Anda di halaman 1dari 20

Tugas Baca Jurnal

PENGELOLAAN CAIRAN SELAMA PROSEDUR


BEDAH SARAF

Tugas Baca Jurnal


Syarat Ujian

Oleh :
Diara Safiana Setyorini
I4A012120

Pembimbing :
dr. Kenanga Marwan Sikumbang, Sp. An, KNA

SMF/ BAGIAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
APRIL, 2017
PENGELOLAAN CAIRAN SELAMA PROSEDUR BEDAH SARAF
Zulfiqar Ali, Hemanshu Prabhakar

PENGANTAR

Pengelolaan cairan perioperatif pasien bedah saraf menyajikan tantangan

khusus untuk ahli neuroanestesi pada periode perioperatif. Pasien-pasien ini

mendapatkan diuretik seperti manitol dan furosemide pada periode pra-operasi

untuk mengurangi tekanan intrakranial.Selama periode intraoperatif, mereka dapat

terjadi vasodilatasi karena pemberian anestesi inhalasi dan kehilangan volume

intravaskular sebagai akibat dari kehilangan darah yang parah. Perkembangan

diabetes insipidus (DI) atau sindrom yang tidak tepat dalam sekresi hormon

antidiuretik nantinya dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Penelitian

ini merangkum penentu fisik dari pergerakan air melintasi membran biologis dan

pertimbangan praktis sementara pada pemberian cairan dalam berbagai patologi

otak.

Osmolalitas / Tekanan Osmotik / Tekanan Koloid Onkotik

Empat sifat koligatif larutan adalah tekanan uap, penurunan titik beku,

kenaikan titik didih dan osmolalitas. Osmolalitas didefinisikan sebagai jumlah

partikel dalam larutan. Osmolalitas adalah jumlah miliosmol (mOsm) per

kilogram pelarut sedangkan osmolaritas adalah jumlah miliosmol per liter dari

larutan. Osmolaritas menentukan pergerakan cairan antara berbagai kompartemen

1
fisiologis tubuh. Gerakan ini berlanjut sampai cairan mencapai osmolalitas yang

seimbang pada kedua sisi membran.

Tekanan osmotik adalah kekuatan hidrostatik yang bertindak untuk

menyamakan konsentrasi air di kedua sisi membran yang kedap zat-zat terlarut

dalam air itu. Tekanan onkotik koloid (COP) adalah tekanan osmotik yang

dihasilkan oleh molekul besar (misalnya albumin, hetastarch dan dekstran). COP

adalah dari makna klinis di membran pembuluh darah dalam sistem biologis yang

permeabel terhadap ion-ion kecil tapi tidak pada molekul besar.

Ernest Starling mempelajari kekuatan yang menentukan pergerakan air

antara jaringan dan ruang intravaskular.[1] Starling menemukan bahwa tiga faktor

utama yang mengendalikan pergerakan cairan antara ruang intra dan

ekstravaskular adalah:

 gradien hidrostatik transkapillar

 Gradien osmotik dan onkotik, dan

 Permeabilitas relatif pada membran kapiler diantara ruangan

pemisah.

Persamaan Starling dinyatakan sebagai berikut:

FM = k (Pc + pi - Pi - pc)

FM = gerakan cairan, k = koefisien filtrasi pada dinding kapiler (yang

menentukan kebocoran dinding kapiler), Pc = tekanan hidrostatik di kapiler, Pi =

tekanan hidrostatik (biasanya negatif) dalam ruang interstitial dan pi dan pc adalah

2
tekanan interstitial dan osmotik kapiler. Jumlah gerakan cairan sebanding dengan

gradien tekanan hidrostatik – gradient osmotik yang melintasi dinding pembuluh

darah.

Pembuluh darah perifer dari otot dan pembuluh darah paru memiliki kapiler

endotelium dengan ukuran pori sekitar 65 A. Molekul-molekul kecil dan ion (Na

+, Cl -) dapat melalui pori-pori ini, tetapi molekul besar seperti protein tidak bisa

lewat melalui pori-pori tersebut. Oleh karena itu, gerakan air diatur oleh

konsentrasi plasma pada molekul besar (gradien onkotik). Jika COP berkurang,

cairan akan mulai menumpuk di ruang interstitial dan menghasilkan edema.


[2]
Fenstermacher dan Johnson menemukan bahwa kapiler otak memiliki ukuran

pori yang sangat kecil sekitar 7-9 A. Ukuran pori yang kecil di sawar darah otak

(BBB) mencegah gerakan dari kedua protein dan ion (natrium, klorida dan

kalium). Oleh karena itu, gerakan cairan melintasi sawar darah otak ditentukan

oleh 'total' gradien osmotic yang dihasilkan baik oleh molekul besar dan ion kecil.

Jumlah molekul protein diabaikan lalu dibandingkan dengan jumlah ion

anorganik, efeknya total osmolalitas menjadi minimal.

Dengan sawar darah otak normal, ketika ada penurunan osmolalitas plasma,

gradien osmotik mendorong air ke dalam jaringan otak. Tommasino et al.

menemukan bahwa bahkan perubahan sangat kecil dalam osmolalitas plasma

(<5%) meningkatkan kadar air otak dan tekanan intrakranial (ICP).[3]

Ketika sawar darah otak rusak seperti di cedera kepala, tumor, kejang dan

abses, akan ada respon variabel terhadap perubahan dalam plasma osmotik atau

tekanan onkotik. Dengan kerusakan total dari BBB, tidak akan ada gradien

3
osmotik yang bisa dibentuk.[4] Dengan kerusakan sebagian dari BBB, sawar dapat

terjadi dengan hal yang sama seperti jaringan perifer.[5] Biasanya ada bagian yang

signifikan dari otak tempat dimana BBB normal, dan kehadiran fungsional BBB

yang utuh sangat penting untuk osmoterapi agar menjadi efektif.[6]

Pemberian Cairan Intravena

Kristaloid dan efek otak dari osmolalitas plasma

Cairan kristaloid mengandung molekul kecil yang lewat dengan bebas

melaluimembran sel dan dinding sistem vaskular. Mereka memiliki tekanan

onkotik dari nol. Kristaloid mungkin hipo, iso atau hiper-osmolar.

Kristaloid hipoosmolar

Cairan sebagai 0,45% saline atau 5% glukosa di dalam air bersifat hipo-osmolar

dan ketika diberikan, dapat menyebabkan penurunan osmolalitas plasma. Gradien

osmotik ini menyebabkan pergerakan air di BBB ke dalam jaringan otak. Hal ini

meningkatkan kandungan air pada otak yang mengakibatkan edema dan

peningkatan tekanan intrakranial.

Salah satu studi hewan pertama yang dilakukan oleh Weed dan McKibben tentang

efek pemberian cairan pada otak menunjukkan bahwa cairan hipotonik meluas di

otak.[7] Oleh karena itu, penggunaan cairan hipo-osmolar harus dihindari pada

pasien dengan gangguan saraf dan bedah saraf.

4
Kristaloid isoosmolar

Pemberian cairan iso-osmolar (plasma, 0,9% saline), yang memiliki osmolalitas

sekitar 300 mOsm /L, tidak akan menghasilkan perubahan dalam osmolalitas

plasma. Oleh karena itu, hasil pemberian mereka tidak ada peningkatan kadar air

pada otak. Namun, cairan yang tidak benar-benar iso-osmolar berhubungan

dengan plasma sebagai cairan ringer laktat (dihitung osmolaritas 275 mOsm /L

tetapi osmolalitas diukur dari 254 mOsm / kg karena pemisahan yang tidak

lengkap) yang mengurangi osmolalitas plasma dan meningkatkan kadar air pada

otak dan ICP.[3],[8],[9]

Kristaloid Hiperosmolar

Cairan kristaloid sebagai saline hipertonik dan manitol akan menggeser air dari

jaringan saraf (ruang intraseluler dan interstitial) ke ruang intravaskular.[10] Efek

ini terjadi pada pasien dengan BBB yang normal[6] dan merupakan mekanisme

utama dimana hipertensi intrakranial berkurang.

Koloid dan efek otak pada tekanan onkotik koloid

Cairan koloid seperti albumin, plasma, hetastarch, pentastarch dan dekstran terdiri

dari molekul yang besar dan relatif tidak dapat ditembus membran kapiler. Sebuah

studi oleh Drummond et al.[5] menunjukkan bahwa penurunan COP dapat

memperburuk edema otak setelah cedera kepala mekanik ringan sampai sedang.

Studi lain oleh Jungner et al.[11] menunjukkan bahwa ketika diberikan ekspansi

5
volume intravaskular yang sama, kristaloid isotonik menyebabkan edema otak

pasca-trauma lebih dari albumin 5% pada 3 dan 24 jam setelah trauma.

Li et al.[12] mempelajari efek dari infus koloid pada pasien yang menjalani operasi

tumor intrakranial. Mereka menemukan bahwapati dari hidroksietil dipengaruhi

koagulasi pada volume rendah, dengan efek yang lebih menonjol pada struktur

bekuan pada akhir operasi. Albumin menurunkan agregasi platelet. Pesan dari

semua penelitian ini adalah lebih baik untuk memperbaiki perubahan COP pada

pasien dengan cedera otak ata tulang belakang.

Cairan yang mengandung Glukosa

Cairan bebas garam yang mengandung glukosa dihindari di otak dan cedera

sumsum tulang belakang karena beberapa alasan:

 Metabolisme glukosa di dekstros 5% melepaskan hanya sisa air bebas.

Hal ini menyebabkan penurunan osmolalitas serum dan meningkatkan

kadar air otak

 Pemberian glukosa dapat meningkatkan kerusakan neurologis dan dapat


[13]
memperburuk hasil dari iskemik lokal dan global seperti di daerah

iskemik metabolisme glukosa dapat meningkatkan asidosis jaringan.


[13],[14]

Penelitian terbaru tentang mikrodialisis otak yang dilakukan oleh Magnoni et al.

menunjukkan bahwa hubungan linear antara glukosa sistemik dan glukosa otak

yang diawetkan pada pasien dengan cedera otak traumatik (TBI).[15] Oleh karena

6
itu, glukosa otak pada jaringan dengan metabolisme oksidatif terganggu dapat

menurunkan ke tingkat yang sangat rendah bahkan dengan glukosa sistemik

berada di batas bawah 'normal'. Penulis sangat menyarankan agar menghindari

penurunan glikemik yang berat. Penerapan terbaik tampaknya mengadopsi

rentang sedang dari target pengontrolan glukosa darah yaitu 140-180 mg/dl.

Guideline American Heart Association / American Stroke Association juga

merekomendasikan penghindaran hiperglikemia intraoperatif untuk

meminimalkan variabilitas glukosa dan manajemen agresif hipoglikemia.[16]


[17]
Cinotti et al. menemukan bahwa terapi insulin intensif (IIT) tampaknya tidak

mengubah hasil morbiditas setelah hari-90 hasil neurologis atau morbiditas

Intensive Care Unit (ICU) pada pasien cedera otak berat. Kelompok IIT lebih

mengalami peristiwa hipoglikemia (P <0,0001). Pada kelompok IIT, 24 pasien

(26,6%) memiliki hasil neurologis yang menguntungkan (pemulihan yang baik

atau kecacatan sedang) yang dibandingkan dengan 31 pasien pada kelompok

kontrol (31,6%) (P = 0,4).

Cairan untuk mengontrol tekanan intrakranial dan pembengkakan otak

Diuretik: Mannitol dan furosemide

Manitol menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma. Gradien osmotik

membentuk antara kompartemen intravaskular dan parenkim otak. Manitol kurang

efektif dengan lesi yang lebih besar karena kerusakan pada BBB. Dalam kasus

kerusakan BBB, manitol dapat menurunkan gradien konsentrasi ke dalam otak

yang mengarah ke fenomena rebound dengan peningkatan edema otak dan

7
peningkatan ICP. Pemberian manitol dapat menyebabkan respon hemodinamik

trifasik. Hipotensi transien (1-2 menit) dapat terjadi setelah pemberian cepat

manitol. [18] , [19] Hal ini diikuti oleh peningkatan volume darah, indeks jantung dan

tekanan kapiler pulmoner. Pada 30 menit setelah pemberian manitol, volume

darah kembali normal dan tekanan kapiler pulmoner dan jantung indeks turun di

bawah tingkat normal karena gabungan pembuluh darah perifer.[18],[19] Mekanisme

kerja furosemide tidak jelas. Hal ini diyakini dapat terjadi dengan cara

menghambat transportasi klorida dan menurunkan produksi cairan serebrospinal.

Cairan saline hipertonik

Cairan garam hipertonik terutama digunakan untuk volume resusitasi kecil pada

pasien trauma dengan syok hemoragik. Namun, ditemukan bahwa ketika pasien

TBI akut diresusitasi dari syok hemoragik dengan 7,5% hipertonik saline

menunjukkan hasil yang lebih baik.[20] Telah terlihat dari berbagai penelitian

bahwa cairan hipertonik saline menurunkan ICP dan meningkatkan tekanan


[21]
perfusi otak. Bila dibandingkan dengan manitol,tidak menghasilkan diuresis

osmotik yang membuat manajemen cairan perioperatif relatif menjadi sederhana.

Prabhakar et al.[22] melakukan review Cochrane pada manitol dibandingkan garam

hipertonik untuk relaksasi otak pada pasien yang menjalani kraniotomi. Penulis

menyarankan dari 6 penelitian acak yang terdiri dari 527 peserta kontrol

menggunakan garam hipertonik secara signifikan mengurangi risiko ketegangan

pada otak selama kraniotomi. Sebuah percobaan tunggal menyarankan bahwa

8
rawat inap di ICU dan rumah sakit sebanding dengan penggunaan manitol atau

garam hipertonik.

Cairan Hipertonik / hiperonkotik

Larutan hipertonik dan hiperonkotik (hetastarch atau dekstran) mengembalikan

normovolemi dengan cepat tanpa meningkatkan ICP. Hal ini bermanfaat pada

pasien cedera kepala dan pada pasien dengan stroke.[23] , [24]

Keterlibatan Klinis

Penggantian volume intraoperatif / resusitasi

Pemberian cairan intraoperatif harus memperhitungkan jumlah kehilangan darah

intraoperatif, output urin dan insensible losses..Cairan harus diberikan secara

bijaksana untuk mempertahankan keadaan normal atau sedikit dari peningkatan

serum osmolaritas dan tekanan onkotik plasma normal. Pemberian cairan harus

diikuti ke arah tekanan arteri dan tekanan vena sentral.

Cairan Hipo-osmolar harus dihindari karena dapat mengurangi osmolalitas

plasma. Volume kecil dari ringer laktat (diukur osmolalitas 252-255 mOsm / kg)

dapat digunakan tanpa efek fisiologis yang merugikan. Dalam kasus kehilangan

darah masif, cairan isotonik dapat dengan aman diberikan. Namun, volume besar

NaCl 0,9% menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik dengan anion gap


[25]
normal. Dalam resusitasi volume besar, kombinasi kristaloid isotonik, koloid

dan transfusi darah mungkin menjadi pilihan terbaik.

9
Pentastarch memiliki sedikit efek pada Faktor VIII dibandingkan dengan infus

hetastarch yang pada volume> 1l mengarah ke deplesi faktor VIII.[26] , [27]

Operasihipofisis dan tulang belakang adalah prosedur bedah saraf lainnya yang

memerlukan pertimbangan khusus dari manajemen cairan yang bersangkutan.

Pada pasien yang menjalani operasi hipofisis, DI selama periode intraoperatif dan

pasca operasi dapat diamati. Keseimbangan cairan perlu pemantauan ketat untuk

menghindari komplikasi dan melumpuhkan ketidakseimbangan elektrolit dan

menghindari kelebihan cairan. Sangat penting untuk memeriksa osmolalitas serum

yang mengontrolpemberian jumlah dan jenis cairan.

Operasi pada tulang belakang yang melibatkan banyak bagian dari kolumna

vetebra, terutama ketika instrumentasi direncanakan. Kehilangan darah masif dan

transfusi darah dapat diharapkan. Hal ini penting untuk mempertahankan status

cairan yang cukup tanpa menghasilkan kelebihan cairan, yang dapat menyebabkan

kongesti vena dan pada saat yang sama mengorbankan aliran darah dan oksigenasi

dari sumsum tulang belakang.

Cedera kepala

cairan yang mempertahankan atau menambah volume intravaskular dan tidak

meningkatkan edema otak dapat menjadi cairan yang ideal pada pasien cedera

kepala. Garam isotonik adalah pilihan yang baik untuk pasien trauma kepala

karena memiliki osmolalitas 308 mOsmol / L dan karena itu tidak akan

menyebabkan edema otak. Garam hipertonik karena osmolalitasnya yangtinggi

10
(514 mOsmol/L) dapat menarik cairan dari jaringan dan meningkatkan volume

intravascular. Peningkatan curah jantung dan tekanan arteri sistolik

mengakibatkan perfusi yang lebih baik dari otak. [28] Selain itu, efek vasodilator di

mikrosirkulasi dan efek modulator pada respon trauma kekebalan tubuh.[29]

Diemelinisasi pusat pons terlihat setelah koreksi cepat dari hiponatremia, belum

pernah dilaporkan pada resusitasi dengan saline hipertonik pada pasien cedera

kepala. [30]

Koloid tetap berada dalam kompartemen intravaskular karena koloid

memilikiukuran molekul yang besar. Hal ini akan menstabilkan tekanan darah

sistolik dan tidak meningkatkan edema otak.

Meskipun keunggulan koloid secara teoritis, terdapat bukti ilmiah yang terbatas

untuk mendukung penggunaannya. Sebuah metaanalisis dari beberapa penelitian

menunjukkan mortalitas lebih rendah dengan penggunaan kristaloid. [31]

Penelitian dari SAFE yang telah melihatsaline yang dibandingkan dengan cairan

albumin pada pasien cedera kepala tidak menunjukkan banyak manfaat pada

albumin. Albumin ditemukan dapat meningkatkan mortalitas yang mungkinterjadi

karena peningkatan edema vasogenik. [32]

Darah adalah resusitasi yang ideal, dengan kehilangan darah hingga 20% dari

volume darah dapat diterapi dengan kristaloid dan koloid. Kehilangan darah dari

30% atau lebih membutuhkan pengganti darah. Hemoglobin <9 g% dikaitkan

dengan peningkatan mortalitas sementara sebagai pemicu transfusi> 10 g% yang

11
mungkin berhubungan dengan komplikasi tromboemboli.[33] Nilai hemoglobin

yang besar harus dipertahankan untuk meningkatkan hasil. [33]

Perdarahan subaraknoid

Hiponatremi dan hipovolemi sering terjadi pada pasien dengan perdarahan

subarachnoid (SAH).Hipovolemi terutama berhubungan dengan istirahat,

keseimbangan nitrogen negatif, penurunan eritropoiesis, kehilangan darah

iatrogenik dan ketidakteraturandari sistem saraf otonom. Hiponatremi mungkin

karena sindrom pembuangan garam otak, dan faktor penyebab tampak

terlihatterjadi peningkatan pelepasan faktor natriuretik dari otak. [34] Hiponatremia

dikelola oleh pemberian volume besar kristaloid isotonik dan pembatasan cairan

bebas.

Penatalaksanaan tradisional dari terlambatnya iskemia otak (DCI) akan berusaha

untuk meningkatkan aliran darah otak (CBF) dengan terapi triple-H yang

ditetapkandengan hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Karena tujuan

mendasar dalam mengelola DCI adalah memaksimalkan DO2 dan bukan CBF,

hemodilusi dengan mengurangi CaO2 sebenarnya bisa merugikan. Meskipun

menghindari hipovolemi mengurangi risiko DCI setelah SAH, profilaksis

hipervolemi belum terlihat menawarkan banyak manfaat dengan insidensi gejala

vasospasme otak yang serupa pada kelompok hipervolemik dan normovolemik.


[35]
Tugas dari ahli saraf direkomendasikan[36] bahwa dalam SAH (a) manajemen

volume intravaskular harus dalam target euvolaemia dan menghindari terapi

12
profilaksis hipervolemik. Sebaliknya, adanya bukti bahaya dari pemberian cairan

yang aggresif ditujukan untuk mencapai hipervolemia (bukti kualitas tinggi;

rekomendasi kuat), (b) kristaloid isotonik adalah agen yang disukai untuk

penggantian volume (evidencesedang; rekomendasi lemah) dan (c) pada pasien

dengan keseimbangan cairan negatif terus-menerus, penggunaan fludrokortison

atau hidrokortison dapat dipertimbangkan (evidencesedang; rekomendasi lemah).

Gangguan Air dan Elektrolit

Diabetes insipidus

Diabetes insipidus disebabkan oleh penurunan sekresi (diabetes insipidus sentral /

neurogenik) atau kegiatan hormon antidiuretik (ADH, vasopresin) (Diabetes

insipidus neurogenik). Penurunan sekresi atau aktifitas dari ADH menyebabkan

kegagalan reabsobsi tubular air yang mengakibatkan penurunan berat jenis urine

(<1,002).

Diabetes insipidus sering terjadi setelah cedera kepala, lesi pada hipofisis dan

hipotalamus. Gambaran klinis utama adalah poliuria (> 5 mL / kg / h [37] atau

pada orang dewasa,> 200 mL / jam), mengakibatkan dehidrasi, dan hipernatremia.

Agha et al. mendiagnosis diabetes insipidus setelah trauma berdasarkan kombinasi

dari poliuria (> 3,5 l / 24 h) dengan urine yang encer (urine / osmolalitas plasma

<2), hipernatremia (> 145 mmol / L) dan peningkatan osmolalitas plasma (> 300

mosm / kg) . [38]

13
Pengelolaan

Pasien harus menerima cairan maintance ditambah tiga-perempat dari urine di

jam sebelumnya di setiap jam. Alternatif lainnya, urine pada jam sebelumnya

harus dikurangi 50 mL harus ditambahkan. Cairan diberikan harus memiliki beban

natrium rendah sebagai setengah normal saline dan D5W. Ketika output urine

lebih tinggi dari 300 ml / jam, setidaknya selama 2 jam, vasopressin encer

diberikan pada 5-10 IU, intramuskuler atau subkutan selama 6 jam. Namun,

karena durasi yang lebih rendah dari tindakan dan pilihan penyesuaian dosis lebih

sering, penggunaan vasopressin telah menjadi terbatas. Sintetik analog dari

vasopresin, 1-deamino-8-d-arginine vasopressin-(DDAVP) dan desmopresin

dengan efek pressor minimal banyak digunakan untuk pengelolaan diabetes

insipidus sentral. DDAVP digunakan 0,5-2 mg, intravena selama 8 jam; atau

dengan inhalasi hidung 10-20 mg.

Sindrom ketidakseimbangan sekresi hormon antidiuretik

Cedera kepala dapat menyebabkan pelepasan berlebihan ADH menyebabkan

ekskresi terus menerus natrium pada ginjal, meskipun terkait dengan hiponatremi

dan hipo-osmolalitas. Osmolalitas urine oleh karena itu menjadi tinggi dan relatif

terhadap serum osmolalitas.

Pengelolaan

Terapi mencakup pembatasan cairan. 1000 mL volume larutan isoosmolar

diberikan lebih dari 24 jam. Jika hiponatremi lebih rendah dari 110 mEq/L,

hipertonik saline dapat diberikan bersama dengan furosemid.

14
Sindrom pembuangan garam otak

Hal ini terlihat apabila dengan SAH dan ditandai oleh hiponatremi, penurunan

volum dan konsentrasi natrium urine yang tinggi akibat pelepasan faktor

natriureterik dari otak. Diperlukan tatalaksana untuk membangun kembali

normovolaemi dengan pemberian larutan yang mengandung natrium.

Kesimpulan

Pemahaman pengelolaan cairan telah meningkat dalam dekade terakhir. Namun,

keunggulan komparatif dan kerugian dari rejimen cairan yang berbeda masih

kurang dipahami. Sebagai neurointensitifitas kita harus menjaga pasien agar tetap

dalam keadaan isovolemik, isotonik dan isoonkotik kecuali untuk pasien SIADH

dengan pemberian cairan harus digunakan dengan hati-hati.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Starling EH. In: Schaefer E, editor. Textbook of Physiology.London:


Caxton; 1898. p. 285-311.
2. Fenstermacher JD, Johnson JA. Filtration and reflection coefficients of the
rabbit blood-brain barrier. Am J Physiol 1966;211:341-6.
3. Tommasino C, Moore S, Todd MM. Cerebral effects of isovolemic
hemodilution with crystalloid or colloid solutions.Crit Care Med
1988;16:862-8.
4. Kaieda R, Todd MM, Cook LN, Warner DS. Acute effects of changing
plasma osmolality and colloid oncotic pressure on the formation of brain
edema after cryogenic injury. Neurosurgery 1989;24:671-8.
5. Drummond JC, Patel PM, Cole DJ, Kelly PJ. The effect of the reduction
of colloid oncotic pressure, with and without reduction of osmolality, on
post-traumatic cerebral edema. Anesthesiology 1998;88:993-1002.
6. Todd MM, Tommasino C, Moore S. Cerebral effects of isovolemic
hemodilution with a hypertonic saline solution. J Neurosurg 1985;63:944-
8.
7. Weed LH, McKibben PS. Pressure changes in the cerebrospinal fluid
following intravenous injection of solutions of various concentrations. Am
J Physiol 1919;48:512-30.
8. Prough DS, Johnson JC, Poole GV Jr., Stullken EH, Johnston WE Jr.,
Royster R. Effects on intracranial pressure of resuscitation from
hemorrhagic shock with hypertonic saline versus lactated Ringer’s
solution. Crit Care Med 1985;13:407-11.
9. Scheller MS, Zornow MH, Seok Y. A comparison of the cerebral and
hemodynamic effects of mannitol and hypertonic saline in a rabbit model
of acute cryogenic brain injury. J Neurosurg Anesthesiol 1991;3:291-6.
10. Zornow MH, Scheller MS, Shackford SR. Effect of a hypertonic lactated
Ringer’s solution on intracranial pressure and cerebral water content in a
model of traumatic brain injury. J Trauma 1989;29:484-8.

16
11. Jungner M, Grände PO, Mattiasson G, Bentzer P. Effects on brain edema
of crystalloid and albumin fluid resuscitation after brain trauma and
hemorrhage in the rat. Anesthesiology 2010;112:1194-203.
12. Li N, Statkevicius S, Asgeirsson B, Schött U. Effects of different colloid
infusions on ROTEM and Multiplate during elective brain tumour
neurosurgery. Perioper Med 2015;4:9.
13. Rovlias A, Kotsou S. The influence of hyperglycemia on neurological
outcome in patients with severe head injury. Neurosurgery 2000;46:335-
42.
14. Wass CT, Lanier WL. Glucose modulation of ischemic brain injury:
Review and clinical recommendations. Mayo Clin Proc 1996;71:801-12.
15. Magnoni S, Tedesco C, Carbonara M, Pluderi M, Colombo A, Stocchetti
N. Relationship between systemic glucose and cerebral glucose is
preserved in patients with severe traumatic brain injury, but glucose
delivery to the brain may become limited when oxidative metabolism is
impaired: Implications for glycemic control. Crit Care Med 2012;40:1785-
91.
16. Connolly ES Jr., Rabinstein AA, Carhuapoma JR, Derdeyn CP, Dion J,
Higashida RT, et al. Guidelines for the management of aneurysmal
subarachnoid hemorrhage: A guideline for healthcare professionals from
the American Heart Association American Stroke Association. Stroke
2012;43:1711-37.
17. Cinotti R, Ichai C, Orban JC, Kalfon P, Feuillet F, Roquilly A, et al.
Effects of tight computerized glucose control on neurological outcome in
severely brain injured patients: A multicenter sub-group analysis of the
randomized-controlled open-label CGAO-REA study. Crit Care
2014;18:498.
18. Rudehill A, Lagerkranser M, Lindquist C, Gordon E. Effects of mannitol
on blood volume and central hemodynamics in patients undergoing
cerebral aneurysm surgery. Anesth Analg 1983;62:875-80.

17
19. Ravussin P, Abou-Madi M, Archer D, Chiolero R, Freeman J, Trop D, et
al. Changes in CSF pressure after mannitol in patients with and without
elevated CSF pressure. J Neurosurg 1988;69:869-76.
20. Vassar MJ, Fischer RP, O’Brien PE, Bachulis BL, Chambers JA, Hoyt
DB, et al. A multicenter trial for resuscitation of injured patients with
7.5% sodium chloride. The effect of added dextran 70. The multicenter
group for the study of hypertonic saline in trauma patients. Arch Surg
1993;128:1003-11.
21. Gunnar W, Jonasson O, Merlotti G, Stone J, Barrett J. Head injury and
hemorrhagic shock: Studies of the blood brain barrier and intracranial
pressure after resuscitation with normal saline solution, 3% saline solution,
and dextran-40. Surgery 1988;103:398-407.
22. Prabhakar H, Singh GP, Anand V, Kalaivani M. Mannitol versus
hypertonic saline for brain relaxation in patients undergoing craniotomy.
Cochrane Database Syst Rev 2014;7:CD010026.
23. Härtl R, Ghajar J, Hochleuthner H, Mauritz W. Hypertonic/ hyperoncotic
saline reliably reduces ICP in severely head-injured patients with
intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl 1997;70:126-9.
24. Schwarz S, Schwab S, Bertram M, Aschoff A, Hacke W Effects of
hypertonic saline hydroxyethyl starch solution and mannitol in patients
with increased intracranial pressure after stroke. Stroke 1998;29:1550-5.
25. Scheingraber S, Rehm M, Sehmisch C, Finsterer U. Rapid saline infusion
produces hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologic
surgery. Anesthesiology 1999;90:1265-70.
26. Trumble ER, Muizelaar JP, Myseros JS, Choi SC, Warren BB.
Coagulopathy with the use of hetastarch in the treatment of vasospasm. J
Neurosurg 1995;82:44-7.
27. Strauss RG, Stansfield C, Henriksen RA, Villhauer PJ. Pentastarch may
cause fewer effects on coagulation than hetastarch. Transfusion
1988;28:257-60

18
28. Mazzoni MC, Borgström P, Arfors KE, Intaglietta M. Dynamic fluid
redistribution in hyperosmotic resuscitation of hypovolemic hemorrhage.
Am J Physiol 1988;255 (3 Pt 2):H629-37.
29. Kølsen-Petersen JA. Immune effect of hypertonic saline: Fact or fiction?
Acta Anaesthesiol Scand 2004;48:667-78.
30. Shackford SR, Bourguignon PR, Wald SL, Rogers FB, Osler TM, Clark
DE. Hypertonic saline resuscitation of patients with head injury: A
prospective, randomized clinical trial. J Trauma 1998;44:50-8.
31. Velanovich V. Crystalloid versus colloid fluid resuscitation: A meta-
analysis of mortality. Surgery 1989;105:65-71.
32. Finfer S, Bellomo R, Boyce N, French J, Myburgh J, Norton R; SAFE
Study Investigators. A comparison of albumin and saline for fluid
resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med 2004;350:2247-56.
33. Ali Z, Hassan N, Syed S. Blood transfusion practices in neuroanaesthesia.
Indian J Anaesth 2014;58:622-8.
34. Harrigan MR. Cerebral salt wasting syndrome: A review. Neurosurgery
1996;38:152-60.
35. Lennihan L, Mayer SA, Fink ME, Beckford A, Paik MC, Zhang H, et al.
Effect of hypervolemic therapy on cerebral blood flow after subarachnoid
hemorrhage: A randomized controlled trial. Stroke 2000;31:383-91.
36. Diringer MN, Bleck TP, Claude Hemphill J 3rd, Menon D, Shutter L,
Vespa P, et al. Critical care management of patients following aneurysmal
subarachnoid hemorrhage: Recommendations from the Neurocritical Care
Society’s Multidisciplinary Consensus Conference. Neurocrit Care
2011;15:211-40.
37. Yang YH, Lin JJ, Hsia SH, Wu CT, Wang HS, Hung PC, et al. Central
diabetes insipidus in children with acute brain insult. Pediatr Neurol
2011;45:377-80.
38. Agha A, Sherlock M, Phillips J, Tormey W, Thompson CJ. The natural
history of post-traumatic neurohypophysial dysfunction. Eur J Endocrinol
2005;152:371-7.

19

Anda mungkin juga menyukai