area
permukaan membran, durasi dilaksanakannya dialysa, dan yang paling
penting yaitu kecepatan aliran darah (Roesli, 2006). Terdapat 2
kategori tempat inserting hemodialysis:
1) Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan femoralis.
Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang
dimasukkan ke vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan
sementara apabila anastomosis fistula belum matang. Pembuluh
darah vena yang dapat digunakan yaitu subclavia, femoralis dan
vena jugularis internal. Pemasangan kateter dapat berupa satu atau
dua lumen yang dimasukkan dengan menggunakan anastesi lokal
atau general. Ketepatan posisi kateter dapat dicek melalui sinar X-
ray. Peran perawat disini yaitu perawat dapat memberikan
pendidikan kesehatan, memelihara kepatenan letak kateter,
mencegah infeksi dan memberikan perawatan bila terjadi infeksi.
Perawat harus ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu
dilakukan observasi ada tidaknya bengkak, kemerahan atau
eksudat pada luka tempat penusukan. Luka tempat penusukan
ditutup dengan kasa yang tidak terlalu basah atau terlalu kering.
2) Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft
Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur
operasi anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada
tangan kiri pasien. Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 –
1000 mL/menit. AVF dapat dilakukan 3 – 4 bulan sebelum
hemodialysis diberikan dengan tujuan agar terjadi proses
kematangan jaringan pada daerah anastomosis saat hemodialysis
dilakukan. Perawatan preoperatif pada AVF yaitu perawat
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi
selama pelaksanaan dan memberikan penjelasan kepada pasien
selengkap lengkapnya tentang prosedur pembedahan dan
perawatan yang dilakukan setelah dilakukan tindakan anastomosis.
Perawat memfasilitasi pasien untuk dapat bertemu dengan pasien
lain yang telah berpengalaman dengan pemasangan AVF.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Mata
Sering ditemukan warna konjungtiva yang pucat/putih, edema
preorbial.
2) Wajah
3) Apakah ada muka tampak sembab atau tidak. Muka sembab disebabkan
karena oedem.
4) Leher
Sering terjadi peningkatan vena jugularis sebagai akibat dari
peningkatan tekanan pengisian pada atrium kanan pada kondisi gagal
jantung kanan.
5) Pemeriksaan Ginjal
Kaji daerah abdomen pada garis midklavikula kiri dan kanan atau
daerah costovertebral angle (CVA), normal keadaan abdomen simetris,
tidak tampak masa dan tidak ada pulsasi, bila tampak ada masa pulsasi
kemungkinan ada polikistik, hidronefrosis ataupun nefroma. Apakah
adanya bunyi vaskuler aorta maupun arteri renalis, bila ada bunyi
desiran kemungkinan adanya RAS (Renal Arteri Stenosis), nefro
scelerotic. Bila terdengar desiran, jangan melakukan palpasi, cedera
pada suatu aneurisme di bawah kulit terjadi sebagai akibatnya tes CVA
bila adanya nyeri tekan di duga adanya implamasi akut. Keadaan
normal, ginjal tidak teraba. Apabila teraba membesar dan kenyal,
kemungkinan adanya polikistik maupun hidroneprosis. Bila dilakukan
penekanan pasien mengeluh sakit, hal ini tanda kemungkinan adanya
peradangan.
6) Pemeriksaan Kandung Kemih
Di daerah supra pubis dipalpasi apakah ada distensi. Normalnya
kandung kemih terletak di bawah sympisis pubis, tetapi setelah
membesar organ ini dapat terlihat distensi pada supra pubis, pada
kondisi normal yang berarti urine dapat dikeluarkan secara lengkap dari
bendung kemih, kandung kemih tidak teraba. Bila ada obstuksi di
bawah dan prodiksi urine normal maka urine tidak dapat dikeluarkan,
hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih.
7) Pemeriksaan Meatus Uretra
Inspeksi pada meatus uretra apakah ada kelainan sekitar labia, untuk
warna dan apakah ada kelainan pada orifisium uretra pada laki-laki dan
juga lihat cairan yang keluar.
8) Pemeriksaan Prostat Melalui Anus
Mengidentifikasi pembesaran kelenjar prostat bagi laki-laki yang
mempunyai keluhan mengarah kepada hypertropu prostat. Akibat
pembesaran prostat, berdampak penyumbatan partial atau sepenuhnya
kepada saluran kemih bagian bawah normalnya prostat dapat teraba
dengan diameter sekitar 4 cm dan tidak ada nyeri tekan.
a. Pemeriksaan penunjang.
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya.
Menurut Suhardjono (2002), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien penyakit ginjal kronik yaitu:
Pemeriksaan laboratorium
b. Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat PGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Blood
ureum nitrogen (BUN) atau kreatinin meningkat, kalium meningkat,
magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
c. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) Untuk melihat kemungkinan
hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal
menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
d. Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena
batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.
e. Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
f. Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk
menilai sistem pelviokalises dan ureter.
g. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
h. Pemeriksaan foto dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi yang ditandai dengan edema, oliguria, ketidakseimbangan
elektrolit.
b. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan metabolik yang ditandai
dengan anoreksia, keluhan tentang instensitas menggunakan skala nyeri,
ekspresi wajah.
c. Gangguan pertukarang gas berhubugan dengan perubahan membran
alveolar kapiler yang ditandai dengan sesak/dispnea, gelisah, pola
pernafasan abnormal.
d. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
aterosklerosis aortik, dan segmen ventrikel akinetik
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer behubungan dengan hipertensi,
diabetes melitus, kurang pengetahuan tentang penyakit dan faktor
pemberat (gaya hidup, merokok, asupan garam, imobilitas) yang ditandai
dengan perubahan karakteristik kulit (Warna, elastisitas, kelembapan,
kuku, suhu), crt > 3 detik
f. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh behubungan
dengan kurang asupan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan
yang ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dan imobilitas yang ditandai dengan
keletihan, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
h. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis yang ditandai dengan
letargi, penurunan performa, dan kelelahan.
i. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguang pigmentasi
dan gangguan turgor kulit.
3. Intervensi Keperawatan
No Masalah Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC
Keperawatan Hasil (NOC)
7. Irama Pernapasan
(16-20 x/menit)
3. Pendekatan
interventif digunakan
untuk manajemen nyeri
4. Mengenali kapan
nyeri terjadi
5. menggunakan
tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
6. Menggunakan
analgesik yang
direkomendasikan
7. Catat pergerakan
dada, kesimetrisan, dan
penggunaan otot bantu
nafas
3. Memonitor
perubahan status
kesehatan
4. Tekanan intrakranial
normal
5. Tekanan darah
normal (120/90)
7. tidak mengalami
muntah, cegukan
6. merasakan sensasi
rasa
4. Memiliki keinginan
untuk makan
5. Merasakan makanan
dengan baik
5. Sakit kepala
berkurang
7. kegiatan sehari-hari
(ADL) terpenuhi/ tidak
terganggu
5. Tidak terdapat
eritema.
4. Discharge Planning
a. Diet tinggi kalori dan rendah protein
b. Optimalisasi dan pertahankan kesimbangan cairan dan garam
c. Kontrol hipertensi
d. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
e. Deteksi dini dan terapi infeksi
f. Dialisis (cuci darah)
g. Obat- obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih
h. Transplantasi ginjal
Daftar Pustaka
Nuari, N.A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Syaefudin, A.B. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.