Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan lingkungan merupakan bagian dasar dari kesehatan


masyarakat meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan lingkungan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, disamping faktor perilaku,
faktor pelayanan kesehatan dan keturunan. Penyakit dapat terjadi melalui
hasil interaksi atau hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya.
Lingkungan hidup manusia berkaitan dengan agen pembawa penyakit dan
dapat menimbulkan suatu masalah kesehatan. Di negara berkembang seperti
Indonesia penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi, sehingga dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pendekatan berbagai
progam diarahkan pada pendekatan program berbasis lingkungan (Achmadi,
2011).
Menurut World Heath Or ganization Geneva tahun 2009, diare pada
anak merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang penting
pada negara berkembang, terutama di Indonesia. Terdapat lebih dari 2,3
milyar kasus diare yang memiliki sejumlah 1,5 juta kasus diare pada anak
dibawah 5 tahun yang meninggal karena diare di seluruh dunia. Asia
Tenggara memberikan kontribusi besar, yaitu sejumlah 38%. (WHO Geneva,
2009 dan WHO Geneva 2004) Di Indonesia, kejadian diare pada anak
diperkirakan terdapat sekitar 60 juta kasus setiap tahunnya dan mempunyai
angka kematian yang cukup tinggi pada balita sejumlah 55.000 kematian.
(Putra DS., 2011 dan Susanto L et al, 2008) Dalam Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2009, penyakit diare pada anak merupakan penyakit
yang menempati urutan kedua terbanyak yang menyebabkan kematian pada
balita di Indonesia. (Kusbaryanto H.T., 2008)

1
Diare merupakan suatu kondisi dimana seseorang buang air besar
dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa cairan saja dan
frekuensinya lebih sering (biasanya tiga atau lebih) dalam satu hari (Depkes,
2011). Diare merupakan gejala infeksi yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, virus dan parasit, yang sebagian besar
ditularkan melalui air yang terkontaminasi oleh tinja. Selain itu, siare dapat
disebabkan oleh perilaku/kebiasaan sehari-hari, kebesihan diri dan kebersihan
lingkungan serta faktor lingkungan sekitar rumah. Penyakit diare dapat
menyebar dari orang ke orang, dan dapat diperburuk oleh kebersihan yang
rendah. Makanan merupakan penyebab utama diare bila diolah atau disimpan
dalam kondisi yang tidah higienis dan air dapat mengkontaminasi makanan
selama pengolahannya. Makanan dan minuman dapat terkontaminasi oleh
mikroorganisme yang dibawa oleh serangga atau oleh tangan yang kotor.
Diare mempunyai dampak kematian, selain itu diare dapat menyebabkan
dehidrasi, terganggunya pertumbuhan (gagal tumbuh), dan merupakan
penyebab utama kekurangan gizi pada anak dibawah lima tahun (WHO,
2009).
Berdasarkan data laporan bulanan pengendalian diare pada anak di
Puskesmas Jetis tahun 2017, tercatat sebanyak 62 pasien yang termasuk
pasien rawat jalan maupun rawat inap pada Bulan Oktober 2017. Wilayah
Dusun Jetis merupakan wilayah tertinggi nomor dua dengan kejadian diare
pada balita di Kabupaten Mojokerto yaitu sejumlah 12 kasus. Oleh karena itu,
penelitian ini di laksanakan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan
ibu tentang sanitasi makanan, penyediaan air minum dan sanitasi dasar
sebagai fakor risiko dengan kejadian diare pada balita di Dusun Jetis
Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.

B. Rumusan Masalah

2
Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan,
penyediaan air minum dan sanitasi dasar sebagai fakor risiko dengan kejadian
diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto pada
Bulan Oktober tahun 2017?

C. Tujuan

1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang sanitasi
makanan, penyediaan air minum dan sanitasi dasar sebagai fakor risiko
dengan kejadian diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten
Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.

2. Tujuan khusus :
a. Menganalisis keadaan sanitasi makanan, penyediaan air minum dan
sanitasi daar di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto
pada Bulan Oktober tahun 2017.
b. Menganalisis kejadian diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan
Jetis Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.
c. Menganalisis hubungan antara sanitasi makanan, penyediaan air
minum dan sanitasi dasar sebagai fakor risiko dengan kejadian
diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten
Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang kami harapkan setelah penelitian ini selesai adalah agar data
yang dihasilkan dapat bermanfaat dalam pengembangan program kesehatan
dan sebagai informasi yang mempunyai kontribusi terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan. Beberapa pihak yang termasuk dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini, diantaranya:

3
1. Manfaat bagi institusi
Sebagai informasi tambahan yang membahas mengenai hubungan
antara pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan, penyediaan air minum
dan sanitasi dasar sebagai fakor risiko dengan kejadian diare pada balita di
Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober
tahun 2017. Sehingga dapat sebagai acuan oleh instansi-instansi daerah
setempat untuk memperbaiki berbagai faktor resiko tersebut yang dapat
menimbulkan kejadian diare pada balita.

2. Manfaat akademis
Menambah pengetahuan tentang diare beserta faktor sanitasi makanan,
oenydiaan air minum dan sanitasi dasar yang dapat menyebabkan diare.
Sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan beserta
dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan selaras
dengan permasalahan kasus yang terjadi di masyarakat.

3. Manfaat bagi masyarakat


Sebagai tambahan pengetahuan pada masyarakat tentang sanitasi
makanan, penyediaan air minum dan sanitasi dasar agar dapat mencegah
penularan penyakit diare sebagai upaya masyarakat dalam pencegahan dan
mengurangi angka kejadian diare.

4. Manfaat bagi peneliti


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi
tambahan tentang pengetahuan ibu tentang sanitas makanan, penyediaan air
minum dan sanitasi dasar untuk mengembangkan ilmu kedokteran
masyarakat yang dapat diaplikasikan dengan kehidupan kesehatan
lingkungan bermasyarakat.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan Sanitasi Makanan

1. Pengertian pengetahuan sanitasi makanan


Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahu atau
disadari oleh seseorang. Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai berbagai
gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pada
umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu
sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. (Notoatmotjo, 2005, p:50)
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan
lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk
keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah
agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
Menurut Badudu (dalam Sahdan.2002) pengetahuan sanitasi
lingkungan dapat diartikan sebagai informasi yang diketahui tentang
pengawasan faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang dapat berpengaruh
buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani dan social. Yang termasuk dalam
sanitasi lingkungan adalah pengawasan terhadap persediaan air bersih,
pembuangan sekreta/tinja, pengelolaan sampah, pengelolaan limbah,
pengelolaan makanan (susu, daging dan lain-lain), kebersihan umum,
pencemaran udara, persyaratan rumah sakit , dan tempat-tempat umum
seperti pasar, kantor, bioskop, restoran dan lain-lain.
Lingkungan dengan sanitasi yang buruk menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit endemik kronis yang disebabkan infeksi oleh karena
kontak langsung dengan atau tidak langsung dengan feses manusia. Infeksi
yang disebabkan sanitasi yang buruk dapat dibantu penularannya oleh lalat,
arthropoda, keong, cacing dan vektor lain dengan menyebarkan bakteri
akibat pengotoran makanan dan minuman.

5
2. Faktor sanitasi makanan
Menurut Badudu, 2002, yang termasuk dalam berbagai faktor sanitasi
makanan yaitu :
a. Pengelolaan makanan
Makanan menjadi perhatian yang penting bagi para ahli
lingkungan. Makanan merupakan zat yang diperlukan tubuh untuk
memenuhi fungsinya, baik dalam tumbuh, berkembang, reproduksi
maupun kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam sanitasi pengelolaan
makan sehari-hari harus mengetahui 2 hal utama dalam pengelolaan,
yaitu:
1) Cara pengelolaan makanan
Dalam pengelolaan makanan, makanan harus dimasak,
disimpan, disajikan menurut selera yang beraneka ragam. Makanan
mempunyai hubungan yang lebih erat antara bahan makanan dengan
para penanganan makanan (food handlers). Ini juga menjadi sasaran
perhatian bagi para ahli kesehatan lingkungan. Secara umum agar
faktor makanan ini tidak berbahaya bagi kesehatan, maka perlu
tindakan-tindakan terhadap makanan (food protection). Makanan yang
sehat adalah makanan dengan kandungan gizi yang cukup, jumlah
atau ukurannya seimbang, bersih dan tidak terkontaminasi. (Sarudji.
D, 2006).
Secara garis besar makanan dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat dalam perannya yaitu sebagai berikut (Sarudji. D, 2006):
a) Kandungan zat-zat (gizi) makanan yang kurang karena rusak,
misalnya karena pemanasan yang tinggi atau penyimpanan yang
terlalu lama.
b) Makanan berperan sebagai vehicle dari beberapa macam penyakit
infeksi.
c) Makanan mengandung toksin bakteri.
d) Bahan makanan mengandung racun (poisonous plant and animal).

6
e) Terdapatnya racun kimia yang berasal dari bahan pengawet, bahan
aditif pewarna atau penyedap, kontaminan, proses-proses
pengolahan dan pestisida.

Pada acara penanganan makanan yang tidak benar dapat


mengakibatkan terjadinya penyakit diare. Banyak dari pengelola
makanan yang dalam keseharian mencuci sayuran dan buah dengan
cara yang tidak benar, sehingga berisiko terkontaminasi bakteri
kembali. Dalam pencucian sayuran atau buah-buahan, pengelola
makanan harusmenggunakan air mengalir, bukan dengan air dalam
tampungan. Begitu juga dengan pengolahan makanan yang kurang
higienis juga dapat mengakibatkan penularan penyakit infeksi yang
salah satunya merupakan penyakit diare. (Hiswani, 2003)

2) Cara penyimpanan makanan (Hiswani, 2003)


Bahan makanan merupakan sumber gizi bagi manusia, selain itu
bahan makanan juga merupakan sumber makanan bagi
mikroorganisme lain. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan
pangan dapat menyebabkan perubahan zat terdapat dalam bahan
makanan. Mikroorganisme dapat menjadi factor yang menguntungkan
seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya
simpannya dan juga dapat menyebabkan factor yang merugikan dan
dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak
diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi.
(Hiswani, 2003)
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat
untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain
penyebab penyakit. Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya
gangguan perut dapat diakibatkan oleh karena cara penyimpanan
makanan yang kurang tepat.
Setelah makanan mengalami proses pengolahan, makanan yang
akan disajikan akan mungkin disimpan untuk beberapa waktu sebelum

7
disajikan. Makanan sebagai vehicle dapat terkontaminasi pada proses
penyimpanan ataupun penyajian. (Sarudji. D, 2006)
Yang tetmasuk besar peranannya dalam kontaminasi makanan
melalui cara penyimpanan makanan yaitu pada penanganan makanan
(food handlers) dan vektor berbagai macam penyakit saluran cerna,
seperti lalat, kecoa, dan juga binatang pengerat. (Sarudji. D, 2006)

b. Sumber air bersih


Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks, antara lain untuk minum,
masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per
hari. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting
adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum
dan masak air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut
tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Notoatmodjo, 2003).
Sumber air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak
kalah pentingnya berkaitan dengan angka kejadian penyakit gangguan
cerna termasuk penyakit diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur fekal oral. Yang dimaksud dalam jalur fecal oral
yaitu penyakit yang dapat ditularkan dengan memasukkan bakteri
tersebut melalui mulut dengan cara cairan atau benda yang tercemar oleh
tinja. Berbagai cara penularan penyakit diare yang berhubungan denga
penyediaan air bersih yaitu penyediaan air minum, penyediaan air bersih
untuk mencuci jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panic.
(Depkes RI, 2000).
Menurut Slamet (2004) macam-macam sumber air minum antara
lain :
1) Air permukaan, yaitu air yang terdapat pada permukaan tanah.
Misalnya air sungai, air rawa dan air danau.

8
2) Air tanah, dapat dikategorikan menurut kedalamannya yaitu air tanah
dangkal dan air tanah dalam. Air dalam tanah adalah air yang
diperoleh pengumpulan air pada lapisan tanah yang dalam. Misalnya
air sumur, air dari mata air.
3) Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan
salju.

Menurut Depkes RI tahun 2000, berbagai hal yang perlu


diperhatikan dalam penyediaan air bersih yaitu :
1) Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup
serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang,
anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum
dengan sumber pengotoran seperti septictank, tempat pembuangan
sampah dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4) Mengunakan air yang direbus.
5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih
dan cukup.

Tabel II.1. Persyaratan Kualitatif Air Bersih

Fisik Kimiawi Bakteriologis Radioaktivitas


1. Bebas Zat beracun Tidak boleh Air minum
(As, NO2, Pb) dsb. Mengandung tidak boleh
2. Zat – zat yang kuman typhus, mengandung
dibutuhkan tubuh kolera, disentri zat yang
Tetapi dalam kadar dan telur menghasilkan
Jernih, tidak tertentu cacing. Sinar α > 0,1
berwarna, menimbulkan Bq/l
tidak berbau
dan tidak gangguan kesehatan
berasa. (flor dan iod)
3. Zat – zat tertentu
dangan batas – batas
tertentu (Cl-)
Sumber: (Sarudji, 2006)

9
Air bersih mempunyai beberapa persyaratan. Adapun
persyaratan mengenai air bersih (Sarudji. D, 2006) yaitu :
1) Persyaratan kuantitatif

Di Indonesia konsumsi air untuk daerah perkotaan sekitar 120


liter/orang/hari dan untuk daerah pedesaan sekitar 60 liter/orang/hari.
(Sarudji. D, 2006)`
2) Persyaratan kualitatif
Menuru Sarudji. D tahun 2006, yang termasuk dalam persyaratan
kualitatif air bersih, yaitu :

c. Pengolahan air limbah


Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang
berasal dari rumah tangga, industri, maupun tempat – tempat umum
lainnya. Pada umumnya air limbah mengandung bahan-bahan atau zat–
zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta mengganggu
lingkungan hidup. Meskipun air limbah merupakan air sisa, namun
volume air limbah sangat besar, karena kurang lebih 80% dari air yang
digunakan kegiatan manusia sehari–hari dibuang dalam bentuk yang
sudah kotor (tercemar) dan kemudian air limbah ini akan mengalir ke
sungai dan laut dimana air ini digunakan manusia kembali. Air yang
tidak tersanitasi dapat menjadi media perkembangbiakan
mikroorganisme pathogen, larva nyamuk ataupun serangga yang dapat
menjadi media transmisi penyakit. Oleh sebab itu air buangan ini harus
dikelola dan atau diolah secara baik. Buruknya kualitas sanitasi juga
tercermin dari rendahnya persentase penduduk yang terhubung dengan
sistem pembuangan air limbah (sewerage system ). (Hardjasaputra et al,
2008)
Menurut Depkes RI, 2004, sarana pembuangan air limbah yang
sehat harus memenuhi beberapa syarat teknis, yaitu :
1) Tidak mencemari sumber air bersih.

10
2) Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang
serangga/nyamuk.
3) Tidak menimbulkan bau.
4) Tidak menimbulkan becek, kelembaban dan pandangan yang tidak
menyenangkan.

Dampak yang dapat diakibatkan oleh karena pengelolaan air


limbah yang tidak dikelola dengan baik terhadap lingkungan dan
kesehatan masyarakat, yaitu : (Kusnoputranto, 2000)
1) Akibat terhadap lingkungan
Air buangan limbah dapat menjadi sumber pengotoran, sehingga
bila tidak dikelola dengan baik akan dapat menimbulkan pencemaran
terhadap air permukaan, tanah atau lingkungan hidup dan terkadang
dapat dapat menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak
menyenangkan.
2) Akibat terhadap kesehatan masyarakat
Air buangan limbah dapat menyebabkan gangguan terhadap
kesehatan masyarakat. Air buangan dapat menjadi media tempat
berkembangbiaknya mikroorganisme pathogen, larva nyamuk ataupun
serangga lainnya dan juga dapat menjadi media transmisi penyakit
seperti diare, cholera, thypus dan lainnya

d. Pengelolaan jamban
Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya memiliki
beberapa pilihan akses yang digunakan dalam pengelolaan jamban secara
bergantian, sebelum dialirkan ke sungai. Untuk masyarakat rural dan
peri-urban, meski memiliki toilet di rumah, mereka juga masih
memanfaatkan “toilet terbuka” seperti sungai atau empang. Masyarakat
peri-urban menjadikan kepraktisan dan norma umum (semua orang
melakukannya) sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke
sungai. Tidak heran, sungai-sungai di Indonesia bisa disebut sebagai

11
jamban raksasa karena masyarakat Indonesia umumnya menggunakan
sungai untuk buang air. (Hiswani, 2003)
Masyarakat urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang sempit
atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan
besar untuk membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak
memiliki jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya
tidak diberi pembatas semen sehingg saat hujan tiba, kotoran yang ada di
tanah terbawa air hujan masuk ke dalam sumur. Air sumur akan
terkontaminasi dan inilah yang menyebabkan mudahnya penularan
berbagai penyakit gangguan cerna termasuk diare. (Hiswani, 2003)
Dalam membangun tempat pembuangan tinja diperlukan beberapa
persyaratan sebagai berikut : (Sarudji. D, 2006)
1) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air tanah yang masuk ke dalam
sumber atau mata air dan sumur.
2) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air permukaan.
3) Tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah permukaan. Persyaratan
ini untuk mencegah penularan penyakit cacing.
4) Tinja tidak dapat dijangkau oleh lalat atau binatang-binatang lainnya.
5) Tidak menimbulkan bau dan terlindung dari pandangan, serta
memenuhi syarat-syarat estetika yang lain

Tinja dan limbah harus diolah dengan baik. Pengelolaan tinja dan
limbah yang tidak baik dapat menyebabkan penulran berbagai penyakit
gangguan cerna. Oleh karena itu mengelola tinja merupakan kewajiban
yang harus dilakukan sebaik-baiknya. Pengolahan tinja dan limbah yang
umum dan baik yaitu dengan memanfaatkan fungsi septic tank.
Karenanya harus di lokalisasi tertentu untuk diolah sehingga setelah
dilepas ke lingkungan sudah tidak berbahaya lagi.
Pemilihan lokasi bangunan septic tank sesungguhnya tidak menjadi
masalah, karena bangunan ini kedap air, yang umumnya terbuat dari
beton (concrete) asalkan dijamin tidak bocor. Tapi yang menjadi masalah

12
adalah letak resapan air setelah melalui outlet. Lokasinya harus
menjamin tidak mempunyai kontribusi terhadap kontaminasi sumber air
yang digunakan sebagai sumber air minum. Dianjurkan setidak-tidaknya
berjarak 5 feet antara resapan dengan sumber air. (Sarudji. D, 2006)
e. Pegelolaan sampah
Para ahli kesehatan masyarakat menyebutkan sampah adalah
sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi ataupun
sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak
terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2003)
Menurut Notoatmodjo tahun 2003, untuk tidak mengganggu
kesehatan masyarakat dalam mengelola sampah harus meliputi:
1) Penyimpanan sampah
Penyimpanan sampah setempat harus menjamin tidak
bersarangnya tikus, lalat dan binatang pengganggu lainnya serta tidak
menimbulkan bau. Oleh karena itu persyaratan kontainer sampah
harus mendapatkan perhatian.
2) Pengumpulan sampah
Terjaminnya kebersihan lingkungan pemukiman dari sampah
juga tergantung pada pengumpulan sampah. Pengumpulan sampah
dapat diselenggarakan oleh pihak pemerintah atau oleh pengurus
kampung atau pihak pengelola apabila dikelola oleh suatu real estate
misalnya. Keberlanjutan dan keteraturan pengambilan sampah ke
tempat pengumpulan merupakan jaminan bagi kebersihan lingkungan
pemukiman.
Sampah yang mudah membusuk (garbage) merupakan sumber
makanan lalat dan tikus. Lalat merupakan salah satu vektor penyakit
terutama penyakit saluran pencernaan seperti Thypus abdominalis,
Cholera. Diare dan Dysentri. Oleh karena itu pengumpulan sampah
harus benar-benar dikelola agar tidak dapat menimbulan berbagai
penyakit tersebut. (Hiswani, 2003)
3) Pemusnahan sampah

13
Yang termasuk dalam berbagai upaya dalam pemusnahan atau
pengelolaan sampah yaitu :
a) Ditanam (landfill) yaitu pemusnahan sampah dengan membuat
lubang diatas tanah kemudian sampah dimasukan dan ditimbun
dengan sampah.
b) Dibakar (incenarator) yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
membakar di dalam tengku pembakaran.
c) Dijadikan pupuk (composting) yaitu pengelolaan sampah
menjadikan pupuk, khususnya untuk sampah organik daun-daunan,
sisa makanan dan sampah lain yang dapat membusuk.

Dalam penyebaran penyakit, yang termasuk salah satu factor


yang mendukung yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang
buruk ialah vector. Vektor adalah salah satu mata rantai dari penularan
penyakit. Lalat merupakan salah satu vektor penyakit terutama
penyakit saluran pencernaan seperti thypus perut, kolera, diare dan
disentri. (Sarudji. D, 2006)
Sampah yang mudah membusuk merupakan media tempat
berkembang biaknya lalat. Bahan–bahan organik yang membusuk,
baunya merangsang lalat untuk datang mengerumuni., Adapun
komponen–komponen dalam sistem pengelolaan sampah yang harus
mendapat perhatian agar lalat tidak ada kesempatan untuk bersarang
dan berkembang biak adalah mulai dari penyimpanan sementara,
pengumpulan sampah dari penyimpanan setempat ke tempat
pengumpulan sampah (TPS), transfer dan transport dan tempat
pembuangan akhir (TPA). (Sarudji. D, 2006)

B. Diare

1. Definisi diare
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih
lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24

14
jam. Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai
pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja
normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).

2. Jenis diare
Berdasarkan lamanya diare, diare dibagi menjadi :
a. Diare akut
Diare akut adalah buang air besar yang lembek/cair bahkan dapat
berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3
kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari.
(Depkes RI, 2002). Menurut WHO (2009) diare akut (termasuk kolera),
adalah berlangsung beberapa jam atau beberapa hari dengan bahaya
utamanya adalah dehidrasi.

b. Diare kronik
Diare kronik adalah buang air besar yang cair/lembek dengan
jumlah lebih banyak dari normal dan berlangsung lebih dari 15 hari.
Batasan kronik di Indonesia, dipilih waktu lebih dari 15 hari agar dokter
lebih waspada, serta dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare
dengan tepat.

c. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang merupakan kelanjutan dari diare
akut biasanya berlansung 15-30 hari, dan menurut WHO bahaya utama
dari diare persisten adalah malnutrisi, infeksi usus dan dehidrasi.

3. Penyebab diare
Penyebab diare secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
beberapa golongan yaitu (Depkes RI, 2007):
a. Bakteri
Macam bakteri penyebab penyakit diare, diantaranya yaitu :
Shigella, Salmonella, Eschericia coli (E. coli), Golongan vibrio, Bacilus

15
cereus, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, Camphylo
bacter, serta Aeromonas.

b. Virus
Selain bakteri, diare dapat terjadi akibat virus. Macam virus yang
dapat menyebabkan penyakit diare yaitu: Rotavirus, Norwalk dan
Norwalk Like, serta Adenovirus. Rotavirus merupakan virus penyebab
utama penyakit diare pada anak. Rotavirus diperkirakan menyebabkan
diare balita sebesar 20%-80% di dunia, serta merupakan penyebab utama
kematian balita diare (Breese dalam Depkes RI, 2007b).

c. Parasit
Parasit yang dapat menyebabkan diare diantaranya: Protozoa
seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Cryptosporidium dan berbagai macam cacing perut seperti Ascaris,
Trichuris, Stongloides, dan Blastissistis huminis.

d. Alergi
Diare dapat disebabkan oleh karena alergi. Alergi merupakan
reaksi tubuh tidak tahan terhadap makanan tertentu. Biasanya diare pada
balita yang disebabkan oleh alergi dapat disebabkan oleh karena alergi
terhadap laktosa yang terkandung dalam susu sapi

e. Keracunan
Keracunan dapat menyebabkan diare. Keracunan yang dapat
menyebabkan diare pada balita dapat dibedakan menjadi dua yaitu
keracunan yang diperoleh dari bahan-bahan kimia, dan keracunan yang
diperoleh dari bahan yang dikandung dan diproduksi oleh mahluk hidup
tertentu (seperti racun yang di hasilkan oleh jasad renik, algae, ikan,
buah-buahan, sayur-sayuran).

f. Immunodefisiensi

16
Immunodefisiensi merupakan penurunan daya tahan tubuh.
Immunodefisiensi dapat bersifat sementara (misalnya sesudah infeksi
virus), atau bahkan berlangsung lama seperti pada penderita HIV / AIDS.
Penurunan daya tahan tubuh pada balita ini dapat menyebabkan
seseorang lebih mudah terserang faktor-faktor penginfeksi tubuh
termasuk faktor penginfeksi penyakit diare.

g. Sebab-sebab lain

Selain beberapa faktor yang dapat menyebabkan diare pada balita


yang sudah disebut diatas. Terdapat beberapa sebab lain yang dapat
menyebabkan diare pada balita. Berbagai faktor sebab lain yaitu faktor
perilaku, dan faktor lingkungan. Faktor perilaku yang dimaksud diatas
ialah faktor kebiasaan seorang ibu seperti tidak memberikan ASI,
menggunakan botol susu yang tidak bersih, tidak menerapkan kebiasaan
mencuci tangan, dan penyimpanan makanan yang tidak higienis. Faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan diare pada anak yaitu ketersediaan
air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan jamban,
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.

4. Cara penularan diare


Berbagai agen penyakit umumnya menumpang pada media udara, air,
pangan, serangga ataupun manusia melalui kontak langsung ataupun tidak
langsung. Bebagai agen penyakit beserta medianya disebut sebagai
komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit (Achmadi,
2011). Komponen lingkungan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit diantaranya adalah air, pangan, serangga, udara
dan manusia. Diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan,
dengan rantai penularannya melalui media air, makanan, serangga dan
manusia.
Sumber penyakit penyebab diare biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui :
a. Makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja penderita diare.

17
b. Tangan yang terkontaminasi agen penyebab diare.
c. Air yang terkontaminasi agen penyebab diare.

Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan cara penularan


penyakit diare antara lain (WHO, 2009):
a. Tidak tersedianya air bersih yang memenuhi standar kesehatan.
b. Air yang tercemar oleh agen penyebab diare.
c. Pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
d. Perilaku yang tidak sehat dan lingkungan yang kurang bersih.
e. Pengolahan, penyediaan, dan penyajian makanan yang tidak memenuhi
standar kesehatan.
f. Pencemaran pada makanan

air Mati

Sayur
an
Tinja lalat
Host

Tangan Makana
n dan
Minum
Sakit

Tana
h

Gambar II.1. Skema Penularan Penyakit Diare dari tinja

18
Penyakit diare terutama ditransmisikan melalui kotoran manusia yang
terinfeksi melalui rute transmisi faecal-oral. Tinja yang dibuang
sembarangan akan mencemari lingkungan (tanah, air), jika dibuang ke
tempat terbuka tinja akan dihinggapi lalat, kemudian lalat hinggap pada
makanan/minuman dengan membawa penyakit yang melekat pada anggota
tubuhnya, makanan/minuman yang telah dicemari lalat dikonsumsi oleh
manusia, sehingga penyakitnya masuk melaui mulut manusia. Tangan/kuku
yang tidak bersih setelah berhubungan dengan tinja merupakan sumber
penyakit masuk melaui mulut manusia melalui makanan/minuman
(Soemirat, 2007). Tinja akan mencemari air baku, kemudian air baku
diminum manusia tanpa dimasak, atau mencemari sayuran yang dicuci
dengan air yang sudah tercemar tinja. (gambar II.1.)

5. Upaya pencegahan diare


Penyakit diare merupakan salah satu penyakit gangguan cerna yang
dapat dicegah dengan beberapa perilaku yang dilakukan untuk dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh kejadian
penyakit. Perilaku yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian penyakit
diare yaitu : (Depkes RI, 2011c)
a. Pemberian ASI
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan
adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit
diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh
mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap penyakit daripada
pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi
yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab botol untuk susu
formula, berisiko tinggi menyebabkan penyakit gangguan cerna termasuk
diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk pada balita.

b. Pemberian makanan pendamping ASI yang bersih.

19
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara
bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku
pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian
terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI
diberikan. Ada beberapa cara pemberian makanan pendamping ASI,
yaitu :
1) Perkenalkan makanan lunak yang bersih dan sehat ketika anak
berumur 6 bulan dengan pemberian ASI.
2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-
bijian untuk energy.
3) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak. Suapi
anak dengan sendok yang bersih.
4) Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang
dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

c. Penyediaan dan penggunaan air bersih.


Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan
melalui air antara lain adalah diare, kolera, disentri, hepatitis, penyakit
kulit, penyakit mata, dan berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan air
bersih baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga kebersihan
diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut,
penyediaan dan penggunaan air bersih yang cukup disetiap rumah tangga
harus tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus tetap
dilaksanakan

d. Menjaga kebersihan tangan.


Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci
tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah
membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi

20
makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian
diare (Menurunkan angka kejadian diare sebesar 47%).

e. Pengelolaan tinja bayi dengan benar.


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya.
Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit
pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
Hal itu disebabkan karena tinja yang mengandung bakteri penyebab
penyakit tertentu dapat di hinggapi salah satu vector seperti lalat yang
akhirnya dapat menyebabkan oenularan penyakit terhadap seluruh rumah
tangga atau warga sekitar. Sehingga dengan mengelola tinja bayi dengan
benar, masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan penyakit
gangguan cerna termasuk penyakit diare.

f. Pengelolaan air limbah


Berbagai macam air limbah baik air limbah pabrik ataupun air
limbah rumah tangga harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi
sumber penularan penyakit. Sarana pembuangan air limbah yang tidak
memenuhi syarat akan menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat
menjadi tempat perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini
dapat berpotensi menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis
untuk daerah yang endemis filaria. Bila ada saluran pembuangan air
limbah di halaman, secara rutin harus dibersihkan, agar air limbah dapat
mengalir, sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak
menjadi tempat perindukan nyamuk

g. Pengelolaan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan
risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban
harus membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh keluarga dalam pengelolaan

21
jamban yaitu setiap keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi
dengan baik, bersihkan jamban secara teratur dan menggunakan alas kaki
bila akan buang air besar.

h. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang
biaknya vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dan
sebagainya. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan menimbulkan
gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan
sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
Tempat sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap hari
dan dibuang ke tempat penampungan sementara. Bila tidak terjangkau
oleh pelayanan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir dapat
dilakukan pemusnahan sampah dengan cara ditimbun atau dibakar

6. Penatalaksanaan Diare
Di Indonesia, terdapat kebijakan pengendalian penyakit diare.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian karena diare bersama lintas program dan lintas sektor terkait
(Depkes RI, 2011b). Isi dari kebijakan tersebut diantaranya adalah
melaksanakan tatalaksana diare yang sesuai standar, baik di sarana
kesehatan maupun di tingkat rumah tangga.
Tujuan penatalaksanaan diare adalah mencegah terjadinya dehidrasi,
mencegah adanya gangguan gizi dan memperpendek lamanya sakit dan
mencegah diare menjadi lebih berat.
Terdapat Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare) pada balita
yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan yaitu :
a. Rehidrasi menggunakan Oralit yang mempunyai osmolaritas rendah.
b. Zinc yang diberikan selama 10 hari berturut-turut.
c. Meneruskan pemberian ASI dan makanan.
d. Pemberian antibiotik selektif

22
C. Pengaruh Pengetahuan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare
Menurut Badudu (dalam Sahdan.2002) pengetahuan sanitasi lingkungan
dapat diartikan sebagai informasi yang diketahui tentang pengawasan faktor-
faktor lingkungan fisik manusia yang dapat berpengaruh buruk terhadap
kesehatan jasmani, rohani dan social.
Yang termasuk dalam berbagai macam sanitasi lingkungan yang
berhubungan dengan sanitasi makanan yaitu factor penyediaan air bersih,
factor pengelolaan makanan, factor pengelolaan limbah, factor pengelolaan
jamban dan factor pengelolaan sampah. (Badudu, 2002)
Dalam penyediaan air bersih, sumber air bersih merupakan salah satu
sarana sanitasi penting dan berkaitan dengan angka kejadian penyakit
gangguan cerna termasuk penyakit diare. Sebagian kuman infeksius penyebab
diare dapat ditularkan melalui jalur fekal oral. Penyakit yang ditularkan melalui
jalur fecal oral yaitu penyakit yang dapat ditularkan dengan memasukkan
bakteri tersebut melalui mulut dengan cara cairan atau benda yang tercemar
oleh tinja. Dengan tidak adanya penyediaan sumber air bersih dapat
mengakibatkan air yang telah terkontaminasi akan ikut mengkontaminasi
penyediaan air minum, penyediaan air bersih untuk mencuci jari-jari tangan,
dan makanan yang disiapkan dalam sehari-hari. (Depkes RI, 2000).
Pada penelitian ini juga akan membahas pengelolaan makanan. Makanan
menjadi perhatian yang penting bagi para ahli lingkungan. Makanan
merupakan zat yang diperlukan tubuh untuk memenuhi fungsinya, baik dalam
tumbuh, berkembang, reproduksi maupun kesejahteraan. Oleh karena itu,
dalam sanitasi pengelolaan makan sehari-hari harus mengetahui 2 hal utama
dalam pengelolaan, yaitu: cara pengelolaan makanan dan cara penyimpanan
makanan yang benar. Pada penanganan makanan yang tidak benar seperti
mencuci sayuran dan buah, dapat mengakibatkan terjadinya penyakit diare
yang diakibatkan pengelola makanan. Sehingga dengan pengelolaan makan
yang tidak benar dapat menyebabkan makanan berisiko terkontaminasi bakteri
kembali dan dapat mengakibatkan penularan penyakit infeksi yang salah
satunya merupakan penyakit diare. (Hiswani, 2003) Selain itu, setelah makanan

23
mengalami proses pengolahan, makanan yang akan disajikan akan mungkin
disimpan untuk beberapa waktu sebelum disajikan. Lalat merupakan vector
yang termasuk besar peranannya dalam kontaminasi makanan melalui cara
penyimpanan makanan yaitu pada penanganan makanan (food handlers).
(Sarudji. D, 2006)
Dalam proses pengelollan air limbah, air limbah mengandung bahan-
bahan atau zat–zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta
mengganggu lingkungan hidup. Air limbah yang digunakan dalam kegiatan
manusia sehari–hari dibuang dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar) dan
kemudian air limbah ini akan mengalir ke sungai dan laut dimana air ini
digunakan manusia kembali. Air yang tidak tersanitasi dapat menjadi media
perkembangbiakan mikroorganisme pathogen, larva nyamuk ataupun serangga
yang dapat menjadi media transmisi penyakit. (Hardjasaputra et al, 2008)
Dalam penelitian ini juga membahas tentang factor pengelolaan jamban.
Dengan pengelolaan jamban yang tidak baik dapat mempengaruhi terjadinya
diare. Biasanya masyarakat urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang
sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan
besar untuk membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak memiliki
jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi
pembatas semen sehingg saat hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air
hujan masuk ke dalam sumur. Air sumur akan terkontaminasi dan inilah yang
menyebabkan mudahnya penularan berbagai penyakit gangguan cerna
termasuk diare. (Hiswani, 2003)
Dalam penyebaran penyakit diare, yang termasuk salah satu factor yang
mendukung yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang buruk ialah
vector. Vektor adalah salah satu mata rantai dari penularan penyakit. Lalat
merupakan salah satu vektor penyakit terutama penyakit saluran pencernaan
seperti thypus perut, kolera, diare dan disentri. (Sarudji. D, 2006)
Sampah yang mudah membusuk merupakan media tempat berkembang
biaknya lalat. Bahan–bahan organik yang membusuk, baunya merangsang lalat
untuk datang mengerumuni., Adapun komponen–komponen dalam sistem

24
pengelolaan sampah yang harus mendapat perhatian agar lalat tidak ada
kesempatan untuk bersarang dan berkembang biak dan mulai menyebar
bakteri pada lingkungan sekitar yaitu dengan mulai dari penyimpanan
sementara, pengumpulan sampah dari penyimpanan setempat ke tempat
pengumpulan sampah (TPS), transfer dan transport dan tempat pembuangan
akhir (TPA). (Sarudji. D, 2006)

25
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka teori dibuat untuk menyempitkan bidang pandang dan


penyederhanaan permasalahan penelitian. Konsep yang dibuat dalam kerangka
teori sudah dijelaskan landasan teori pada tinjauan pustaka pada bab
sebelumnya.

Program Penyuluhan
Puskesmas

Pengatahuan ibu Baik


tentang :

1. Penyediaan Air
Bersih Perilaku penyediaan KEJADIAN
2. Pengelolaan makanan balita DIARE BALITA
makanan
3. Pengelolaan Air
Limbah Buruk

4. Pembuangan Jamban
5. Pengelolaan sampah

Faktor: lingkungan
sosial, ekonomi, budaya.

Bagan III.1. : Kerangka Konsep Penelitian tentang Hubungan antara


Pengetahuan Ibu tentang Sanitasi Makanan sebagai Faktor Risiko dengan
Kejadian Diare pada Balita di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten
Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.

26
Penjelasan Kerangka Konsep :

1. Penyediaan sumber air bersih


Sumber air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak
kalah pentingnya berkaitan dengan angka kejadian penyakit gangguan cerna
termasuk penyakit diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur fekal oral. Berbagai cara penularan penyakit diare
yang berhubungan denga penyediaan air bersih yaitu penyediaan air minum,
penyediaan air bersih untuk mencuci jari-jari tangan, dan makanan yang
disiapkan dalam panic (Depkes RI, 2000) Sumber air bersih merupakan
salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan
angka kejadian penyakit gangguan cerna termasuk penyakit diare. Bila
penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan baik, maka tingkat kejadian
penyakit terutama diare akan menurun, karena air merupakan sumber
penularan fecal oral. Apabila pengelolaan buruk akan muncul beberapa
penyakit yang akan terjadi pada masyarakat, seperti diare, cacingan, bahkan
bisa terjadi kekeringan dan kemisikinan

2. Pengelolaan makanan
Makanan menjadi perhatian yang penting bagi para ahli lingkungan.
Makanan merupakan zat yang diperlukan tubuh untuk memenuhi fungsinya,
baik dalam tumbuh, berkembang, reproduksi maupun kesejahteraan. Oleh
karena itu, dalam sanitasi pengelolaan makan sehari-hari harus mengetahui
2 hal utama dalam pengelolaan yaitu cara pengelolaan dan cara penyipanan
makanan. (Sarudji. D, 2006). Bila pengelolaan makanan baik maka
terhindar dari kontaminasi bakteri sehingga dapat terhindar dari penyakit
yang disebabkan oleh makanan. Pengolahan makanan yang kurang higienis
juga dapat mengakibatkan penularan penyakit infeksi yang salah satunya
merupakan penyakit diare

3. Pengelolaan air limbah

27
Pada umumnya air limbah mengandung bahan-bahan atau zat–zat
yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta mengganggu
lingkungan hidup. Meskipun air limbah merupakan air sisa, namun volume
air limbah sangat besar, karena kurang lebih 80% dari air yang digunakan
kegiatan manusia sehari–hari dibuang dalam bentuk yang sudah kotor
(tercemar) dan kemudian air limbah ini akan mengalir ke sungai dan laut
dimana air ini digunakan manusia kembali. Air yang tidak tersanitasi dapat
menjadi media perkembangbiakan mikroorganisme pathogen yang dapat
menjadi media transmisi penyakit. (Hardjasaputra et al, 2008)

Sarana pembuangan air limbah yang dikelola dengan baik akan


menurunkan kejadian pencemaran air permukaan, tanah, serta
pemandangan. Selain itu masyarakat akan terhindar dari masalah penyakit
karena akan menurunkan perkembangbiakan mikroorganisme
patogen.Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat akan
menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
menularkan penyakit seperti leptospirosis, Tifoid, filariasis , dan diare

4. Pengelolaan jamban
Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya memiliki
beberapa pilihan akses yang digunakan dalam pengelolaan jamban secara
bergantian, sebelum tinja dialirkan ke sungai. Tinja dan limbah harus
diolah dengan baik. Pengelolaan tinja dan limbah yang tidak baik dapat
menyebabkan penulran berbagai penyakit gangguan cerna. (Hiswani,
2003).

Fungsi jamban dari aspek kesehatan lingkungan antara lain dapat


mencegah berkembangnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh
kotoran manusia. sementara dampak serius membuang kotoran di
sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara karena

28
menimbulkan bau.Pembuangan tinja yang tidak dikelola dengan baik
berdampak mengkhawatirkan terutama pada kesehatan dan kualitas air
khususnya penyakit diare.

5. Pengelolaan sampah

Dalam penyebaran penyakit, yang termasuk salah satu factor yang


mendukung yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang buruk
ialah vector. Vektor adalah salah satu mata rantai dari penularan
penyakit. Lalat merupakan salah satu vektor penyakit terutama penyakit
saluran pencernaan seperti thypus perut, kolera, diare dan disentri.
(Sarudji. D, 2006)
Dampak pengelolaan sampah yang baik akan menenyebabkan
banyak manfaat seperti menurunkan angka kejadian penyakit, Sampah
dapat digunakan untuk pupuk, Sampah dapat diberikan untuk pakan
ternak setelah menjalani proses manajemen yang telah ditentukan
sebelumnya untuk mencegah dampak buruk dari limbah ternak,
Pengelolaan limbah menyebabkan berkurangnya tempat berkembang
biak bagi serangga atau hewan pengerat, Mengurangi kejadian kasus
penyakit menular yang erat kaitannya dengan sampah. Keadaan
lingkungan yang bersih estetika merangsang kehidupan masyarakat
Dampak negatif yang ditimbulkan sampah apabila tidak dikelola
dnegan baik akan berpengaruh terhadap kesehatan seperti peningkatan
angka kejadian penyakit khususnya diare dan demam berdarah, serta
pengaruh terhadap lingkungan yang membuat estetika menjadi lebih
buruk

B. Hipotesis

Dari uraian di atas, dapat disusun hipotesis sebagai berikut : “Ada


hubungan antara pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan sebagai fakor

29
risiko dengan kejadian diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan Jetis
Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017”

30
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian analitik, menggunakan metode survey


dengan rancangan case control, dimana data yang menyangkut variabel bebas
(faktor pengetahuan tentang sanitasi makanan) diidentifikasi terhadap efek
penyakitnya (diare) pada saat ini, sementara faktor risiko tersebut terjadinya
pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto.

2. Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2017 dengan jadwal
kegiatan sebagaimana dapat dilihat di tabel 4.1. sebagai berikut :

Tabel IV.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Tanggal Kegiatan
11 Oktober 2017 Persiapan
06-08 November 2017 Pengumpulan data
08-10 November 2017 Pengelolaan data
10-11 November 2017 Analisis
12 November 2017 Penyusunan laporan/seminar

31
C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak berusia di bawah lima
tahun (balita) yang tinggal di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten
Mojokerto sebagai responden.
a. Kriteria inklusi
1) Ibu balita yang bertempat tinggal di Dusun Jetis Kecamatan Jetis
Kabupaten Mojokerto setidak-tidaknya sejak bulan Juli 2017 (tiga
bulan yang lalu) terhitung mulai dari bulan Oktober tahun 2017.
2) Bersedia menjadi subjek penelitian (responden).
3) Dapat membaca dan menulis.

a. Kriteria eksklusi
1) Ibu balita yang pada saat penelitian tidak berada dirumahnya dan tidak
ditemui setelah didatangi lagi pada hari berikunya.
2) Ibu balita yang dijadikan kontrol adalah yang mempunyai salah satu
anak balita yang menderita diare dirumahnya pada saat penelitian.

2. Sampel
a. Kelompok kasus
Di Puskesmas Jetis terdapat 12 ibu dengan balita yang tercatat
terkena diare yang bertempat tinggal di Dusun Jetis Kecamatan Jetis
Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017 yang diambil
secara keseluruhan jumlah tersebut untuk menjadi kelompok kasus.

b. Kelompok kontrol
Dalam penelitian ini ditentukan 1 ibu berbalita yang terkena
diare sebagai kasus dikontrol dengan 3 ibu berbalita yang tidak
terkena diare, sehingga didapat 36 (3x12) ibu berbalita dengan balita
tidak terkena diare. Diupayakan memenuhi syarat matching untuk

32
menjadi sampel kelompok kontrol yaitu tetangga kasus dengan balita
sebaya dan sejenis kelamin.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas
Pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan di Dusun Jetis Kecamatan Jetis
Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.
2. Variabel terikat
Kejadian diare di Dusun Jetis Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto pada
Bulan Oktober tahun 2017.

E. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


(Tabel IV.2)

Tabel 4.2. Definisi Operasional, Kategori/Kriteria, Alat Ukur dan Skala Data
dari Variabel Penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Kategori/Kriteria Alat Ukur Skala


1. Variabel Pengetahuan ibu balita tentang 1. Baik : bila jawaban Kuesioner Nominal
bebas : sanitasi makanan, penyediaan air benar (ya) >75%
minum dan sanitasi dasar adalah
Pengetahua pengetahuan tentang sanitasi yang 2. Kurang baik, bila
n Ibu balita terkait dengan sebab terjadinya dan jawaban benar (ya) <
tentang upaya pencegahan diare melalui 76%
sanitasi sanitasi tentang pengelolaan
makanan makanan, sumber air bersih,
pengelolaan limbah, pengelolaan
jamban dan pengelolaan sampah,
yang dinyatakan dalam sejumlah
pertanyaan dalam kuesioner dengan
kategori :
1. Baik
2. Kurang Baik

2. Variabel Diare adalah peningkatan 1. Diare, bila tercatat Rekam Nominal


Terikat pengeluaran tinja dengan dalam rekam medis Medis di
konsistensi lebih lunak atau lebih Puskemas Jetis. Puskesmas
Kejadian cair dari biasanya, dan terjadi paling Jetis
Diare sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dengan 2. Tidak diare, bila Kecamatan
Kategori : tidak tercatat Jetis
1. Diare sebagai pasien diare Kabupaten
2. Tidak diare Mojokerto

33
di Puskesmas Jetis.

F. Alat dan Bahan


1. Kuesioner
2. Alat Tulis
3. Meteran

G. Prosedur Penelitian
Gambar 4.2: Alur Penelitian tentang hubungan antara pengetahuan ibu
tentang sanitasi makanan, penyediaan air minum dan sanitasi dasar sebagai
fakor risiko dengan kejadian diare pada balita di Dusun Jetis Kecamatan
Jetis Kabupaten Mojokerto pada Bulan Oktober tahun 2017.

a. PERSIAPAN PENELITIAN

b. identifikasi subyek yang berpotensi masuk dalam penelitian

c. Informed consent
Tidak bersedia
Bersedia

d. Penilaian lebih lanjut


Tidak memenuhi
kriteria
Memenuhi kriteria

e. Pengambilan sampel secara consecutive

f. Pengumpulan dan pengolahan data

g. Analisis data

34
H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data
Setelah data dikelompokkan lalu data diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut (Pranoto, 2013):
a. Pemeriksaan Hasil Pertanyaan (Editing)
Memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh peserta.
Pemeriksaan daftar pertanyaan yang selesai dilakukan terhadap beberapa
hal, antara lain:
1) Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan sudah ada jawaban,
meskipun hanya jawaban berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab.
2) Kesulitan membaca tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan
mempesulit pengolahan data atau berakibat pengolahan data salah
membaca.
3) Kesesuaian jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak sesuai
maka editor harus tidak sesuai.
b. Memberi tanda/kode (Coding)
Memberikan tanda berupa kode pada semua variabel untuk
memudahkan analisis jawaban dari responden.
c. Tabulating
Penyajian data dalam bentuk angka yang disusun dalam tabulasi
data berupa kolom dan baris dengan tujuan untuk menunjukkan frekuensi
kejadian dalam kategori yang berbeda. Langkah berikutnya adalah
memasukkan data yang dilakukan secara manual dan komputerisasi. Data
yang berupa persentase (distribusi frekuensi) kemudian di interpretasikan
dengan menggunakan skala sebagai berikut:
100% : Seluruhnya
79% - 99% : Hampir seluruhnya
51% - 75% : Sebagian besar
50% : Setengahnya
26% - 25% : Sebagian kecil

35
0% : Tidak satupun

2. Analisis data
Analisis data digunakan untukmenguji hipotesis sebagai berikut:
Ho : Tidak ada hubungan......................................
H1 : Ada hubungan .............................................
Data di analisis sesuai karakteristik variabel dan skala variabel. Dalam
peneelitian ini (case control study) analisis menggunakan Odds Ratio
dengan perhitungan sebagaai berikut:

Tabel IV3. Analisis Odd Rasio dari Penelitian

Kejadian Diare
Faktor risiko/pengetahuan Ya Tidak
saniitasi makanan
Kurang baik A B
Baik C D

OR = AD/BC
OR = 1 berarti faktor risiko tidak berpengaruh terhadap kejadian diare.
OR > 1 berarti Faktor Resiko berpengaruh terhadap kejadian diare.
OR < 1 berarti Faktor Risiko menjadi faktor pencegah/protektif terhadap
diare

36
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

1. Letak

Penelitian dilaksanakan di Dusun Jetis yang masuk dalam wilayah kerja

Puskesmas Jetis, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa

Timur. Berikut adalah data umum dan data khusus Desa Jetis:

Gambar V.1 Peta Desa Jetis, Jetis, Mojokerto


(Google Maps, 2017)
1. Identitas

a. Dusun : Jetis

b. Desa : Jetis

c. Kecamatan : Jetis

d. Kabupaten : Mojokerto

37
e. Provinsi : Jawa Timur

2. Data geografi

a. Kabupaten Mojokerto memiliki luas wilayah 969.360 Km2 dengan

batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut:

1) Barat : Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto

2) Timur : Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto

3) Selatan : Kecamatan Sooko dan Puri Kabupaten Mojokerto

4) Utara : Sungai Brantas

Kecamatan Jetis berada di sebelah utara Kota Mojokerto. Berjarak 15

Km dari pusat kota Mojokerto. Sebelah utara berbatasan dengan

Kecamatan Dawar Blandong, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan

Wringin Anom, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Gedeg, dan

sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kemlagi.

b. Luas dan batas wilayah Desa Jetis, Kecamatan Jetis Kabupaten

Mojokerto:

1) Luas Desa/Kelurahan : 523 Ha

2) Batas wilayah

a) Sebelah utara : Desa Lakardowo

b) Sebelah selatan: Desa Ngabar

c) Sebelah barat : Desa Bendung

d) Sebelah timur : Desa Parengan

38
Adapun jarak yang ditempuh dari dusun Jetis ke Kecamatan Jetis,

diperkirakan sekitar 2 km. Sedangkan, untuk menuju ke Kabupaten

Mojokerto, diperkirakan mencapai 17 km.

3. Data demografi

a. Jumlah penduduk : 3107

-Laki-laki : 1512

-Perempuan:1595

b. Jumlah Kepala Keluarga : 1471 KK

4. Pemerintahan Desa/Kelurahan

a. Jumlah RT : 53

b. Jumlah RW : 10

c. Jumlah perangkat Desa/Kel: 8

d. Jumlah Dusun : 5

5. Data sumber daya

a. Sarana pendidikan

1) Jumlah Play Group : 2 Buah

2) Jumlah TK : 1 Buah

3) Jumlah SD/MI : 1 Buah

4) Jumlah SLTP/MTs :-

5) Jumlah SMU/MA :-

6) Jumlah TPQ :2 Buah

b. Sarana ibadah

1) Jumlah Masjid : 5 Buah

39
2) Jumlah Mushola : 8 Buah

3) Jumlah Gereja :-

4) Jumlah Pura :-

5) Jumlah Vihara :-

6. Jenis pekerjaan

a. PNS : 25 Orang

b. TNI : 50 Orang

c. Petugas Medis : 12 Orang

d. Karyawan Swasta : 122 Orang

e. Wiraswasta/pedagang : 123 Orang

f. Petani : 801 Orang

g. Nelayan :-

h. Pekerja lepas : 107 Orang

i. Buruh Migran Perempuan/TKW : -

j. Buruh Migran Laki-laki :-

k. Pengrajin :-

l. Peternak : 102 Orang

m. Seniman/artis :-

n. Paranormal :-

7. Potensi prasarana kesehatan

a. Rumah Sakit :-

b. Puskesmas :-

c. Puskesmas pembantu :-

40
d. PONKESDES : 1 Buah

e. Polindes :-

f. Poskesdes :-

g. Posyandu Balita : 5 Buah

h. Posyandu Lansia : 5 Buah

i. Dokter praktek swasta :-

j. Bidan praktek swasta : 1 Buah

k. RB/BKIA :-

l. Pos Obat Desa/POD :-

m. Battra :-

n. Pos Gizi :-

o. Pos UKK :-

p. Jumlah Kader Kesehatan yang ada : 15 Orang

(Posyandu, Kesling dll)

41
Karakteristik Responden
1. Karakteristik umur balita
Tabel V.1 Karakteristik umur balita di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto
Umur balita Jumlah Persentase (%)

1 tahun 14 29,2

2 tahun 11 22,9

3 tahun 11 22,9

4 tahun 8 16,7

5 tahun 4 8,3

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017

Berdasarkan tabel V.1 menunjukkan bahwa persentase tertinggi


(29,2%) balita berumur 1 tahun sebanyak 14 balita dan persentase terendah
(8,3%) balita berumur 5 tahun sebanyak 4 balita.5

2. Karakteristik umur ibu


Tabel V.2 Karakteristik umur ibu di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto
Umur ibu Jumlah Persentase (%)

18-20 tahun (remaja akhir) 3 6,3

21-35 tahun (dewasa awal) 36 75

36-45 tahun (dewasa tengah) 9 18,7

46-60 tahun (dewasa akhir) 0 0

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017

42
Berdasarkan tabel V.2 menunjukkan bahwa sebagian besar (75%)
responden berumur antara 21-35 tahun (dewasa awal) sebanyak 36 orang dan
sebagian kecil (6,3) responden berumur 18-20 tahun (remaja akhir) sebanyak
3 orang.

3. Karakteristik pendidikan ibu

Tabel V.3 Karakteristik pendidikan ibu di Puskesmas Jetis Kabupaten


Mojorto
Pendidikan Jumlah Persentase (%)

Dasar (SD-SMP) 15 31,2

Menengah (SMA) 27 56,3

Tinggi (Diploma, S1) 6 12,5

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017

Berdasarkan tabel V.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (56,3%)


responden berpendidikan menengah (tamat SMA) sebanyak 27 orang dan
sebagian kecil (12,5%) responden berpendidikan tinggi (tamat S1) sebanyak 6
orang.

4. Karakteristik pendidikan ibu

Tabel V.4 Karakteristik paritas ibu di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojorto


Paritas Jumlah Persentase (%)

Primipara (1 anak) 15 31,2

Multipara (2-4 anak) 33 68,8

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017

43
Berdasarkan tabel V.4 menunjukkan bahwa sebagian besar (68,8%)
responden memiliki 2-4 anak (multipara) sebanyak 33 orang dan sebagian
kecil (31,2%) responden memiliki 1 anak (primipara) sebanyak 15 orang.

44
5. Hasil pengisian kuesioner pengetahuan tentang sanitasi makanan
Tabel V.5 Distribusi hasil pengisian kuesioner pengetahuan tentang sanitasi
makanan responden di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto

Jawaban

No Indikator Kurang baik Baik

n % n %

1 Sumber air bersih 26 (54,2%) 22 (45,8%)

2 Pengelolaan makanan 16 (33,3%) 32 (66,7%)

3 Pembuangan air limbah 35 (72,9%) 13 (27,1%)

4 Sarana jamban 41 (85,4%) 7 (14,6%)

5 Pengelolaan sampah 31 (64,6%) 17 (35,4%)

Jumlah responden = 48

Sumber: Data primer 2017

Berdasarkan tabel V.5 menunjukkan hasil pengisian kuesioner


pengetahuan tentang sanitasi makanan. Dari 5 indikator pengetahuan sanitasi
makanan menunjukkan pengetahuan sumber air bersih didapatkan sebagian
besar (54,2%) responden berpengetahuan kurang baik, pengetahuan
pengelolaan makanan sebagian besar (66,7%) responden berpengetahuan
baik, pengetahuan pembuangan air limbah (72,9%) responden
berpengetahuan kurang baik, pengetahuan sarana jamban sebagian besar
(85,4%) responden berpengetahuan kurang baik, dan pengetahuan
pengelolaan sampah sebagian besar (64,6%) responden berpengetahuan
kurang baik.
6. Karakteristik pengetahuan tentang sanitasi makanan

45
Tabel V.6 Karakteristik pengetahuan tentang sanitasi makanan di Puskesmas
Jetis Kabupaten Mojorto
Pengetahuan Jumlah Persentase (%)

Kurang baik 20 41,7

Baik 28 58,3

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017


Berdasarkan tabel V.6 menunjukkan bahwa sebagian besar (58,3%)
responden memiliki pengetahuan tentang sanitasi makanan baik sebanyak 28
orang dan sebagian kecil (41,7%) responden memiliki pengetahuan tentang
sanitasi makanan kurang baik sebanyak 20 orang.
7. Karakteristik kejadian diare balita
Tabel V.7 Karakteristik kejadian diare pada balita di Puskesmas Jetis
Kabupaten Mojorto
Kejadian diare Jumlah Persentase (%)

Diare 12 25

Tidak diare 36 75

Jumlah 48 100

Sumber: Data primer 2017


Berdasarkan tabel V.7 menunjukkan bahwa sebagian besar (75%)
balita tidak mengalami diare sebanyak 36 balita dan sebagian kecil (25%)
balita mengalami diare sebanyak 12 balita.

B. Analisis Data
1. Hubungan antara pengetahuan tentang sanitasi makanan dengan kejadian
diare pada balita

46
Tabel V.8 Tabulasi silang hubungan antara pengetahuan tentang sanitasi
makanan dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Jetis
Kabupaten Mojokerto

Pengetahuan

Diare Kurang baik Baik Jumlah P OR (95%CI)


value
n (%) n (%) n (%)

Diare 10 (83,3%) 2 (16,7%) 12 (100%)

Tidak diare 10 (27,8%) 26 (72,2%) 36 (100%) 0,002 13 (2,413–70,051)

Jumlah 20 (4175%) 28 (58,3%) 48 (100%)

Berdasarkan hasil tabulasi silang tabel V.8 dapat diketahui bahwa 12


balita yang mengalami diare hampir seluruhnya (83,3%) ibu dengan
pengetahuan tentang sanitasi makanan kurang baik. Sedangkan 36 balita yang
tidak mengalami diare sebagian besar (72,3%) ibu dengan pengetahuan
tentang sanitasi makanan baik.

Hasil uji chi square didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,002 dimana P
< α (0,05) sehingga Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara pengetahuan
tentang sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas
Jetis Kabupaten Mojokerto dan dari nilai OR dapat disimpulkan responden
yang memiliki pengetahuan tentang sanitasi makanan kurang baik beresiko
balita mengalami diare sebanyak 13 (95%CI : 2,413-70,051) kali
dibandingkan responden dengan pengetahuan tentang sanitasi makanan baik.

47
BAB VI

PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Pengetahuan tentang sanitasi makanan
Hasil penelitian pada tabel V.5 menunjukkan pengetahuan tentang
sanitasi makanan meliputi 5 faktor yaitu sumber air bersih, pengelolaan
makanan, pembuangan air limbah, sarana jamban dan pengelolaan sampah
rumah tangga. Dari 5 faktor tersebut hanya pengetahuan mengenai faktor
pengelolaan makanan yang baik sebesar 66,7% responden. Sedangkan ke
empat faktor lainnya yaitu sumber air bersih (45,8%), pembuangan air limbah
(27,1%), sarana jamban (14,6%) dan pengelolaan sampah rumah tangga
(35,4%) pengetahuan baik < 50 %.. Dari hasil tersebut menunjukkan banyak
ibu yang beranggapan bahwa pengetahuan tentang pengelolaan makanan akan
mempengaruhi perilakunya dalam mengelola makanan sehingga kejadian
diare pada balita dapat dihindari. Sedangkan keempat faktor lainnya tidak
begitu pengaruh terhadap kejadian diare pada balita.

Berdasarkan tabel V.6 menunjukkan bahwa sebagian besar (58,3%)


responden memiliki pengetahuan tentang sanitasi makanan baik dan hampir
setengahnya (41,7%) responden memiliki pengetahuan tentang sanitasi
makanan kurang baik.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Untuk mendapatkan pengetahuan diperlukan proses
belajar, dengan belajar akan dapat terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan
tingkah laku tersebut bisa mengarah yang lebih baik jika individu tersebut
menganggap bahwa itu bermanfaat, tetapi juga ada kemungkinan mengarah
kepada tingkah laku yang lebih buruk jika individu menganggap objek yang
dipelajari tidak sesuai dengan keyakinannya (Soediatama, 2008).

48
Mayoritas tingkat pengetahuan baik, hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor
umur. Berdasarkan tabulasi silang umur dengan pengetahuan (lampiran
SPSS) menunjukkan responden berumur 18-20 tahun (remaja akhir) sebagian
besar (66,7%) memiliki pengetahuan kurang baik, sedangkan responden
berumur 36-45 tahun (dewasa tengah) hampir seluruhnya (88,9%) memiliki
pengetahuan baik. Hal ini menggambarkan semakin tua umur ibu semakin
baik pengetahuannya. Sesuai pendapat Sunaryo (2004), jika seseorang sudah
memasuki usia dewasa maka dia sudah berada dalam tahap perkembangan
manusia fase dewasa awal. Pada fase ini, tugas perkembangannya adalah
belajar untuk saling ketergantungan dan tanggung jawab terhadap orang lain
serta menjadi pribadi yang matang. Dengan harapan semakin dewasa umur
seseorang akan menambah cara berfikir yang lebih matang dan positif dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan dibandingkan seseorang
yang berumur lebih muda.
Pengetahuan bisa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Berdasarkan
tabulasi silang pendidikan dengan pengetahuan (lampiran SPSS)
menunjukkan responden berpendidikan dasar sebagian besar (80%) memiliki
pengetahuan kurang baik, responden berpendidikan menengah (SMA)
sebagian besar (70,4%) memiliki pengetahuan baik dan responden
berpendidikan tinggi (S1) seluruhnya (100%) memiliki pengetahuan baik. Hal
ini menggambarkan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik tingkat
pengetahuannya. Sesuai pendapat Mubarak (2007) makin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
akhirnya makin banyak pula kemampuan yang dimilikinya.
Tingkat pendidikan responden yang tinggi berdampak pada
pengetahuan dan wawasan mereka tentang sanitasi makanan. Sebaliknuya
pendidikan yang rendah akan menurunkan pengetahuan terhadap masalah
kesehatan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang sanitasi makanan.
Namun bukan berarti seseorang dengan pendidikan rendah mutlak
berpengetahuan rendah, hal ini dikarenakan peningkatan pengetahuan bisa

49
diperoleh melalui pendidikan non formal. Informasi tentang sanitasi makanan
dapat diperoleh dari penyuluhan, media massa dan elektronik.

2. Kejadian Diare
Hasil penelitian pada tabel V.7 menunjukkan bahwa sebagian besar
(75%) balita tidak mengalami diare dan sebagian kecil (25%) balita
mengalami diare.

Menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya


menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan
meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu: tidak memberikan ASI secara
penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang
tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah
membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak
membuang tinja dengan benar. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit
yang berbasis lingkungan. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena
tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat
pula, yaitu melalui sanitasi makanan maka dapat menimbulkan kejadian diare
dengan derajat keparahan yang berat.

Berdasarkan tabulasi silang umur balita dengan kejadian diare


(lampiran SPSS) didapatkan balita berumur 1 tahun sebagian besar (57,1%)
mengalami diare, sedangkan balita berumur 2 tahun ke atas lebih banyak
yang tidak mengalami diare.

Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2008


menemukan bahwa semakin muda usia anak balita semakin besar
kecenderungan terkena penyakit diare, kecuali pada kelompok usia kurang
dari enam bulan, yang disebabkan makanan bayi masih tergantung pada ASI.

50
Tingginya angka diare pada anak balita yang berusia semakin muda
dikarenakan semakin rendah usia anak balita daya tahan tubuhnya terhadap
infeksi penyakit terutama penyakit diare semakin rendah, apalagi jika anak
mengalami status gizinya kurang dan berada dalam lingkungan yang kurang
memadai (Suraatmaja, 2007).

3. Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan dengan kejadian


diare
Hasil penelitian pada tabel V.8 menunjukkan balita yang mengalami
diare hampir seluruhnya (83,3%) ibu dengan pengetahuan tentang sanitasi
makanan kurang baik. Sedangkan balita yang tidak mengalami diare sebagian
besar (72,3%) ibu dengan pengetahuan tentang sanitasi makanan baik.
Setelah dilakukan uji statistik chi square didapatkan nilai probabilitas (P) =
0,002 dimana P < α (0,05) sehingga Ho ditolak artinya terdapat hubungan
antara pengetahuan tentang sanitasi makanan dengan kejadian diare pada
balita di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto dan dari nilai OR dapat
disimpulkan responden yang memiliki pengetahuan tentang sanitasi makanan
kurang baik beresiko balita mengalami diare sebanyak 13 kali dibandingkan
responden dengan pengetahuan tentang sanitasi makanan baik.

Sejalan dengan hasil penelitian Novriyanti (2012) yang menyatakan


terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang
hygiene makanan dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Lubuk Buaya Padang Tahun 2012 (P = 0,000). Responden yang memiliki
pengetahuan yang rendah mengenai hygiene makanan akan lebih rentan untuk
balitanya terserang diare. Dalam hal ini pengetahuan merupakan faktor penentu
dalam melakukan suatu tindakan. Sesuai pendapat Notoatmodjo (2007), bahwa
semakin tinggi tingkat pengetahuan akan menyebabkan seseorang akan
semakin cepat mengerti dan paham terhadap informasi yang disampaikan dan
tanggap terhadap lingkungan. Selain itu tingkat pengetahuan merupakan
salah satu faktor yang memotivasi individu dalam berperilaku kesehatan yang
baik.

51
Pengetahuan secara langsung akan mempengaruhi seseorang dalam
melakukan usaha peningkatan kesehatan anak terhadap terjadinya diare.
Responden yang pengetahuan tentang sanitasi makanan baik akan cenderung
merubah perilaku yang lebih baik dengan pengetahuan yang dimiliki,
sedangkan responden dengan pengetahuan tentang sanitasi makanan kurang
baik akan cenderung kurang memperhatikan perilaku yang benar dalam
sanitasi makanan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya diare pada
balitanya.

Masih tingginya angka kejadian diare dikarenakan kurangnya


pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan, maka tenaga kesehatan
diharapkan melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyebab diare, cara
pencegahan diare salah satunya sanitasi makanan (sumber air bersih,
pengelolaan makanan, pembuangan air limbah, sarana jamban dan
pengelolaan sampah rumah tangga) serta penatalaksanaan anak diare.

B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian.
Keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah :
1. Penelitian ini dilakukan keterbatasan waktu dan kurangnya pengalaman
dari peneliti sehingga masih banyak kekurangan.
2. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dimana lebih banyak
dipengaruhi oleh sikap, harapan-harapan pribadi yang bersifat subyektif
sehingga hasilnya kurang mewakili secara kualitatif.

52
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar (54,2%) ibu memiliki pengetahuan sumber air bersih


kurang baik di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.
2. Sebagian besar (66,7%) ibu memiliki pengetahuan pengelolaan makanan
baik di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.
3. Sebagian besar (72,9%) ibu memiliki pengetahuan pembuangan air
limbah kurang baik di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.
4. Hampir seluruhnya (85,4%) ibu memiliki pengetahuan sarana jamban
kurang baik di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.
5. Sebagian besar (64,6%) ibu memiliki pengetahuan pengelolaan sampah
kurang baik di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.
6. Ada hubungan antara pengetahuan tentang sanitasi makanan dengan
kejadian diare pada balita di Puskesmas Jetis Kabupaten Mojokerto.

B. Saran
1. Bagi responden
Diharapkan masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai anak balita
hendaknya lebih aktif mencari informasi untuk menambah
pengetahuannya khususnya tentang sanitasi makanan. Dengan
pengetahuan yang baik diharapkan ibu dapat berperilaku hidup sehat
dalam merawat keluarganya.

53
2. Bagi petugas kesehatan
Tenaga kesehatan diharapkan memberikan penyuluhan pada masyarakat
tentang bahaya diare. Penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi
tentang sanitasi makanan sehingga dapat memotivasi masyarakat dalam
pengadaan dan pemakaian sumber air bersih, pengelolaan makanan,
pembuangan air limbah, sarana jamban dan pengelolaan sampah rumah
tangga. Upaya penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas
hendaknya dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat betul-betul
mamahami manfaat pengelolaan sanitasi makanan dalam mencegah
terjadinya diare pada balitanya.

3. Bagi peneliti selanjutnya


Hendaknya dilakukan lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya diare selain sanitasi makanan seperti perilaku,
status sosial ekonomi dan status gizi balita dan dengan jumlah sampel
yang lebih banyak agar hasil penelitian lebih representatif.

54
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F (2011). Dasar Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:


Rajawali Pers.

Depkes RI. (2004). Panduan Konseling Bagi Petugas Klinik Sanitasi di


Puskesmas. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

DepkesRI. 2004. Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Dirjen PPM dan PL.
Jakarta.

Depkes, R. I., 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta :


Ditjen PPM dan PL

Wibowo, T., Soenarto, S., dan Pramono, D., 2004. Faktor-Faktor Risiko Kejadian
Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman. Jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat. Vol. 20. No.1. maret 2004 : 41-48

Depkes RI. (2011a). Buku Saku Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan RI


Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Depkes RI. 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare . Jakarta : Ditjen PPM
dan PL.

Depkes RI. (2011b). Panduan Sosialisai Tataksana Diare Pada Balita Untuk
Petugas Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Depkes RI. (2011c). Situasi Diare di Indonesia, Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI.

Entjang, I., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, cetakan ke XIII. Bandung : PT


Citra Aditya Bakti.

Hiswani, Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat Yang


Kejadiannya Sangat Erat Dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani7.pdf. USU Digital
Library, Universitas Sumatera Utara. 2003.

Kusnoputranto, 2000. Kesehatan Lingkungan. Jakarta :Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia.

Mubarok, Wahid Iqbal dkk. 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses
Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta

55
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.

Novriyanti Achyar. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hygiene


Makanan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Lubuk
Buaya Padang Tahun 2012. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Kesehata
, ISSN : 2338-2694. Padang : Akademi Keperawatan ‘Aisyiyah.

Sahdan .M, 2002, Studi Sanitasi Lingkungan Pemukiman Pengungsi Timor Timur
dan Jenis Penyakit di Desa Noelbaki Kupang, Skripsi STIK Tamalatea,
Yayasan Pendidikan Tamalatea, Makasar.

Said, Imran, 2007. Air limbah. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Sarudji, Didik. Kesehatan Lingkungan. Cetakan ketiga. Media Ilmu. Sidoarjo.


2006.

Slamet, J,S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.

Sitorus, G.; Hardjasaputra, H. Dan Simanjuntak, M.R.A. (2008); Analisis


Kelayakan Finansial Investigasi Proyek Konstruksi Pengolahan Sampah
dengan Teknologi EATAD; Jurnal T. Sipil Univ. Pelita Harapan.

Soediatama Achmad Djaeni. 2008 Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi. Jilid
1. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta:EGC

Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroentrologi. Jakarta: CV. Sagung Seto.

56

Anda mungkin juga menyukai