Anda di halaman 1dari 97

UNIVERSITAS INDONESIA

RISIKO BENCANA LETUSAN GUNUNG GEDE DI


KECAMATAN CIPANAS

SKRIPSI

TRI YOGATAMA

0806328796

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN GEOGRAFI

DEPOK

2012

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

RISIKO BENCANA LETUSAN GUNUNG GEDE DI


KECAMATAN CIPANAS

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

TRI YOGATAMA

0806328796

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN GEOGRAFI

DEPOK

2012

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


ii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


iii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat dan karunia yang
dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “ Risiko Bencana
Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas” ini telah berhasil diselesaikan.
Penulisan tugas akhir dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Sains Ilmiah Departemen Geografi , Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan dari berbagai pihak maka penulis sangat sulit untuk menyelesaikan tugas
akhir ini. Setiap bagian dari skripsi ini tidak terlepas dari inspirasi dan bantuan
dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal ini, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko , M.S dan Drs. Supriatna , M.T selaku dosen
pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;

2. Dr. Djoko Hamantyo , M.S selaku ketua sidang serta Drs. Sobirin , M.Si
dan Drs. F.TH.R. Sitanala , M.S selaku dewan penguji yang selalu
memberikan koreksi dan masukan kepada penulis , sehingga penulis dapat
memberikan tulisan yang lebih baik lagi serta mampu meneguhkan nilai-
nilai yang tertuang dalam tulisan ini;

3. Sumber inspirasi hidup sepanjang masa yaitu kedua orang tua (Ibu dan
Almarhum Bapak) yang telah memberikan doa, nasihat, dukungan moril
maupun materiil serta motivasi dan arah hidup saat penulis berada dititik
terendah hidupnya. Semoga dengan selesainya tulisan ini penulis mampu
membuat bahagia dan bangga kedua orang tua;

4. Kedua kakak tercinta Mbak Niken dan Mas Daru yang telah mendoakan
penulis untuk menjadi manusia yang sukses beserta dua keponakan Mas
Altaf dan Dede Icha yang tiada hentinya mengisi keseharian penulis
dengan kebahagian;

5. Seluruh civitas akademika Departemen Geografi FMIPA UI termasuk


seluruh dosen yang telah membimbing penulis dalam memberikan ilmu
dan pengajaran yang baik;

6. Seluruh teman-teman angkatan Geografi 2008 yang menjadi teman


seperjuangan dalan menempuh perkuliahan. Seluruh rekan band Trevertine
yang telah mengganti jadwal kuliah menjadi jadwal nge-band. Rekan -
rekan seperjuangan dari kaum sayap kiri yang menjadikan perkuliahan
tidak membosankan dengan humor – humor dan kegiatan – kegiatan tidak
pentingnya, penulis bangga bisa menjadi bagian dari kalian;

iv

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


7. Seluruh alumni dan senior serta teman – teman bergabung dalam tim
BNPB selama kurang lebih enam bulan yang telah mengisi akhir – akhir
perkuliahan yang memberikan manfaat besar bagi penulis;

8. Seluruh teman – teman Geografi angkatan 2006, 2007, 2009, 2010 dan
para alumni yang telah mengisi masa perkuliahan penulis di kampus serta
mendukung dan mendoakan penyusunan skripsi;

Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis
sebutkan, semoga Allah SWT membalas jasa semuanya. Penulis menyadari
bahwa skripsi masih terdapat banyak kekurangan dan semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Terima kasih.

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


vi

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Tri Yogatama


Program Studi : Geografi
Judul : Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas

Penelitian ini membahas tentang tingkat kerentanan letusan Gunung Gede


pada daerah sekitar Gunung Gede dan juga tingkat risiko bencana letusan Gunung
Gede di Kecamatan Cipanas dengan menghitung pengaruh faktor bahaya,
kerentanan dan kapasitas. Untuk menghasilkan kelompok desa rentan yang
memiliki kemiripan data digunakan metode K-Means Cluster. Terdapat 44
desa/kelurahan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi yang berada di
wilayah bahaya letusan Gunung Gede. Desa yang memiliki tingkat kerentanan
tinggi memiliki karateristik lokasi berbatasan langsung dengan lokasi puncak
Gunung Gede sehingga faktor bahaya menjadi faktor utama tingginya tingkat
kerentanan disuatu desa, karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten
CIanjur. Kerentanan tinggi juga ditemukan pada daerah – daerah yang tidak
berbatasan langsung dengan lokasi Gunung Gede namun memiliki tingkat
kerentanan tinggi dikarenakan faktor kerentanan sosial,ekonomi dan fisik yang
lebih tinggi dibandingkan desa lain, karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di
Kabupaten Sukabumi yang berbatasan langsung dengan Kota Sukabumi. Nilai
perkiraan kerugian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
diperkirakan sebesar Rp 251,29 MilIar. Risiko letusan gunung gede dengan kelas
risiko tinggi memiliki karateristik kerugian yang tinggi akibat bahaya letusan dan
memiliki tingkat kerentanan tinggi. Desa dengan risiko rendah memiliki
karateristik sebagian besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga
memiliki kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain.

Kata Kunci : Risiko, Kerentanan, Bahaya, Gunung Gede, K-Means Cluster

vii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


ABSTRACT

Name : Tri Yogatama


Courses : Geography
Title : Disaster of Risk Eruption of Mt.Gede in Cipanas District

This study discusses the vulnerability of the eruption of Mount Gede in the
area around Mount Gede and also the level of risk of the eruption of Mount Gede
in District Cipanas with calculate the influence of factors hazards, vulnerabilities
and capacities. The generate of susceptible vilages that have similar data using K-
Means Cluster. There are 44 villages in Cianjur and Sukabumi district who are in
the danger zone eruption of Mount Gede. Villages that have a high of
vulnerability has a characteristic location immediately adjacent to the location of
the summit of Mount Gede, so the main danger factor to the high level of
vulnerability factors sector in the village, this characteristic is owned by the
village - the village in Cianjur. And also high vulnerability was found in the area -
areas not directly adjacent to the location of Mount Gede, but has a high degree of
vulnerability due to the vulnerability factors of social, economic and physical
higher than other villages, this characteristic is owned by the village - the village
in Sukabumi district directly adjacent to the Sukabumi City. Estimated value
losses due to the eruption of Mount Gede in Cipanas district is estimated at Rp
251.29 billion. The risk of big volcanic eruptions with a high risk class has a
characteristic high losses due to the danger of the eruption and has a high of
vulnerability. Villages with a low risk of having most of the characteristics
variables have a value below the average and also has a higher capacity than the
other villages.

Keywords: Risk, Vulnerability, Hazard, Mt.Gede, K-Means Cluster

viii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSYARATAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Batasan Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


2.1 Letusan Gunung Api 5
2.2 Gunung Gede 6
2.3 Bencana 8
2.4 Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas 9
2.4.1 Bahaya 9
2.4.2 Bahaya Letusan Gunung Api 10
2.4.3 Kerentanan 12
2.4.4 Kapasitas 14
2.5 Risiko Bencanan 15
2.6 Standarisasi Data 17
2.7 Clustering 18
2.8 K-Means 19
2.9 Penelitian Terdahulu 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21


3.1 Daerah Kajian 21
3.2 Diagram Alur Pikir 21
3.3 Variabel Penelitian 22
3.4 Pengolahan Data 24
3.4.1 Pengolahan Data Bahaya 24
3.4.2 Pengolahan Data Kerentanan 24

ix

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


3.4.3 Pengolahan Data Risiko 24
3.5 Analisis Data 26

BAB IV GAMBARAN UMUM 27


4.1 Kabupaten Cianjur 27
4.2 Kabupaten Sukabumi 29
4.3 Gunung Gede 32
4.4 Bahaya Letusan Gunung Gede 33
4.5 Kecamatan Cipanas 36
4.5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Kecamatan Cipanas 36
4.5.2 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas 38
4.5.3 Infrastruktur Kecamatan Cipanas 40

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 43


5.1 Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi 43
5.2 Kerentanan Kecamatan Cipanas 50
5.2.1 Kerentanan Sosial 52
5.2.2 Kerentanan Fisik 54
5.2.3 Kerentanan Ekonomi 57
5.3 Pengolahan Kerentanan Cipanas 58
5.3.1 Pengolahan Kerentanan Sosial
dan Kerentanan Fisik 58
5.3.2 Pengolahan Kerentaan Ekonomi 61
5.3.3 Tingkat Kerentanan Cipanas 65
5.4 Kapasitas 68
5.5 Risiko Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas 72
5.5.1 Kerugian di Sektor Permukiman 76
5.5.2 Kerugian di Sektor Infrastruktur 77
5.5.3 Kerugian di Sektor Pertanian 79

BAB VI KESIMPULAN 81

DAFTAR PUSTAKA 82

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede (PVMBG) 12


Gambar 2.2 Kerangka Konsep Risiko Bencana Davidson 16
Gambar 3.1 Diagram Alur Pikir 22
Gambar 3.2 Alur Kerja 25
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi 31
Gambar 4.2 Peta Lereng di Wilayah Sekitar Gunung Gede 34
Gambar 4.3 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede 35
Gambar 4.4 Peta Administrasi Kecamatan Cipanas 37
Gambar 4.5 Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas 39
Gambar 4.6 Peta Infrastruktur Kecamantan Cipanas 42
Gamabr 5.1 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede 49
Gambar 5.2 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede Kecamatan Cipanas 50
Gambar 5.3 Grafik Persentase Luas Bahaya
Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas 51
Gambar 5.4 Peta Kerentanan Sosial dan Fisik Letusan
Gunung Gede di Kecamatan Cipanas 60
Gambar 5.5 Peta Kerentanan Ekonomi Letusan Gunung Gede
di Kecamatan Cipanas 64
Gambar 5.6 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede
di Kecamatan Cipanas 67
Gambar 5.7 Peta Kapasitas Letusan Gunung Gede
di Kecamatan Cipanas 71
Gambar 5.8 Peta Tingkat Risiko Letusan Guung Gede
di Kecamatan Cipanas 75
Gambar 5.9 Persentase Kerugian di Sektor Permukiman 77
Gambar 5.10 Peta Infrastruktur di Wilayah Bahaya Awan Panas 78
Gambar 5.11 Grafik Potensi Kerugian di Sektor Pertanian 80

xi

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Variabel Penelitian 23


Tabel 4.1 Penduduk Kabupaten Cianjur 28
Tabel 4.2 Penduduk Kabupaten Sukabumi 30
Tabe 4.3 Penduduk Kecamatan Sekitar Gunung Gede 36
Tabel 4.4 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas 38
Tabel 4.5 Jumlah Sekolah di Kecamatan Cipanas 40
Tabel 4.6 Jumlah Tempat Ibadah di Kecamatan Cipanas 41
Tabel 5.1 Desa – desa di Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi Yang Berada di Wilayah Bahaya 42
Tabel 5.2 Kluster Akhir Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi 45
Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Anggota Tiap Kluster 46
Tabel 5.4 Klusifikasi Tngkat Kerentanan di Kabupaten Ciannjur
dan Kabupaten Sukabumi 47
Tabel 5.5 Tingkat Kerentanan Desa – Desa di Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Sukabumi. 48
Tabel 5.6 Luas Wilayah Tiap Desa di Kecamatan Cipanas 51
Tabel 5.7 Demografi Kecamatan Cipanas 52
Tabel 5.8 Penduduk Cacat di Kecamatan Cipanas 53
Tabel 5.9 Kepadatan Permukiman di Kecamatan Cipanas 54
Tabel 5.10 Jumlah Rumah di Kecamatan Cipanas di Wilayah Bahaya 55
Tabel 5.11 Fasilitas Umum di Kecamatan Cipanas 56
Tabel 5.12 Industri di Kecamatan Cipanas 56
Tabel 5.13 Pertanian di Kecamatan Cipanas 57
Tabel 5.14 Kluster Akhir Kerentanan Sosial dan Fisik 58
Tabel 5.15 Kluster Akhir Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas 61
Tabel 5.16 Klasifikasi Kelas Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas 62
Tabel 5.17 Kluster Akhir Kerentanan Letusan Gunung Gede di
Kecamatan Cipanas 65
Tabel 5.18 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Cipanas 68
Tabel 5.19 Tenaga Medis di Kecamatan Cipanas 69

xii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


Tabel 5.20 Kluster Akhir Kapasitas Kecamatan Cipanas 69
Tabel 5.21 Kelas Kapasitas di Kecamatan Cipanas 70
Tabel 5.22 Nilai Kapasitas Kecamatan Cipanas 72
Tabel 5.23 Kluster Akhir Pengolahan Data Risiko Bencana
Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas 73
Tabel 5.24 Kerugian di Sektor Permukiman 77
Tabel 5.25 Kerugian di Sektor Infrastruktur 78
Tabel 5.26 Kerugian di Sektor Pertanian 79

xiii

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki sejarah kejadian bencana alam yang cukup banyak,
diantaranya adalah tsunami, gempa bumi, kekeringan, banjir, letusan gunung api
dan sebagainya. Salah satu penyebab banyaknya potensi kejadian bencana alam di
Indonesia adalah letak Indonesia yang berada di pertemuan lempeng – lempeng
Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Pertemuan lempeng dalam jangka panjang
akan menghimpun energi yang suatu waktu akan lepas dan dapat menghasilkan
bencana. Pertemuan antar lempeng juga menyebabkan Indonesia berada di jalur
“The Ring of Fire” (Cincin Api) yang merupakan jalur rangkaian gunung api
aktif di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya jumlah gunung api di
Indonesia yang berjumlah sekitar 129 gunung dengan beberapa diantaranya
memiliki sejarah letusan yang hebat (BNPB, 2010).
Letusan gunung api merupakan peristiwa keluarnya magma dari dalam
perut bumi melalui puncak gunung api dengan kekuatan besar sehingga
mengeluarkan lava pijar dan batuan/debu vulkanik. Dalam beberapa tahun
belakangan ini bencana letusan gunung api menjadi topik yang sedang hangat, hal
ini dikarenakan terjadinya bencana letusan Gunung Merapi (Magelang – Sleman)
pada tahun 2006 dan 2010 yang diikuti oleh peningkatan aktifitas dibeberapa
gunung di Pulau Jawa serta yang terakhir terjadi letusan gunung api di Gunung
Gamalama (Maluku Utara) di tahun 2011.
Meningkatnya aktifitas vulkanisme saat ini menyebabkan masih terdapat
kemungkinan terjadi potensi bencana letusan gunung api di beberapa daerah di
Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah melakukan pengawasan pada beberapa
gunung api diantaranya dengan cara melakukan kerja sama dengan PVMBG
(Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) serta pembuatan posko –
posko yang bertugas mencatat secara berkala aktifitas gunung- gunung api yang
ada. Pengawasan juga dilakukan terhadap gunung - gunung api yang memiliki
catatan letusan hebat namum saat ini sedang dalam keadaan stabil, gunung –
gunung tersebut memiliki julukan sebagai raksasa tertidur. Salah satu raksasa
tertidur yang terkenal di Jawa Barat dalah Gunung Gede yang juga menjadi salah
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


2

satu dari 7 gunung di Jawa Barat yang diawasi ketat oleh PVMBG karena telah
melewati siklus normal letusan (Zakaria; 2008).
Gunung Gede (2958 m) terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango.
Dokumentasi pertama mengenai letusan Gunung Gede terjadi pada tahun 1747-
1748 dan terakhir melakukan aktivitas letusan gunung api pada tanggal 13 Maret
di tahun 1957, letusan disertai suara gemuruh dengan tinggi awan letusan kurang
lebih 3 km diatas kawah (Hadikusumo, 1957 dikutip oleh Zufiadi Zakaria). Dari
data historis kejadian letusan, Gunung Gede memiliki siklus letusan terpendek
selama setahun, siklus normal 40 tahun dan siklus panjang 70 tahun (PVMBG).
Untuk mengurangi dampak dari bencana yang belum dan berpotensi untuk
terjadi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berusaha melakukan usaha
perventif (pencegahan). Usaha preventif terhadap bencana merupakan bagian awal
dari siklus penaggulangan bencana serta sebagai sebuah bentuk pelaksanaan dan
aplikasi terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 yang membahas tentang
kebencanaan. Diharapkan dengan melakuksan usaha preventif mampu
memprediksi serta mengurangi kerugian yang disebabkan oleh suatu bencana.
Pada dasarnya bencana merupakan perpaduan dua elemen yaitu bahaya
dan kerentanan. Dengan kedua elemen tersebut dapat diketahui risiko yang
dimiliki suatu daerah yang diakibatkan oleh suatu bencana. Analisis risiko
tersebut merupakan analisis yang didasarkan pada analisis ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam menangani bencana.
Selanjutnya analisis ini akan memberikan gambaran atas kemungkinan terjadinya
bencana pada beberapa tahun yang akan datang. Pembuatan peta bahaya,
kerentanan dan risiko bencana merupakan salah satu langkah untuk melakukan
kegiatan pencegahan bencana.
Penelitian risiko ini dilakukan untuk melihat bagaimana tingkat kerugian
atau kerusakan apabila bencana letusan gunung api terjadi pada Gunung Gede,
khususnya untuk Kecamatan Cipanas. Kecamatan Cipanas menjadi fokus dalam
pemelitian dikarenakan sebagian besar daerah termasuk kedalam wilayah rawan
bencana (KRB) namun terjadi peningkatan aktivitas manusia yang cukup pesat
dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Cianjur, hal ini dibuktikan dengan

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


3

banyak dibangunnya vila - vila dikaki Gunung Gede. Penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif menggunakan metode cluster K-menas yang bertujuan agar
tingkat kerentanan dan risiko dihasilkan berdasarkan sebaran data yang dimiliki
desa-desa yang berada diwilayah kajian. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
“Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas” yang
diharapkan nantinya hasil ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
perencanaan wilayah di masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sebaran tingkat kerentanan dan persebaran wilayah – wilayah
yang berpotensi terkena bahaya letusan Gunung Gede di Kabupaten
Cianjur dan Sukabumi?
2. Bagaimana tingkat risiko bencana di Kecamatan Cipanas akibat letusan
Gunung Gede?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memetakan wilayah kerentanan akibat letusan Gunung Gede dengan


melihat pengaruh faktor sosial ekonomi dan fisik dari tiap desa yang
berada di wilayah bahaya.
2. Memetakan dan melakukan perhitungan pengaruh aspek bahaya,
kerentanan dan kapasitas untuk menghasilkan tingkat risiko bencana dari
letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas.

1.4 Batas Penelitian


a. Bencana adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


4

b. Gunung api merupakan tempat keluarnya magma yang mempunya


kenampakann di permukaan bumi sebagai suatu tonjoloan berbentuk
kerucut, deretaan krucut atau hanya berupa lubang letusan dan atau kawah.
c. Letusan gunung api keluarnya magma kepermukaan baik berupa lelehan
pijar (lava), bahan – bahan gas (exhalasi) maupun bahan padat atau
setengah padat yang dilempar ke udara (piroklastik).
d. Risiko bencana adalah adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat
juga berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.
e. Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi
mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan
lingkungan.
f. Bahaya letusan gunung api adalah fenomena yang mengancam kehidupan
manusia yang disebabkan meletusnya suatu gunung api. Bahaya yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bahaya awan panas dan abu
vulkanik.
g. Bahaya yang digunakan bersumber dari peta KRB Gunung Gede yang
dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG)
h. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bahaya . Dalam penelitian ini, kerentanan akan dilihat dari tiga
aspek yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial dan kerentanan ekonomi.
i. Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan
kondisi bencana.
j. Kapasitas sumber daya adalah kapasitas yang meliputi aspek pendanaan,
peralatan atau fasilitas dari sumberdaya manusia terlatih dan terdidik.
k. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah desa (desa).

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Letusan Gunung Api

Gunung api adalah tempat keluarnya magma yang mempunyai


kenampakan di permukaan bumi sebagai suatu bagian puncak gunung berbentuk
kerucut, deretan kerucut atau hanya berupa lubang letusan dan atau kawah. Tubuh
gunung api tersusun dari endapan hasil letusannya berupa batuan – batuan
vulkanik yang terdiri dari lava, piroklastik, abu gunung api dan rempah – rempah
lainnya yang terakumulasi ribuan tahun yang lampau.
Aktivitas gunung api dapat menimbulkan bencana bagi manusia yaitu pada
saat terjadinya Vulkanisme. Vulkanisme (letusan gunung api) adalah keluarnya
magma kepermukaan baik berupa lelehan pijar (lava), bahan – bahan gas
(exhalasi) maupun bahan padat atau setengah padat yang dilempar ke udara
(piroklastik).
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah
membagi suatu klasifikasi prioritas terutama untuk pemantauan dan
pengamatannya. Klasifikasi ini didasarkan kepada tingkat kegiatannya yang
diketahui menjadi tiga tipe, yaitu:

 Tipe A :Gunung api yang meletus atau menunjukan kegiatannya sejak


tahun 1600 yang saat ini berjumlah sebanyak 79 buah. Untuk tipe A ini
dipantau secara terus menerus kegiatannya dari pos Pengamatan Gunung
api
 Tipe B : Gunung api yang pernah meletus, tetapi sejak tahun 1600 tidak
pernah menunjukan peningkatan kegiatannya dan saat ini berjumlah 29
buah.
 Tipe C : Gunung api yang dianggap sudah padam atau istirahat lama. Pada
daerah ini hanya terdapat jejak gunung api berupa solfatara, fumarola.
Berjumlah sebanyak 21 buah.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


6

2.2 Gunung Gede

Gunung Gede (2958 m) merupakan salah satu gunung api aktif tipe A di
Jawa Barat, terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi yang
secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango. Dokumentasi pertama
mengenai letusan Gunung Gede terjadi pada tahun 1747-1748 dan terakhir
melakukan aktivitas letusan gunung api pada tanggal 13 Maret di tahun 1957,
letusan disertai suara gemuruh dengan tinggi awan letusan kurang lebih 3 km
diatas kawah (Hadikusumo, 1957). Dari data historis kejadian letusan, Gunung
Gede memiliki siklus letusan terpendek selama setahun, siklus normal 40 tahun
dan siklus panjang 70 tahun, berikut data historis kejadian letusan Gunung Gede
(Peta KRB Gunung Gede);

a. 1747 dan 1748 : Erupsi hebat yang menghancurkan tubuh gunung api
b. 1761 : Menurut Junghun terjadi letusan yang hanya menghasilkan abu
c. 29 Agustus 1832 : Setelah 71 tahun istirahat terjadi erupsi, kolom erupsi
sangat tinggi terlihat dari Bogor. Pada jam 11 dan 12 terjadi hujan abu
lebat. Tiupan angin ke arah barat. Di Jakarta abu diendapkan tipis.
d. 1840 : Kegiatan Gunung Gede meningkat setelah 8 tahun istirahat
(Haskarl dan Junghun 1854). 12 November jam 03.00 malam terjadi erupsi
hebat dengan gempa bumi hebat dan suara gemuruh, terlihat semburan api
setinggi 50 m di atas kawah, terjadi lontaran bom vulkanik dengan kolom
erupsi tinggi, arah tiupan angin ke arah Bogor sehingga terjadi hujan abu
di kota tersebut. Pada 14 Nopember hujan abu tertuip angin hingga 20 km.
Pada 22 November terjadi gempa tremor dengan kolom erupsi
membumbung disertai lontaran batu dan keesokan harinya daerah puncak
nampak seperti terbakar.
e. 1 Desember 1840 : Pada jam 06.00 terjadi erupsi paroksisma dengan
suara gemuruh, kolom api setinggi 200m diatas tepi kawah dan kolom
erupsi setinggi 2000m diatas puncak gunung. Pada 3 Desember jam 18.00
dan 11 Desember jam 14.00 terjadi erupsi yang sama diakhiri dengan
hujan abu.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


7

f. 1843 : Setelah istirahat selama 3 tahun terjadi erupsi lagi menghasilkan


hujan abu tipts pada 28 Juli 23.30. Junghun (1843) melaporkan adanya
tiang asap atau abu yang membara, dan abu jatuh didaerah Cianjur dan
Cicurug.
g. 23 Januari 1845 : Pada jam 10.30 terjadi erupsi, kolom asap dan abu
disertai suara gemuruh berlangsung hingga jam 15.00
h. 5 Maret 1845: Terjadi erupsi serupa jam 22.30 dengan gempa tremor
terasa di Cianjur dan Bogor
i. 17 dan 18 Oktober 1847: Terjadi erupsi, abu tipis jatuh di Bogor. 17
Oktober terjadi tremor dan 18 Oktober terlihat kolom asap tebal hitam di
atas puncak Gunung Gede.
j. 6 Mei 1848: Erupsi abu dengan kolom erupsi tebal
k. 28 Mei 1852: Pagi hari terjadi erupsi abu dengan tiang asap dan
melontarkan fregman lava diameter 5-30 cm.
l. 14 Maret 1853: Jam 7-9 pagi terjadi letusan asap tinggi
m. 18 September 1866: Hujan abu
n. 29-30 Agustus 1869: Erupsi dengan kolom erupsi sangat tebal dan tampak
bara api
o. 3 Oktober 1870: Jam 09.45 terdengar ledakan kuat kemudian tenang
kembali
p. Januari dan Februari 1885: Terjadi erupsi
q. 1 -14 Mei 1900: Erupsi, sinar api
r. 2 Mei 1909: Letusan abu, suara gemuruh, menurut Taverne (1926) hujan
abu tipis selama 2 hari. Menurut N.van Padang (1952) merupakan erupsi
normal. Menurut Petrochevsky (1948) dikawah terdapat perluasan
lapangan fumarola yang menyebabkan tumbuhan di sekitarnya mati.
s. 19 – 26 Desember 1946: Letusan asap di kawah ratu
t. 2 September 1947: Hujan abu tipis, jam 09.00 – 09.30 terjadi awan letusan
setinggi 600m, berlangsung sampai 20 November jam 01.00, dan 15
November jam 01.25 dan 12.15. 28 Nopember jam 11.25 dan 30
Nopember jam 21.27 terjadi letusan dengan interval 2-3 menit.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


8

u. 8 Januari 1938: Jam 00.02 terjadi letusan selama 3 menit, semburan pasir
dan lapili. Selama Januari tejadi 5 kali letusan, yaitu 11 Januari jam 21.50
selama 20 detik, 17 Januari jam 15.45 terjadi letusan pendek,, 22 Januari
jam 0.45 dan 01.00 letusan pendek, 25 Januar jam 07.30 dan 07.32 terjadi
letusan 3 menit (Berlage 1948). Pada 28 Januari 1948 jam 04.23 terjadi
letusan. Nopember terjadi 5 kali letusan: 15 Nopember 06.45 letusan abu;
20 Nopember 03.45 letusan; 23 Nopember 07.00 terjadi 3 kali letusa
dengan ketinggian kolom letusan 2500m (Adnawidjaya,1948)
v. 17 Januari 1949: Letusan kecil di Kawah pusat (N.M van Padang, 1951)
w. 2 Agustus 1955: Menurut Djatikusumo (1955) jam 02.00 letusan asap
teval 300-400m diatas kawah
x. 29 April 1956: Jam 07.00 Kolom asap hitam tebal disertai sinar selama 30
menit (Hadikusumo,1957)
y. 1957: Pada 13 Maret 19.16 terjadi letusan disertai suara gemuruh, dengan
tinggi kolom erupsi 3000m diatas kawah.

2.3 Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. (UU No. 24 Tahun 2007)

Bencana menurut Gustavo Wilches (1992) diartikan sebagai gangguan


yang menyebabkan kerugian – kerugian yang besar terhadap lingkungan, material
dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana
untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber – sumber daya
masyarakt itu sendiri.
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


9

Menurut Awotana (1997) menyatakan bencana alam merupakan interaksi


antara bahaya alam dan kondisi rentan (sosio-ekonomi, budaya dan politik) yang
selalu diakibatkan oleh perbuatan manusia. Jadi perbedaan antara bencana alam
dan bencana yang dibuat oleh manusia menjadi kabur. Beberapa akibat yang
tragis dari bencana alam berasal dari penyalahgunaan manusia dalam
memanfaatkan sumber – sumber alam karena tindakan yang tidak tepat dan kuran
memperhatikan untuk masa yang akan datang.

2.4 Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas

2.4.1 Bahaya
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi
mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.
Menurut Awotana (1997) menyatakan bahaya alam adalah bagian dari lingkungan
kita dimana dapat terjadi kapan saja. Gempa Bumi, banjir, letusan gunung api dan
perubahan cuaca yang hebat, sebagaimana kejadian – kejadian alam yang hebat
lainnya dapat menimbulkan bencana alam apabila berinterkasi dengan kondisi
yang rentan.
Bahaya alam (natural hazard) pada dasarnya adalah suatu gejala alami
yang menuju ke arah keseimbangan yang belum tentu dapat menimbulkan
bencana alam (natural disaster). Bahaya alam akan menjadi bencana alam apabila
terjadi pada suatu daerah yang berada dalam kondisi rentan (vulnerable) terhadap
bahaya alam. Kerentanan bukanlah bersifat alamiah akan tetapi lebih disebabkan
oleh sistem kehidupan manusia.
Verstappen (1983) membedakan menjadi tiga kategori penyebab bahaya
alam, yaitu ;

a. Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses eksogen yang mencakup banjir,
kekeringan dan gerakan masa batuan
b. Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses endogen, mencakup akibat
aktivitas gunung api dan gempa bumi.
c. Bahaya alam akibat proses antropogenik, misalnya subsidance akibat
pengambilan air tanah yang berlebihan.
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


10

2.4.2 Bahaya Letusan Gunung api


Noor dalam bukunya Geologi Lingkungan menjelaskan bahaya letusan
gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan/kegiatan gunung api,
berupa benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam
atau cenderung merusak dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta
benda. Jenis bahaya gunung api diantaranya adalah :

a. Awan panas : kecepatan sekitar 60-145 km/jam, suhu tinggi sekitar 200 –
800 drajat celcius, jarak dapat mencapai 10 km atau lebih dari pusat
erupsi, sehingga dapat menghancurkan bangunan. Arah pergerakannya
mengikuti lembah.
b. Guguran longsoran lava: sumber berasal dari kubah lava, longsoran kubah
lava dapat mecapai jutaan meter kubik sehingga dapat menimbulkan
bahaya.
c. Lontaran batuan pijar : pecahan batuan gunung api, berupa bom atau
bongkahan batu gunung api yang dapat dilontarkan saat gunug api
meletus. Dapat mengarah kesegala arah.
d. Hujan abu: hujan material jatuhan yang terdiri dari material lepas
berukuran lempung sampai pasir. Dapat menyebabkan kerusakan hutan
dan lahan pertanian.
e. Aliran lava : Suhu tinggi sekitar 700 – 1200 drajat celcius, volume lava
yang besar, berat sehingga aliran lava mempunyai daya perusak yang
besar, dapat menghancurkan dan membakar apa yang dilandanya.
f. Lahar : kecepatan aliran lava sangat lamban antara 5-300 meter/hari,
secepata tergantung dari viskositas dan kemiringan lereng. Manusia
dapat menghindari untuk menyelamatkan diri. Lahar yang dibawa oleh
hujan biasa dikenal sebagai lahar dingin atau lahar sekuder.

Peta rawan bencana gunung api (Peta Daerah Bahaya Gunung api)
dinyatakan dalam urutan – urutan angka dari tingkat kerawanan rendah ke tingkat
kerawanan tinggi, yaitu: Wilayah Rawan Bencana I, Wilayah Rawan Bencana II
dan Wilayah Rawan Bencana III. (PVMBG dalam Peta KRB Gunung Gede)

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


11

Wilayah Rawan Bencana I adalah wilayah yang berpotensi terlanda


lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas
dan aliran lava. Selama letusan membesar, wilayah ini berpotensi tertimpa
material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu (pijar). Wilayah ini
dibedakan menjadi dua, yaitu :

• Wilayah rawan bencana terhadap aliran masa berupa lahar/banjir, dan


kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Wilayah ini terletak di
sepanjang sungai/dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu
di daerah puncak
• Wilayah rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa
memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran
batu (pijar). Pada wilayah ini, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan
jika terjadi erupsi/kegiatan gunung api dan turun hujan lebat.

Wilayah Rawan Bencana II adalah wilayah yang berpotensi terlanda awan


panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan
lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun, umumnya menempati lereng dan
kaki gunung api. Wilayah ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

• Wilayah rawan bencana terhadap aliran masa berupa awan panas, aliran lava,
guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
• Wilayah rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan sepereti
lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, dan hujan lumpur (panas). Pada wilayah
ini, masyarakat diharuskan mengungsi jika terjadi peningkatan kegiatan
gunung api, sampai daerah ini dinyatakan aman kembali.

Wilayah Rawan Bencana III adalah wilayah yang sering terlanda awan
panas, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan gas beracun. Wilayah ini hanya
diperuntukkan bagi gunung api yang sangat giat atau sering meletus. Pada wilayah
ini tidak diperkenankan untuk hunian atau aktifitas apapun.
Jenis bahaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah awan panas dan
radius abu vulkanik akibat letusan Gunung Gede. Penentuan diameter radius awan
panas didasarkan ketetntuan yang telah dibuat oleh PVMBG dalam peta KRB.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


12

Gambar 2.1 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede (PVMBG)

2.4.3 Kerentanan

Menurut International Strategi for Disaster Reduction/ISDR dalam


Diposaptono (2007), kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh
faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan atau proses-proses yang
meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak bencana. Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(BAKORNAS PB) tahun 2002 dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana
Perkotaan di Indonesia menyatakan tingkat kerentanan adalah suatu hal penting
untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
bencana, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada ‘kondisi
yang rentan’, bahwa tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik
(infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


13

Menurut Cutter (1996), kerentanan secara luas didefinisikan sebagai


“potensi kerugian”. Cutter menemukan tiga tema yang berbeda dalam penelitian
kerentanan (1996).

a. Kerentanan karena resiko bahaya: penelitian ini berkonsentrasi pada


distribusi dan beberapa kondisi bahaya pada manusia hunian seperti suatu
daerah dan pada derajat kerugian yang terkait dengan peristiwa berbahaya.
Kerentanan adalah kondisi yang sudah ada sebelumnya.
b. Kerentanan sebagai respon sosial: penelitian ini berkonsentrasi pada
respon dan mengatasi kapasitas, termasuk ketahanan masyarakat dan
ketahanan terhadap bahaya serta pemulihan dari aktivitas berbahaya.
Pendekatan ini menyoroti konstruksi sosial kerentanan.
c. Kerentanan tempat : kerentanan tempat adalah kombinasi dari berbagai
paparan bahaya dan kerentanan sosial dalam geografis daerah tertentu.

Canon (2002) berpendapat bahwa kerentanan adalah sifat individual atau


kelompok dari masyarakat yang mendiami suatu lingkungan alami, sosial dan
ekonomi tertentu, yang dibedakan menurut keadaan yang berbeda dalam
masyarakat. Kerentanan tersebut dibagi dalam 3 aspek,yaitu ;

1. Drajat kekenyalan (degree of resilience) sistem mata pencaharian tertentu


dari individu atau kelompok dan kapasitas untuk bertahan dari dampak
bahaya.
2. Komponen “kesehatan” adalah kemampuan untuk pemulihan dari cedera
dan kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya.
3. Drajat kesiapan/preparedness (warning system).

Berdasarkan Seminar Nasional “Pengembangan Wilayah Merapi’


dikatakan kerentanan merupakan kemampuan dan kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Kerentanan dibagi dalam 4 jenis, yaitu;

1. Kerentanan fisik
Kerentanan fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard)
tertentu. Berbagai indikator yang merupakan sumber kerentanan fisik
adalah sebagai berikut : persentase wilayah terbangun, kepadatan
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


14

bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik,


rasio panjang jalan,jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan
kereta api.
2. Kerentanan ekonomi
Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau
rusaknya kegiatan ekonomi yang terjadi apabila terjadi ancaman
bahaya. Indikator yang dapat menunjukan kerentanan ekonomia adalah
persentase rumah tangga disektor informal dan persentase orang
miskin.
3. Kerentanan sosial
Kerentanan sosial menunjukan perkiraan tingkat kerentanan terhadap
keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa
indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk,
persentase usia tua-balita dan penduduk wanita.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan lingkungan menggambarkan kondisi kelestarian alam
suatu wilayah yang rawan bencana.

2.4.4 Kapasitas

Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan


kondisi bencana. Berupa kesiapan kebijakan penanggulangan bencana dan
pendidikan dan pelatihan yang telah disampaikan kepada masyarakat. Untuk
kapasitas ini terdapat 3 faktor penting :

 Individu : Kapasitas individu secara diukur secara populasi dari jumlah


individu yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan dalam bidang
pelatihan untuk program penanggulagan rawan bencana.
 Masyarakat : Kapasitas masyarakat diukur dari adanya peran aktif
masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan pengendalian
program penanggulangan rawan bencana. Masyarakat yang berperan aktif
dapat melalui lembaga perantara pemerintah – masyarat.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


15

 Kelembagaan : Kapasitas kelembagaan ditandai adanya kebijakan daerah


yang memfasilitasi penyusunan rencana penanggulangan rawan bencana
yang berkait pada rencana pembangunan daerah. Kemudian adanya
lembaga yang secara kontinu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
terhadap individu maupun masyarakat.

Dalam studi Firmansyah (1998) berdasarkan modifikasi Davidson (1997)


ketahanan dibagi menjadi dua sub faktor, yaitu :
1. Sumberdaya, meliputi aspek pendanaan, peralatan atau fasilitas dari
sumberdaya manusia terlatih dan terdidik. Indikator dari sumberdaya
adalah sebagai berikut;
 Rasio jumlah fasilitas kesehatan terhadap jumlah penduduk
 Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
2. Kemampuan mobilitas menunjukan kemampuan untuk melakukan
evakuasi bila ada bencana alam untuk mencari tempat yang lebih aman
dan meminta bantuan. Indikator mobilitas adalah:
 Rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk
 Rasio sarana angkutan terhadap jumlah penduduk.

Istilah ‘ketahanan’ dan ‘kerentanan’ adalah dua sisi dari satu mata uang
yang sama, tetapi keduanya adalah istilah yang relatif. Kita harus mengkaji
individu-individu, masyarakat-masyarakat dan sistem-sistem mana yang rentan
atau tahan terhadap bencana, dan sampai sejauh mana. Seperti kerentanan,
ketahanan juga kompleks dan memiliki banyak aspek. Dibutuhkan berbagai segi
atau lapisan ketahanan yang berbeda untuk menangani beragam tekanan yang
berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda pula.

2.5 Risiko Bencana


“Risk is the chance of something happening than will have an impact upon
objectives. It is measured in terms of consequances and likelihood” (AS/NZS
dalam Tim Peneliti, 2001). Risiko adalah kemungkinan suatu peristiwa yang akan
memberi dampak pada tujuan. Tujuan disini adalah tujua proteksi dari bahaya
yang meliputi;

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


16

- Keselamatan jiwa
- Perlindungan harta benda
- Kelangsungan proses kerja
- Keselamatan lingkungan

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana


pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat juga berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan
atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Menurut Davidson dalam penelitian “An Urban Earthquake Disaster Risk
Index” menyebutkan bahwa ada 5 faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam
suatu bencana hal terebut adalah ;

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Risiko Bencana Davidson (1997)

Alberico dkk (2001) menyatakan dampak terhadap lingkungan dari


aktifitas gunung api biasa disebut sebagai risiko letusan gunung api. Risiko ini
didapatan dari hasil :

R = Nilai (Value) x Kerentanan (Vulnerability) x Bahaya (Hazard)


( UNESCO , 1972; Fournier d’Albe, 1979).

Nilai (Value) diartikan sebagai angka dari kehidupan atau nilai harga
barang-barang (properti) pada area risiko gunung api. Sedangkan kerentanan
(Vulnerability) adalah persentase dari kehidupan atau properti yang memiliki
kemungkinan hilang (rusak) sebagai akibat dari letusan gunung api. Bencana

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


17

(hazzard) adalah kemungkinan area yang terkena dampak dari fenomena gunung
api.
Evaluasi dari risiko letusan gunung api cukup kompleks dikarenakan
kemungkinan erupsi gunung api harus di evaluasi berdasarkan sejarah kejadian.
Bahkan saat catatan kejadian bencana letusan gunung api diketahui cukup detail,
sangat sulit untuk memperkirakan model yang sesuai dengan keseluruhan
aktivitas. (Wickman, 1966 ; Carta et al., 1981 dikutip dari Alberico 2001)
Secara umum BNPB dan UNDP memperhitungan risiko menggunakan
rumus;
R = (Bahaya*Kerentanan)/Kapasitas

Untuk melihat nilai risiko dan perhitungan kerugian dan kerusakan, dalam
buku RENAKSI Merapi (2011) dipisahkan menjadi 5 sektor:

 Sektor Permukiman
 Sektor Infrastruktur
 Sektor Ekonomi

2.6 Standarisasi Data (Standar Deviasi)

Standarisasi nilai indikator dengan nilai baku perlu dilakukan agar suatu
variabel dapat digunakan untuk perhitungan matematis dengan indikator yang
lain. Davidson (1997) telah menggunakan model standarisasi untuk menghasilkan
nilai dari suatu indikator dengan rumus

X = Nilai yang sudah di bakukan


Xij = Nilai yang belum dibakukan
Xi = Nilai Rata – rata
Si = Standar deviasi

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


18

2.7 Clustering

Clustering adalah membagi data ke dalam grup‐grup yang mempunyai


obyek yang karakteristiknya sama. Garcia‐Molina et al. menyatakan clustering
adalah mengelompokkan item data ke dalam sejumlah kecil grup sedemikian
sehingga masing masing grup mempunyai sesuatu persamaan yang esensial.
Clustering memegang peranan penting dalam aplikasi data mining, misalnya
eksplorasi data ilmu pengetahuan, pengaksesan informasi dan text mining,
aplikasi basis data spasial, dan analisis web.
Tan menjelaskan dalam “Data Mining Cluster Analysis:Basic Concepts
and Algorithms” bahwa clustering dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
hierarchical and partitional clustering. Partitional Clustering disebutkan sebagai
pembagian obyek‐obyek data ke dalam kelompok yang tidak saling overlap
sehingga setiap data berada tepat di satu cluster. Hierarchical clustering adalah
sekelopok cluster yang bersarang seperti sebuah pohon berjenjang (hirarki).
William dmenjelaskan dalam “Data Minind Cluster” bahwa algoritma clustering
dibagi dalam kelompok besar seperti berikut:
1. Partitioning algorithms: algoritma dalam kelompok ini membentuk
bermacam partisi dan kemudian mengevaluasinya dengan berdasarkan
beberapa kriteria.
2. Hierarchy algorithms: pembentukan dekomposisi hirarki dari sekumpulan
data menggunakan beberapa kriteria.
3. Density‐based: pembentukan cluster berdasarkan pada koneksi dan fungsi
densitas.
4. Grid‐based: pembentukan cluster berdasarkan pada struktur multiple‐level
granularity
5. Model‐based: sebuah model dianggap sebagai hipotesa untuk
masingmasing cluster dan model yang baik dipilih diantara model hipotesa
tersebut.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


19

2.8 K Means

Algoritma K‐Means adalah algoritma clustering yang paling popular dan


banyak digunakan dalam dunia. Algoritma ini disusun atas dasar ide yang
sederhana. Ada awalnya ditentukan berapa cluster yang akan dibentuk. Sebarang
obyek atau elemen pertama dalam cluster dapat dipilih untuk dijadikan sebagai
titik tengah (centroid point) cluster.
Algoritma K‐Means selanjutnya akan melakukan pengulangan
langkah‐langkah berikut sampai terjadi kestabilan (tidak ada obyek yang dapat
dipindahkan):
 menentukan koordinat titik tengah setiap cluster,
 menentukan jarak setiap obyek terhadap koordinat titik tengah,
 mengelompokkan obyek‐obyek tersebut berdasarkan pada jarak
minimumnya

Karateristik algoritme K-menas adalah sebagai berikut (Kantardzic 2003) :


1. Kompleksitas algoritme K-menas adalah O (nkl) dengan n adalah jumlah
data, k adalah jumlah cluster dan l adalah banyaknya iterasi. Umumnya, k
dan l adalah tetap sehingga algoritme ini memiliki kompleksita linear
terhadap ukuran data.
2. Alogorime K-menas merupakan algoritme yang tidak terpengaruh
terhadap urutan data (order – independent).
3. Algoritme K-menas sangat sensitif terhadap noise dan outlinear karena
dapat sangat mempengaruhi nilai mean.
4. Karena kompleksitasnya linear, algoritme K-menas relatif lebih scalabke
dan efisien untuk pemrosesan data dalam jumlah besar (higher-
dimensionality)

Data clustering menggunakan metode K-menas ini secara umum dilakukan


dengan algoritma dasar sebagai berikut: Beberapa distance space telah
diimplementasikan dalam menghitung jarak (distance) antara data dan centroid
termasuk di antaranya L1 (Manhattan/City Block) distan space[9], L2(Euclidean)
distance space[3], dan Lp (Minkowski) distance space[9]. Jarak antara dua titik x1

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


20

dan x2 pada Manhattan/City Block distance space dihitung dengan menggunakan


rumus sebagai berikut(Bezdek dalam Pravitasari, 2009):

Sedangkan untuk L2 (Euclidean) distance space, jarak antara dua titik


dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

2.9 Penelitian Terdahulu


Dalam penelitian Jarot Mulyo Semedi 2005 yang berjudul “Tingkat Risiko
Banjir di DKI Jakarta” dilakukan dengan memperhatikan dua aspek yaitu
membuat pemodelan bahaya dan kerentanan ( R=H*V ) dengan metode overlay
antar variabel. Pemodelan bahaya dihasilkan dari variabel morfologi, geologi,
ketinggian, luas genangan banjir, penggunaan tanah, sedangkan variabel
kerentanan dilihat dari rasio jumlah penduduk dengan kepadatan permukiman.
Chintia Dewi melakukan penelitian yang berjudul “Tingkat Risiko Banjir
Rob di Jakarta Utara” pada tahun 2010. Risiko diperoleh dari hasil pengolahan
data bahaya, kerentanan dan kapasitas dengan menggunakan pembobotan hasil
dari AHP.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


21

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Daerah Kajian

Gunung Gede (2958 m) terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan


Sukabumi yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango dengan
ketinggian 1000 - 2987 m. Dpl. Suhu rata-rata di puncak Gunung Gede 18 °C dan
di malam hari suhu berkisar 5 °C, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun.
Pemilihan Kecamatan Cipanas sebagai daerah kajian dikarenakan
memeliki jumlah permukinan yang cukup padat dibandingkan dengan kecamatan
lain yang ada di Kabupaten Cianjur. Banyaknya permukiman tidak lepas dari
potensi wisata yang dimiliki Gunung Gede, sehingga banyak masyarakat dari
dalam dan dari luar Kecamatan Cipanas membangun vila- vila di kaki Gunung
Gede.

3.2 Diagram Alur Pikir

Analisis risiko merupakan analisis yang didasarkan pada analisis ancaman


(hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam menangani
bencana. Kerentanan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur dipeoleh
dengan melihat wilayah bahaya letusan Gunung Gede dengan melihat kondisi
sosial, fisik dan ekonomi ditiap desa yang berada diwilayah bahaya. Sedangkan
untuk mendapatkan tingkat risiko diperoleh dengan melakukan spsifikasi wilayah
kajian di Kecamatan Cipanas serta pendetailan penggunaan tanah, kemudian
melihat kondisi sosial, fisik dan ekonomi serta kapasitas yang dimiliki
Kecamatan Cipanas. Diagram alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar
3.1.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


22

Gambar 3.1 Diagram Alur Pikir Untuk Menentukan Tingkat Risiko Bencana
Awan panas Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas

3.3 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga kelompok besar
yaitu variabel bahaya, variabel kerentanan dan variabel ketahanan/kapasitas.

a. Variabel Bahaya : Wilayah rawan bencana letusan Gunung Gede.


b. Variabel Kerentanan :
 Sosial = Gender,penduduk cacat dan kepadatan penduduk.
 Fisik = Kepadatan permukiman, jumlah rumah didaerah
bahaya, jumlah industri,fasilitas umum dan
fasilitas kritis.
 Ekonomi = Keluarga tani dan lahan pertanian sawah.
c. Variabel Kapasitas :
 Proporsi jumlah rumah sakit.
 Proporsi tenaga medis.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


23

Tabel 3.1 Variabel Penelitan

Variabel Indikator Nilai Asumsi

Klasifikasi wilayah
Wilayah Rawan Daerah dengan tingkat
rawan bencana
Bencana pengkelasan wilayah rawan
Bahaya disesuaikan dengan
(Sumber : PVMBG bencana yang tinggi, semakin
pengkelasan dari
Tahun 2006) besar tingakat bahaya
(PVMBG)
Gender Persentase Semakin besar nilai persetase
(Sumber : BPS perbandingan penduduk laki - laki dan
Kecamatan/Kabupat penduduk laki - laki perempuan, maka kerentanan
en Tahun 2010) dengan perempuan semakin tinggi
Penduduk Cacat Semakin besar jumlah
Jumlah penduduk
(Sumber : Podes penduduk cacat, maka
Sosial cacat tiap desa
2008) kerentanan semakin tinggi
Kepadatan
Penduduk Perbandingan jumlah Semakin besar nilai kepadatan
(Sumber: BPS penduduk perluas penduduk, maka kerentanan
Kabupaten Tahu wilayah semakin tinggi
2010)
Kepadatan
Permukiman
(Sumber : BPS
Perbandingan jumlah Semakin besar nilai kepadatan
Kabupaten 2010,
rumah dengan luas permukiman, maka kerentanan
Peta RBI
wilayah semakin tinggi
Bakosurtanl 1:25000
Kerentanan
dan Pengolahan
Citra
Industri Semakin banyak jumlah
Fisik Jumlah industri di
(Sumber : Podes industri, maka kerentanan
tiap desa
2008) semakin tinggi.
Fasilitas Umum
Jumlah fasilitas Semakin banyak jumlah
(Survey Lapang, dan
umum yang terdapat fasilitas umum, maka
peta Bakosurtanal
di daerah kajian kerentanan semakin tinggi
skala 1:25000)
Jumlah fasilitas kritis Semakin banyak jumlah
Fasilitas Kritis
yang terdapat di fasilitas kritis, maka kerentanan
(Survey Lapang)
daerah kajian semakin tinggi
Sawah
Luas lahan sawah di Semakin luas lahan sawah,
(Sumber :Citra
tiap desa kerentanan semakin tinggi
Landsat 2005)
Ekonomi
Keluarga Tani Semakin besar nilai penduduk
Persentase keluarga
(Sumber : BPS miskin, maka kerentanan
tani tiap desa
Kabupate 2010) semakin tinggi
Proporsi Rumah Semakin besar nilai proporsi
Perbandingan jumlah
Sakit rumah sakit dan jumlah
rumah sakit dengan
(Sumber : Podes penduduk, maka kapasitas
jumlah penduduk
2008) semakin tinggi
Kapasitas
Proporsi Tenaga Semakin besar nilai proporsi
Perbandingan jumlah
Medis jumlah tenaga medis dan
tenaga medis dengan
(Sumber : Podes jumlah penduduk, maka
jumlah penduduk
2008) kapasitas semakin tinggi

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


24

3.4 Pengolahan Data


Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data – data dari variabel yang akan diteliti kemudian melakukan
overlay antara variabel-variabel dan daerah administrasi dengan bantuan software
Arcgis untuk menghasilkan nilai tersediri ditiap daerah adminstasi.

Langkah – langkah pengolahan data ;

3.4.1 Pengolahan Bahaya


Pengolahan data bahaya dilakukan dengan mendijitasi wilayah bahaya dari
PVMBG. Selanjutnya melakukan overlay antara wilayah bahaya dan daerah
administrasi untuk memperoleh desa – desa yang berada di wilayah bahaya dan
menjadi daerah kajian penelitian dilakukan dengan

3.4.2 Pengolahan Kerentanan


Pengolahan kerentanan dilakukan dengan mengumpulkan variabel sosial,
variabel ekonomi dan variabel fisik. Hasil pengumpulan semua variabel
dikelompokkan dengan metode cluster K-menas dan membentuk tiga kelas
kerentanan (tinggi, sedang dan rendah).

3.4.3 Pengolahan Risiko


Pengolahan risiko dilakukan dengan melakukan pendetailan (untuk
Kabupaten Cipanas) dari hasil pengolahan kerentanan. Pendetailan yang
dilakukan adalah pendetailan land use yang diperoleh dengan menggunakan
software Google Earth Pro, Google Satelite Downloader dan ArcGis. Sehingga
didapatkan nilai kerentanan untuk Kabupaten Cipanas.
Risiko diperoleh dari hasil pengelompkan data bahaya, kerentanan dan
kapasitas digunakan untuk menghitung tingkat risiko dengan menggunakan
metode K-menas. Perhitungan nilai kerugian memiliki nilai yang berbeda untuk
setiap jenis bahaya karena karakter dari tiap- tiap bahaya juga berbeda yaitu;
- Awan panas : menjadi jenis bahaya yang paling berbahaya karena
bersifat merusak segala yang dilandanya. Berdampak

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


25

pada kerusakan perumahan, infrastruktur, sosial, dan


ekonomi.
- Abu vulkanik : tidak berdampak banyak pada sektor perumahan,
infrastruktur dan sosial, namun dampak terparah pada
sektor ekonomi karena bersifat merusak tanaman
(sawah)

Kerugian materi didapatkan dari perhitungan tiap properti yang berada


pada daerah bahaya dikalikan dengan nilai asumsi penggantian kerusakan tiap
properti (konversi kerugian). (Sumber konversi: Survey lapang dan Data
Rehabilitasi dan Rekontruksi bencana Tsunami Mentawai dan Bencana Letusan
Gunung Merapi DI. Yogyakarta 2011ams)

Gambar 3.2 Alur Kerja Penelitian Risiko Bencana Awan Panas Letusan Gunung
Gede (Kecamatan Cipanas)

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


26

Dari data yang telah dikumpulkan, dapat dihasilkan peta – peta tematik
sebagai berikut ;

a. Peta bahaya bencana awan panas letusan Gunung Gede


b. Peta kerentanan bencana awan panas letusan Gunung Gede
c. Peta kapasitas bencana awan panas letusan Gunung Gede
d. Peta tingkat risiko bencana awan panas letusan Gunung Gede di
Kecamatan Cipanas

3.5 Analisa Data


Dalam penelitan risiko bencana awan panas letusan Gunung Gede
bertujuan menganalisis dan menjawab tentang dua pertanyaan masalah yaitu ;
tentang tingkat kerentanan dan tingkat risiko bencana bencana awan panas letusan
Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dan deskriptif.
Untuk menjawab pertanyaan masalah pertama “Bagaimana tingkat
kerentanan pada wilayah – wilayah yang berpotensi terkena bahaya bencana awan
panas letusan Gunung Gede?” digunakan analisis keruangan dengan melakukan
overlay daerah administrasi (desa/desa) dan variabel kerentanan (kerentanan
sosial, fisik, dan ekonomi). Variabel kerentanan yang sudah dimiliki oleh tiap –
tiap desa akan dibentuk pengelompokan dengan analisis cluster untuk mencari
kedekatan antar data dengan metode K-menas. Hasil pengclusteran variabel akan
membentuk beberapa kelompok yang dapat dikelaskan menjadi tiga kelas
(tinggi,sedang dan rendah).
Untuk menjawab pertanyaan masalah kedua “Bagaimana tingkat risiko
bencana bencana letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas?” dilakukan
analisis cluster dengan metode K-menas pada seluruh variabel bahaya, kerentanan
dan kapasitas. Hasil perhitungan akan menghasilkan variasi cluster yang akan
dikelompokan menjadi tiga kelas (tinggi, sedang dan rendah). Nilai dalam
perhitungan risiko ditentukan berdasarkan nilai dari tiap sektor yang menjadi
indikator kerugian (perumahan, infastruktur, sosial, dan ekonomi).

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


27

BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1 Kabupaten Cianjur


Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, berjarak sekitar
65 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung) dan 120 km dari ibukota
Negara (Jakarta). Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di antara 60 21” –70
25” Lintang Selatan dan 106 0 42” – 107025” Bujur Timur. Luas wilayah
Kabupaten Cianjur 350.148 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2007
sebanyak 2.138.465 jiwa. Secara administratif Kabupaten Cianjur terdiri atas 32
Kecamatan, 342 Desa dan 6 Desa.Pusat pemerintahan di Kecamatan Cianjur,
dengan batas-batas administratif :
1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Purwakarta.
2. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Garut.
Sebagian besar wilayah Cianjur adalah pegunungan, kecuali di sebagian
pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Dari luas wilayah Kabupaten
Cianjur 350.148 hektar, pemanfaatannya meliputi 83.034 Ha (23,71 %) berupa
hutan produktif dan konservasi, 58,101 Ha (16,59 %) berupa tanah pertanian
lahan basah, 97.227 Ha (27,76 %) berupa lahan pertanian kering dan tegalan,
57.735 Ha (16,49 %) berupa tanah perkebunan, 3.500 Ha (0,10 %) berupa tanah
dan penggembalaan / pekarangan, 1.239 Ha (0,035 %) berupa tambak / kolam,
25.261 Ha (7,20 %) berupa permukiman / pekarangan dan 22.483 Ha (6.42 %)
berupa penggunaan lain-lain.
Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata
1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per-tahun. Sebagai
daerah agraris yang pembangunananya bertumpu pada sektor pertanian, kabupaten
Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun
sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


28

konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 %. Produksi
pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara
tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah
tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di
wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren,
cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur
Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang
investasi.

Tabel 4.1 Penduduk Kabupaten Cianjur


Penduduk Penduduk Total
Kecamatan Luas Wilayah (Ha)
Laki - laki Perempuan Penduduk
Agrabinta 20763.88 14677 15085 29762
Bojongpicung 9901.06 53182 52408 105590
Campaka 16052.04 32744 30412 63156
Campaka Mulya 3608.36 11898 11630 23528
Cianjur 3292.96 79743 80439 160182
Cibeber 12066.09 58457 58671 117128
Cibinong 23991.51 29662 30302 59964
Cidaun 25480.81 32574 33159 65733
Cijati 5621.68 16718 16963 33681
Cikadu 18382.87 17711 16391 34102
Cikalongkulon 18158.86 46738 45965 92703
Cilaku 4849.06 42709 44994 87703
Cipanas 8286.55 50820 47996 98816
Ciranjang 3803.82 44160 43780 87940
Cugenang 7910.32 49371 48500 97871
Gekbrong 3630.93 26074 24845 50919
Kadupandak 10463.90 22653 23926 46579
Karangtengah 5616.72 64444 62562 127006
Leles 11229.81 15087 14411 29498
Mande 9458.49 32785 32362 65147
Naringgul 30084.43 24363 22594 46957
Pacet 4859.36 45349 44129 89478
Pagelaran 25718.35 43064 42281 85345
Sindangbarang 17536.73 25540 24789 50329
Sukaluyu 4962.93 34876 33137 68013
Sukanagara 17119.44 23468 22901 46369
Sukaresmi 10238.83 38389 37892 76281
Takokak 15322.80 26089 25476 51565
Tanggeung 9158.73 30425 29645 60070
Warungkondang 6208.81 33403 32323 65726
TOTAL 363780.13 1067173 1049968 2117141
[Sumber : Hasil Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


29

4.2 Kabupaten Sukabumi


Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57' - 7o
25 Lintang Selatan dan 1060 49 - 107 0 00 Bujur Timur dan mempunyai luas
daerah 4.128 km2. Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 2.391.736 jiwa yang
teridiri dari 1.192.038 orang laki-laki dan 1.199.698 orang perempuan. dengan
laju pertumbuhan penduduk 2,37 % dan kepadatan penduduk 579,39 orang per
km persegi. Kepadatan penduduk menurut kecamatan cukup berpariasi.
Kepadatana penduduk terendah terdapat di Kecamatan Ciemas (183 jiwa per km2)
dan tertinggi di Kecamatan Sukabumi (2.447 jiwa per km). Permukiman padat
penduduk umumnya terdapat di pusat-pusat kecamatan yang berkarakteristik
perkotaan dan disepanjang jalan raya.
Dilihat dari administrasi pemerintahan, Kabupaten Sukabumi terdiri atas
47 kecamatan, meliputi 364 desa dan 3 desa. Kabupaten Sukabumi mempunyai
batas-batas:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor


2. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera
Indonesia
4. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur

Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki areal yang cukup luas yaitu ±


419.970 ha. Pada Tahun 1993 Tata Guna Tanah di wilayah ini, adalah sebagai
berikut : Pekarangan/perkampungan 18.814 Ha (4,48 %), sawah 62.083 Ha (14,78
%), Tegalan 103.443 Ha (24,63 %), perkebunan 95.378 Ha (22, 71%) ,
Danau/Kolam 1. 486 Ha (0, 35 %) , Hutan 135. 004 Ha (32,15 %), dan
penggunaan lainnya 3.762 Ha (0,90 %).
Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi wilayah lahan
kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan
dan hutan. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan
144 hari. Suhu udara berkisar antara 20 - 30 derjat C dengan kelembaban udara 85
- 89 persen. Curah hujan antara 3.000 - 4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara,

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


30

sedangkan curah hujan antara 2.000 - 3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah
sampai selatan Kabupaten Sukabumi.

Tabel 4.2 Penduduk Kabupaten Sukabumi

Luas Wilayah Penduduk Penduduk Total


Kecamatan (Ha) Laki – laki Perempuan Penduduk
Bantargadung 7404.24 15245 14317 29562
Bojong Genteng 2023.95 15674 15217 30891
Caringin 3572.15 20476 20088 40564
Cibadak 7394.98 51784 50270 102054
Cibitung 10171.05 12950 12217 25167
Cicantayan 3072.56 22536 23397 45933
Cicurug 6271.11 53112 53025 106137
Cidadap 8750.16 9553 9677 19230
Cidahu 3873.83 29163 28292 57455
Cidolog 10787.63 8786 9060 17846
Ciemas 33791.88 18951 19382 38333
Cikakak 9279.88 18912 18355 37267
Cikembar 10355.33 37509 36462 73971
Cikidang 14004.42 30943 29909 60852
Ciracap 14774.99 16206 16081 32287
Cireunghas 3667.96 15078 14464 29542
Cisaat 1501.16 53515 54198 107713
Cisolok 22673.13 29723 29111 58834
Curugkembar 4865.54 10886 10733 21619
Geger Bitung 7157.47 19412 18892 38304
Gunungguruh 1519.13 20712 20662 41374
Jampang Kulon 11047.67 21605 21773 43378
Jampang Tengah 15229.49 32122 33916 66038
Kabandungan 13790.51 15875 15732 31607
Kadudampit 4383.87 25059 25863 50922
Kalapa Nunggal 2439.93 21638 21500 43138
Kali Bunder 11056.02 12672 12637 25309
Kebonpedes 752.28 14333 14044 28377
Lengkong 14079.63 15204 15051 30255
Nagrak 10719.80 53969 52243 106212
Nyalindung 8402.36 22749 23390 46139
Pabuaran 8601.03 18662 17758 36420
Parakan Salak 6364.11 19687 18852 38539
Parung Kuda 2577.09 31130 30638 61768
Pelabuhan Ratu 10379.70 47627 46362 93989
Purabaya 8072.73 19185 18497 37682
Sagaranten 15404.63 24390 23912 48302
Simpenan 12476.36 24905 24681 49586
Sukabumi 6701.19 18103 17810 35913
Sukalarang 5035.22 20157 18953 39110
Sukaraja 3500.62 37266 37476 74742
Surade 14522.86 33620 33363 66983
Tegal Buleud 24101.30 15434 15831 31265
Waluran 12956.97 8143 7806 15949
Warung Kiara 5746.26 24041 23254 47295
TOTAL 415254.18 1088702 1075151 2163853
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


31

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi


Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


32

4.3 Gunung Gede


Bersama dengan Gunung Pangrango,Gunung Gede berada dalam wilayah
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah
konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980.
Dengan luas 22.851,03 hektar, wilayah Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan
hujan tropis pegunungan. Disamping keunikan tumbuhannya, wilayah TNGGP
juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa,
sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing
hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Wilayah ini juga
merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang
populasinya hampir mendekati punah.
Sejarah letusan G. Gede telah dibahas oleh Junghun (1843) diterangkan
bahwa letusan G. Gede pada umumnya kecil dan singkat, kecuali yang terjadi
pada tahun 1747 – 1748 yang mengeluarkan aliran lava dari Kawahlarang. Pada
tahun 1747 – 1748 diduga terjadi 2 buah aliran lava dari Kawahlanang. Pada
tahun 1890 diduga terjadi awanpanas. Tidak ada laporan mengenai korban akibat
letusan G. Gede. Periode letusan terpendek kurang dari satu tahun (pada tahun
1899 terjadi beberapa kali letusan) dan yang terpanjang 71 tahun.
Berdasarkan hasil laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi Pos Pengamatan Gunungapi Gede yang berada di Desa Ciloto Kecamatan
Kabupaten Cianjur Jawa Barat sesuai Surat Nomor : 11/43.02/BGV.P.GDE/2011
Tanggal 1 Desember 2011 perihal Laporan Kegiatan Gunung Gede dijelaskan,
bahwa dalam bulan Nopember kegiatan Gunung Gede dalam keadaan normal.
Pada Pesawat radio telemetri seismograf PS-2 terlihat beroperasi normal dan
merekam gempa sejumlah 106 kali terdiri dari : 25x gempa vulkanik A, 7x
gempa tektonik lokal, 73x gempa tektonik jauh, 1x gempa terasa yakni pada: pada
tanggal 24-10-2011 pukul 00.45.51,5 Skala MMI.II. Sehingga status kegiatan
Gunung Gede dapat disimpulkan masih dalam keadaan normal.
(http://www.gedepangrango.org)

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


33

4.4 Bahaya Letusan Gunung Gede


Menurut data historis letusan Gunung Gede, daerah yang berada di bagian
timur Gunung Gede merupakan daerah yang terkena dampak besar dari letusan
Gunung Gede. Bagian barat Gunung Gede tidak terkena dampak yang besar
dikarenakan keberadaan Gunung Pangrango yang menyebabkan aliran lava dan
awan panas mengarah pada lembah – lembah yang berada di bagian timur Gunung
Pangrango.
Sejak erupsi terakhir pada tahun 1957, Gunung Gede dalam keadaan
istirahat kecuali beberapa kali juga terjadi peningkatan kegempaan. Gunung Gede
merupakan salah satu gunug aktif tipe A di Jawa Barat yang mempunyai
penduduk cukup banyak di daerah lereng dan kakinya. Perkembangan
permukiman dari tipe sederhana hingga real setate dan villa serta hotel-hotel
berbintang berkembang cukup pesat hingga 6 km dari puncak Gunung Gede.
Disamping itu aset-aset penting seperti Taman Nasional Cibodas yang merupakan
tempat tujuan wisata, perkebunan dan Istana Presiden juga terdapat di wilayah
lereng dan kaki Gunung Gede.
Dari data geologi diketahui bahwa produk erupsi di Gunung Gede pada
masa lalu menghasilkan awan panas yang sebarannya cukup jauh hingga ke
daerah Cipanas wilayah Kabupaten Cianjur yang saat ini cukup padat dengan
permukiman (Gamabr 4.2 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede)
Dalam peta KRB (Wilayah Rawan Bahaya) letusan Gunung Gede
diinformasikan tentang daerah – daerah yang terkena dampak letusan untuk jenis
bahaya awan panas, lontaran batu dan abu vulkanik. Pembentukan daerah bahaya
dibuat olah PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) dengan
beberapa syarat, yaitu;

- Sumber erupsi berasal dari sumber kawah pusat.


- Letusan vertical.
- Tidak terjadi pembentukan kaldera.
- Tidak terjadi perubahan morfologi secara drastis.

Bahaya aliran awan panas mengalir mengikuti arah lembah gunung,


sehingga daerah yang berada pada lembah gunung memiliki potensi terkena

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


34

bahaya awan panas lebih tinggi. Dalam peta KRB Gunung Gede, aliran awan
panas berada pada radius 3 km dari puncak gunung namun juga mengalir pada
lembah besar antara Gunung Gede dan Pangrango, lembah ini mengarah langsung
pada beberapa desa di Kecamatan Cipanas.

Gambar 4.2 Peta Lereng di Wilayah Sekitar Gunung Gede


Pembentukan daerah bahaya lontaran batu (batu pijar dan kerikil) serta abu
vulkanik dilakukan dengan cara membentuk radius. Pembentukan radius bahaya
letusan gunung yang dibuat oleh PVMBG tidak dipengaruhi oleh arah angin
(Zakaria: 2008). Radius bahaya dibagi dua menjadi;

1. Radius 5 km : Berpotensi terkena lontaran batu pijar serta hujan abu


vulkanik tebal
2. Radius 10 km : Berpotensi terkena lontaran batu dan abu vulkanik

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


35

Gambar 4.3 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


36

4.4 Kecamatan Cipanas


4.4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Kecamatan Cipanas
Dalam RTRW Kabupaten Cianjur 2005-2015, Kecamatan Cipanas
merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi.apabila
dibandingkan dengan kecamatan – kecamatan lain yang berada di sekitar Gunung
Gede.
Tabe 4.3 Penduduk Kecamatan Sekitar Gunung Gede
Kepadatan
Jumlah Penduduk
No Kecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Penduduk (jiwa/ha)
1 Cikalongkulon 12.602 18 93.100 7
2 Cipanas 4.181 7 120.900 29
3 Cugenang 6.537 16 99.400 15
4 Pacet 7.012 7 113.700 16
5 Sukaresmi 11.331 11 83.900 7
TOTAL 416.731 59 511.000 15
[Sumber : RTRW Cianjur 2005-2015]

Daerah penelitian dalam penelitian ini adalah desa - desa di Kecamatan


Cipanas yang memeliki lokasi terdekat dengan Gunung Gede dan juga termasuk
kedalam daerah rawan bencana letusan Gunung Gede. Kecamatan Cipanas
memiliki 7 desa, yaitu ; Kel.Sindanglaya, Kel.Sindangjaya, Kel. Cipanas, Kel.
Cimacan, Kel.Ciloto, Kel. Palasari, dan Kel. Batulawang.
Secara geografis wilayah Kecamatan Cipanas merupakan simpul
perdagangan pangan untuk mendukung wilayah Ibukota Jakarta, sedangkan secara
agroekosistem wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi dan berpotensi untuk
dikembangkan menjadi daerah agroindustri. Kondisi permukaan tanah Kecamatan
Cipanas mempunyai ketinggian 700 — 1.200 m di atas permukaan laut. Suhu
udara antara 18 °C — 22 °C dengan kondisi kelembaban udara tinggi.
Kecamantan Cipanas merupakan daerah beriklim tropis, sehingga di
wilayah ini tumbuh subur tanaman sayuran, padi, teh, dan tanaman hias. Sebagai
daerah agraris dimana pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian yang
memiliki kondisi lahan agroklimat, Kecamatan Cipanas merupakan salah satu
daerah swasembada padi dan berpotensi dalam pembudidayaan tanaman hias.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


37

Gambar 4.4 Peta Adminstrasi Kecamatan Cipanas

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


38

4.4.2 Pengunaan Tanah Kecamatan Cipanas


Penggunaan tanah Kecamatan Cipanas masih didominasi oleh hutan,
sawah dan permukiman. Hutan masih banyak terdapat di bagian barat
membentang dari utara dan selatan yang berbatasan langsung dengan Gunung
Gede. Sebagai komoditi pertanian utama di Kecamatan Cipanas, produksi padi
dari hasil sawah tersebar di seluruh Kecamatan Cipanas dan terpusat pada Desa
Ciloto. Sedangkan penggunaan tanah untuk permukiman didominasi diabagian
pusat kota di Kelurahan Cipanas.
Berdasarkan hasil pengolahan citra landsat 2008 ditambah pendetailan
permukiman menggunakan Google Earth, diperoleh luasan per jenis penggunaan
tanah sebagai berikut ;

Tabel 4.4 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas


Luas Penggunaan
Jenis Penggunaan Tanah
Tanah (Ha)
Badan air 6.726
Hutan 2961.189
Kebun 825.968
Lahan terbuka 1216.79
Permukiman 1194.156
Sawah 2081.715
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Sebagai mata penceharian utama penduduk Kecamatan Cipanas, sawah


merupakan penggunaan tanah terluas kedua di Kecamatan Cipanas dengan luas
2081 hektar. Dominasi penggunaan terluas dimiliki hutan dengan luas
penggunaan tanah 2961 hektar yang sebagian besar berada dikawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Permukiman memiliki luas penggunaan tanah
terluas ketiga dengan luasan 1194 hektar yang sebagian besar memusat di wilayah
perkotaan yang terletak di sekitar wilayah perbatasan Desa Sindanglaya dan
Kelurahan Cipanas. Pola persebaran permukiman tersebar mengikuti jaringan
jalan dan sebagian besar permukiman berada pada jaringan jalan utama
Kecamatan Cipanas yaitu di Jalan Raya Cipanas yang merupakan jalan lintas
Kabupaten.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


39

Gambar 4.5 Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


40

4.4.3 Infrastruktur Kecamatan Cipanas


Infrastruktur jalan di Kecamatan Cipanas sudah tersebar hampir di seluruh
desa dengan berbagai jenis fungsi jalan. Persebaran jalan mengikuti persebaran
permukiman, sedangkan bagian barat dan utara Kecamatan Cipanas menjadi
wilayah dengan infrastruktur yang sedikit dikarenakan sebagian besar wilayahnya
masih berupa hutan dan sawah.
Pintu gerbang utama dan jalan utama di Kecamatan Cipanas adalah jalan
lintas kabupaten yang menghubungkan antara Kecamatan Cipanas dan Kabupaten
Bogor (jalur Puncak) serta jalur yang menghubungkan Kecamatan Cipanas
dengan Kecamatan Cipanas hingga pusat Kota Cianjur.
Pada perbatasan Desa Sindangjaya dan Kelurahan Cipanas merupakan
wilayah yang padat akan fasilitas publik (umum) yang berlokasi di Jalan Raya
Cipanas. Terdapat pasar Cipanas yang menjadi pusat perdagangan di Kecamatan
Cipanas dan juga Istana Cipanas sebagai simbol Kecamatan Cipanas. Selain itu
kegiatan perbangkan di Kecamatan Cipanas juga terpusat pada Jalan Raya
Cipanas dengan mengelompoknya lokasi bank dan ATM.
Pertumbuhan infrastruktur lain seperti sekolah dan pasar sebagian besar
berada di sepanjang jalur lintas kabupaten. Daerah yang memiliki infrastruktur
terlengkap pada sektor pendidikan dimiliki oleh Kelurahan Cipanas dan Desa
Sindangjaya. Sedangkan Desa Cimacan dan Desa Sindanglaya memiliki jumlah
infrastruktur kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan desa – desa lain.

Tabel 4.5 Jumlah Sekolah di Kecamatan Cipanas


DESA TK SD SMP SMA PT
SINDANGJAYA 6 5 1 0 0
CIPANAS 4 9 6 7 1
SINDANGLAYA 11 8 3 2 0
PALASARI 2 6 2 2 0
CIMACAN 8 7 1 0 0
CILOTO 6 4 1 0 0
BATULAWANG 4 6 1 0 0
[Sumber : Podes 2008]
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


41

Desa Batulawang memiliki jumlah tempat ibadah dengan jumlah paling


banyak namun hanya satu jenis, sedangkan Desa Sindangjaya, Kelurahan Cipanas
dan desa Palasari memiliki dua jenis tempat ibadah.

Tabel 4.6 Jumlah Tempat Ibadah di Kecamatan Cipanas


Gereja Gereja
DESA Masjid Kristen Katholik Pura Klenteng
SINDANGJAYA 24 0 1 0 0
CIPANAS 20 1 0 0 0
SINDANGLAYA 19 0 0 0 0
PALASARI 25 0 1 0 0
CIMACAN 30 0 0 0 0
CILOTO 15 0 0 0 0
BATULAWANG 36 0 0 0 0
[Sumber : Podes 2008]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


42

Gambar 4.6 Peta Infrastruktur Kecamatan Cipanas

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


43

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan


Kabupaten Sukabumi

Untuk menghasilkan tingkat kerentanan letusan Gunung Gede, digunakan


tiga indikator yaitu kerentanan sosial, kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi.
Kerentanan sosial meliputi kepadatan penduduk, gender dan penduduk cacat.
Kerentanan fisik meliputi jumlah fasilitas umum, jumlah industri dan kepadatan
permukiman. Sedangkan untuk kerentanan ekonomi meliputi luas sawah dan
persentasa keluarga tani.
Pembentukan kerentanan juga dipengaruhi oleh aspek bahaya untuk
menentukan lokasi mana saja yang perlu dilakukan identifikasi sebelum
dikelompokkan menjadi tingkat kerentanan, untuk itu dilakukan overlay data
antara daerah bahaya letusan Gunung Gede dengan daerah administrasi. Overlay
data menghasilkan persentase luas wilayah disuatu desa yang berada dalam daerah
bahaya.
Berdasarkan overlay daerah bahaya dan daerah adminstrasi diperoleh 44
desa dalam 11 kecamatan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten dan Sukabumi,
berikut adalah desa – desa yang terkena dampak dari bahaya letusan Gunung
Gede:

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


44

Tabel 5.1 Desa – desa di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Yang Berada di
Wilayah Bahaya
KABUPATEN KECAMATAN DESA KABUPATEN KECAMATAN DESA
Ciloto Cikembang
Caringin
Cimacan Sukamulya
Cipanas Cikahuripan
Cipanas Palasari Cipetir
Gede
Sindangjaya
Kadudampit Pangrango
Sindanglaya Hutan
Cibeureum Sukamaju
Cirumput Sukamanis
Galudra Girijaya
Nagrak
Mangunkerta Kalaparea
SUKABUMI
Nyalindung Karawang
Cugenang
Sukabumi Sudajaya
Padaluyu
CIANJUR Girang
Sarampad Cimangkok
Sukamulya Sukalarang
Sukalarang
Talaga Sukamaju
Gekbrong Titisan
Gekbrong
Kebonpeuteuy Cisarua
Ciherang Langensari
Sukaraja
Cipendawa Margaluyu
Pacet Ciputri Sukamekar
Gadog
Sukatani
Bunikasih
Warungkondang Mekarwangi
Tegallega
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


45

Dilakukan pengelompokan data menggunakan metode K-menas untuk


menghasilkan cluster data dari hasil standarisasi data (Zscore) dengan variabel
yang digunakan adalah variabel – variabel dalam aspek bahaya dan kerentanan.
Jumlah keseluruhan variabel dalam aspek bahaya dan kerentanan berjumlah 11
variabel (3 variabel bahaya dan 8 variabel kerentanan).
Cluster data yang dihasilkan dalam penelitian ini berjumlah 7 cluster
dengan tujuan agar klusterisasi mampu memperlihatkan semakin banyak
perbedaan antar cluster sehingga memudahkan saat pembentukan tingkatan
kerentanan. Berikut merupakan hasil cluster data menggunakan metode K-menas;

Tabel 5.2 Cluster Akhir Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi


Cluster
1 2 3 4 5 6 7
Awan
-.43148 2.19453 -.38480 .25024 -.43148 -.43148 -.43148
Panas
Lontaran
-.51846 2.24839 -.36864 .41482 -.51846 -.51846 -.51846
Batu Pijar
Lontaran
-.94563 1.28457 -.05103 1.28550 .21452 -.87747 -1.18989
Kerikil
Kepadatan
5.56000 -.40799 -.39881 .19363 .01513 .69786 .09249
Penduduk
Gender -.56633 -.38356 -.03320 -.35601 -.28423 -.51437 1.39672
Kel Tani -1.78725 .44203 .28352 -.63183 -.04320 -.10158 -.56176
Pendudu
-1.00276 -.33239 -.25802 -.54712 -.33239 .24161 1.68919
Cacat
Kepadatan
Permukima 4.47913 -.44265 -.39961 -.06367 -.02144 1.24464 .04413
n
Industri .48166 .20069 -.33716 .21073 2.64914 -.07225 -.56194
Fasilitas
2.14570 -.00503 -.42386 1.46652 -.64648 -.14087 .52322
Umum
Sawah -.90795 -.89408 .41964 -.97579 -.28698 -.45556 .82025
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


46

Banyaknya jumlah anggota tiap cluster ditentukan berdasarkan kedekatan


(kemiripan) antar data, sehingga data terdistribusi secara acak yang menyebabkan
tiap cluster memiliki jumlah anggota yang berbeda. Berikut distribusi anggota
ditiap cluster ;

Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Anggota Tiap Cluster


Cluster 1 1.000
2 6.000
3 20.000
4 4.000
5 3.000
6 5.000
7 6.000
Valid 45.000
Missing 1.000
[Sumber : Pengolahan Dara 2012]

Dari tabel Final Cluster dihasilkan tujuh cluster data yang memiliki
kedekatan antar data, cluster satu berisikan kelompok data yang memiliki tujuh
variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel dengan nilai diatas
rata – rata. Sedangkan pada cluster dua berisikan kelompok data yang memiliki
enam variabel dengan nilai dibawah rata – rata dan lima variabel dengan nilai
diatas rata – rata. Dalam klasifikasi tingkatan kelas, kedua cluster (kelompok
data) termasuk dalam kelas sedang karena memiliki kemiripan data antar cluster.
Cluster tiga berisikan kelompok data yang memiliki 9 variabel dengan
nilai dibawah rata – rata serta dua variabel dengan nilai diatas rata – rata. Pada
cluster lima berisikan kelompok data yang memiliki delapan variabel dengan
nilai dibawah rata – rata serta tiga variabel dengan nilai diatas rata – rata. Dan
pada cluster enam sama dengan cluster lima yang berisikan kelompok data yang
memiliki tujuh variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel
dengan nilai diatas rata – rata hanya terjadi perbedaan nilai pada jenis variabel
yang memiliki nilai dibawah rata-rata. Cluster tiga, lima dan enam digolongkan
dalam tingkatan rendah karena kedekatan data antar kelompok datanya.
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


47

Cluster yang memiliki tingkatan tinggi dimiliki oleh cluster empat dan
cluster tujuh. Cluster empat berisikan kelompok data yang memiliki enam
variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel dengan lima nilai
diatas rata – rata. Sedangkan cluster tujuh berisikan kelompok data yang memiliki
lima variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta enam variabel dengan nilai
diatas rata – rata. Berikut klasifikasi tingakatan kelas ;

Tabel 5.4 Klusifikasi TIngkat Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi


Tingkat Klasifikasi
Kerentanan Cluster
Cluster 3
Rendah Cluster 5
Cluster 6
Cluster 1
Sedang
Cluster 2
Cluster 4
Tinggi
Cluster 7
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Dari hasil klasifikasi cluster dan membentuk tingkatan kelas, maka


diketahui sebagian besar desa terdapat pada kelas rendah (27 desa), sedangkan
hanya 7 desa yang terdapat pada kelas sedang dan terdapat 10 desa yang berada
pada kelas tinggi.
Tingkat kerentanan tinggi dimiliki desa dengan karateristik lokasi
berbatasan langsung dengan lokasi puncak Gunung Gede sehingga faktor bahaya
menjadi faktor utama tingginya tingkat kerentanan di suatu desa, sebagian besar
karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten Cianjur. Namun terdapat
juga daerah – daerah yang tidak berbatasan langsung dengan lokasi Gunung Gede
namun memiliki tingkat kerentanan tinggi dikarenakan faktor kerentanan
sosial,ekonomi dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan desa lain, karateristik ini
dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten Sukabumi yang berbatasan langsung
dengan Kota Sukabumi. Berikut data klasifikasi desa per kelas ;

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


48

Tabel 5.5 Tingkat Kerentanan Desa – Desa di Kabupaten Cianjur dan


Sukabumi.
KERENTANAN DESA
RENDAH Bunikasih Kebonpeuteuy Sukalarang Nyalindung
Cikembang Mangunkerta Sukamulya Cibeureum
Ciloto Margaluyu Talaga Cisarua
Cipetir Mekarwangi Tegallega Gadog
Cirumput Padaluyu Titisan Sukamaju
Girijaya Sarampad Cimangkok
Kalaparea Sudajaya Gekbrong
Girang
SEDANG Sindanglaya
Cipendawa
Galudra
Karawang
Sindangjaya
Sukamulya
Sukatani
TINGGI Ciherang Ciputri
Cimacan Langensari
Cipanas Sukamaju
Gede Sukamanis
Pangrango
Cikahuripan
Sukamekar
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


49

Gambar 5.1 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede


Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


50

5.2. Kerentanan Kecamatan Cipanas


Kecamatan Cipanas memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dibandingkan
dengan kecamatan – kecamatan lain, hal ini diuktikan dengan peta kerentanan
letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan
mendominasinya kerentanan kelas tinggi dan sedang di Kecamatan Cipanas.
Tingginya tingkat kerentanan letusan Gunung Gede di Kecamatan
Cipanas disebabkan oleh kedekatannya dengan lokasi dengan Gunung Gede.
Kecamatan Cipanas merupakan lembah besar dari Gunung Gede yang
menyebabakan daerah ini berpotensi terkena dampak bahaya awan panas, lontaran
batu serta abu vulkanik akibat letusan Gunung Gede. Overlay antara wilayah
bahaya dengan daerah administrasi Kecamatan Cipanas dapat dilihat pada Gambar
5.2.

Gambar 5.2 Bahaya Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas

Terdapat tiga desa yang dilalui bahaya awan panas diantaranya Desa
Sindangjaya, Desa Cimacan dan Desa Ciloto. Bahaya abu vulkanik tebal dan

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


51

lontaran batu pijar hanya melanda di dua desa yaitu Desa Sindangjaya dan Desa
Cimacan. Sedangkan sebagian besar desa di Kecamatan Cipanas termasuk dalam
daerah bahaya abu vulkanik dan hujan batu kerikil kecuali Desa Batulawang yang
tidak berada dalam wilayah bahaya letusan Gunung Gede.

Tabel 5.6 Luas Wilayah Tiap Desa di Kecamatan Cipanas

Luasan Luasan Persentase Luasan Persentase


Persentase
Awan Abu Abu Abu Abu
Desa Awan
Panas vulkani Vulkanik Vulkani Vulkanik 10
Panas (%)
(HA) 5 km 5 km (%) 10 km km (%)
Sindangjaya 454,22 30,18 787,11 52,30 1449,84 96,33
Cimacan 517,61 31,66 624,41 38,20 1634,64 100,00
Ciloto 177,74 5,85 - - 1247,66 41,08
Cipanas - - - - 334,73 100,00
Sindanglaya - - - - 20,60 16,63
Palasari - - - - 106,32 23,84
Sumber: Pengolahan Data 2011

Gambar 5.3 Grafik Persentase Luas Bahaya Letusan Gunung Gede di Kecamatan
Cipanas

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


52

Lokasi Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya yang berbatasan langsung


dengan Gunung Gede menjadikan kedua desa memiliki tingkat bahaya tinggi
dikarenakan terdapatnya semua jenis bahaya letusan Gunung Gede di kedua desa.
Desa Batulawang menjadi desa yang paling aman di Kecamatan Cipanas karena
tidak dilalui oleh wilayah bahaya.
Berbeda dengan proses pembentukan kerentanan letusan Gunung Gede di
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten dan Sukabumi, untuk membentuk kerentanan
Kecamatan Cipanas diperlukan peta penggunaan tanah yang lebih detail, untuk itu
digunakan peta hasil pengolahan citra. Untuk membentuk kerentanan Kecamatan
Cipanas terlebih dahulu mengidentifikasi aspek kerentanan sosial, fisik dan
ekonomi.

5.2.1 Kerentanan Sosial


Kerentanan sosial menunjukan perkiraan tingkat kerentanan terhadap
keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Variabel kerentanan sosial yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan penduduk, komposisi gender
penduduk dan jumlah penduduk cacat sebagai indikator penduduk rentan.

Tabel 5.7 Demografi Kecamatan Cipanas


Pemduduk Penduduk Jumlah Kepadatan
Rasio
DESA Laki - laki Perempuan Penduduk Penduduk
Gender
(jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa/ha)
SINDANGJAYA 5922 5465 11387 1.08 7
CIPANAS 8579 7962 16541 1.07 49
SINDANGLAYA 8693 8203 16896 1.05 136
PALASARI 7246 6968 14214 1.03 31
CIMACAN 9277 8792 18069 1.05 11
CILOTO 4327 4160 8487 1.04 2
BATULAWANG 6776 6446 13222 1.05 10
Sumber : Pengolahan Data 2012

Desa Cimacan memiliki penduduk terbanyak di Kecamatan Cipanas


dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 berjumlah 18.609 jiwa dan Desa Ciloto
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


53

menjadi desa dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kecamatan Cipanas


dengan jumlah penduduk 8.478 jiwa. Sebagai desa dengan jumlah penduduk
terbanyak tetapi tidak menjadikan Desa Cimacan sebagai desa dengan kepadatan
penduduk tertinggi, hal ini dikarenakan Desa Cimacan memiliki wilayah yang
luas. Desa dengan kepadatan penduduk tertinggi dimiliki oleh Desa Sindanglaya
dengan kepadatan penduduk 136 jiwa/hektar. Desa Cilioto dengan jumlah
penduduk yang paling sedikit di Kecamtan Cipanas serta wilayah yang luas
menjadikan Desa Ciloto memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu dengan
kepadatan 2 jiwa/hektar. Meskipun terjadi perbedaan jumlah penduduk laki-laki
dan perempuan, komposisi gender tiap desa di Kecamatan Cipanas tidak terlalu
berpengaruh banyak karena sebagian besar memiliki nilai yang hampir seragam
yaitu 1:1.

Tabel 5.8 Penduduk Cacat di Kecamatan Cipanas


Total
Tuna Tuli Cacat Keterbelakangan
DESA Tuli Bisu Penduduk
Netra Bisu Tubuh Mental
Cacat
SINDANGJAYA 0 0 0 0 7 0 7
CIPANAS 1 0 0 1 3 0 5
SINDANGLAYA 2 0 0 2 0 1 5
PALASARI 2 2 1 0 4 5 14
CIMACAN 2 5 0 0 4 0 11
CILOTO 1 0 0 0 0 1 2
BATULAWANG 2 0 0 2 1 0 5
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Variabel penduduk cacat yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh


dari beberapa jenis cacat yang ada di desa-desa di Kecamatan Cipanas,
diantaranya tuna netra, tuli, bisu, tuli bisu, cacat tubuh dan keterbelakangan
mental. Kecamatan Palasari merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk
cacat terbanyak sejumlah 14 jiwa yang sebagian besar menderita keterbelakangan
mental. Sedangkan desa yang memiliki jumlah penduduk cacat paling sedikit
dimiliko Desa Ciloto dengan jumlah 2 jiwa.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


54

5.2.2 Kerentanan Fisik


Kerentanan fisik menggambarkan bagaimana kerugian di sektor
infrastruktur yang kemungkinan terjadi apabila terjadi bahaya. Variabel
kerentanan fisik yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah rumah
terkena bahaya, kepadatan permukiman, fasilitas umum, fasilitas kritis dan
industri.
Jumlah rumah terbanyak dimiliki oleh Desa Palasari dengan jumlah rumah
4.362 unit sedangkan Desa Sindangjaya menjadi desa dengan jumlah rumah
paling sedikit di Kecamatan Cipanas dengan 1.800 unit. Apabila jumlah rumah
tiap desa dibagi dengan luas tiap desa masing - masing, maka akan diperoleh
kepadatan permukiman di tiap desa. Desa dengan kepadatan tertinggi dimiliki
oleh Desa Sindanglaya dengan kepadatan 24 rumah/hektar. Desa Ciloto yang
sebagian besar wilayahnya hutan dan sawah memiliki jumlah rumah 2.367 unit
yang menjadikan Desa Ciloto memiliki kepadatan permukiman terendah dengan
angka 1 rumah/hektar

Tabel 5.9 Kepadatan Permukiman di Kecamatan Cipanas


Kepadatan
DESA Jumlah Rumah
Permukiman
SINDANGJAYA 1.800 1,19
CIPANAS 2.445 7,30
SINDANGLAYA 2.934 23,68
PALASARI 4.362 9,78
CIMACAN 3.377 2,06
CILOTO 2.367 0,77
BATULAWANG 2.721 2,25
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Untuk mengetahui jumlah rumah yang terkena bahaya, dilakukan


pengolahan data dengan mengidentifikasi jumlah rumah yang berada di wilayah
bahaya serta mempertimbangkan setiap karateristik bahaya. Desa - desa yang
dilalui bahaya awan panas berpotensi terjadi kerusakan rumah, begitu pula dengan
desa – desa yang dilalui oleh bahaya lontaran batu pijar dan abu vulkanik tebal.
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


55

Sedangkan untuk desa – desa yang berada di wilayah lontaran kerikil dan abu
vulkanik tipis tidak berpotensi terjadi kerusakan rumah, namun dapat menggangu
aktifitas dan kesehatan penduduk.
Desa Cimacan menjadi desa dengan potensi kerusakan di infrastruktur
rumah terbesar dengan 1.089 rumahnya berada di wilayah bahaya awan panas
yang berpotensi mengancurkan rumah. Tidak hanya itu, sebanyak 3.372 rumah di
Desa Cimacan berada pada wilayah lontaran batu kerikil dan abu vulkanik tipis.
Desa Sindangjaya merupakan satu – satunya desa yang memiliki permukiman di
dalam wilayah bahaya lontaran batu pijar dan abu vulkanik tebal, sehingga potensi
kerusakan rumah akibat lontaran batu pijar dimiliki oleh 103 rumah, 14 rumah
berpotensi terjadi kerusakan akibat awan panas, serta 1.737 rumah berada dalam
radius lontaran kerikil dan abu vulkanik tipis. Terdapatnya 103 rumah yang
berpotensi terkena lontaran batu pijar menunjukan bahwa masih terdapat
permukiman dalam radius 5 kilometer dari puncak Gunung Gede.

Tabel 5.10 Jumlah Rumah di Kecamatan Cipanas Yang Berada di Wilayah


Bahaya
Lontaran Baru
Awan Lontaran Kerikil dan
Pijar dan Abu
DESA Panas Abu Vulkanik Tipis
Vulkanik Tebal
(Unit) (Unit)
(Unit)
SINDANGJAYA 14 103 1.737
CIPANAS - - 2.445
SINDANGLAYA - - 408
PALASARI - - 922
CIMACAN 1.089 6 3.372
CILOTO 442 - 1.261
BATULAWANG - - -
[Pengolahan Data 2012]

Variabel fasilitas umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah


fasilitas pendidikan dan tempat ibadah. Jenis – jenis tempat ibadah diantaranya
adalah masjid, gereja protestan, gereja katolik, pura, dan klenteng. Sedangkan
jenis fasilitas pendidikan diantaranya adalah TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


56

Tinggi. Fasilitas kritis yang ada di Kecamatan Cipanas adalah pasar dan istana.
Pasar terdapat di Kelurahan Cipanas dan Desa Sindangjaya dengan jumlah pasar
masing – masing satu, sedangkan fasilitas kritis Istana Cipanas berada di Desa
Sindangjaya.

Tabel 5.11 Fasilitas Umum di Kecamatan Cipanas


DESA Fasilitas Fasilitas Total Fasilitas Fasilitas
Agama Pendidikan Umum Kritis
SINDANGJAYA 25 12 37 2
CIPANAS 21 27 48 1
SINDANGLAYA 19 24 43 0
PALASARI 26 12 38 0
CIMACAN 30 16 46 0
CILOTO 15 11 26 0
BATULAWANG 36 11 47 0
[Sumber: Pengolahan Data 2012]

Jumlah industri yang ada di Kecamatan Cipanas berjumlah 117 industri


dengan jenis industri berupa industri kulit, industri kayu, industri logam, industri
anyaman, industri gerabah, industri kain, industri makanan, dan industri lainnya.
Kelurahan Cipanas memiliki jumlah industri terbanyak dengan 35 industri. Desa
Ciloto dan Desa Palasari memiliki jumlah industri paling sedikit dengan jumlah 6
indsutri.
Tabel 5.12 Industri di Kecamatan Cipanas

Industri Industri Industri Industri Industri Industri Industri Industri Total


DESA kulit kayu logam anyaman gerabah kain makanan lainnya industri
SINDANGJAYA 0 0 0 3 0 0 4 0 7
CIPANAS 0 12 0 8 4 0 9 2 35
SINDANGLAYA 0 5 0 12 2 0 4 0 23
PALASARI 0 0 0 5 0 0 1 0 6
CIMACAN 0 2 0 3 0 0 0 6 11
CILOTO 0 0 0 6 0 0 0 0 6
BATULAWANG 0 2 1 12 0 0 14 0 29
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


57

5.2.3 Kerentanan Ekonomi


Variabel kerentanan ekonomi yang digunakan adalah persentase keluarga
tani, dan jumlah sawah yang berpotensi mengalami kerusakan atau gagal panen.
Komoditi utama Kecamatan Cipanas berada di sektor pertanian, sehingga
penduduk dengan mata pencaharian petani tersebar hampir di seluruh desa. Desa
Sindangjaya, Desa Cimacan, Desa Batulawang dan Desa Ciloto adalah desa
dengan jumlah persentase keluarga tani terbesar di Kecamatan Cipanas dengan
komposisi hampir sepertiga jumlah penduduk desa. Sedangkan desa – desa yang
berada di selatan Kecamatan Cipanas seperti Kelurahan Cipanas, Sindanglaya dan
Palasari sudah banyak penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian.
Semakin banyak penduduk yang berkerja di sektor pertanian dapat
menyebabkan suatu desa memiliki kerentanan yang tinggi apabila terjadi letusan
Gunung. Bahaya dari gunung api dapat menghilangkan mata penceharian utama
petani karena bahaya awan panas menyebabkan hancurnya lahan pertanian dan
bahaya abu vulkanik menyebabkan lahan pertanian mati (gagal panen).

Tabel 5.13 Pertanian di Kecamatan Cipanas


Potensi Potesi
Persen Kerusakan Sawah
Jumlah Keluarga Keluarga Tani Sawah (ha) Gagal Panen
DESA Keluarga Buruh Tani (%) (ha)
SINDANGJAYA 2.686 645 24.01 55.614834 262.73
CIPANAS 4.614 548 11.87 0 73.45
SINDANGLAYA 4.138 22 0.53 0 9.39
PALASARI 3.538 134 3.78 0 36.80
CIMACAN 4.763 1.373 28.82 165.72801 198.92
CILOTO 2.245 449 20 63.765144 207.21
BATULAWANG 3.023 913 30.20 0 0
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


58

5.3 Pengolahan Kerentanan Cipanas


5.3.1 Pengolahan Kerentanan Sosial dan Kerentanan Fisik
Dilakukan penggabungan pengolahan data kerentanan sosial dan
kerentanan fisik dengan unit analisis wilayah terbangun agar diketahui desa mana
saja yang memiliki kerentanan tinggi dengan menggunakan gabungan variabel
kerentanan sosial dan fisik. Digunakana metode cluster K-menas untuk
membentuk cluster – cluster yang memiliki kedekatan atau kemiripan data.
Hasil cluster data kerentanan sosial dan kerentanan fisik adalah sebagai berikut ;

Tabel 5.14 Cluster Akhir Kerentanan Sosial dan Fisik


Cluster
1 2 3 4 5
Zscore(gender) 1.24557 .90426 -.08451 -1.17524 -.55149
Zscore(kpdtn_pddk) -.45188 .60984 2.81704 -.57293 -.23135
Zscore(pend_ccat) -.11631 -.62808 -.62808 -1.39573 1.09913
Zscore(fasum) -.27109 1.15507 .50682 -1.69724 .63647
Zscore(fastis) 1.47513 .39337 -.68840 -.68840 -.68840
Zscore(industri) -.52708 2.53594 1.22322 -.63647 -.22625
Zscore(kepdtn_muki
-.51043 .36981 2.73088 -.57047 -.10712
m)
Zscore(rumah_rusk) -.32934 -.44467 -.44467 .20889 .36489
Zscore(rumah_abu) -.39579 1.75684 -.59348 -.33676 .17438
[Sumber Pengolahan Data 2012]

1. Cluster 1 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian


kerusakan rumah dan rumah terkena abu vulkanik yang lebih sedikit
dibandingkan dengan desa – desa lain di Kecamatan Cipanas (nilai
standarisasi –0,3). Sebagian besar variabel dalan indikator kerentanan
sosial dan fisik di cluster satu juga memiliki nilai minus (dibawah rata –
rata) selain nilai fasilitas kritis dan komposisi gender. Dari hasil klasifikasi
kelas kerentanan, cluster 1 digolongkan sebagai kelas kerentanan rendah.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


59

2. Cluster 2 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian


keruskan rumah dan jumlah penduduk cacat dibawah minus (dibawah rata
– rata), namun variabel lainnya memiliki nilai diatas rata – rata.
Banyaknya nilai diatas rata – rata menandakan bahwa cluster 2 memiliki
tingkat kerentanan diatas rata – rata cluster lain, sehingga dalam
klasifikasi kelas kerentanan cluster 2 digolongkan sebagai kelas
kerentanan tinggi.
3. Cluster 3 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian
kerusakan rumah dan rumah terkena abu vulkanik yang lebih sedikit
dibandingkan dengan desa – desa lain di Kecamatan Cipanas (nilai
standarisasi > –0,44). Nilai kerentanan sosial dan fisik pada cluster 3
sebagian besar diatas rata – rata kecuali variabel fasilitas kritis dan jumlah
penduduk cacat. Dari hasil klasifikasi kelas kerentanan, cluster 1
digolongkan sebagai kelas kerentanan sedang.
4. Cluster 4 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki semua nilai
kerentanan sosial dan fisik dibawah rata – rata. Hanya satu nilai variabel
diatas rata-rata yaitu jumlah rumah rusak dengan nilai standarisasi 0.208.
Nilai kerentanan sosial dan fisik menjadi faktor utama cluster 4
digolongkan sebagai kelas kerentanan rendah.
5. Cluster 5 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian
kerusakan rumah akibat awan panas serta abu vulkanik diatas rata – rata,
namun memiliki beberapa variavel kerentanan sosial dan fisik dengan
nilai dibawah rata – rata. Cluster 5 diklasifikasikan sebagai kelas
kerentanan sedang.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


60

Gambar 5.4 Kerentanan Sosial dan Fisik Letusan Gunung Gede di Kecamatan
Cipanas
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


61

Kelurahan Cipanas merupakan anggota dari cluster 2 sehingga menjadi


satu – satunya desa dengan kerentanan sosial dan fisik kelas tinggi. Walaupun
tidak memiliki jumlah rumah dalam wilayah bahaya awan panas, Kelurahan
Cipanas memiliki kelas kerentanan tinggi karena hampir seluruh daerahnya
terkenda dampak bahaya letusan Gunung Gede dan juga memiliki variabel –
variabel kerentanan sosial dan fisik lebih rentan dibandingkan dengan desa lain.
Desa Sindanglaya memiliki kerentanan sosial dan fisik kelas sedang
karena menjadi anggota cluster 3. Desa Sindanglaya merupakan desa dengan
ancaman bahaya yang rendah namun memiliki penduduk yang rentan. Sedangkan
Desa Cimacan dan Palasari menjadi desa dengan kerentanan sosial dan fisik kelas
sedang karena menjadi anggota cluster 5. Kedua desa merpakan desa dengan
ancaman bahaya tinggi namun memiliki variabel – variabel kerentanan sosial dan
fisik tidak terlalu rentan.
Desa Ciloto dan dan Desa Sindangjaya menjadi desa dengan kelas
kerentanan rendah karena sebagian bersar nilai variabel bahaya, kerentanan sosial
dan fisiknya rendah. Sedangkan Desa Batulawang tidak terkena dampak letusan
Gunung Gede karena berada di luar wilayah bahaya.

5.3.2 Pegolahan Kerentanan Ekonomi


Pengolahan kerentanan ekonomi di Kecamatan Cipanas hanya melibatkan
tiga variabel yaitu potensi luas kerusakan sawah, potensi kegagalan panen dan
persentase keluarga tani. Digunkanan metode cluster K-menas untuk membentuk
cluster – cluster yang memiliki kedekata atau kemiripan data dengan unit analisis
adalah sawah.

Tabel 5.15 Cluster Akhir Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas


Cluster
1 2 3 4 5
Kerusakan Sawah -.64908 -.64908 -.64908 .32088 2.61099
Gagal Panen 1.30853 -.31617 -.98575 -.63721 .91094
Kel Tani .47908 -.76915 -1.74709 .47237 .93662
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Cluster satu memiliki karateristik cluster dengan nilai potensi sawah gagal
panen dan jumlah keluarga tani diatas rata – rata namun nilai potensi sawah yang
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


62

rusak dibawah – rata (tidak banyak). Cluster 1 dikelaskan menjadi kerentanan


ekonomi kelas sedang. Desa – desa yang berada pada cluster 1 diantaranya adalah
Desa Ciloto, Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya.
Cluster dua dan cluster tiga merupakan cluster yang hampir mirip,
karena memiliki karateristik nilai potensi kerusakan sawah, kegagalan panen dan
persentase keluarga tani dibawah rata – rata. Dengan banyaknya nilai dibawah
rata – rata menjadikan cluster ini memiliki kelas kerentanan ekonomi rendah.
Desa yang berada pada cluster dua diantaranya adalah Kelurahan Cipanas.
Cluster empat memiliki kelas kerentanan ekonomi sedang karena hanya
memiliki satu nilai dibawah rata – rata pada yaitu pada variabel potensi lahan
sawah gagal panen dengan nilai standarisasi -0,63721. Desa – desa yang berada
pada cluster empat diantarnya Desa Ciloto, Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya.
Sedangkan cluster lima memiliki karateristik nilai kerentanan ekonomi diatas
rata-rata untuk semua variabel. Besarnya nilai untuk setiap variabel, menjadikan
cluster lima dikelaskan sebagai kelas kerentanan tinggi. Desa yang berada pada
cluster lima hanya satu desa yaitu Desa Cimacan.

Tabel 5.16 Klasifikasi Kelas Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas


DESA Cluster Kelas
Ciloto 1 Sedang
Ciloto 4 Sedang
Cimacan 1 Sedang
Cimacan 4 Sedang
Cimacan 5 Tinggi
Cipanas 2 Rendah
Palasari 3 Rendah
Sindangjaya 1 Sedang
Sindangjaya 4 Sedang
Sindangjaya 4 Sedang
Sindanglaya 3 Rendah
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Dari hasil klasifikasi kelas kerentanan ekonomi menggunakan cluster K-
menas, diperoleh hasi yang beragam untuk tiap desa. Desa Ciloto sebagian besar
daerahnya berada pada cluster 1 dan cluster 4, sehingga Desa Ciloto hanya
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


63

memiliki kelas kerentanan ekonomi sedang. Desa Cimacan merupakan desa yang
paling rentan dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Cipanas karena
daerahnya memiliki cluster 1 , cluster 4 dan cluster 5 yang menjadikan Desa
Cimacan memiliki kelas kerentanan sedang dan menjadi satu – satunya desa yang
memiliki kelas kerentanan tinggi. Desa Palasari dan Desa Sindanglaya hanya
memiliki kelas kerentanan ekonomi rendah dikarenakan wilayah yang terkena
bahaya tidak terlalu luas, sehingga kedua desa berada pada cluster yang sama
yaitu cluster 3. Desa Sindangjaya berada pada cluster 1 dan cluster 4 yang
menjadikan Desa Sindangjaya memiliki kelas kerentanan sedang.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


64

Gambar 5.5 Kerentanan Ekonomi Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas


Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


65

5.3.3 Tingkat Kerentanan Cipanas


Dengan menggabungkan ketiga indikator kerentanan yaitu kerentanan
sosial, kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi diperoleh tingkat kerentanan
Kecamatan Cipanas. Pengolahan data menggunakan metode K-menas agar
dipeoleh cluster – cluster data yang memiliki kedekatan (kemiripan) data dari
tiap variabelnya.
Berikut merupakan hasil cluster variabel kerentanan menggunakan metode
K-menas ;

Tabel 5.17 Cluster Akhir Kerentanan Letusan Gunung Gede di


Kecamatan Cipanas
Cluster
1 2 3 4 5
Zscore(Sawah Rusak) .37296 -.35761 -.65843 -.65843 2.01674
Zscore(Gagal Panen) .87617 -.00530 -.96100 -.70120 .80194
Zscore(Rumah rusak
.49960 -.47913 -.57385 -.57385 2.08549
berat)
Zscore(Rumah rusak
-.42425 .15290 -.86680 -.31334 1.14569
ringan)
Zscore(Rasio Gender) -1.05896 .73937 .09133 -1.07347 -.17701
Zscore(Kepadatan) -.69583 -.27630 2.12746 -.08142 -.52132
Zscore(Penduduk Cacat) -1.21268 -.32338 -.48507 1.69775 .97014
Zscore(Kepadatan
-.72362 -.38203 2.06471 .37203 -.56704
Permukiman)
Zscore(Fasilitsa umum) -1.89062 .42218 .29369 -.34876 .67916
Zscore(Fasilitas kritis) -.54470 .72627 -.54470 -.54470 -.54470
Zscore(Total industri) -.88399 .57361 .51861 -.88399 -.47146
Zscore(Persen kel tani) .25003 .42121 -1.39110 -1.11664 .99407
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Cluster 1 merupakan cluster dengan karateristik nilai kerentanan fisik dan


kerentanan sosial dibawah rata – rata dengan delapan nilai dibawah rata – rata.
Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh dari variabel yang terpengaruh
aspek bahaya dan kerentanan ekonomi.
Cluster 2 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata untuk variabel –
variabel yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan sosial dan dengan enam
variabel dibawah rata – rata. Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


66

dari nilai kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi namun memiliki nilai
kepadatan permukiman, gagal panen dan kerusakan sawah dibawah rata - rata.
Cluster 3 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata untuk variabel –
variabel yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan ekonomi dan dengan tujuh
variabel dibawah rata – rata. Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh
dari nilai kerentanan sosial dan kerentanan fisik kecuali variabel penduduk cacat
dan fasilitas kritis yang memiliki nilai dibawah rata – rata.
Kulster 4 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata hampir diseluruh
variabel kerentanan dengan dua belas variabel yang memiliki nilai dibawah rata –
rata. Variabel yang memiliki nilai diatas rata – rata hanya pada variabel penduduk
cacat dan kepadatan permukiman.
Cluster 5 memiliki karateristik sebagian besar nilai diatas rata – rata untuk
tiap variabelnya. Nilai tertinggi dimiliki pada variabel yang dipengaruhi aspek
bahaya. Variabel pada cluster ini yang memiliki nilai dibawah rata – rata
berjumlah lima variabel.
Untuk memperoleh tingkatan kerentanan (tinggi, sedang dan rendah) maka
perlu dilakukan klasifikasi cluster berdasarkan karateristik yang dimiliki tiap
cluster, berikut hasil klasifikasi cluster ;
 Kerentanan Rendah : Desa dengan kerentanan rendah dimiliki desa –
desa dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang rendah meskipun
desa tersebut juga memiliki potensi kerusakan rumah dan sawah serta
kegagalan panen. Desa Palasri, Desa Ciloto dan Desa Sindanglaya
termasuk dalam tingkat kerentanan rendah
 Kerentanan Sedang : Desa dengan kerentanan rendah dimiliki desa –
desa dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang tinggi namun desa
tersebut memiliki potensi kerusakan rumah dan sawah serta kegagalan
panen yang tinggi. Desa Sindanglaya, Kelurahan Cipanas dan Desa
Batulawang termasuk dalam tingkat kerentanan sedang.
 Kerentanan Tinggi : Desa dengan kerentanan tinggi dimiliki oleh desa
dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang tinggi serta memiliki
potensi kerusakan rumah dan sawah serta kegagalan yang tinggi. Desa
Cimacan termasuk dalam tingkat kerentanan tinggi.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


67

Gambar 5.6 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas


Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


68

5.4 Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan
kondisi bencana. Semakin tinggi kapasitas disuatu desa menandakan kemampuan
desa dalam menghadapi ancaman bahaya juga semakin baik. Dalam penelitian ini
variabel yang digunakan untuk mendapatkan tingkat kapasitas ditiap desa adalah
keberadaan dari fasilitas medis dan tenaga medis disetiap desa di Kecamatan
Cipanas.
Tabel 5.18 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Cipanas
Persentase
Tiap
Total
R RS Penduduk
Desa Penduduk Poliklinik Puskesmas Pustu Fasilitas
S Bersalin Mendapat
Kesehatan
Fasilitas
Kesehatan
SINDANGJAYA 11387 0 0 1 0 1 2 0.017563
CIPANAS 16541 0 0 0 1 0 1 0.006045
SINDANGLAYA 16896 0 0 0 0 0 0 0
PALASARI 14214 0 0 0 0 1 1 0.007035
CIMACAN 18069 1 1 0 0 0 2 0.011068
CILOTO 8487 0 0 0 0 1 1 0.011782
BATULAWANG 13222 0 0 0 0 0 0 0
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Desa Cimacan merupakan satu - satunya desa yang memiliki Rumah Sakit
yang berada dibagian selatan desa. Bersama dengan Desa Sindangjaya, Kelurahan
Cipanas menjadi desa – desa yang memiliki fasilitas kesehatan yang baik,
sedangkan Desa Sindanglaya dan Desa Batulawang merupakan desa yang tidak
memiliki fasilitas kesehatan.
Untuk menjadikan jumlah fasilitas umum disetiap desa sebagai bagian dari
varibel kapasitas, maka perlu dibandingkan dengan jumlah penduduk disetiap
desa agar mengetahui pengaruh jumlah fasilitas kesehatan terhadap pelayanan
yang diperoleh oleh penduduk. Desa Sindangjaya merupakan desa yang memiliki
persentase penduduk mendapatkan fasilitas kesehatan tertinggi dengan
0.017563% tiap penduduk. Pendudu di Desa Sindanglaya dan Desa Batulawang
tidak mendapatkan fasilitas kesehatan karena tidak adanya fasilitas kesehatan di
desanya masing – masing.
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


69

Variabel kepasitas lain yang digunakan dalam menentukan kapasitas


adalah tenaga medis. Kelurahan Cipanas menjadi kelurahan dengan jumlah
tenaga medis terbanyak dengan 10 tenaga medis, sedangkan Desa Ciloto tidak
memiliki tenaga medis. Dengan membandingkan dengan jumlah penduduk,
didapatkan persentase tiap penduduk mendapatkan pelayanan medis yang akan
digunakan sebagai variabel kapasitas. Kelurahan Cipanas menjadi kelurahan yang
memiliki persentase terbaik dengan 0.060455 %, sedangkan penduduk Desa
Ciloto tidak terlayani tenaga medis.

Tabel 5.19 Tenaga Medis di Kecamatan Cipanas


Persentase
Total Penduduk
Dokter Dokter Tenaga Terlayani
DESA Penduduk Pria Wanita Bidan Medis Tenaga Medis
SINDANGJAYA 11387 0 0 1 1 0.008781944
CIPANAS 16541 1 2 7 10 0.060455837
SINDANGLAYA 16896 2 0 0 2 0.011837121
PALASARI 14214 4 0 3 7 0.049247221
CIMACAN 18069 0 0 1 1 0.005534341
CILOTO 8487 0 0 0 0 0
BATULAWANG 13222 0 0 1 1 0.007563152
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Dilakukan klasifikasi cluster menggunakan metode K-menas untuk


menghasilkan pembagian cluster berjumlah tiga kulster agar diketahui tingkat
kapasitas ditiap desa,berikut hasil cluster;

Tabel 5.20 Cluster Akhir Kapasitas Kecamatan Cipanas


Cluster
1 2 3
Fasilias Kesehatan .90847 -.17172 -1.19099
Tenaga Medis -.65572 1.43370 -.45011
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Cluster satu dimiliki oleh desa yang memiliki fasilitas kesehatan dengan
nilai diatas rata - rata namun memiliki nilai tenaga medis dibawah rata – rata.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


70

Cluster dua dimiliki oleh desa yang memiliki nilai fasilitas kesehatan dibawah
rata – rata namun memiliki nilai diatas rata – rata dalam pelayanan tenaga medis.
Sedangkan cluster tiga dimiliki oleh desa – desa dengan nilai fasilitas kesehatan
dan tenaga medis dibawah rata – rata.

Tabel 5.21 Kelas Kapasitas di Kecamatan Cipanas


Persentase Persentase
Jarak
Penduduk Penduduk
Ke Kelas
Desa Mendapat Terlayani Cluster
Pusat Kapasitas
Fasilitas Tenaga
Cluster
Kesehatan Medis
SINDANGJAYA 0.017563889 0.008781944 1 0.6593 Sedang
CIPANAS 0.006045584 0.060455837 2 0.24621 Tinggi
SINDANGLAYA 0 0.011837121 3 0.08916 Rendah
PALASARI 0.007035317 0.049247221 2 0.24621 Tinggi
CIMACAN 0.011068681 0.005534341 1 0.37585 Sedang
CILOTO 0.011782727 0 1 0.33004 Sedang
BATULAWANG 0 0.007563152 3 0.08916 Rendah
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Setelah menentukan kedekatan jarak antar cluster, dapat ditentukan bahwa


hasil cluster dapat dibentuk tingkatan kelas tinggi, sedang dan rendah. Kelas
tinggi dimiliki oleh cluster dua karena anggota cluster dua memiliki jarak yang
lebih dekat menuju pusat cluster. Kelurahan Cipanas dan Desa Palasari
merupakan desa yang memiliki tingkat kapasitas tinggi, tingkat kapasitas tinggi
diartikan sebagai desa – desa yang memiliki kesiapsiagaan terbaik dalam
menghadapai bahaya di Kecamatan Cipanas.
Kelas kapasitas sedang dimiliki oleh tiga desa yang berada di cluster satu,
yaitu Desa Sindangjaya, Desa Cimacan dan Desa Ciloto. Sedangkan kelas
kapasitas rendah dimiliki desa yang berada di cluster tiga yaitu Desa Sindanglaya
dan Desa Batulawang.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


71

Gambar 5.7 Peta Kapasitas Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas


Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


72

5.5 Risiko Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas


Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat juga berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan
atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko letusan gunung
gede di Kecamatan Cipanas diperoleh dari pengolahan bahaya, kerentanan dan
kapasitas yang dimiliki Kecamatan Cipanas dengan menggunakan rumus R =
H*V/C. Sumber bahaya diperoleh dari peta yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Becanan Geologi, sedangkan kerentanan dan kapasitas diperoleh dari
pengolahan data.
Pengolahan data risiko dilakukan dengan menggabungkan seluruh variabel
bahaya kerentanan dan kapasitas. Nilai variabel kapasita diberi nilai minus ( - )
karena dalam Rumus R=H*V/C nilai kapasitas berbanding terbalik terhadap nilai
risiko. Sedangkan nilai bahaya dan kerentanan memiliki nilai berbanding lurus
terhadap nilai risiko.

Tabel 5.22 Nilai Kapasitas Kecamatan Cipanas

Persentase Penduduk
Persentase Penduduk Mendapat
DESA Terlayani Tenaga
Fasilitas Kesehatan
Medis
SINDANGJAYA -0.017563889 -0.008781944
CIPANAS -0.006045584 -0.060455837
SINDANGLAYA 0 -0.011837121
PALASARI -0.007035317 -0.049247221
CIMACAN -0.011068681 -0.005534341
CILOTO -0.011782727 0
BATULAWANG 0 -0.007563152
[Sumber: Pengolahan Data 2012]

Hasil dari cluster bahaya, kerentanan dan kapasitas menggunakan K-


menas akan membentuk tiga cluster sehingga dapat langsung ditentukan tingkat
kelas risikonya (tinggi, sedang dan rendah). Berikut merupakan hasil cluster
akhir;
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


73

Tabel 5.23 Cluster Akhir Pengolahan Data Risiko Bencana Letusan


Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
Cluster
1 2 3 4 5
Kerusakan Sawah .30850 -.65843 -.65843 -.65843 2.01674
Sawah Gagal Panen 1.13597 -.36717 -1.04451 -.83110 .80194
Rumah Rusak Berat .10495 -.57385 -.57385 -.57385 2.08549
Rumah Rusak Ringan .00700 1.32659 -1.30613 -.59007 1.14569
Rasio Gender .21755 1.13412 -.41007 -.49107 -.17701
Kepadatan Penduduk -.64542 .28922 -.52310 1.02302 -.52132
Penduduk Cacat -.60634 -.48507 -.48507 .60634 .97014
Kepadatan
-.69826 .07054 -.54372 1.21837 -.56704
Permukiman
Fasilitas Umum -1.18393 .93613 .80765 -.02753 .67916
Fasilitas Kritis .72627 .72627 -.54470 -.54470 -.54470
Jumlah Industri -.84273 1.50867 1.01364 -.18269 -.47146
Persentase Kel_tani .41919 -.43472 1.11001 -1.25387 .99407
Faskes -1.09572 .24884 1.19099 .64279 -.53397
Tenaga Medis .67162 -1.66752 .53927 -.41946 .62392
[Sumber Pengolahan Data 2012]

Cluster 1 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata,
sebagian besar nilai dibawah rata-rata diperoleh dari sebagian kecil variabel –
variabel kerentanan sosial dan fisik. Variabel – variabel dengan nilai diatas rata –
rata sebagian besar diperoleh dari variabel – variabel yang dipengaruhi aspek
bahaya.
Cluster 2 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata,
nilai dibawah rata –rata sebagian besar diperoleh dari variabel yang dipengaruhi
oleh aspek bahaya dan beberapa variabel kerentanan ekonomi. Sedangkan
variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata diperoleh dari variabel
kerentanan sosial dan fisik.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


74

Cluster 3 memiliki sembilan variabel yang memiliki nilai dibawah rata –


rata, sebagian besar nilai dibawah rata – rata diperoleh dari variabel – variabel
yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan sosial dan kerentanan fisik.
Sedangkan variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata diperoleh dari
variabel – variabel kapasitas.
Cluster 4 memiliki sepuluh variabel yang memiliki nilai dibawah rata –
rata, dalam cluster ini hampir seluruh variabel memiliki nilai dibawah rata – rata
dan hanya beberapa variabel dari kerentanan sosial dan fisik yang memiliki nilai
diatas rata – rata.
Cluster 5 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata,
sebagian besar nilai dibawah rata-rata diperoleh dari sebagian kecil variabel –
variabel kerentanan sosial dan fisik. Variabel – variabel dengan nilai diatas rata –
rata sebagian besar diperoleh dari variabel – variabel yang dipengaruhi aspek
bahaya.
Hasil cluster yang telah diperoleh digunakan untuk memperoleh tingkatan
risiko (tinggi, sedang dan rendah), untuk itu perlu dilakukan klasifikasi cluster
berdasarkan kemiripan data antar cluster, sehingga tiap – tiap cluster memiliki
tingkatan risiko masing – masing. Berikut hasil klasifikasi cluster;

 Risiko Rendah : Desa dengan risiko rendah memiliki karateristik sebagian


besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga memiliki
nilai kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain. Cluster 3
dan Cluster 4 digolongkan sebagai tingkat risiko rendah.
 Risiko Sedang : Desa dengan risko sedang memiliki karateristik nilai
kerentanan diatas rata – rata namun memiliki nilai dibawah rata – rata
pada variabel yang dipengaruhi bahaya letusan. Cluster 2 digolongkan
sebagai tingkat risiko sedang.
 Risiko Tinggi : Desa dengan risiko tinggi memiliki karateristik nilai diatas
rata – rata untuk variabel yang dipengaruhi bahaya letusan dan sebagian
besar variabel kerentanan. Cluster 1 dan Cluster 5 digolongkan sebagai
tingkat risiko tinggi.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


75

Gambar 5.8 Peta Tingkat Risiko Letusan Guung Gede di Kecamatan Cipanas
Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


76

5.5.1 Kerugian di Sektor Permukiman


Berdasarkan overlay peta bahaya dan daerah administrasi, terdapat enam
desa yang berada dalam wilayah bahaya letusan Gunung Gede dengan total
penduduk 85.594 jiwa dalam 21.984 keluarga serta menempati 17.285 rumah.
Semakin mendeketnya arah pembangunan perumahan menuju arah puncak
Gunung Gede menyebabkan banyaknya penduduk yang berpotensi terkena
dampak letusan Gunung Gede. Berdasarkan proyeksi data tahun 2000-2010
Kelurahan Cipanas merupakan desa yang memiliki laju pertumbuhan penduduk
pertahun terbesar di Kecamatan Cipanas dan berdasarkan overlay peta bahaya
dengan daerah administrasi seluruh daerah Kelurahan Cipanas berada di wilayah
bahaya lontaran batu kerikil dan abu vulkanik.
Potensi banyaknya nilai kerusakan di sektor permukiman di Kecamatan
Cipanas akibat letusan Gunung Gede diprediksi sekitar Rp 54.841.965.000 (Rp 54
Miliar) dengan jumlah rumah berada didalam wilayah bahaya sebanyak 10145
unit. Kerusakan dibedakan menjadi dua yaitu kerusakan akibat awan panas dan
lontaran batu pijar yang menyebabkan hancurnya rumah serta kerusakan yang
disebabkan lontaran kerikil dan abu vulkanik yang menyebabkan perlunya
renovasi dan pembersihan rumah akibat abu vulkanik. Nilai kerugian yang
diperoleh dari hancurnya rumah akibat letusan Gunung Gede yaitu sekitar Rp
49.620.000.000 dengan asumsi satu rumah memiliki kerugian sebesar Rp
30.000000 (Sumber : Renaksi Merapi 2011). Sedangkan kerugian yang
disebabkan oleh lontaran kerikil dan abu vulkanik diperkirakan akan
menghasilkan nilai kerugian sebesar Rp 5.221.965.000 dengan asumsi biaya
renovasi dan pembersihan rumah sebesar Rp 615.000. (Sumber Konversi: Renaksi
Merapi 2011)
Risiko tertinggi di sektor permukiman dimiliki oleh Desa Cimacan dengan
Rp 34.250.355.000 karena memiliki jumlah rumah paling banyak yang berpotensi
mengalami kerusakan berat (hancur). Banyaknya rumah di Desa Cimacan yang
berada di lembah letusan gunung gede menyebabkan banyaknya rumah yang
berpotensi terkena awan panas akibat letusan Gunung Gede. Sedangkan
Kelurahan Cipanas dengan jumlah terbanyak yang berada didaerah bahaya namun
tidak memiliki kerugian yang besar hanya sekitar Rp 1.503.675.000 , hal ini

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


77

dikarenakan seluruh rumah di Kelurahan Cipanas hanya berada di wilayah bahaya


abu vulkanik dan tidak menghalami kerusakan berat.
Tabel 5.24 Kerugian di Sektor Permukiman
DESA Rumah Rusak Berat Rumah Rusak Ringan Total Kerugian
SINDANGJAYA 117 1620 4506300000
CIPANAS 0 2445 1503675000
SINDANGLAYA 0 408 250920000
PALASARI 0 922 567030000
CIMACAN 1095 2277 34250355000
CILOTO 442 819 13763685000
BATULAWANG 0 0 0
TOTAL 1654 8491 54841965000
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Gambar 5.9 Persentase Kerugian di Sektor Permukiman

5.5.2 Kerugian di Sektor Infrastrukur


Perkiraan potensi kerugian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan
Cipanas diperoleh dari hasil survey lapang serta titik penting yang diperoleh dari
peta RBI keluaran Bakosurtanal Skala 1:25000. Untuk mengetahui kerusakan
infrastruktur maka perlu diketahui infrastruktur apa saja yang berada di wilayah
bahaya awan panas. Infrastruktur yang berada di wilayah awan panas diasumsikan
akan rusak berat apabila letusan Gunung Gede terjadi.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


78

Gambar 5.10 Peta Infrastruktur di Wilayah Bahaya Awan Panas

Tabel 5.25 Kerugian di Sektor Infrastruktur


Kantor
Desa/Desa Sekolah Masjid Hotel
Desa
Ciloto 2 1 1 5
Cimacan 1 0 5 1
Sindangjaya 1 0 0 0
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Berdasarkan hasil ploting data, terdapat 17 titik penting yang berada di


wilayah bahaya awan panas dengan rincian 4 bangunan sekolah, 1 kantor desa
(desa), 6 masjid dan 6 hotel (penginapan). Desa Cimacan menjadi desa
terbanyak terjadi kerusakan infrastruktur dengan 6 bangunannya berada di
wilayah awan panas. Kerugian pada infrastruktur diasumsikan bahwa semua
infrastruktur mengalami kerusakan, sehingga perlu pembangunan kembali. Sisa
jumlah infrastruktur di lima desa lain juga berpotensi terkena dampak letusan

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


79

Gunung Gede, namun tidak mengalami kehancuran karena hanya terkena bahaya
abu vulkanik dan hujan kerikil.

5.5.3 Kerugian di Sektor Pertanian


Penilaian kerugiaan disektor pertanian akibat letusan Gunung Gede
dilakukan pada pertanian utama di Kecamatan Cipanas yaitu sawah. Penghitungan
nilai kerugian di sektor pertanian diprediksi dari potensi nilai kerusakan lahan
pertanian yang menyebabkan hilangnya pekerjaan utama penduduk sekitar serta
potensi kerugian akibat kegagalan sekali panen. Sawah yang berada pada wilayah
bahaya awan panas diprediksi akan mengalami kehancuran sawah sedangkan
sawah yang berada di wilayah lontaran batu dan abu vulkanik diprediksi akan
mengalami gagal panen.
Asumsi nilai kerugian disektor pertanian diperoleh dengan melakukan
survey lapang dan wawancara terhadap beberapa pemilik tanah pertanian di
Kecamatan mengenai harga tanah dan produksi sawah. Nilai kerugian kerusakan
sawah dipeoleh dari harga jual sawah yang berdasarkan hasil survey memiliki
harga Rp 40.000 – 50.000 per meter, sehingga asumsi kerugian yang digunakan
adalah Rp 45.000 per meter. Sedangkan asumsi nilai kerugian kegagalan panen
diperoleh dari hasil produksi padi di Kecamatan Cipanas. Berdasarkan hasil
wawancara produksi sawah memiliki nilai Rp 7.500 – 10.000 per meter, sehingga
asumsi harga yang digunakan adalah Rp 8750 per meter.

Tabel 5.26 Kerugian di Sektor Pertanian


Kerusakan Lahan Sawah Gagal Panen Total Kerugian
DESA Pertanian (Hektar) (Hektar) (Miliar)
SINDANGJAYA 56 263 48.0155993
CIPANAS 0 73 6.4269261
SINDANGLAYA 0 9 0.82186379
PALASARI 0 37 3.22047058
CIMACAN 166 199 91.9836873
CILOTO 64 207 46.8255398
BATULAWANG 0 0 0
Total 285 789 197.294087
[Sumber : Pengolahan Data 2012]

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


80

Luas sawah di Kecamatan Cipanas yang berada dalam bahaya letusan


Gunung Gede seluas 1073,627 hektar. Prediksi total kerugian di sektor pertanian
akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas sebesar Rp 197,29 Miliar
dengan rincian 128,30 Miliar diperoleh dari hasil kerusakan tanah pertanian yang
disebabkan oleh awan panas dan Rp 69 Miliat disebabkan oleh kerugian akibat
kegagalan panen akibat tanah tertutup oleh abu vulkanik yang menyebabkan tanah
memiliki sifat asam.

Gambar 5.11 Grafik Potensi Kerugian di Sektor Pertanian

Dari 7 desa yang berada di Kecamatan Cipanas, terdapat tiga desa yang
memiliki potensi kerugian tinggi akibat letusan Gunung Gede, yaitu Desa
Cimacan sebagai desa dengan risiko paling tinggi potensi kerugian sebesar Rp 91
Miliar, kemudian desa Sindangjaya dan Desa Ciloto yang memiliki total kerugian
hampir sama yaitu Rp 48 Miliar untuk Desa Sindangjaya dan Rp 46 Miliar untuk
Desa Ciloto. Desa Batulawang dan Desa Sindanglaya memiliki risiko paling
rendah paling karena persawahan di kedua desa tidak berada dalam wilayah
bahaya sehingga memiliki kerugian di sektor pertanian paling sedikit.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


81

BAB VI
KESIMPULAN

Hasil cluster menggunakan metode K-menas, terdapat 44 desa yang


memiliki tingkat kerentanan letusan Guung Gede di Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi dengan didominasi tingkat kerentanan rendah. Dilihat
secara keruangan, wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi mengelompok
pada wilayah yang berbatasan langsung dengan lokasi puncak Gunung Gede dan
juga wilayah yang berbatasan dengan Kota Sukabumi.
Nilai perkiraan kerugian sektor permukiman, infrastruktur dan pertanian
akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas diperkirakan sebesar Rp
251,29 Miliar dan merusak 17 infrastruktur. Desa dengan risiko rendah memiliki
karateristik sebagian besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga
memiliki nilai kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain. Desa
dengan risko sedang memiliki karateristik nilai kerentanan tinggi namun memiliki
nilai rendah pada variabel yang dipengaruhi bahaya letusan serta kelas kapasitas
tinggi. Desa dengan risiko tinggi memiliki karateristik nilai kerentanan dan
bahaya yang tinggi dengan kelas kapasitas sedang.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


82

DAFTAR PUSTAKA

Alberico, I. (2001). A methodology for the evaluation of long-term volcanic risk


from pyroclastic £ows in Campi Flegrei. Naples. Journal of Volcanology
and Geothermal Research
Andayani, S. (2007). Pembentukan Cluster dalam Knowledge Discovery in
Database dengan Algoritma K-menas. Yogyakarta. SEMNAS Trend
Penelitian Matematik dan Pendidikan Matematika di Era Global.
BAKORNAS RBP. (2002). Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di
Indonesia. Jakarta
BNPB. (2010). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012.
Jakarta.
BNPB. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi : Wilayah
Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I Yogyakarta dan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013.
Cannon, T. (2002). Social Vulnerability, Sustainable Livelihoods and Disasters.
Greenwich : Report to DFID Conflict and Humanitarian Assistance
Departemen (CHAD).
Cooper, P E. (2010). Volcano & Geothermal Tourism : Sustainable Geo-
Resources for Leisure and Recreation. London. Earthscan Ltd.
Cutter, S L. Social Vulnerability to Enviromental Hazards. South Carolina.
Davidson, R. (1997). An Urban Earthquake Disaster Risk Index. Standford,
California.
Dewi, C. (2010). Tingkat Banjir Rob di Jakarta Utara. Skripsi S1 Departemen
Geografi FMIPA UI
Hadisantono, R.D, dkk. (2006). Peta Wilayah Rawan Bencana Gunung Api Gede,
Jawa Barat. PVMBG
Hogan, D J. (2007). Vulnerability to Natural Hazads in Population-Enviroment
Studies. Background paper to the Population-Environment Research
Network (PERN) Cyberseminar1 on Population & Natural Hazards
Kelman, I. (2007). Understanding Vulnerability to Understand Disasters.
Colorado.

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012


83

Langley, A. (2006). Bencana Alam. London. Erlangga


Noor, D. (2006). Geologi Lingkungan. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Rapicetta, S., Vittorio Zanon. (2008) GIS-based method for the enviromental
vulnerability assessment to volcanic ashfall at Etna Volcano. Springer
Science. LLC
Semedi, J M. (2005). Tingkat Risiko Banjir di DKI Jakarta. Skripsi S1
Departemen Geografi FMIPA UI
Udono, T. (2002). Hazard Mapping and Vulnerability Assessment”. Regional
Workshop on Total Disaster Risk Management
Wilson, T., Kaye, G., Sterart, C. And Cole, J. 2007. Impacts of the 2006 eruption
of Merapi volcano. Indonesia, on agricilture and infrastructur. GNS
Science Report 2007/07 69p.
Yodmani, S. (2001). Disaster Risk Management and Vulnerability Reduction:
Protecting the Poor. Social Protection Workshop 6: Protecting
Communities—Social Funds and Disaster Management.
Zakaria, Z. (2008). Identifikasi Kebencanaan Geologi Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Bulletin of Scientific Contribution

Universitas Indonesia

Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai