Anda di halaman 1dari 11

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RS HASAN SADIKIN

BANDUNG
SARI PUSTAKA
Divisi : Stase Daerah RSUD Soreang
Pembimbing : dr. Nurvita Susanto, Sp.A
dr. Budi Risjadi, Sp.A, MKes
Oleh : Citra Cesilia
Hari/Tanggal : Kamis, 16 Agustus 2018

TUBERKULOSIS MILIER PADA ANAK


PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0–14
tahun. 1
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah
anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi.1
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB. Faktor risiko penularan TB pada anak
tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA
positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA
negatif. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
thoraks positif adalah 17%.1,2
Laporan kasus kali ini membahas mengenai seorang remaja perempuan yang datang ke IGD
RSUD Soreang dan dirawat selama 9 hari di RSUD Soreang karena TB Milier.
LAPORAN KASUS
Seorang remaja perempuan, berusia 12 tahun 6 bulan datang dibawa oleh orangtua ke IGD
RSUD Soreang dengan keluhan BAB mencret lebih dari 3 kali per hari sejak 1 minggu sebelum
masuk RS. BAB cair disertai ampas dan lendir, tanpa disertai darah. Keluhan disertai perut
mulas, dan muntah sebanyak 4 kali per hari. Keluhan disertai demam yang tidak terlalu tinggi
sejak 3 hari sebelum masuk RS. Keluhan disertai anak tampak lemas, pucat. Keluhan juga
disertai berat badan turun sejak 1 bulan terakhir. Riwayat demam lebih dari 2 minggu, batuk
lebuh dari 3 minggu tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita TB dewasa tidak diketahui.

1
Pada pemeriksaan fisik saat datang dikesankan tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, dan pemeriksaan tanda vital didapatkan takipnoe dan febris. Pemeriksaan fisik lain
ditemukan pembesaran KGB di regio colie bilateral. Pemeriksaan cor dan pulmo dalam batas
normal, serta tidak ditemukan tanda dehidrasi.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan anemia (Hb 10,4 g/dL), peningkatan LED (LED 89
mm/jam), serta feses rutin ditemukan amoeba. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan
gambaran TBC paru aktif, tersebar secara difus hampir dikedua lapang paru. Pasien
diperiksakan tes cepat molekuler (TCM) namun hasil MTb tidak ditemukan.
Pasien dikesankan TB Milier dan ditata laksana dengan pemberian OAT FDC anak fase
intensif 1x5 tab, etambutol 1x500mg po, dan prednison 2mg/kgBB/hari. Pasien dirawat selama
9 hari dan dipulangkan atas seizin dokter setelah keadaan perbaikan secara klinis dan
laboratoris.
DISKUSI KASUS
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat
penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tuberculosis) dan komplek primer yang
biasanya terjadi dalam waktu 2–6 bulan pertama setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier lebih
sering terjadi pada bayi dan anak kecil terutama di bawah 2 tahun, karena imunitas seluler
spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar ke seluruh
tubuh.1,2
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:1
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV, malnutrisi,
infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi
udara, merokok
TB milier akan tampak ketika basil tuberkulosis dalam jumlah banyak masuk ke dalam
aliran darah dan menyebabkan penyakit pada dua atau lebih organ. Paling banyak di temukan
paru, lien, hepar dan sumsum tulang. Lesi pada TB milier biasanya memiliki diameter lebih
kecil dari 2–3 mm saat pertama kali di temukan pada rontgen dada. 3
PATOGENESIS
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian

2
kasus lainnya, tidak semuanya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Sebagian kecil kuman TB akan terus berkembang biak dalam makrofag
dan akhirnya akan menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut yang dinamakan fokus primer (primary focus) Ghon. 1,3,4
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjer limfe
regional, yaitu kelenjer limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjer
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah,
kelenjer limfe yang terlibat adalah kelenjer limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjer paratrakheal. Gabungan antara
fokus primer, limfangtis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). 1,3,4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbul gejala penyakit. Rentang masa inkubasi TB dapat berlangsung antara 2–12 minggu,
biasanya berlangsung antara 4–8 minggu. Dalam masa ini kuman tumbuh hingga mencapai
103–104 yang mamppu merangsang respon imun seluler. 1,3,5
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif atau
ditemukannya IFN-gamma release assay (IGRAs) yang positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada
saat sistem imun selular spesifik berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila sistem imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas seluler spesifik (Cellular Mediated Immunity, CMI).1,3,5
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis, atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjer limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi
tidak menimbulkan gejala sakit TB.1,3

3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Fokus primer di paru ini dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus dan meninggalkan
rongga di jaringan pleura (kavitas). 1,3,4

Gambar 1. Patofisiologi Tuberkulosis paru 1


Kelenjar limfe parahilus atau paratrakheal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkhus akan terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru melalui meekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjer yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkhial
atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi total pada bronkus sehingga
menyebabkan gangguan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut lesi segmental kolaps
konsolidasi.1,3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjer limfe
regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.1,3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (Occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian mencapai berbagai organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di

4
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umunya, kuman di sarang tersebut tetap
hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks
paru disebut dengan fokus simon, yang dikemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi
TB apeks paru saat dewasa.1,3,6
Bentuk penyebarab hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2–6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak dibawah 5 tahun
(balita) terutama dibawah 2 tahun. 1,3,7
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya
di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-
padian. Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning beruukuran 1–3 mm, sedangkan
secara histologi merupakan granuloma. 1,3,8,9
PERJALANAN ILMIAH TUBERKULOSIS
Manifestasi klini TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi
Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ
(gambar 2). Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya
positif dalam 4–8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi
TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini
berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada
tahap ini. 1,3

5
Gambar 2. Perjalanan TB 1,3
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3–6 bulan
pertama setelah terinfeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Sebagian besar manifestasi
klinis sakit TB terjadi dalam 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB. 1,3
PENEGAKKAN DIAGNOSIS TB PADA ANAK
Penegakkan diagnosis TB Milier pada anak sama dengan penegakkan TB pada umumnya.
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada anak yang kontak
erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal
serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama
pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien
TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan
pada bab profilaksis TB pada anak. Penemuan pasien TB anak juga dilakukan pada anak yang
mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.1 Tuberkulosis merupakan
penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis
penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan
bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.3,5
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2–3 minggu setelah penyebaran
kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir
seragam (1–3mm).3,5
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan

6
untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan
tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan
Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013
tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.1
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan
diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test)
(misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.1
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013
menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR
pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi
tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF
masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi
sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil
Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.1,10
Sistem GeneXpert® MTB/RIF, yang dikembangkan oleh Cepheid (CA,USA) bersama-
sama dengan Foundation for innovative new diagnostic (FIND). Sistem ini dirancang untuk
digunakan pada minimal sampel. Uji tersebut menguatkan suatu regio gen rpoB dari MTB.7
Mutasi pada gen ini menimbulkan 95% resistensi rifampicin. Oleh karena itu uji ini secara
bersamaan mampu mendeteksi keberadaan resistensi MTB dan rifampisin. Studi awal pada
penderita dewasa telah menunjukkan sensitivitas 100% untuk pasien BTA-positif dan 71,7%
untuk pasien kultur positif, BTA-negatif. Sistem ini sedang dalam evaluasi untuk diagnosis TB
pada anak. Mengingat kinerja yang relatif baik dari GeneXpert dalam kasus BTA-negatif,
terbukti menjadi alat yang berguna untuk diagnosis cepat TB anak.11
Uji Xpert MTB/RIF dirancang kuat dan mudah digunakan. Xpert MTB/RIF cartridge dan
reagen spesimen harus disimpan pada suhu 2-28o C. Uji ini dirancang aman untuk digunakan
di laboratorium mikroskop dimana biological safety cabinets tidak tersedia. Reagen sampel
bersifat mikobakterisidal, membunuh kuman M. tuberculosis dengan cepat selama proses
pencairan, dan studi telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada aerosolasi mikobakteri selama
proses berlangsung.12
Berdasarkan hasil studi prospektif demonstrasi lapangan yang melibatkan 6.673 orang di
enam daerah yang berbeda mengkonfirmasi bahwa akurasi uji dengan tes tunggal Xpert

7
MTB/RIF langsung dari dahak mendeteksi 99% pasien BTA-positif dan >80% pasien dengan
BTA-negatif. Sebagai perbandingan, pemeriksaan smear langsung dilakukan pada spesimen
dahak yang sama seperti uji Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas dari kultur positif sebesar
59,5%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam spesifisitas. Koinfeksi HIV secara
substansial menurunkan sensitivitas mikroskopik, tapi tidak mempengaruhi kinerja Xpert
MTB/RIF secara signifikan. Resistensi rifampisin terdeteksi dengan sensitivitas 95,1% dan
spesifisitas 98,4%.12
Untuk konfirmasi diagnosis mikrobiologi pada TB paru anak maka direkomendasikan
pemeriksaan aspirat lambung (gastric lavage/GV) secara berturutan. Pemeriksaan aspirat
lambung merupakan pemeriksaan invasif, stressful, memerlukan rawat inap, dan anak
dipuasakan sebelumnya.13 Menurut Jimenez dkk, hasil kumulatif penelitian pada 22 anak
suspek TB paru selama kurun waktu 4 tahun menyebutkan bahwa 47,1% anak terdiagnosis dari
aspirat lambung, dibandingkan dengan 41,2% anak terdiagnosis TB paru dari induksi sputum.13
TATA LAKSANA TB MILIER
Prinsip pengobatan TB anak antara lain OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Waktu pengobatan TB pada anak 6–12 bulan, pengobatan jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan TB pada anak dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap intensif selama 2
bulan pertama yaitu diberikan minimal 3 macam obat dan tahap lanjutan selama 4–10 bulan
tergantung berat ringannya penyakit.1
Pada kasus TB berat yaitu TB milier, meningiti TB, TB tulang dan sendi, TB abdomen,
termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, dan TB HIV maka pemberian OAT 4
macam obat yaitu Rifampisin, INH, Pirazinamid, dan etambutol. Kortikosteroid (Prednison) 2
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari selama 2–4 minggu kemudian di
tappering off dengan jangka waktu yang sama diberikan pada kasus TB Milier, efusi pleura
TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB.1

Gambar 3. Panduan tata laksana TB pada anak1

8
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respon
keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2–3 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5–10 minggu, tetapi
mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan
dari RS dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.1
PEMANTAUAN PENGOBATAN TB PADA ANAK
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan
meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka
pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan
kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke
sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk
menilai hasil pengobatan.1
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi
baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Foto thoraks tidak rutin
dikerjakan dalam evaluasi keberhasilan pengobatan TB anak. Meskipun gambaran radiologis
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang
nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.1,5,9
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan
alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA positif.1,4,7
PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama telah mendapat infeksi,
luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan
adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang berulang dan lain-lain. Bila
cepat terdeteksi penyakit ini dapat dicegah untuk menjadi TB yang berat. Pengobatan TB
terlambat , maka kematian karena TB milier akan meningkat hingga 100%. Dengan deteksi
dini dan pengobatan, kematian akan berkurang hingga 10%. Dengan diagnosis awal, akan
memberikan hasil yang baik, tetapi beberapa penelitian mengatakan bahwa 2 minggu pertama
di rawat di rumah sakit akan menimbulkan kematian oleh karena pengobatan TB yang

9
terlambat. Kasus meningkat 50% pada TB diseminata yang terdeteksi pada saat otopsi yang
sering terlupakan pada laporan kasus antemortem. Persentase relaps 0–4% dengan terapi yang
adekuat dan observasi, paling sering relaps muncul selama 24 bulan setelah terapi selesai.13
SIMPULAN
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat
penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tuberculosis) dan komplek primer yang
biasanya terjadi dalam waktu 2–6 bulan pertama setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier
termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3–7% dari seluruh kasus TB dengan
angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi) yang bisa timbul karena tidak
terdiagnosisnya TB pada anak sehingga menjadi berat, atau karena pengobatan yang tidak
adekuat. Penatalaksanaan medikamentosa TB milier adalah pemberian 4–5 macam OAT
kombinasi isoniazid, rifampisisin, pirazinamid, dan streptomisin atau etambutol selama 2 bulan
pertama, dilanjutkan dengan rimpamfisin dan isoniazid sampai 9–12 bulan sesuai dengan
perkembangan klinis. Kortikosteroid seperti prednisone dapat pula diberikan. Apabila
pengobatan tidak adekuat atau terlambat maka TB milier ini akan menjadi berat. Meningits TB
dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20–40% pasien yang penyakitnya sudah berat.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan imunisasi BCG dan pemberian
kemoprofilaksis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tata
Laksana TB Anak; 2016..
2. World Health Organization: Global tuberculosis report 2013. Geneva, Switzerland:
WHO. 2013.
3. Gumbo T, Louie A, Deziel MR, Liu W, Parsons LM, Salfinger M, dkk. Concentration-
dependent mycobacterium tuberculosis killing and prevention of resistance by
rifampin. MBio. 2007;51:3781–8.
4. Kemenkes RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Menkes.
2011.
5. Dodd PJ, Seddon JA. Understanding the contribution of HIV to the risk of developing
tuberculosis in children: a systematic review and meta-analysis. Int J Tuberc Lung Dis.
2015;19(12 (S2)):S64
6. Mandalakas AM, Kirchner HL, Walzl G, Gie RP, Schaaf HS, Cotton MF, Grewal HM,
Hesseling AC. Optimizing the detection of recent tuberculosis infection in children in

10
a high tuberculosis-HIV burden setting. Am J Respir Crit Care Med. 2015;191(7):820–
30.
7. World Health Organization. Implementing the WHO Stop TB Strategy-A handbook
for national TB control programmes. Chapter 4- Tuberculosis in Children. Geneva,
WHO. 2008
8. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional tuberculosis anak.
Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2007.
9. World Health Organization. WHO treatments and guidelines for drug-resistance
tuberculosis 2016 Update; 2016.
10. World Health Organization: Policy statement: Automated real-time nucleic acid
amplification technology for rapid and simultaneous detection of tuberculosis and
rifampicin resistance: Xpert MTB/RIF system. Geneva Switzerland: WHO. 2011.
11. Nicol MP, Zar HJ. New specimens and laboratory diagnostics for childhood pulmonary
TB: progress and prospects. Paediatr Respir Rev. 2011;12(1):16 –21.
12. World Health Organization. Global tuberculosis report; 2016.
13. Jimenez MR, Martin SG, Tato LMP, Calvo JBC, Garcia AA, Sanchez BS, dkk. Induced
sputum versus gastric lavage for the diagnosis of pulmonary tuberculosis in children.
BMC Inf Dis. 2013;13:222.

11

Anda mungkin juga menyukai