Anda di halaman 1dari 22

Tugas Makalah Kimia Industri

PROSES PEMBUATAN SEMEN


DALAM SKALA INDUSTRI

Disusun oleh :

Ahmad Furqon Syidik (G44110051)


Dery Ermawan Masyudi (G44110062)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
BOGOR
2013
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan nikmat yang telah banyak
penulis terima sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah yang
berjudul “Proses Pembuatan Semen Dalam Skala Industri”.Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah kimia industri.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi,
MS selaku dosen mata kuliah kimia industri atas bimbingannya dalam menyusun
makalah ini dan juga teman-teman satu kelas kimia 48 yang selalu mendukung
satu sama lain dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ada pada makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.Penulis juga berharap makalah ini bisa bermanfaat
bagi para pembaca.

Bogor, 03 Juni 2013

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 10
2.1 Proses Pembuatan Semen ............................................................................. 10
2.2 Dampak Industri Semen Terhadap Lingkungan ........................................... 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 18
3.1 Simpulan ....................................................................................................... 18
3.2 Saran ............................................................................................................. 18
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 19

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan peradaban manusia khususnya dalam hal bangunan,


tentu kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang merekatkan
batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan putih telur, ketan, atau lainnya.
Hasil bangunan yang terbentuk kala itu seperti Candi Borobudur, Candi
Prambanan, ataupun Jembatan di Cina yang menurut legenda menggunakan ketan
sebagai perekat, ataupun menggunakan aspal alam yang mulai dikenal pada
peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India.

Sebelum mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan


ini merupakan hasil pencampuran batu kapur dan abu vulkanis. Penggunaan
sejenis semen untuk mengikat batuan dan kerikil telah dipraktekkan sejak zaman
kuno.Bangsa Assyria dan Babylonia menggunakan tanah liat untuk tujuan itu.
Mungkin api ditemukan untuk mengubah batu kapur menjadi gamping, yang
menjadi panas waktu dicampur dengan air dan menjadi kaku secara lambat.
Orang-orang Romawi memakainya pada Colloseum, jaringan-jaringan aquaduct
dan struktur-struktur lainnya. Penggunaan semen “Pozzolanic” yang pertama
dibuat dari campuran kapur dan abu gunung berapi, yang ternyata lebih kuat
ikatannya daripada kapur saja. Beton dipakai sebagai material pengisi dalam
dinding yang sebelah luarnya pasangan batu atau bata. Meskipun penggunaan
material semen cukup dini, namun hanya sedikit yang diketahui tentang susunan
kimiawi, dan tidak ada perkembangan yang berarti sampai tahun 1756. Pada tahun
itu, John Smeaton yang ditugaskan membangun sebuah mercusuar di Selat Inggris
menemukan suatu campuran kapur dan tanah liat, yang akan mengeras bila
dibakar. Penemuan ini memacu penyempurnaan semen dan struktur pasangan
bata.Pada tahun 1824, Joseph Aspdin mengajukan hak paten di Inggris untuk
pembuatan semen dengan memanaskan campuran kapur dan tanah liat dan
menggiling hasilnya menjadi bubuk halus. Disebutnya bubuk ini sebagai

1
semen “Portland”, karena menghasilkan beton yang berwarna abu-abu yang
menyerupai batuan dari Pulau Portland di Inggris.

1.2 Tinjauan Pustaka

Definisi Semen

Semen (cement) berasal dari kata Caementum yang berarti bahan perekat
yang mampu mempersatukan atau mengikat bahan-bahan padat menjadi satu
kesatuan yang kokoh atau suatu produk yang mempunyai fungsi sebagai bahan
perekat antara dua atau lebih bahan sehingga menjadi suatu bagian yang kompak
atau dalam pengertian yang luas adalah material plastis yang memberikan sifat
rekat antara batuan-batuan konstruksi bangunan. Semen adalah hasil industri dari
paduan bahan baku : batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah
liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk
bubuk/bulk yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air (Saing
2008).
Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa
Kalsium Oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang
mengandung senyawa: Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi
Oksida (Fe2O3) dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen,
bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk
klinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum)
dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam
kantong/sak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya
jika dicampur dengan air, dengan angka-angka hidrolitas yang dapat dihitung
dengan rumus :
(%SiO2 + %Al2O3 + %Fe2O3) : (%CaO + %MgO)
Angka hidrolitas ini berkisar antara <1/1,5 (lemah) hingga >1/2 (keras sekali).
Namun dalam industri semen angka hidrolitas ini harus dijaga secara teliti untuk
mendapatkan mutu yang baik, yaitu antara 1/1,9 dan 1/2,15.

2
Semen yang biasa digunakan untuk konstruksi adalah jenis semen hidrolik
dan semen non hidrolik. Semen hidrolik merupakan semen yang terdiri dari bahan
material yang jika dicampur dengan air akan memberikan stabilitas dan kekuatan.
Semen hidrolik merupakan jenis semen alam yang diperoleh dari pembakan batu
kapur yang mengandung lempung. Kadar aluminium, oksida, dan besinya cukup
tinggi untuk menggabungkannya dirinya dengan kalsium oksida sehingga akan
membentuk kalisum silikat dan kalsium aluminat yang akan sama sifatnya seperti
semen alam. Salah satu conton dari semen hidrolik adalah semen Portland. Semen
Portland merupakan semen hidrolik yang dibuat dari batu kapur, mineral tanah
liat tertentu, dan gypsum, pada proses dengan temperatur yang tinggi yang
menghasilkan karbon dioksida dan berkombinasi secara kimia yang menghasilkan
bahan utama menjadi senyawa baru. Semen Portland memiliki warna abu kebiru-
biruan yang diakibatkan adanya kadar kalsium yang tinggi pada batu gamping
yang digunakan sebagai bahan dasar (Saing 2008). Jenis semen yang lainnya
adalah semen non hidrolik. Semen non hidrolik memiliki bahan material berupa
gypsum dan batu kapur yang harus dijaga agar tetap kering supaya bertambah
kuat dan mempunyai komponen cair. Contohnya adukan semen kapur yang
ditetapkan hanya dengan pengeringan, dan bertambah kuat secara lambat dengan
menyerap karbondioksida yang berasal dari atmosfir untuk membentuk kembali
kalsium karbonat (Saing 2008).

Macam-macam Semen Portland

Semen Portland terdiri dari berbagai tipe berdasarkan bentuk


penyusunnya, diantaranya:

a. Tipe I
Semen tipe I atau semen Portland regular merupakan semen yang paling
umum digunakan dalam konstruksi. Semen ini memiliki tipe lain seperti
semen putih yang mengandung sedikit ferri oksida (Austin 1977).

3
b. Tipe II
Semen tipe II ( Modified Portland Cement) ini memiliki panas hidrasi yang
lebih rendah dan keluarnya panas lebih lambat daripada semen jenis I. Jenis
ini digunakan untuk bangunan-bangunan tebal, seperti pilar dengan ukuran
besar, tumpuan dan dinding penahan tanah yang tebal. Panas hidrasi yang
agak rendah dapat mengurangi terjadinya retak-retak pengerasan. Jenis ini
juga digunakan untuk bangunanbangunan drainase di tempat yang memiliki
konsentrasi sulfat agak tinggi (Ferlisa 2008).

c. Tipe III
Semen tipe III atau semen berkekuatan tinggi dibuat dari material trikalsium
silika yang cukup tinggi dibandingkan semen tipe I. Jenis ini memperoleh
kekuatan besar dalam waktu singkat, sehingga dapat digunakan untuk
perbaikan bangunan beton yang perlu segera digunakan atau yang acuannya
perlu segera dilepas. Selain itu juga dapat dipergunakan pada daerah yang
memiliki temperatur rendah, terutama pada daerah yang mempunyai musim
dingin (Ferlisa 2008).

d. Tipe IV
Semen tipe ini mengandung trikalsium silikat (C3S) dan trikalsium aluminat
dengan persentasi sangat kecil. Namun, persentasi dari tetrakalsium
aluminoferit (C4AF) pada tipe ini akan bertambah karena adanya penambahan
Fe2O3 untuk mereduksi C3A. Jenis ini merupakan jenis khusus untuk
penggunaan yang memerlukan panashidrasi serendah-rendahnya.
Kekuatannya tumbuh lambat. Jenis inidigunakan untuk bangunan beton massa
seperti bendungan-bendungangravitasi besar (Ferlisa 2008).

e. Tipe V
Semen ini memiliki komposisi C3A lebih rendah dibandingkan semen reguler.
Namun, semen ini mengandung C4AF lebih tinggi. Jenis ini merupakan jenis
khusus yang maksudnya hanya untuk penggunaanpada bangunan-bangunan
yang kena sulfat, seperti di tanah atau air yang tinggi kadar alkalinya.

4
Pengerasan berjalan lebih lambat daripada semen portland biasa (Ferlisa
2008).

Sifat Semen Portland

Terdapat dua sifat dari semen Portland, yakni sifat fisika dan kimia.

a. Sifat Fisika

1) Kehalusan Butir
Kehalusan butir semen mempengaruhi proses hidrasi. Waktu pengikatan
akan semakin lama jika ukuran butir semen lebih kasar. Jika permukaan
penampang semen lebih besar, semen akan memperbesar bidang kontak
dengan air. Semakin halus butiran semen, proses hidrasinya semakin
cepat. Untuk mengukur kehalusan butir semen digunakan alat
Turbidimeter dari Wagner atau Air Permeability dari Blaine.

2) Waktu Pengikatan
Waktu pengikatan adalah waktu yang diperlukan semen untuk mengeras,
terhitung dari awal pencampuran antara semen dengan air kemudian
menjadi pasta semen hingga pasta semen cukup kaku untuk menahan
tekanan. Waktu pengikatan semen ini dibedakan menjadi dua macam,
yaitu waktu ikat awal (initial setting time), waktu dari pencampuran semen
dengan air hingga menjadi pasta dan hilangnya sifat keplastisan. Dan
waktu ikat akhir (final setting time), waktu antara terbentuknya pasta
semen hingga beton mengeras. Waktu ikat awal antara 1-2 jam, sedangkan
waktu ikat akhir tidak boleh lebih dari 8 jam.

3) Panas Hidrasi
Panas hidrasi adalah panas yang terjadi pada saat semen mengalami reaksi
hidrasi dan dinyatakan dalam satuan kalori/gram. Reaksi hidarsi atau
reaksi hidrolisis sendiri adalah reaksi yang terjadi ketika mineral-mineral
yang terkandung di dalam temperature, jumlah air yang digunakan dan

5
bahan-bahan lain yang ditambahkan. Panas hidrasi naik sesuai dengan
temperatur pada saat proses hidrasi terjadi. Perkembangan panas hidrasi
untuk berbagai jenis semen Portland pada suhu 21°C ditunjukkan pada
tabel di bawah ini.

b. Sifat Kimia

1) Lime Saturated Factor (LSF)


Batasan agar semen yang dihasilkan tidak tercampur dengan bahan-bahan
alami lainnya.

2) Magnesium oksida (MgO)


Pada umumnya semua standard semen membatasi kandungan MgO dalam
semen Portland, karena MgO akan menimbulkan magnesia expansion
pada semen setelah jangka waktu lebih daripada setahun, berdasarkan
persamaan reaksi sebagai berikut:
MgO + H2O Mg(OH)2

Reaksi tersebut diakibatkan karena MgO bereaksi dengan H2O menjadi


magnesium hidroksida yang mempunyai volume yang lebih besar.

3) SO3
Kandungan SO3 dalam semen adalah untuk mengatur atau memperbaiki
sifat setting time (pengikatan) dari mortar (sebagai retarder) dan juga
untuk kuat tekan. Karena jika pemberian retarder terlalu banyak akan
menimbulkan kerugian pada sifat expansive dan dapat menurunkan
kekuatan tekan. Sebagai sumber utama SO3 yang sering banyak digunakan
adalah gypsum.

4) Hilang Pijar (Loss On Ignition)


Persyaratan hilang pijar dicantumkan dalam standard adalah untuk
mencegah adanya mineral-mineral yang dapat diurai dalam pemijaran.
Kristal mineral-mineral tersebut pada umumnya dapat mengalami

6
metamorfosa dalam waktu beberapa tahun, dimana metamorfosa tersebut
dapat menimbulkan kerusakan.

5) Residu tak larut


Bagian tak larut dibatasi dalam standard semen. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah dicampurnya semen dengan bahan-bahan alami lain yang
tidak dapat dibatasi dari persyaratan fisika mortar.

6) Alkali (Na2O dan K2O)


Kandungan alkali pada semen akan menimbulkan keretakan pada beton
maupun pada mortar, apabila dipakai agregat yang mengandung silkat
reaktif terhadap alkali. Apabila agregatnya tidak mengandung silikat yang
reaktif terhadap alkali, maka kandungan alkali dalam semen tidak
menimbulkan kerugian apapun. Oleh karena itu tidak semua standard
mensyaratkannya.

7) Mineral compound (C3S, C2S, C3A , C4AF)


Pada umumnya standard yang ada tidak membatasi besarnya mineral
compound tersebut, karena pengukurannya membutuhkan peralatan
mikroskopik yang mahal. Mineral compound tersebut dapat di estimasi
melalui perhitungan dengan rumus, meskipun perhitungan tidak teliti.
Tetapi terdapat standard yang mensyaratkan mineral compound ini untuk
jenis-jenis semen tertentu. misalnya ASTM untuk standard semen tipe IV
dan tipe V. Salah satu mineral yang penting yaitu C3A, adanya kandungan
C3A dalam semen pada dasarnya adalah untuk mengontrol sifat plastisitas
adonan semen dan beton. Tetapi karena C3A bereaksi terhadap sulfat,
maka untuk pemakaian di daerah yang mengandung sulfat dibatasi. Karena
reaksi antara C3A dengan sulfat dapat menimbulkan korosi pada beton.

7
Adapun SNI dari semen Portland putih sebagai berikut.

Tabel 1. Syarat Fisika


No Uraian Satuan Persyaratan

1. Kehalusan dengan alat blaine m2/kg min.280

2. Waktu pengikat dengan alat vicat

- pengikatan awal menit min. 45

- pengikatan akhir menit maks. 375

3. Kekekalan dengan autoclave

- pemuaian % maks. 0,80

4. Pengikatan semu

-penetrasi akhir % min. 50

5. Derajat warna putih (whiteness)

- alat hunter lab % min. 90

- alat kett meter % min. 80

6. Kuat tekan:

3 hari kg/cm2 min. 180

7 hari kg/cm2 min. 250

28 hari kg/cm2 min. 350

Sumber : Badan Standar Nasional (BSN) SNI 15-0129-2004

8
Tabel 2. Syarat Kimia

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. MgO % Maks 5,0

2. SO3 % Maks 3,5

3. Fe2O3 % Maks 0,4

4. Hilang pijar % Maks 5,0

5. Bagian tak larut % Maks 3,0

6. Alkali sebagai Na2O % Maks 0,6

Sumber : Badan Standar Nasional (BSN) SNI 15-0129-2004

9
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembuatan Semen


Secara keseluruhan, terdapat 4 tahap dalam proses pembuatan semen.

1. Raw material preparation.


Tahapan ini sendiri terdiri atas beberapa step yang meliputi mining
(penambangan), crushing, preblending, raw material grinding, dan raw meal
blending.
a. Mining
Mining adalah tahap paling pertama dalam proses penyiapan bahan baku,
ada 2 bahan baku utama yang biasanya ditambang sendiri yaitu limestone
(batu kapur) dan clay (tanah liat), bahan baku corective dan additive
biasanya dibeli dari supplier. Dalam tahap penambangan digunakan
beberapa heavy equipments seperti loader, excavator, dump truck, dan
ripper. Pada umumnya penambangan batu kapur menggunakan sistem
blasting (pengeboman) karena sifat materialnya yang keras, proses
blasting biasanya dilakukan di siang hari saat istirahat. Untuk beberapa
kasus ditemukan tambang batu kapur yang sifatnya lunak sehingga tidak
perlu menggunakan blasting tapi cukup menggunakan alat ripper untuk
mengeruk batu kapur (prosesnya disebut ripping), contoh kasus ini di
Indonesia ada di Kupang (PT SAG KSO PT Semen Kupang) dan Cilacap
(PT Holcim) sehingga prosesnya lebih hemat karena tidak memerlukan
bahan peledak seperti ammonium nitrat. Untuk penambangan clay juga
digunakan proses ripping karena clay jauh lebih lunak dari batu kapur.
Material dipungut dengan menggunakan excavator kemudian diangkut
dengan dump truck menuju stock pile (storage) atau langsung menuju
tempat crusher. Jika lokasi tambang jauh dari pabrik maka digunakan belt
conveyor sebagai alat transportnya tentunya setelah material dicrusher.

10
b. Crushing
Crushing adalah proses penghancuran material paling awal dengan
menggunakan alat crusher. Ada beberapa jenis crusher yang umum
digunakan yaitu, hammer crusher, roller crusher, gyratory crusher, dan jaw
crusher. Cara kerja crusher secara umum adalah material diumpankan
melalui feeder (biasanya apron feeder) material akan masuk crusher dan
akan mengalami penyempitan ruang di dinding ruang crusher akibat
putaran/gerakan alat pemecah sehingga akan tertekan dan pecah,
sementara material yang ukurannya sudah cukup kecil sesuai design
crusher jatuh melalui lubang saringan yang ada di bawah feeder sehingga
langsung dicampur dengan produk crusher dan dikirim dengan belt
conveyor menuju proses selanjutnya. Jenis crusher yang digunakan
tergantung dari jenis material yang akan dihancurkan, contohnya untuk
lime stone karena sifatnya keras maka digunakan hammer crusher karena
menggunakan tenaga impact dari hammer untuk menekan lalu
menghancurkan batuan. Proses crushing memungkinkan material
mengalami size reduction dari 1-1,5 m menjadi kurang lebih 7,5 cm.
Untuk mengurangi polusi debu digunakan sistem water spray pada tempat
unloading material dari dump truck ke feeder crusher dan dilengkapi bag
filter untuk menangkap dust (debu) yang timbul selama proses crushing.

c. Preblending
Material yang telah dicrusher dikirim ke storage menggunakan belt
conveyor. Karena komposisi kimia lime stone dan clay sangat variatif
maka digunakan proses preblending yang terdiri dari tahap stacking dan
reclaiming. Proses preblending bertujuan untuk menghomogenkan
material untuk mendapatkan kualitas material yang sesuai dengan
permintaan bagian Quality Control. Misal limestone high grade (kadar
CaO 54-56%) dicampur dengan low grade (CaO<50%). Proses mixing ini
sebenarnya telah dilakukan sejak tahap mining, namun untuk
meningkatkan homogenitas material maka dilanjutkan tahap preblending.

11
d. Raw Material Grinding
Ini merupakan tahap penggilingan pertama menggunakan alat yang
bernama raw mill. Di tahap raw material di tentukan nilai paramaternya
seperti LSF, SM, dan AM. Material utama seperti batu kapur dan clay
akan dicampur dengan corrective material seperti pasir besi dan pasir
silika. Keempat bahan dari masing-masing bin akan ditakar secara
otomatis menggunakan load cell lalu diumpankan ke raw mill melalui belt
conveyor. Proses yang terjadi di raw mill ada 4 macam yaitu grinding,
drying, classifying, dan transporting.
1) Grinding
Material akan digiling dari ukuran masuk sekitar 7,5 cm menjadi max
90μm. Penggilingan menggunakan gaya centrifugal di mana material
yang diumpankan dari atas akan terlempar ke samping karena putaran
table dan akan tergerus oleh roller yang berputar karena putaran table
itu sendiri.
2) Drying
Material akan mengalami pengeringan dengan target kadar moisture
max 1%. Proses ini memanfaatkan panas gas sisa dari preheater-kiln.
Material yang telah digiling akan kontak langsung dengan hot gas
yang masuk melalui nozzle louvre ring. Material keluar raw mill
bersuhu sekitar 80oC, gas masuk bersuhu 300-350oC dan keluar
bersuhu 90-100oC.
3) Classifying
Atau bisa disebut separating, maksdunya adalah material yang telah
digiling oleh roller akan terangkat oleh gas panas melewati separator
yang ada di bagian atas table, material yang telah cukup lembut sesuai
target akan lolos melewati separator sedangkan material msaih kasar
akan jatuh kembali ke table untuk digiling.
4) Transporting
Seperti yang disebutkan di proses classifying, gas panas selain sebagai
pengering material juga sebagai alat transportasi ke proses selanjutnya.

12
Produk raw mill yang disebut raw meal akan dibawa gas melewati
beberapa cyclone sebagai alat separator terakhir.

e. Raw Meal Blending


Raw meal masuk ke silo untuk menjalani proses selanjutnya yaitu
blending (pencampuran) sehingga alatnya dikenal dengan blending silo.
Produk blending ini akan menjadi kiln feed. Kiln feed sendiri tidak hanya
bersumber dari raw meal (produk raw mill) tetapi juga dari return dust
yang tertangkap di EP raw mill dan dust yang terpisah di GCT. Karena
nilai LSF dari return dust dan produk GCT ini sangat tinggi biasanya
ditambahkan alat dust bin sebelum kiln feed. Di sini nilai LSF, SM, dan
AM dari kiln feed sangat ditentukan kemampuan proses blending di dalam
silo. Nilai LSF raw meal yang masih sering fluktuatif ditambah dengan
produk return dust akan mempengaruhi stabilitas proses pembakaran di
kiln. Blending silo menggunakan udara sebagai “pengaduk” raw meal di
silo sehingga akan diperoleh material yang homogen karena terbentuk
lapisan-lapisan raw meal akibat hembusan dari udara dari blower. Kiln
feed akan keluar dari bottom silo dan melalui flow meter dan dikirim ke
menara preheater menggunakan air lift atau bucket elevator.

2. Burning/clinkerization.
Ini merupakan satu-satunya tahap di pabrik semen yang terdapat proses
kimianya di samping proses fisis. Di tahap ini raw meal akan mengalami proses
kalsinasi di kalsiner dan clinkerisasi di kiln. Tahap kedua ini melalui serangkaian
kiln system yang terdiri atas preheater, kalsiner, kiln, dan grate cooler.
a. Preheater
Setelah kiln ditransport dari blending silo atau ada yang dari kiln feed bin,
raw meal akan melewati pemanasan awal di menara suspension preheater
yang terdiri atas 4-6 stage+kalsiner menggunakan hot gas keluaran kiln.
Preheater merupakan cyclone dan dalam tahap ini ada 2 proses penting
yaitu heat transfer dan separation. Heat transfer antara gas panas dan raw
meal 80% terjadi di ducting antar-cyclone sedangkan separation 80%

13
terjadi di cyclone. Proses yang terjadi di preheater meliputi evaporasi air
permukaan dan air hidrat, dekomposisi clay, dan sedikit kalsinasi.

b. Kalsiner
Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi
CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi
kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi,
sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran coal memanfaatkan
udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Kalsinasi terjadi pada suhu di
atas 800oC pada tekanan 1 atm, namun karena alat-alat di pabrik semen
beroperasi di bawah 1 atm jadi pada suh yang lebih rendah sudah mulai
terjadi kalsinasi dan CaO terbentuk langsung bereaksi dengan senyawa
hasil dekomposisi clay sehingga reaksi dapat berlangsung sempurna
meskipun tergolong reversible. Kalsinasi di kalsiner paling maksimal
mencapai 90% selanjutnya sisanya terjadi di dalam kiln sendiri. Pelepasan
CO2 akibat reaksi ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri
semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil
pembakaran fuel.

c. Rotary Clin
Inilah jantung pabrik semen di mana proses pembentukan clinker
berlangsung. Material masuk kiln dari preheater stage terakhir pada suhu
yang dijaga sekitar 850 oC karena pada suhu yang lebih tinggi material
mulai sticky (lengket) sehingga bisa menyebabkan blocking pada inlet
kiln. Suhu klinkerisasi bisa mencapai 1450oC dan terbentuk fase liquid
yang akan meningkatkan laju reaksi oksida-oksida silika dan kapur yang
dipromotori oksida besi dan alumina. Di dalam kiln terbentuk sistem
isolasi tambahan berupa coating yang terbentuk melapisi fire brick (batu
tahan api). Suhu luar shell kiln dijaga dibawah 300 oC karena mulai suhu
400 oC shell kiln mengalami deformasi. Api dari main burner kiln dijaga
tidak menyentuh material dan fire brick. Kualitas clinker yang dihasilkan
sangat tergantung dari kualitas raw meal, kualitas bahan bakar, posisi

14
burner,dan proses pembakaran. Pembakaran di main burner menggunakan
(80-90%) udara sekunder yang diperoleh dari grate cooler dan (10-20%)
udara primer yang diperolehdari udara luar.

d. Grate Cooler
Di dalam grate cooler clinker yang keluar dari kiln akan mengalami
quenching (pendinginan cepat) dengan udara yang dihembuskan melalui
sejumlah fan grate cooler. Proses pendinginan clinker bisa mencapai dari
suhu 1300 oC sampai 120-200oC. Udara pendingin akan meningkat
suhunya sampai 900-950oC dan dimanfaatkan sebagai udara pembakaran
di kiln (secondary air) dan kalsiner (tertiary air). Di bagian ujung
discharge cooler dilengkapi crusher untuk memecah clinker sebelum
ditransport ke silo menggunakan pan conveyor.

3. Cement/finish grinding.
Pada tahap ini clinker akan digiling bersama bahan additive lain untuk
menjadi semen. Bahan additive itu adalah gipsum (CaSO4.2H2O) yang berfungsi
menjaga agar waktu pengerasan semen saat dicampur air tidak terlalu cepat.
Bahan lain yang ditambahkan seperti limestone, fly ash, trass, dan pozzolan (hasil
sisa material vulkanik). Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang
akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker
memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi.
Kompensasi pengurangan clinker adalah dengan meningkatkan kehalusan (blaine)
semen untuk mendapatkan kekuatan yang sama. Penggilingan clinker bersama
bahan lain umumnya masih menggunakan ball mill sehingga akan menimbulkan
panas selama proses penggilingan karena adanya tumbukan antara steel ball dan
material. Temperatur mill dijaga maksimal 120oC untuk mencegah kerusakan
gipsum (akibat peruraian air kristalnya). Waktu tinggal material di dalam mill
berkisar 10-25 menit. Ball mill terdiri dari 2 chamber di mana chamber 1
menggunakan stell ball berukuran 90-50 mm dan chamber 2 menggunakan stell
ball berukuran 50-12 mm. Setelah melalui serangkaian alat separator semen yang
telah halus sebagai produk dikirim ke semen silo.

15
4. Packing dan dispatch.
Semen dijual dalam bentuk curah (bulk) maupun dalam bag. Mesin yang
digunakan adalah rotary packer yang terdiri dari beberapa spout yang mengisi
kantong-kantong dengan semen melalui hembusan udara. Untuk penjualan dalam
bentuk curah digunakan bulk truck, kapal atau kereta.

Berikut adalah diagram alir proses pembuatan semen yang telah disederhanakan.

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan semen secara sederhana.

Gambar 2. Ilustrasi proses pembuatan semen secara sederhana

(sumber: http://www.semenpadang.co.id/)

16
2.2 Dampak Industri Semen Terhadap Lingkungan
Akibat proses pembuatannya, industri semen ini memiliki dampak buruk
tersendiri bagi lingkungan sebagai berikut.

1. Eksplorasi yang terus menerus dan berlebihan, pasti akan mengganggu


keseimbangan lingkungan. Misalnya, berkurangnya ketersediaan air tanah.
2. Seiring dengan proses prosuksi semen, dihasilkan pula gas katbon dioksida
(CO2) dalam jumlah yang banyak sehingga sangat mempengaruhi kondisi
atmosfer dan mempercepat terjadinya pemanasan global.
3. Produksi semen juga menimbulkan dampak tersebarnya abu ke udara bebas
sehingga mengakibatkan penyakit gangguan pernafasan. Studi kesehatan
lingkungan menyebutkan, bahwa debu semen merupakan debu yang sangat
berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis.
4. Penurunan kualitas dari segi kesuburan tanah akibat penambangan tanah liat.
5. Kualitas air bertambah buruk akibat limbah cair dari pabrik dalam bentuk
minyak dan sisa air dari kegiatan penambangan, yang menimbulkan lahan
kritis yang mudah terkena erosi, yang akan mengakibatkan pendangkalan
dasar sungai, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah banjir pada
musim hujan.

17
BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan
Semen yang biasa digunakan untuk konstruksi adalah jenis semen hidrolik
yaitu semen Portland. Secara umum, terdapat empat proses utama dalam
pembuatan semen, yakni raw material preparation, burning/clinkerization, finish
grinding, dan packing. Selain memiliki manfaat yang baik sebagai perekat,
industri semen juga memiliki beberapa dampak negatif terhadap lingkungan.

3.2 Saran
Makalan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi khalayak ramai
umumnya dan pembaca khususnya.

18
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Austin. 1977. Shreve’s Chemical Process Industries Fifth Edition. New York :
McGraw Hill Inc.
Ferlisa, Ranty. 2008. Persepsi Pekerja di Unit Produksi II/III terhadap Resiko
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. Semen Padang Indarung 2008.
Depok : UI Press
Karyawan. 2009. Pengaruh Jenis Semen dan Jenis Agregat Kasar terhadap Kuat Tekan
Beton. Teknologi dan Kejuruan 32:63-70.
MT, Alizar. 2010. Teknologi Bahan Konstruksi. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan
Ajar, Universitas Mercu Buana.
Saing, Zubair. 2008. Analisis Kualitas Batu Gamping Kabupaten Fak-Fak Papua
Sebagai Bahan Baku Semen Portland. Jurnal Teknik Dintek 2: 67-72.

19

Anda mungkin juga menyukai