Anda di halaman 1dari 15

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung

Referat : Juli 2013


Divisi : Neurologi
Oleh : Evelyn Phangkawira
Pembimbing : Dr. dr. Nelly Amalia Risan, Sp.A(K)
dr. Purboyo Solek, Sp.A(K)
dr. Dewi Hawani, Sp.A
dr. Mia Milanti Dewi, Sp.A,M.Kes.
Hari/Tanggal : Juli 2013

Neurotoksisitas Bisa Ular pada Anak

PENDAHULUAN
Gigitan ular berbisa merupakan salah satu kegawatdaruratan pada anak yang sering dihadapi
terutama di daerah pedesaan negara tropis1 seperti Indonesia. Dalam menghadapi kasus gigitan
ular berbisa diperlukan tata laksana yang cepat, baik dalam menegakkan diagnosis maupun
terapinya karena dapat menimbulkan kecacatan dan mengancam jiwa.2 Menurut toksisitasnya,
bisa ular dibagi menjadi neurotoksin, hematotoksin, dan miotoksin.3 Makalah ini akan membahas
epidemiologi, jenis ular, gejala klinis, patofisiologi neurotoksin ular, tata laksana, serta prognosis
gigitan ular neurotoksin pada anak.

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian gigitan ular di dunia sulit didapat karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan.
Hal ini disebabkan kejadian gigitan ular lebih banyak terjadi pada negara berkembang yang
sistem pencatatan dan pelaporannya masih belum baik.4 Angka kejadian gigitan ular di dunia
yang dilaporkan World Health Organization (WHO) adalah 5 juta kasus pertahun dengan
kematian sebesar 100.000 sampai 200.000 kasus.5 Sebanyak 400.000 kasus per tahun yang
diamputasi akibat gigitan ular. Insidens ini lebih tinggi pada anak dan akibat yang ditimbulkan
pada anak lebih berat dibandingkan pada dewasa karena massa tubuhnya yang lebih kecil.
Gigitan ular lebih sering terjadi pada daerah pedesaan dan insidensnya mencapai puncak saat
musim hujan dan panen.6,7
Data dari WHO menunjukkan bahwa gigitan ular merupakan penyebab dari 35%
kematian anak akibat gigitan atau sengatan binatang beracun, dengan kejadian pada anak laki-
laki dua kali lebih sering dari anak perempuan. Gigitan ular berbisa ini lebih sering terjadi pada

1
negara berkembang, terutama di Asia.7 Gigitan tersering adalah pada kaki dan pergelangan kaki,
diikuti paha, tangan, dan kepala.2,4

IDENTIFIKASI JENIS ULAR


Di dunia terdapat 2500 spesies ular. Diantara 2500 jenis ini, 350 spesies tergolong ular berbisa
dan dapat membahayakan manusia. Dua ribu lima ratus ular ini dibagi ke dalam 15 famili.
Diantara kelima belas famili tersebut, yang tergolong berbisa di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia adalah Elapidae dan Viperidae.8
Beberapa tanda ular yang membedakan ular berbisa dengan yang tidak adalah bentuk
kepala. Bentuk kepala ular berbisa menyerupai segitiga sedangkan ular tidak berbisa lebih bulat.
Pupil ular berbisa berbentuk elips, pupil ular tidak berbisa berbentuk bulat. Ular berbisa terutama
famili Viperidae memiliki organ pendeteksi panas berupa lubang di bawah pupil yang tidak
dimiliki ular tidak berbisa. Ular berbisa umumnya memiliki taring (Gambar 1).9 Menentukan
jenis ular bukan hal yang mudah. Sering kali terjadi salah identifikasi, bahkan seorang
herpetologi dapat salah mengidentifikasi ular.1

Gambar 1. Perbandingan ular berbisa dengan ular tidak berbisa


Sumber: Gold BS, dkk.1

2
WHO membagi jenis ular berbisa yang ada di Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu
kelompok Indonesia Barat dan Indonesia Timur (Tabel 1). 8
Tabel 1. Jenis ular berbisa berdasarkan regio di Indonesia8
Famili Indonesia Barat Indonesia Timur
Bungarus candidus, Bungarus Acanthophis laevis, Notechis
magnimaculatus, Bungarus multicinctus, scutatus, Oxyuranus scutellatus,
Naja atra, Pseudechis australis,
Elapidae
Naja kaouthia, Naja mandalayensis, Naja Pseudonaja affinis, Pseudonaja
philippinensis, Naja samarensis, Naja mengdeni, Pseudonaja nuchalis,
siamensis, Naja sputatrix, Naja sumatrana Pseudonaja textilis
Calloselasma rhodostoma; Cryptelytrops
albolabris, Cryptelytrops erythrurus,
Viperidae
Cryptelytrops insularis, Daboia siamensis,
Deinagkistrodon acutus
Sumber: WHO8

Untuk dapat memberikan tata laksana gigitan ular dengan tepat, kita harus dapat
mengidentifikasi ular tersebut, tetapi korban atau keluarga korban tidak disarankan untuk
mencari dan membunuh setelah ular tersebut pergi. Kebanyakan ular hanya menggigit jika
merasa terancam. Oleh karena itu, mencari ular yang telah menggigit dapat membahayakan diri
sendiri. Berikut ini beberapa informasi mengenai ciri khas ular berbisa.
1. Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan puspo)
Ular dari famili ini mempunyai lubang di masing-masing sisi muka, terletak di antara
mata dan nostril. Lubang ini hanya dijumpai pada ular berbisa yang berfungsi sebagai
organ pengenal panas. Lubang ini sangat penting pada ular berbisa karena penglihatan
mereka buruk. Jika dapat diperhatikan lebih lanjut, pupil ular jenis ini berbeda dengan
kelompok ular tidak berbisa. Pupil viperidae berbentuk elips dan berorientasi vertikal.
Gigi taring hanya di rahang atas, berjumlah dua, dan berrongga. Panjangnya berkisar
antara 5-20 mm. Gigi taring ini terlipat ke posterior di rahang dan hanya ditunjukkan saat
ular akan menyerang. Bentuk kepala ular berbisa lebih segitiga dibandingkan dengan ular
yang tidak berbisa.4

3
Gambar 2. Viperidae dengan lubang di antara mata dan nostril
Sumber: Cavazos, dkk.4

2. Elapidae (ular sendok, ular karang)


Jenis ular dari famili ini antara lain ular kobra (ular sendok), king cobra, dan ular karang.
Ular karang relatif pemalu dan pasif. Tidak seperti viperidae, ular ini memiliki pupil
bulat, kepalanya tidak berbentuk terlalu segitiga dan tidak mempunyai lubang sebagai
organ pengenal panas di antara mata dan nostril. Panjangnya kurang lebih 60 cm dan
berwarna terang. Ular jenis ini sering menarik anak-anak dan akhirnya menggigit mereka.
Jika dilihat dengan teliti, terdapat pita merah dan hitam yang selalu disisipi dengan cincin
kuning yang lebih tipis. Ular yang tidak berbisa dapat mempunyai cincin kuning, tetapi
selalu disamping warna hitam, bukan merah.4

Gambar 3. Elapidae: ular kobra (kiri) dan ular karang (kanan)


Sumber: Cavazos, dkk. 4

PATOFISIOLOGI NEUROTOKSIN
Bisa ular merupakan toksin yang paling kompleks diantara semua jenis racun yang ada. Toksin
pada satu jenis spesies dapat mengandung lebih dari 100 protein dan peptida baik yang toksik
dan non-toksik dan toksin non protein, karbohidrat, lipid, dan molekul-molekul kecil yang lain.
Protein toksik terdiri dari enzim proteiolitik, peptidase, proteinase, fosfolipase, dan neurotokin

4
yang dapat menyebabkan kerusakan serius dari sistem muskuloskeletal, sistem pembekuan
darah, kardiopulmonal, ginjal, dan sistem saraf pusat.1,4
Neurotoksin ular memblok atau mengeksitasi tautan neuromuskular dengan bekerja pada
tempat yang berbeda-beda. Neurotoksin dapat berikatan dengan reseptor presinaps, reseptor
postsinaps, dentdrotoksin, maupun fasikulin (Gambar 4). 1

Gambar 4. Tautan neuromuskular menunjukkan kanal ion dan tempat kerja neurotoksin ular
Sumber: Warell1

Neurotoksin presinaps umumnya merupakan toksin fosfolipase A2 yang secara spesifik


bekerja pada akson terminal tautan neuromuskular, menyebabkan pelepasan neurotransmiter
sehingga terjadi kerusakan struktur akson, mengganggu produksi vesikel sinaps, kemudian
menghentikan pelepasan transmiter. Hal ini akan menyebabkan paralisis flaksid progresif yang
biasanya mulai terlihat 1 jam setelah gigitan. Paralisis otot pernapasan total termasuk diafragma
dapat terjadi dalam 3-24 jam.1
Neurotoksin postsinaps merupakan polipeptida dengan ukuran bervariasi, biasanya
dibawah 12 kD dan bekerja pada tautan neuromuskular. Neurotoksin ini bekerja ekstraseluler,
mengikat reseptor asetilkolin, menghambat ikatan neurotransmiter sehingga menyebabkan
paralisis. Neurotoksin ini tidak merusak sel, oleh karena ini tipe paralisis flaksid ini bersifat
reversibel. Onset paralisis yang terjadi bersifat cepat dan progresif, yang jarang tampak dalam 1
jam pertama setelah gigitan.1

5
Dendrotoksin dan fasikulin bekerja secara sinergistik. Target kerja toksin ini adalah
tautan neuromuskular, menyebabkan paralisis dan spasme otot atau fasikulasi. Dendrotoksin
bekerja pada kanal potasium di membran akson terminal, menyebabkan terjadinya pelepasan
molekul neurotransmiter yang berlebih, yang akan menyebabkan stimulasi berlebih pada reseptor
end-plate otot. Fasikulin menghambat atau mengganggu asetilkolinesterase di rongga junctional,
menurunkan penghancuran asetilkolin. Hal ini meningkatkan efek dendrotoksin, menyebabkan
sitmulasi otot berlebih, spasme atau fasikulasi. Efek dari kedua toksin ini dapat terlihat dalam
waktu singkat (kurang dari 1 jam) setelah gigitan.1
Calciseptine secara selektif menghambat kanal kalsium di terminal neuron, membuat
kerjanya menjadi tidak aktif.10 Crotamine bekerja pada kanal kalsium di sel otot. Crotamine
menginduksi kontraksi otot dengan meningkatkan permeabilitas natrium pada membran otot
skeletal.11
Bisa ular neurotoksin tidak memasuki sistem saraf pusat. Pada percobaan yang pernah
dilakukan, dua molekul berat rendah fosfolipase A2 dari toksin Russel’s viper terbukti tidak
berbahaya jika diberikan secara intravena tetapi letal atau sedatif jika diberikan secara
intraventrikuler.12 Gejala gigitan ular king cobra adalah mengantuk yang mungkin merupakan
efek sedatif sentral.13
Kebanyakan neurotokin berikatan pada reseptor dengan afinitas tinggi yang sifatnya
ireversibel. Meskipun demikian, penelitian pada tikus menunjukan bisa ular kobra (Naja
nigricollis) yang terikat pada reseptor asetilkolin bersifat reversibel jika diberikan antibodi.14, 15
Memperpanjang efek asetilkolin dapat mengurangi efek neurotoksik postsinaps pada penderita
yang tergigit ular berbisa.16, 17

GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala bervariasi bergantung pada jenis ular yang menggigit dan jumlah bisa ular yang
masuk ke dalam tubuh. Informasi tentang ciri ular yang menggigit penting untuk dokter dalam
memilih antibisa ular yang sesuai, mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi dan
mengambil langkah yang sesuai. Jika spesies ular yang menggigit tidak diketahui, penderita
harus diobservasi ketat untuk menilai gejala, tanda, dan hasil laboratorium (Gambar 5). 18

6
Penderita gigitan ular (deskpripsi jenis ular
minimal/tidak ada)

Darah yang sulit


Ya Ya
Tanda Pembengkakan lokal membeku/
neurotoksik yang jelas perdarahan
sistemik spontan
Ya Tidak Ya

Darah sulit Tanda Tanda


membeku/ neurotoksik neurotoksik
perdarahan
sistemik spontan Ya
Tidak
Tidak Ya

Digigit di Gagal ginjal


Kulit melepuh/ tanah, tidur di Digigit di laut akut
Gagal ginjal akut
nekrosis lantai
Ya Tidak

Russel Hump Saw Scaled


Ular Karang Viper Krait Ular laut
Nosed Viber Viper

Gambar 5. Algoritme diagnosis jenis ular yang menggigit berdasarkan gejala klinis di Sri Lanka
Sumber: WHO18

Tanda dan gejala lokal pada tempat gigitan dapat berupa tanda gigi taring, nyeri lokal,
perdarahan lokal, hematom, limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak,
kemerahan, panas), bullae, infeksi lokal, pembentukan abses, sampai nekrosis (gambar 6) 18

Gambar 6. (a) Gigitan taring ular berjarak 2,5 cm (b) Perdarahan persisten 40 menit
setelah gigitan Viperidae, c) bengkak dan bulae, (d) bulae dan nekrosis awal
akibat gigitan kobra
Sumber: WHO18
7
Tanda dan gejala umum seperti mual, muntah, nyeri perut, kelemahan, dan mengantuk.
Gejala kardiovaskular dapat berupa gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi,
aritmia, edema pulmonal, edema konjungtiva. Gangguan perdarahan dan pembekuan darah dapat
berupa perdarahan terus menerus dari tempat gigitan dan dari luka lama yang telah sembuh,
perdarahan spontan dari gusi, epistaksis, air mata darah, perdarahan intrakranial, muntah darah,
melena, hematuria, petekie, purpura, dan perdarahan retina.1, 4, 18
Gejala neurologis biasanya disebabkan oleh gigitan famili Elapidae. Gejala dapat berupa
mengantuk, parestesia, gangguan penciuman dan pengecapan, mata terasa berat, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lain yang dipersarafi saraf kranial, suara
nasal atau afonia, regurgitasi melalui hidung, kesulitan menelan sekresi, kelumpuhan pernapasan
dan flaksid general.1, 18
Paralisis pada penderita yang tergigit ular berbisa mulai dengan ptosis, oftalmoplegia
eksternal dan midriasis, kemudian menurun melibatkan otot-otot yang dipersarafi oleh nervus
kranialis dan spinalis yang akhirnya menyebabkan paralisis pernapasan, dan jika ventilasi
penderita sudah dibantu, akhirnya akan masuk ke dalam paralisis flaksid. Keterlibatan awal pada
otot levator palpebra superior, seperti pada keracunan botulinum, miastenia gravis, dan penyakit
grave, mungkin berhubungan dengan ukuran yang kecil dan anatomi dan fisiologi yang tidak
seperti otot-otot lainnya, dan faktor keamanan yang rendah dari tautan neuromuskular otot ini.
Gambaran ini juga tampak pada semua otot ekstraokuler lainya.19,20 Gambaran dari paralisis
yang terjadi secara desendens sulit untuk dijelaskan secara neurofisiologis (Gambar 7).

Gambar 7. Paralisis otot yang dipersarafi nervus kranial dan spinal pada anak laki-laki yang
digigit oleh Bungarus candidus di Thailand. (A) Ptosis terjadi 3 jam setelah gigitan (B)
Paralisis flaksid komplit, pemasangan ventilator selama 49 jam
Sumber: WHO18

8
TATALAKSANA
Pertolongan pertama diberikan segera sesudah terjadi gigitan, sebelum penderita ditransport ke
rumah sakit. Pertolongan pertama ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang ada di lokasi kejadian.
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah menghambat absorpsi bisa ular, mencegah
komplikasi sebelum penderita sampai ke tempat pelayanan kesehatan, mengontrol gejala bahaya
awal akibat bisa ular, mengatur transport penderita ke tempat pelayanan kesehatan, dan yang
paling penting tidak melakukan sesuatu yang membahayakan (do no harm). Bahaya yang
ditimbulkan setelah gigitan ular famili Elapidae adalah paralisis yang berkembang cepat. Pada
kasus ini disarankan menggunakan pressure immobilization, tetapi metode ini membutuhkan
peralatan seperti verband, splints dan keterampilan.1,18

Gambar 8. Metode pressure-immobilization pada gigitan ular Elapidae


Sumber: WHO18

Setelah diberikan pertolongan pertama, penderita harus segera ditransport ke tempat


pelayanan kesehatan secepat mungkin tetapi tetap seaman dan senyaman mungkin. Gerakan
tempat gigitan ular harus dikurangi untuk mencegah absorpsi bisa sistemik. Setiap kontraksi otot
akan meningkatkan penyebaran bisa dari tempat gigitan.1,18
Pada saat sampai di tempat pelayanan kesehatan segera dilakukan penilaian klinis cepat
dan resusitasi bila diperlukan. Lakukan penilaian patensi jalan napas, pergerakan pernapasan,
pulsasi arteri, kesadaran secara cepat dan lakukan resusitasi bila perlu. Penilaian tingkat

9
kesadaran pada penderita yang mengalami paralisis akibat neurotoksin tidak dapat menggunakan
Glasgow Coma Scale. Setelah itu lakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik secara
detail.18
Untuk menyingkirkan efek neurotoksin, perintahkan penderita untuk melihat ke atas,
perhatikan apakah kelopak mata retraksi secara penuh. Periksa gerakan bola mata untuk mencari
adanya oftalmoplegia eksternal. Periksa ukuran pupil dan refleks cahaya. Minta penderita untuk
membuka mulutnya lebar-lebar dan julurkan lidah. Restriksi dalam membuka mulut
mengindikasikan adanya trismus (bisa ular laut) dan paralisis muskulus pterygoid. Periksa otot-
otot wajah yang dipersarafi oleh saraf otak.18
Otot yang mengatur fleksi leher dapat mengalami paralisis. Penderita ini menunjukkan
tanda “broken neck”. Periksa apakah penderita dapat menelan atau sekret terakumulasi di faring.
Hal ini menunjukkan tanda awal paralisis bulber. Minta penderita untuk inspirasi dan ekspirasi.
Respirasi paradoks (pergerakan abdomen lebih dominan dibanding dinding dada saat inspirasi)
mengindikasikan diafragma masih berkontraksi tetapi otot interkostal dan asesorius telah
lumpuh.18
Penilaian objektif kapasitas ventilasi sangat membantu. Penggunaan peak flow meter,
spirometer atau meminta penderita meniup tabuh sfigmomanometer untuk menilai tekanan
ekspirasi maksimal. Yang harus selalu diingat adalah penderita dengan paralisis flaksid
generalisata akibat neurotoksin tetap sadar penuh. Mengangkat kelopak mata atas
memungkinkan penderita melihat lingkungannya. Jika diminta, mereka masih dapat
menggerakkan jari tangan dan kaki. Meskipun demikian, karena mata mereka tertutup, tidak
bergerak dan berbicara, mereka sering diasumsikan tidak sadar atau bahkan meninggal.18

Pemberian Anti Bisa Ular


Anti bisa ular pertama kali ditemukan oleh Albert Calmette pada tahun 1980an. Anti bisa ular
merupaka imunoglobulin (biasanya fragmen pepsin-refined F(ab’) dari Imunoglobulin G) yang
dimurnikan dari plasma kuda, keledai, atau domba yang telah diimunisasi dengan bisa ular. Anti
bisa ular monovalen (monospesifik) dapat menetralisir bisa dari satu spesies ular. Anti bisa ular
polivalen (polispesifik) dapat menetralisir beberapa bisa dari beberapa spesies ular yang
berbeda.1,18
Indikasi pemberian anti bisa ular adalah jika penderita terbukti mengalami gigitan ular
yang menunjukkan satu atau lebih dari tanda di bawah ini:18

10
Gejala sistemik
 Abnormalitas hemostasis: perdarahan sistemik sponan (klinis), koagulopati, atau
trombositopenia
 Gejala neurotoksik: ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis
 Abnormalitas kardiovaskuler: hipotensi, syok, aritmia, elektrokardiogram yang abnormal
 Gagal ginjal akut: oligouria/anuria, peningkatan ureum/kreatinin
 Hemoglobin/mioglobinuria: urin kehitaman, dipstik urin, atau bukti adanya hemolisis
intravaskuler, atau rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia)
Gejala lokal
 Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari setengah ekstremitas yang tergigit (tanpa
adanya torniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah gigitan di jari-jari
terutama jari tangan
 Penyebaran pembengkakan yang cepat
 Adanya pembengkakan kelenjar getah bening yang merupakan drainase dari tempat
gigitan yang keras
Anti bisa ular harus diberikan segera jika terdapat indikasi. Pemberian ini dapat
memperbaiki efek bisa ular sistemik, meskipun telah menetap selama beberapa hari, atau jika
terjadi abnormalitas hemostasis selama 2 minggu atau lebih.18
Anti bisa ular yang tersedia di Indonesia adalah Serum Anti Bisa Ular (SABU) Polivalen
yang diproduksi oleh PT Biofarma. SABU Polivalen adalah antisera murni yang dibuat dari
plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang bersifat neurotoksik (seperti ular dari jenis
Naja sputatrix/ular kobra, Bungarus fasciatus/ular belang) dan bersifat hemotoksik (ular
Agkistrodon rhodostoma/ular tanah) yang banyak ditemukan di Indonesia, serta mengandung
fenol sebagai pengawet. Serum anti bisa ular polivalen berupa cairan berwarna kekuningan.21
Pada SABU polivalen tersebut setiap ml mengandung anti bisa ular Agkistrodon
rhodostoma ≥ 10 LD50, Bungarus fasciatus ≥ 25 LD50, Naja sputatrix ≥ 25 LD50, dan fenol 2,5
mg. Di dalam panduan WHO tidak disebutkan dosis SABU yang dianjurkan untuk SABU
polivalen yang berdera di Indonesia. Dosis yang dianjurkan dalam kemasan SABU adalah 2 vial
@5 mL yang ditambahkan ke dalam larutan fisiologis menjadi larutan 2% diberikan sebagai
cairan infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, diulang 6 jam kemudian, dan dapat terus

11
diberikan setiap 24 jam sampai maksimum 80-100 mL.21Literatur lain menyebutkan dosis
pemberian anti bisa ular berdasarkan gejala klinis dari penderita (Tabel 1).4
Tabel 1. Dosis pemberian anti bisa ular berdasarkan gejala klinis4
Dosis
Christoper-Rodning Loading dose
selanjutnya
Pada jam Tiga jam
Infus
pertama berikutnya
(1ml/menit
Grade Tanda dan Gejala 100 ml dengan Maintenance
normal
larutan (D5 250 ml
salin)
½ salin) larutan
0 Bukti gigitan tanpa gejala 0 0 0
keracunan
1 Keracunan ringan, nyeri dan 2-3 4 4 Nilai keadaan
edema <10 cm dari lesi klinis
2 Keracunan sedang: nyeri, edema 5 10 6-8 Nilai keadaan
>15 cm dari lesi, perubahan kulit klinis
dan kelenjar getah bening regional
3 Keracunan berat: bengkak pada 5 20 6-8 4-6 setiap 4 jam
ekstremitas yang terkena, muntah,
pusing, demam, perubahan kulit
(eekimosis, bula, petekie,
kesemutan, oliguria)
4 Keracunan berat, perdarahan di 25 25 10 4-6 setiap 4 jam
tempat gigitan, hematom dan
petekia, disseminated
intravascular coagulation, gagal
ginjal akut, distres napas, gagal
organ multipel
Sumber: Cavazos, dkk. 4

Ketersediaan SABU di Indonesia masih tidak merata. PT Biofarma mendistribusikan


SABU ke distributor yang terdapat di kota Medan, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya.
Ketersediaan SABU di masing-masing daerah tersebut bergantung pada luasnya distribusi di
masing-masing daerah.
Pada neurotoksisitas bisa ular di tempat yang tidak tersedia SABU, penanganan dapat
berupa bantuan ventilasi dengan oksigen. Berikan ventilasi manual yang dapat dilakukan oleh
dokter, mahasiswa kedoktera, atau suster. Penanganan ini efektif, penderita gigitan ular dengan
paralisis pernapasan dilaporkan dapat pulih dengan baik. 18

12
Antikolinesterase
Pengunaan antikolinesterase hanya bermanfaat pada gigitan ular Acanthophis spp (death adder)
dan digunakan sebagai terapi tambahan anti bisa ular. Antikolinesterase bermanfaat
meningkatkan kekuatan otot dan memberikan efek yang sementara. Pada blokade neuromuskuler
dengan gagal napas, obat ini tidak dapat menggantikan terapi anti bisa ular dan ventilasi
mekanis.22
Pemberian antikolinesterase tidak bermanfaat pada toksin presinaps yang disebabkan oleh
Papuan taipans (Oxyuranus scutellatus canni), Papual blacksnakes (Pseudechis cf. Australis),
small-eyed snakes (Micropechis ikaheka) atau ular coklat (Pseudonaja cf. Textilis).22
Kontraindikasi penggunaan ini adalah gangguan hemostasis, perdarahan spontan, gigitan
ular yang ukurannya lebih dari 1 meter, ular dengan stripe merah di punggung atau ular hitam
dengan punggung merah, ular berwarna putih atau pucat dengan kepala hitam, dan adanya
riwayat alergi dari obat tersebut.22

PROGNOSIS
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan berat bergantung pada jenis
ular, usia, dan tatalaksana yang diberikan.2 Pemberian anti bisa ular yang tepat dapat mengurangi
gejala dan memperbaiki prognosis gigitan ular.15
Komplikasi jangka panjang dari gigitan ular pada tempat gigitan dapat berupa ulserasi
kronis, infeksi, osteomielitis, kontraktur, artritis yang menyebabkan disabilitas fisik. Keganasan
dapat terjadi pada ulkus di kulit setelah beberapa tahun. Gagal ginjal kronis dapat terjadi akibat
nekrosis korteks bilateral, panhipopituitarisme kronis atau diabetes insipidus juga dilaporkan.
Defisit neurologis kronis dapat terjadi pada penderita yang mengalami perdarahan intrakranial
dan trombosis.6,18

KESIMPULAN
Gigitan ular berbisa merupakan kegawatan anak yang sering terjadi dan dapat menyebabkan
kematian apabila tidak ditangani dengan tepat. Ular berbisa yang ada di Indonesia berasal dari 2
famili yaitu Viperidae dan Elapidae. Kebanyakan neurotoksin ular menyebabkan kerusakan yang
reversibel. Kemampuan tatalaksana yang tepat diperlukan untuk mencegah kerusakan organ
tubuh hingga kematian.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Warrel DA. Snake bite. Lancet. 2010;375:77─88.
2. Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003;5(3):92─8.
3. Bhattacharya P, Chakraborty A. Neurotoxic snake bite with respiratory failur. Indian J Crit
Care. 2007;11(3):161─4.
4. Cavazos MEDlO, Garza T, Guajardo-Rodriguez G. Snake bites in pediatric patients, a
current view. Ozdemir O, editor. Mexico: InTech; 2012. 354 p.
5. Chippaux JP. Snake-bites: appraisal of the global situation. Bulletin of the World Health
Organization. 1998;76(5):515─24.
6. McGain F, Limbo A, Williams DJ, Didei G, Winkel KD. Snakebite mortality at Port
Moresby General Hospital, Papua New Guniea, 1992-2001. MJA. 2004;181:687─91.
7. World report on child injury prevention. World Health Organization. 2008.
8. WHO Guidelines for the production control and regulatin of snake antivenom
immunoglobulins. World Health Organization. 2010.
9. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J Med.
2002;347(5):347─56.
10. Weille JRd, Schweitz H, Maes P, Tartar A, Lazdunski M. Calciseptine, a peptide isolated
from black mamba venom, is a specific blocker of the L-type calcium channel. Proc Natl
Acad Sci. 1991;99:2437─40.
11. Nicastro G, Franzoni L, Chiara Cd, Mancin AC, Giglio JR, Spisni A. Solution structure of
crotamine, a Na+ channel affecting toxin from Crotalus durissus terrificus venom. Eur J
Biochem. 2003;270:1969─79.
12. Fry BG, Vidal N, Weerd LVd, Kochva E, Renjifo C. Evolution and diversification of the
Toxicofera reptile venom system. J Proteomics. 2009;72(2):127─36.
13. Vidal N, Hedges B. Higher-level relationships of snakes inferred from four nuclear and
mitochondrial genes. C R Biologies. 2002;325:977─85.
14. Menez A, Boulain JC, Bouet F, Couderc J, Faure G, Rousselet A, et al. On the molecular
mechanisms of neutralization of a cobra neurotoxin by specific antibodies. J Physiol.
1984;79(4):196─206.
15. Gatineau E, Lee CY, Fromageot P, Menez A. Reversal of snake neurotoxin binding to
mammalian acetylcholine receptor by specific antiserum. Eur J Biochem. 1988;171:535─9.
16. Watt G, Theakston RDG, Haves CG, Yambao ML, Sangalang R, Ranoa CP, et al. Positive
response to edrophonium in patients with neurotoxic envenoming by cobras (Naja naja
philippinensis). N Engl J Med. 1986;315(1444─8).
17. Warrell DA, Looareesuwan S, White NJ, Theakston RDG, Warrell MJ, Kosakarn W, et al.
severe neurotoxic envenoming by the malayan krait bungarus candidus (Linnaeus): response
to antivenom and anticholinesterase. B M J. 286;286:678─80.
18. Guidelines for the management of snake-bites. World Health Organization. 2010.
19. Kaminski HJ, Maas E, Spiegel P, Ruff RL. Why are eye muscles frequently involved in
miasthenia gravis? Neurology. 1990;40(11):1663─9.

14
20. Ferraro E, Molinari F, Berghella L. Molecular control of neuromuscular junction
development. J Cachexia Sarcopenia Muscle. 2012;3(13─23).
21. Biofarma. Antisera.(Tersedia dari: www.biofarma.co.id)
22. Winkel KD, McGain F, Nimorakotakis B, Williams D. The Anticholinesterase. Clinical
management of snakebite in Papua New Guinea. p. 121─4.

15

Anda mungkin juga menyukai