Anda di halaman 1dari 9

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

A. Pendahuluan
Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Ketika kondisi pangan bagi negara sampai dengan perorangan tidak
terpenuhi maka kondisi yang akan terjadi adalah kondisi kerawanan pangan, sehingga
kerawanan pangan dapat diartikan adalah kondisi tidak tersedianya pangan yang cukup
bagi individu/perorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Kerawanan pangan juga dapat didefinisikan sebagai kondisi apabila rumah
tangga (anggota rumah tangga) mengalami kurang gizi sebagai akibat tidak cukupnya
ketersediaan pangan (physical unavailability of food), dan/atau ketidak mampuan rumah
tangga dalam mengakses pangan yang cukup, atau apabila konsumsi makanannya
(food intake) berada dibawah jumlah kalori minimum yang dibutuhkan.
Terjadinya kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan oleh banyak faktor,
namun setidaknya dapat disebabkan oleh antara lain: (a) tidak adanya akses secara
ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memeperoleh pangan yang cukup; (b) tidak
adanya akses secara fisik bagi individu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup; (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah
tangga; dan (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam,
keamanan, serta keterjangkauan harga. Di samping itu, kerawananan pangan dapat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan oleh tingkat pendapatannya.
Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan menurunnya daya beli pangan akan
memperburuk konsumsi energi dan protein masyarakat.
Kondisi rawan pangan dapat dibedakan berdasarkan waktunya yaitu rawan
pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah
ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan
anggotanya pada periode lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset produktif,
dan kekurangan pendapatan. Sedangkan rawan pangan transien adalah suatu keadaan
rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang disebabkan oleh
perbuatan manusia maupun alam.
Kerawanan pangan di Indonesia dapat diketahui dari tingkat kecukupan gizi
masyarakat yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG merupakan tingkat
konsumsi zat-zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi
hampir semua orang sehat di suatu negara. AKG diperoleh dari data Susenas BPS
yang dikumpulkan setiap triwulan dalam tahun. Angka kecukupan konsumsi kalori
penduduk Indonesia per kapita per hari berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VIII (WNPG) 2004 adalah 2000 kkal. Persentase rawan pangan berdasar angka
kecukupan gizi (AKG) suatu daerah, dihitung dengan menjumlahkan penduduk dengan
konsumsi kalori kurang dari 1400 kkal (70% AKG) perkapita dibagi dengan jumlah
penduduk pada golongan pengeluaran tertentu. Tahun 2008 sampai dengan saat ini
terjadi peningkatan persentase jumlah penduduk rawan pangan setiap tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-2012


< 70% AKG 70%-89,9% AKG ≥ 90% AKG
Tahun
N (x1 juta) % N (x1juta) % N (x 1 juta) %
2008 25,11 11,07 62,38 27,50 139,34 61,43
2009 33,29 14,47 72,72 31,62 123,96 53,90
2010 35,71 15,34 72.44 31,12 124,61 53,53
2011 42,08 17,41 78,48 32,48 121,01 50,10
2012 47,64 19.46 80,57 32.91 116,61 47.63
Keterangan: N = Jumlah penduduk Indonesia;
Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Berdasarkan Tabel 1. Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-2012,


diperoleh bahwa pada tahun 2012 ternyata masih terdapat 47,64 juta penduduk atau
19,46 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan
pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi
rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan (BPS, 2013).
Hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menjelaskan bahwa ada 13
kelompok makanan yang digunakan untuk mengetahui kecukupan kalori per hari yaitu:
(1) padi-padian; (2) umbi-umbian; (3) ikan; (4) daging; (5) telur dan susu; (6) sayur-
sayuran; (7) kacang-kacangan; (8) buah-buahan; (9) minyak dan lemak; (10) bahan
minuman; (11) bumbu-bumbuan; (12) konsumsi lainnya; dan (13) makanan dan
minuman jadi. Konsumsi bahan makanan tersebut akan mempengaruhi jumlah kalori
yang dihasilkan per harinya.
Konsumsi kalori kurang dari 1400 kkal dapat dipengaruhi oleh penurunan
kuantitas konsumsi pangan. Penurunan tersebut apabila ditinjau dari aspek permintaan
dan penawaran bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa hal:
a. Permintaan bahan pangan
Permintaan bahan pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti harga pangan dan
pendapatan seseorang. Terkait dengan kecukupan konsumsi pangan, fluktuasi
harga memberi pengaruh pada jenis makanan dan ketersediaan pangan yang
dikonsumsi. Disisi lain, pendapatan juga berpengaruh terhadap jenis dan banyaknya
bahan pangan yang dikonsumsi. rumah tangga dengan pendapatan yang cukup,
cendrung akan mengkonsumsi bahan pangan yang lebih banyak dan mampu
mencukupi kebutuhan kalorinya per hari.
b. Penawaran bahan pangan
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penawaran bahan pangan adalah
biaya produksi bahan pangan tersebut. Tidak adanya kenaikan produktivitas dan
efisiensi, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menaikan biaya produksi.
Apabila dikaitkan dengan kecukupan kebutuhan kalori, kenaikan biaya produksi
bahan pangan akan berpengaruh pada penurunan jumlah produksi bahan pangan
yang dihasilkan, sehingga jumlah penawaran akan berkurang. Penawaran yang
berkurang akan berpengaruh pada pemenuhan bahan makanan,dimana
ketersediaan pangan berkurang.
Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori rawan
pangan dan gizi setiap tahun membuat pemantauan rutin terhadap kondisi pangan dan
gizi di suatu daerah perlu dilakukan. Beberapa peraturan yang mendukung pelaporan
situasi pangan dan gizi di daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada
Pemerintah bahwa kepala daerah wajib melaporkan situasi ketahanan pangan di
daerah sebagai bagian dari LPPD.
Situasi pangan dan gizi juga digunakan sebagai kondisi awal tingkat pencapaian
pelayanan dasar dan kondisi pencapaian target penanganan daerah rawan pangan
yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Sistem Pelayanan Minimal (SPM) bidang
ketahanan pangan di propinsi dan kabupaten/kota khususnya mengenai penanganan
kerawanan pangan.
Sejak tahun 2010, Badan Ketahanan Pangan telah menyempurnakan suatu alat
analisis pemantauan situasi pangan dan gizi yang dikenal dengan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG) berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan
Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan pangan dan
gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran
informasi situasi pangan dan gizi. Kegiatan SKPG terdiri dari analisis data situasi
pangan dan gizi bulanan dan tahunan serta penyebaran informasi. Data bulanan dan
tahunan tersebut menginformasikan tentang 3 (tiga) aspek utama yaitu ketersediaan,
akses, dan pemanfaatan pangan yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi
pangan dan gizi di suatu daerah. Hasil SKPG dapat digunakan sebagai dasar
pelaksanaan investigasi untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian kerawanan
pangan dan gizi di lapangan serta intervensi dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan masyarakat.
Dalam melaksanakan SKPG, pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pangan dan Gizi yang berada di
bawah koordinasi Dewan Ketahanan Pangan. Hasil analisis SKPG oleh Pokja Pangan
dan Gizi Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dilaporkan kepada pimpinan masing-
masing untuk penentuan langkah-langkah intervensi dan untuk perumusan kebijakan
program pada tahun berikutnya.
Dalam upaya melakukan penyebaran informasi mengenai situasi pangan dan
gizi di beberapa daerah serta penyediaan data-data pendukung dalam kegiatan SKPG
di Propinsi/Kabupaten/Kota, maka Badan Ketahanan Pangan secara resmi
mempublikasikan kegiatan SKPG seperti : (1) data-data pendukung SKPG; (2)
dokumen-dokumen pendukung SKPG; (3) rekapitulasi pengiriman laporan SKPG oleh
propinsi/kabupaten/kota; dan (4) analisis hasil SKPG yang merupakan informasi situasi
pangan dan gizi di beberapa propinsi dan kabupaten/kota.
Diharapkan dengan adanya informasi yang ditampilkan ini dapat memberikan
manfaat dan kegunaan bagi pelaksana kegiatan SKPG di Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta masyarakat umum yang akan memanfaatkan informasi mengenai situasi pangan
dan gizi.

B. Indikator Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Situasi pangan dan gizi suatu daerah pada kegiatan SKPG, secara garis besar
dibagi menjadi dua komponen, yaitu situasi pangan dan situasi gizi. Situasi pangan
mencakup dua aspek pembahasan, yaitu aspek ketersediaan dan aspek akses. Aspek
ketersediaan berkaitan dengan kenaikan atau penurunan produksi bahan pangan yang
berpengaruh pada kecukupan konsumsi bahan pangan. Sedangkan aspek akses
berkaitan dengan fluktuasi harga pangan dan berpengaruh pada daya beli masyarakat
untuk mengakses bahan pangan. Situasi gizi suatu masyarakat berkaitan dengan
kondisi kesehatan balita, dimana berpengaruh pada tumbuh kembang balita. Situasi
tersebut akan menggambarkan kondisi kecukupan pangan suatu daerah dan potensi
terjadinya ketidakcukupan pangan.

1. Analisis SKPG Bulanan

a. Ketersediaan Pangan
Indikator yang digunakan pada aspek ketersediaan adalah luas tanam dan luas
puso dari empat komoditas, yaitu padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Berdasarkan analisis, akan diperoleh persentase luas tanam dan luas puso pada
bulan berjalan/bulan analisis dibanding dengan rata-rata luas tanam bulan
bersangkutan lima tahun terakhir. Nilai persentase yang dihasilkan akan
menunjukan tingkat rawan pangan wilayah tersebut.
Tabel 2. Persentase Peningkatan/Penurunan Luas Tanam dan Luas Puso
Persentase (r)
No Indikator Bobot
(%)
1 Persentase luas tanam bulan r≥5 1 = Aman
berjalan dibandingkan dengan rata-
rata luas tanam bulan -5 ≤ r < 5 2 = Waspada
bersangkutan 5 tahun terakhir
- r < -5 3 = Rawan
2 Persentase luas puso bulan r < -5 1 = Aman
berjalan dibandingkan dengan rata-
rata luas puso bulan bersangkutan 5 ≤ r < -5 2 = Waspada
5 tahun terakhir r>5 3 = Rawan

b. Akses Pangan
Aspek akses pada analisis SKPG bulanan menggunakan indikator fluktuasi
delapan komoditas harga pangan. Hasil analisis akan menghasilkan persentase
rata-rata harga bulan berjalan delapan komoditas dibandingkan dengan rata-rata
harga tiga bulan sebelumnya. Berdasarkan nilai persentase yang dihasilkan
akan menunjukan tingkat rawan pangan wilayah tersebut.

Tabel 3. Persentase Peningkatan/Penurunan Harga Delapan Komoditas


No Indikator Persentase (r) Bobot
(%)

1 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas beras
dibandingkan dengan rata-rata harga 5 ≤ r ≤ 20 2 = Waspada
3 bulan terakhir
r > 20 3 = Rawan

2 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas jagung 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
dibandingkan dengan rata-rata harga
3 bulan terakhir > 15 3 = Rawan

3 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas ubi kayu 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
dibandingkan dengan rata-rata harga > 15 3 = Rawan
3 bulan terakhir
No Indikator Persentase (r) Bobot
(%)

4 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas ubi jalar
dibandingkan dengan rata-rata harga 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
3 bulan terakhir
> 15 3 = Rawan

5 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas gula
dibandingkan dengan rata-rata harga 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
3 bulan terakhir
> 15 3 = Rawan

6 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas minyak goreng
dibandingkan dengan rata-rata harga 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
3 bulan terakhir
> 15 3 = Rawan

7 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas daging ayam 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
dibandingkan dengan rata-rata harga
> 15 3 = Rawan
3 bulan terakhir

8 Persentase rata-rata harga bulan r<5 1 = Aman


berjalan komoditas telur
dibandingkan dengan rata-rata harga 5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
3 bulan terakhir
> 15 3 = Rawan

c. Aspek Pemanfatan Pangan


Aspek ketiga yaitu aspek pemanfaatan, menggunakan indikator kesehatan balita.
Ada tiga indikator yang digunakan untuk analisis SKPG bulanan, yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4. Status Gizi Balita
Persentase (r)
No Indikator Bobot
(%)

1 Persentase Balita yg naik BB (N) r > 90 1 = Aman


dibandingkan Jumlah Balita
Ditimbang (D) 80 ≤ r ≤ 90 2 = Waspada
3 = Rawan
< 80

2 Persentase Balita yg BGM r<5 1 = Aman


dibandingkan Jumlah Balita
ditimbang (D) 5 ≤ r ≤ 10 2 = Waspada

> 10 3 = Rawan

3 Persentase balita yang tidak naik r < 10 1 = Aman


berat badannya dalam 2 kali
penimbangan berturut-turut (2T) 2 = Waspada
10 ≤ r ≤ 20
dibandingkan Jumlah Balita > 20 3 = Rawan
ditimbang (D)

2. Analisis SKPG Tahunan

a. Aspek ketersediaan
Situasi pangan dan gizi pada aspek ketersediaan pangan tahunan diketahui
berdasarkan angka rasio ketersediaan pangan. Ini diperoleh dengan menghitung
ketersediaan pangan serealia per kapita per hari dibanding nilai konsumsi
normatif (300 gram).

 Nilai konsumsi normatif didasarkan pada pola konsumsi pangan di Indonesia


yang menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari
serealia. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2,000 Kkal, dan
untuk mencapai 50% kebutuhan kalori dari serealia dan umbi-umbian
(menurut angka Pola Pangan Harapan), maka seseorang harus
mengkonsumsi kurang lebih 300 gr serealia per hari. Oleh sebab itu dalam
analisis ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi normatif (konsumsi
yang direkomendasikan).

Tabel 5. Nilai Rasio Ketersediaan Tahunan


Indikator Nilai (r) Bobot Warna

Rasio antara ketersediaan r > 1,14 1 Hijau


dibandingkan dengan
konsumsi normatif 0,90 < r ≤ 1,14 2 Kuning

r < 0,90 3 Merah

b. Aspek Akses Pangan


Aspek akses pangan dinilai dengan pendekatan persentase KK Pra-KS dan KS-
1 alasan ekonomi berdasarkan data setahun terakhir.

Tabel 6. Nilai Persentase KK Pra-KS dan KS-1


Indikator Persentase (r) (%) Bobot Warna

% Pra Sejahtera dan r < 20 1 Hijau


Sejahtera I
20 ≤ r < 40 2 Kuning

≥ 40 3 Merah

c. Aspek Pemanfaatan Pangan


Indikator status gizi balita yang dinilai dengan prevalensi gizi kurang pada balita
di masing-masing yang dikumpulkan sekali setahun melalui kegiatan
Pemantauan Status Gizi (PSG).

Tabel 7. Nilai Persentase Prevalensi Gizi Kurang Balita


Indikator Persentase (r) (%) Bobot Warna

Prevalensi gizi kurang r < 15 1 Hijau


pada Balita
15 ≤ r ≤ 20 2 Kuning

> 20 3 Merah

Anda mungkin juga menyukai