Disusun oleh :
Rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan nikmat yang telah banyak
penulis terima sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah yang
berjudul “Proses Pembuatan Semen Dalam Skala Industri”.Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah kimia industri.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi,
MS selaku dosen mata kuliah kimia industri atas bimbingannya dalam menyusun
makalah ini dan juga teman-teman satu kelas kimia 48 yang selalu mendukung
satu sama lain dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ada pada makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.Penulis juga berharap makalah ini bisa bermanfaat
bagi para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
semen “Portland”, karena menghasilkan beton yang berwarna abu-abu yang
menyerupai batuan dari Pulau Portland di Inggris.
Definisi Semen
Semen (cement) berasal dari kata Caementum yang berarti bahan perekat
yang mampu mempersatukan atau mengikat bahan-bahan padat menjadi satu
kesatuan yang kokoh atau suatu produk yang mempunyai fungsi sebagai bahan
perekat antara dua atau lebih bahan sehingga menjadi suatu bagian yang kompak
atau dalam pengertian yang luas adalah material plastis yang memberikan sifat
rekat antara batuan-batuan konstruksi bangunan. Semen adalah hasil industri dari
paduan bahan baku : batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah
liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk
bubuk/bulk yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air (Saing
2008).
Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa
Kalsium Oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang
mengandung senyawa: Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi
Oksida (Fe2O3) dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen,
bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk
klinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum)
dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam
kantong/sak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya
jika dicampur dengan air, dengan angka-angka hidrolitas yang dapat dihitung
dengan rumus :
(%SiO2 + %Al2O3 + %Fe2O3) : (%CaO + %MgO)
Angka hidrolitas ini berkisar antara <1/1,5 (lemah) hingga >1/2 (keras sekali).
Namun dalam industri semen angka hidrolitas ini harus dijaga secara teliti untuk
mendapatkan mutu yang baik, yaitu antara 1/1,9 dan 1/2,15.
2
Semen yang biasa digunakan untuk konstruksi adalah jenis semen hidrolik
dan semen non hidrolik. Semen hidrolik merupakan semen yang terdiri dari bahan
material yang jika dicampur dengan air akan memberikan stabilitas dan kekuatan.
Semen hidrolik merupakan jenis semen alam yang diperoleh dari pembakan batu
kapur yang mengandung lempung. Kadar aluminium, oksida, dan besinya cukup
tinggi untuk menggabungkannya dirinya dengan kalsium oksida sehingga akan
membentuk kalisum silikat dan kalsium aluminat yang akan sama sifatnya seperti
semen alam. Salah satu conton dari semen hidrolik adalah semen Portland. Semen
Portland merupakan semen hidrolik yang dibuat dari batu kapur, mineral tanah
liat tertentu, dan gypsum, pada proses dengan temperatur yang tinggi yang
menghasilkan karbon dioksida dan berkombinasi secara kimia yang menghasilkan
bahan utama menjadi senyawa baru. Semen Portland memiliki warna abu kebiru-
biruan yang diakibatkan adanya kadar kalsium yang tinggi pada batu gamping
yang digunakan sebagai bahan dasar (Saing 2008). Jenis semen yang lainnya
adalah semen non hidrolik. Semen non hidrolik memiliki bahan material berupa
gypsum dan batu kapur yang harus dijaga agar tetap kering supaya bertambah
kuat dan mempunyai komponen cair. Contohnya adukan semen kapur yang
ditetapkan hanya dengan pengeringan, dan bertambah kuat secara lambat dengan
menyerap karbondioksida yang berasal dari atmosfir untuk membentuk kembali
kalsium karbonat (Saing 2008).
a. Tipe I
Semen tipe I atau semen Portland regular merupakan semen yang paling
umum digunakan dalam konstruksi. Semen ini memiliki tipe lain seperti
semen putih yang mengandung sedikit ferri oksida (Austin 1977).
3
b. Tipe II
Semen tipe II ( Modified Portland Cement) ini memiliki panas hidrasi yang
lebih rendah dan keluarnya panas lebih lambat daripada semen jenis I. Jenis
ini digunakan untuk bangunan-bangunan tebal, seperti pilar dengan ukuran
besar, tumpuan dan dinding penahan tanah yang tebal. Panas hidrasi yang
agak rendah dapat mengurangi terjadinya retak-retak pengerasan. Jenis ini
juga digunakan untuk bangunanbangunan drainase di tempat yang memiliki
konsentrasi sulfat agak tinggi (Ferlisa 2008).
c. Tipe III
Semen tipe III atau semen berkekuatan tinggi dibuat dari material trikalsium
silika yang cukup tinggi dibandingkan semen tipe I. Jenis ini memperoleh
kekuatan besar dalam waktu singkat, sehingga dapat digunakan untuk
perbaikan bangunan beton yang perlu segera digunakan atau yang acuannya
perlu segera dilepas. Selain itu juga dapat dipergunakan pada daerah yang
memiliki temperatur rendah, terutama pada daerah yang mempunyai musim
dingin (Ferlisa 2008).
d. Tipe IV
Semen tipe ini mengandung trikalsium silikat (C3S) dan trikalsium aluminat
dengan persentasi sangat kecil. Namun, persentasi dari tetrakalsium
aluminoferit (C4AF) pada tipe ini akan bertambah karena adanya penambahan
Fe2O3 untuk mereduksi C3A. Jenis ini merupakan jenis khusus untuk
penggunaan yang memerlukan panashidrasi serendah-rendahnya.
Kekuatannya tumbuh lambat. Jenis inidigunakan untuk bangunan beton massa
seperti bendungan-bendungangravitasi besar (Ferlisa 2008).
e. Tipe V
Semen ini memiliki komposisi C3A lebih rendah dibandingkan semen reguler.
Namun, semen ini mengandung C4AF lebih tinggi. Jenis ini merupakan jenis
khusus yang maksudnya hanya untuk penggunaanpada bangunan-bangunan
yang kena sulfat, seperti di tanah atau air yang tinggi kadar alkalinya.
4
Pengerasan berjalan lebih lambat daripada semen portland biasa (Ferlisa
2008).
Terdapat dua sifat dari semen Portland, yakni sifat fisika dan kimia.
a. Sifat Fisika
1) Kehalusan Butir
Kehalusan butir semen mempengaruhi proses hidrasi. Waktu pengikatan
akan semakin lama jika ukuran butir semen lebih kasar. Jika permukaan
penampang semen lebih besar, semen akan memperbesar bidang kontak
dengan air. Semakin halus butiran semen, proses hidrasinya semakin
cepat. Untuk mengukur kehalusan butir semen digunakan alat
Turbidimeter dari Wagner atau Air Permeability dari Blaine.
2) Waktu Pengikatan
Waktu pengikatan adalah waktu yang diperlukan semen untuk mengeras,
terhitung dari awal pencampuran antara semen dengan air kemudian
menjadi pasta semen hingga pasta semen cukup kaku untuk menahan
tekanan. Waktu pengikatan semen ini dibedakan menjadi dua macam,
yaitu waktu ikat awal (initial setting time), waktu dari pencampuran semen
dengan air hingga menjadi pasta dan hilangnya sifat keplastisan. Dan
waktu ikat akhir (final setting time), waktu antara terbentuknya pasta
semen hingga beton mengeras. Waktu ikat awal antara 1-2 jam, sedangkan
waktu ikat akhir tidak boleh lebih dari 8 jam.
3) Panas Hidrasi
Panas hidrasi adalah panas yang terjadi pada saat semen mengalami reaksi
hidrasi dan dinyatakan dalam satuan kalori/gram. Reaksi hidarsi atau
reaksi hidrolisis sendiri adalah reaksi yang terjadi ketika mineral-mineral
yang terkandung di dalam temperature, jumlah air yang digunakan dan
5
bahan-bahan lain yang ditambahkan. Panas hidrasi naik sesuai dengan
temperatur pada saat proses hidrasi terjadi. Perkembangan panas hidrasi
untuk berbagai jenis semen Portland pada suhu 21°C ditunjukkan pada
tabel di bawah ini.
b. Sifat Kimia
3) SO3
Kandungan SO3 dalam semen adalah untuk mengatur atau memperbaiki
sifat setting time (pengikatan) dari mortar (sebagai retarder) dan juga
untuk kuat tekan. Karena jika pemberian retarder terlalu banyak akan
menimbulkan kerugian pada sifat expansive dan dapat menurunkan
kekuatan tekan. Sebagai sumber utama SO3 yang sering banyak digunakan
adalah gypsum.
6
metamorfosa dalam waktu beberapa tahun, dimana metamorfosa tersebut
dapat menimbulkan kerusakan.
7
Adapun SNI dari semen Portland putih sebagai berikut.
4. Pengikatan semu
6. Kuat tekan:
8
Tabel 2. Syarat Kimia
9
BAB II PEMBAHASAN
10
b. Crushing
Crushing adalah proses penghancuran material paling awal dengan
menggunakan alat crusher. Ada beberapa jenis crusher yang umum
digunakan yaitu, hammer crusher, roller crusher, gyratory crusher, dan jaw
crusher. Cara kerja crusher secara umum adalah material diumpankan
melalui feeder (biasanya apron feeder) material akan masuk crusher dan
akan mengalami penyempitan ruang di dinding ruang crusher akibat
putaran/gerakan alat pemecah sehingga akan tertekan dan pecah,
sementara material yang ukurannya sudah cukup kecil sesuai design
crusher jatuh melalui lubang saringan yang ada di bawah feeder sehingga
langsung dicampur dengan produk crusher dan dikirim dengan belt
conveyor menuju proses selanjutnya. Jenis crusher yang digunakan
tergantung dari jenis material yang akan dihancurkan, contohnya untuk
lime stone karena sifatnya keras maka digunakan hammer crusher karena
menggunakan tenaga impact dari hammer untuk menekan lalu
menghancurkan batuan. Proses crushing memungkinkan material
mengalami size reduction dari 1-1,5 m menjadi kurang lebih 7,5 cm.
Untuk mengurangi polusi debu digunakan sistem water spray pada tempat
unloading material dari dump truck ke feeder crusher dan dilengkapi bag
filter untuk menangkap dust (debu) yang timbul selama proses crushing.
c. Preblending
Material yang telah dicrusher dikirim ke storage menggunakan belt
conveyor. Karena komposisi kimia lime stone dan clay sangat variatif
maka digunakan proses preblending yang terdiri dari tahap stacking dan
reclaiming. Proses preblending bertujuan untuk menghomogenkan
material untuk mendapatkan kualitas material yang sesuai dengan
permintaan bagian Quality Control. Misal limestone high grade (kadar
CaO 54-56%) dicampur dengan low grade (CaO<50%). Proses mixing ini
sebenarnya telah dilakukan sejak tahap mining, namun untuk
meningkatkan homogenitas material maka dilanjutkan tahap preblending.
11
d. Raw Material Grinding
Ini merupakan tahap penggilingan pertama menggunakan alat yang
bernama raw mill. Di tahap raw material di tentukan nilai paramaternya
seperti LSF, SM, dan AM. Material utama seperti batu kapur dan clay
akan dicampur dengan corrective material seperti pasir besi dan pasir
silika. Keempat bahan dari masing-masing bin akan ditakar secara
otomatis menggunakan load cell lalu diumpankan ke raw mill melalui belt
conveyor. Proses yang terjadi di raw mill ada 4 macam yaitu grinding,
drying, classifying, dan transporting.
1) Grinding
Material akan digiling dari ukuran masuk sekitar 7,5 cm menjadi max
90μm. Penggilingan menggunakan gaya centrifugal di mana material
yang diumpankan dari atas akan terlempar ke samping karena putaran
table dan akan tergerus oleh roller yang berputar karena putaran table
itu sendiri.
2) Drying
Material akan mengalami pengeringan dengan target kadar moisture
max 1%. Proses ini memanfaatkan panas gas sisa dari preheater-kiln.
Material yang telah digiling akan kontak langsung dengan hot gas
yang masuk melalui nozzle louvre ring. Material keluar raw mill
bersuhu sekitar 80oC, gas masuk bersuhu 300-350oC dan keluar
bersuhu 90-100oC.
3) Classifying
Atau bisa disebut separating, maksdunya adalah material yang telah
digiling oleh roller akan terangkat oleh gas panas melewati separator
yang ada di bagian atas table, material yang telah cukup lembut sesuai
target akan lolos melewati separator sedangkan material msaih kasar
akan jatuh kembali ke table untuk digiling.
4) Transporting
Seperti yang disebutkan di proses classifying, gas panas selain sebagai
pengering material juga sebagai alat transportasi ke proses selanjutnya.
12
Produk raw mill yang disebut raw meal akan dibawa gas melewati
beberapa cyclone sebagai alat separator terakhir.
2. Burning/clinkerization.
Ini merupakan satu-satunya tahap di pabrik semen yang terdapat proses
kimianya di samping proses fisis. Di tahap ini raw meal akan mengalami proses
kalsinasi di kalsiner dan clinkerisasi di kiln. Tahap kedua ini melalui serangkaian
kiln system yang terdiri atas preheater, kalsiner, kiln, dan grate cooler.
a. Preheater
Setelah kiln ditransport dari blending silo atau ada yang dari kiln feed bin,
raw meal akan melewati pemanasan awal di menara suspension preheater
yang terdiri atas 4-6 stage+kalsiner menggunakan hot gas keluaran kiln.
Preheater merupakan cyclone dan dalam tahap ini ada 2 proses penting
yaitu heat transfer dan separation. Heat transfer antara gas panas dan raw
meal 80% terjadi di ducting antar-cyclone sedangkan separation 80%
13
terjadi di cyclone. Proses yang terjadi di preheater meliputi evaporasi air
permukaan dan air hidrat, dekomposisi clay, dan sedikit kalsinasi.
b. Kalsiner
Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi
CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi
kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi,
sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran coal memanfaatkan
udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Kalsinasi terjadi pada suhu di
atas 800oC pada tekanan 1 atm, namun karena alat-alat di pabrik semen
beroperasi di bawah 1 atm jadi pada suh yang lebih rendah sudah mulai
terjadi kalsinasi dan CaO terbentuk langsung bereaksi dengan senyawa
hasil dekomposisi clay sehingga reaksi dapat berlangsung sempurna
meskipun tergolong reversible. Kalsinasi di kalsiner paling maksimal
mencapai 90% selanjutnya sisanya terjadi di dalam kiln sendiri. Pelepasan
CO2 akibat reaksi ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri
semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil
pembakaran fuel.
c. Rotary Clin
Inilah jantung pabrik semen di mana proses pembentukan clinker
berlangsung. Material masuk kiln dari preheater stage terakhir pada suhu
yang dijaga sekitar 850 oC karena pada suhu yang lebih tinggi material
mulai sticky (lengket) sehingga bisa menyebabkan blocking pada inlet
kiln. Suhu klinkerisasi bisa mencapai 1450oC dan terbentuk fase liquid
yang akan meningkatkan laju reaksi oksida-oksida silika dan kapur yang
dipromotori oksida besi dan alumina. Di dalam kiln terbentuk sistem
isolasi tambahan berupa coating yang terbentuk melapisi fire brick (batu
tahan api). Suhu luar shell kiln dijaga dibawah 300 oC karena mulai suhu
400 oC shell kiln mengalami deformasi. Api dari main burner kiln dijaga
tidak menyentuh material dan fire brick. Kualitas clinker yang dihasilkan
sangat tergantung dari kualitas raw meal, kualitas bahan bakar, posisi
14
burner,dan proses pembakaran. Pembakaran di main burner menggunakan
(80-90%) udara sekunder yang diperoleh dari grate cooler dan (10-20%)
udara primer yang diperolehdari udara luar.
d. Grate Cooler
Di dalam grate cooler clinker yang keluar dari kiln akan mengalami
quenching (pendinginan cepat) dengan udara yang dihembuskan melalui
sejumlah fan grate cooler. Proses pendinginan clinker bisa mencapai dari
suhu 1300 oC sampai 120-200oC. Udara pendingin akan meningkat
suhunya sampai 900-950oC dan dimanfaatkan sebagai udara pembakaran
di kiln (secondary air) dan kalsiner (tertiary air). Di bagian ujung
discharge cooler dilengkapi crusher untuk memecah clinker sebelum
ditransport ke silo menggunakan pan conveyor.
3. Cement/finish grinding.
Pada tahap ini clinker akan digiling bersama bahan additive lain untuk
menjadi semen. Bahan additive itu adalah gipsum (CaSO4.2H2O) yang berfungsi
menjaga agar waktu pengerasan semen saat dicampur air tidak terlalu cepat.
Bahan lain yang ditambahkan seperti limestone, fly ash, trass, dan pozzolan (hasil
sisa material vulkanik). Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang
akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker
memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi.
Kompensasi pengurangan clinker adalah dengan meningkatkan kehalusan (blaine)
semen untuk mendapatkan kekuatan yang sama. Penggilingan clinker bersama
bahan lain umumnya masih menggunakan ball mill sehingga akan menimbulkan
panas selama proses penggilingan karena adanya tumbukan antara steel ball dan
material. Temperatur mill dijaga maksimal 120oC untuk mencegah kerusakan
gipsum (akibat peruraian air kristalnya). Waktu tinggal material di dalam mill
berkisar 10-25 menit. Ball mill terdiri dari 2 chamber di mana chamber 1
menggunakan stell ball berukuran 90-50 mm dan chamber 2 menggunakan stell
ball berukuran 50-12 mm. Setelah melalui serangkaian alat separator semen yang
telah halus sebagai produk dikirim ke semen silo.
15
4. Packing dan dispatch.
Semen dijual dalam bentuk curah (bulk) maupun dalam bag. Mesin yang
digunakan adalah rotary packer yang terdiri dari beberapa spout yang mengisi
kantong-kantong dengan semen melalui hembusan udara. Untuk penjualan dalam
bentuk curah digunakan bulk truck, kapal atau kereta.
Berikut adalah diagram alir proses pembuatan semen yang telah disederhanakan.
(sumber: http://www.semenpadang.co.id/)
16
2.2 Dampak Industri Semen Terhadap Lingkungan
Akibat proses pembuatannya, industri semen ini memiliki dampak buruk
tersendiri bagi lingkungan sebagai berikut.
17
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Semen yang biasa digunakan untuk konstruksi adalah jenis semen hidrolik
yaitu semen Portland. Secara umum, terdapat empat proses utama dalam
pembuatan semen, yakni raw material preparation, burning/clinkerization, finish
grinding, dan packing. Selain memiliki manfaat yang baik sebagai perekat,
industri semen juga memiliki beberapa dampak negatif terhadap lingkungan.
3.2 Saran
Makalan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi khalayak ramai
umumnya dan pembaca khususnya.
18
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Austin. 1977. Shreve’s Chemical Process Industries Fifth Edition. New York :
McGraw Hill Inc.
Ferlisa, Ranty. 2008. Persepsi Pekerja di Unit Produksi II/III terhadap Resiko
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. Semen Padang Indarung 2008.
Depok : UI Press
Karyawan. 2009. Pengaruh Jenis Semen dan Jenis Agregat Kasar terhadap Kuat Tekan
Beton. Teknologi dan Kejuruan 32:63-70.
MT, Alizar. 2010. Teknologi Bahan Konstruksi. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan
Ajar, Universitas Mercu Buana.
Saing, Zubair. 2008. Analisis Kualitas Batu Gamping Kabupaten Fak-Fak Papua
Sebagai Bahan Baku Semen Portland. Jurnal Teknik Dintek 2: 67-72.
19