PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Manifestasi klini dari Penyakit refluks
gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara –negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu dari
lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta
lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar
7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya.
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada predileksi seksual. Rasio
laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia
yang seringkali mengalami GERD.
2
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter
esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat
dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus SEB dikatakan rendah bila
berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau
terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan
sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan
peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring,
mulut atau nasofaring.
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang
termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat
menurunkan tonus SEB antara lain;
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES
relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5
3
detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya
TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan
pengosongan lambung dan dilatasi lambung.
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak
pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD
yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan
asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB.
4
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk
melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan
alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan
faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut
berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl,
pepsin, garam empedu, enzim pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam
empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori
dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang ada.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD . Pada
kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini
berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan
berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan
intragaster dan terjadilah refluks.
5
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring.
Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat
menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan
asam ke faring atau laring.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di dada
atau epigastrium. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau heartburn.
Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash. Regurgitasi yaitu
pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau faring yang
6
menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit. Pada beberapa
kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan makanan padat. Hal ini
mungkin sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi
esofagus yang berat.
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. Manifestasi non esofagus
pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi),
Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). Di lain pihak, penyakit paru
juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.
Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental,
mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8 minggu,
bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT.
DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
7
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
b. Klasifikasi Savary-Miller
8
Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya refluks
gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.
Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam.
Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka
khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus(3).
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang
normal.
Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan
cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non
invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan
atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.
9
anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan
esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan
terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.
10
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan
tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,
progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil dengan
GERD.
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi
asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih
kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton.
Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu,
setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik
tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini
pertama dan digunakan pendekatan step down.
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan asam
lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi
ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini
adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan
obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan
yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.
11
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi untuk
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.
1. Metoklopramid
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis
reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.
2. Domperidon
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih
jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui
dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat
tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus
dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
12
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat
topikal. Dosis 4x1 gram
13
kekambuhan Terapi on demand
Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas
diagnostik memadai.
Terduga kasus GERD
Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa
pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala
lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan
esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi
PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga
memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup
dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi.
Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD
bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia,
Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan
laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk
mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian
lambung atas.
14
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang
yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang
tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus
barret.
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi
radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat
implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.
15
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek
PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medik.
KOMPLIKASI
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus
dan esofagus Barret.
1. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus.
2. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks. Hal
ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction.
Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau
disfagia pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena
striktura berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter
kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila
gagal dapat dilakukan operasi.
3. Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumnar metaplastik . Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma
esofagus(4). Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma
timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
16
BAB IV
KESIMPULAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit Refluks
Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan retrogard atau
naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis. Keadaan berakibat kandungan
lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari PRGE adalah
rasa nyeri dada retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual
bahkan sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis. Penatalaksanaan
pada kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya
hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE pasien sembuh
dengan terapi medikamentosa.
17
DAFTAR PUSTAKA
Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. 2015 Gambaran klinis dan endoskopi
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS
Persahabatan. Jurnal Respirologi. Jakarta. 58-63
Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Accsessed September 5 2018. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
Makmun D. 2007. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 112-118
Gastroesophageal Reflux Disease. July 15 2016 [Acsessed September 5 2018]. Available :
http://en.wikipedia.org/wiki/Gastroesophageal_reflux_disease.
Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management. June 8 2016
[accsessed Septemeber 5 2018]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited Septemeber 5 2018.
Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. 2015. Refluks Gastroesofageal. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
Balai penerbit FKUI. 124-132
Human pharynx. July 17 2011 [Septemeber 5 2018]. Available :
http://en.wikipedia.org/wiki/Human_pharynx
Esofagus. April 1 2011 [Septemeber 5 2018]. Available : http://id.wikipedia.org/wiki/Esofagus
18