Anda di halaman 1dari 6

TK2102 Metode Pengukuran dan Analisis Anastasia Yuandy

13015067

Titrasi Konduktometrik

Prinsip titrasi ini berdasar kepada fakta bahwa saat titrasi, salah satu ion digantikan
dengan ion lainnya dan kedua ion ini berbeda dari segi konduktivitas ionik sehingga
mengasilkan larutan dengan konduktivitas yang bervariasi selama titrasi berlangsung. Titik
ekuivalen dari titrasi ini dapat ditentukan secara grafik dengan memplot perubahan konduktansi
sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan.

Untuk mengurangi pengaruh galat dalam titrasi ini, sudut antara dua cabang dari kurva
titrasi haruslah sekecil mungkin. Jika sudut tersebut besar, maka sedikit saja kesalahan pada
data konduktansi dapat menghasilka deviasi yang besar. Berikut adalah aturan yang dapat
diikuti:

- Semakin kecil konduktivitas ion yang menggantikan ion yang bereaksi, maka semakin
akurat hasil dari titrasi tersebut, Sehingga, lebih dianjurkan untuk menitrasi garam
perak dengan litium klorida daripada dengan asam klorida. Umumnya, kation harus
dititrasi dengan garam litium dan anion dengan asetat, karena ion-ion tersebut memiliki
konduktivitas rendah.
- Semakin besar konduktivitas anion dari reagen yang bereaksi dengan kation yang akan
ditentukan, atau sebaliknya, semakin akut sudut dari kurva titrasi.
- Titrasi dari garam yang sedikit terionisasi tidak akan memberikan hasil yang baik,
karena konduktivitas akan ters meningkat. Sehingga garam tersebut harus didisosiasi
seluruhnya. Untuk alasan yang sama, reagen yang ditambahkan haruslah elektrolit kuat.
- Sepanjang titrasi, volume terus meningkat dan menghasilkan kurva titrasi yang tidak
linier. Koreksi terhadap konduktansi dapat diberikan dengan mengalikan konduktansi
hasil pengamatan, baik dengan volume total (V+V’) atau dengan faktor (V+V’)/V,
dimana V merupakan volume awal dari larutan dan V merupakan total volume reagen
yang ditambahkkan. Koreksi ini mengasumsikan bahwa konduktivitas merupakan
fungsi linier dari pelarutan.
- Untuk menjadikan V kecil, reagen untuk titrasi ini biasanya 10-20 kali lebih pekat dari
larutan yang dititrasi. Pengukuran volume dapat dilakukan dengan micro burette.

Keuntungan utama dari titrasi konduktometrik adalah kemampuan pengaplikasian untuk


larutan yang sangat encer dan berwarna, dan kepada sistem yang melibatkan reaksi yang belum
jadi. Contohnya, potensiometer ataupun indicator dapat digunakan dalam titrasi fenol (Ka =
10^-10), sehingga digunakan titrasi konduktrometrik.

Beberapa kurva titrasi konduktometrik yang umum adalah:

1. Asam kuat dengan basa kuat (HCl dengan NaOH)


Sebelum NaOH ditambahkan, konduktansi tinggi karena adanya ion hidrogen yang
mudah bergerak. Saat basa ditambahkan, konduktansi menurun karena ion hidrogen
digantikan dengan kation seiring ion H+ bereaksi dengan ion OH- untuk menghasilkan
air. Konduktansi terus menurun sampai titik ekuivalen. Pada titik ekuivalen, larutan
hanya mengandung NaCl. Saat titik ekuivalen, konduktansi meningkat karena
konduktivitas ion OH- yang tinggi.

2. Asam lemah dengan basa kuat (Asam asetat dengan NaOH)


Awalnya, konduktansi rendah karena derajat ionisasi asam asetat yang rendah.
Penambahan basa menghasilkan penurunan konduktansi, bukan hanya kaarena
penggantiaan ion H+ dengan ion Na+, namun juga adanya penurunan ionisasi asam
asetat karena terbentuknya ion asetat. Namun kemudian konduktansi meningkat karena
NaOH menetralkan CH3COOH yang tidak terdisosiai menjadi CH3COONa yang
merupakan elektrolit kuat. Peningkatan konduktansi ini terus meningkat hingga titik
ekuivalen. Grafik sekitar titik ekuivalen akan berbentuk kurva karena adanya hidrolisis
garam CH3COONa. Melewati titik ekuivalen, kondutansi meningkat lebih drastis
karena penambahan NaOH yang menghasilkan ion OH-.
3. Asam kuat dengan basa lemah (Asam sulfat dengan ammonia encer)
Pada awalnya, konduktansi tinggi dan kemudian menurun akibat digantinya ion H+.
Namun, setelah titik akhir tercapat, grafik yang terbentuk hampir horizontal, karena
larutan ammonia yang berlebih tidak dapat terionisasi dengan baik akibat pengaruh
ammonium sulfat.

4. Asam lemah dengan basa lemah


Kurva titrasi yang terbentuk sebelum titik ekuivalen serupa dengan kurva titrasi asam
lemah dengan basa kua. Setelah titik ekuivalen, konduktansi cenderung sama karena
basa lemah yang ditambahkan memiliki derajat ionisasi kecil, sehingga tidak
mengonduksi.

5. Campuran asam kuat dan asam lemah dengan basa kuat/lemah


Dalam titrasi ini, terdapat dua titik akhir Titik akhir pertama menunjukkan netralisasi
dari asam kuat. Saat asam kuat telah sepenuhnya ternetralisasi, asam lemah akan mulai
dinetralisasi. Titik akhir kedua merupakan netralisasi dari asam lemah, dan kemudian
konduktansi meningkat akibat adanya ion OH- berlebih (jika titran merupakan basa
kuat). Namun, jika titran adalah basa lemah, konduktansi akan tetap setelah titik akhir
kedua.
6. Titrasi pelepasan/penggantian (Displacement/replacement)
Saat garam dari asam lemah dititrasi dengan basa kuat, anion dari asam lemah
digantikan oleh anion dari asam kuat dan asam lemah. Penambahan basa kuat ke garam
dari basa lemah, kation dari basa lemah digantikan dengan yang lebih kuat dan basa
lemah itu sendiri dihasilkan dalam bentuk tidak terdisosiasi. Sebagai contoh, M-HCl
ditambahkan ke larutan natrium asetat 0.1 M, ion asetat digantikan dengan ion klorida
setelah titik akhir. Penambahan konduktivitas awal berasal dari fakta bahwa
konduktivitas ion klorida lebih besar dari ion asetat. Sampai penggantian hampir
selesai, larutan mengandung cukup natirum asetat untuk mengurangi ionisasi dari asam
asetat, sehingga menghasilkan peningkatan knduktivitas dari larutan. Namun,
mendekati titik ekuivalen, asam asetat cukup terionisasi untuk mempengaruhi
knduktivitas dan dihasilkan kurva yang melengkung. Diatas titik ekuivalen, saat HCl
berlebih dan ionisasi asam asetat tertahan, maka konduktivitas meningkat sangat tajam.

7. Titrasi presipitasi dan pembentukan kompleks


Untuk reaksi ini, dibutuhkan produk yang mudah terlarut atau merupakan kompleks
yang stabil. Kelarutan dari endapan haruslah dibawah 5%. Penambahan etanol
terkadang dilakukan untuk mengurangi kelarutan.

Metode Titrasi Untuk Mengukur Ion Klorat Dalam Larutan Pemutih Pekat

Cara pengukuran konsentrasi ion klorat dalam pemutih yang paling akurat adalah
metode kromatografi ion (IC). Karena pengukuran ini membutuhkan peralatan dan
kemampuan khusus, mayoritas produsen pemutih tidak dapat mengukur konsentrasi ion klorat.
Sehingga metode pengukuran dengan titrasipun dikembangkan untuk menentukan konsentrasi
pada larutan pemutih 10-15%.
Sampel pemutih disiapkan dengan mereaksikan klorin dengan hidrogen peroksida.
Pengukuran didasarkan pada titrasi iodin dengan sodium thiosulfate. Pada pH 2, sejumlah sepsi
pengoksidasi dalam sampel dititrasi. Dalam kondisi asam, ion klorat dititrasi bersama spesi
pengoksidasi.

Prinsip kimia yang digunakan dalam titrasi ini adalah:

- Penghilangan ion klorin


- Reaksi pada pH 2
- Reaksi dalam kondisi sangat asam

Klorin dihilangkan dengan mereaksikan sampel pemutih dengan hidrogen peroksida:

Cl2 + HO2-  2Cl- + H2O +O2

Tahap ini menghilangkan klorin sebagai pengganggu dalam metode ini. Seiring hidrogen
peroksida bereaksi dengan KI untuk membentuk iodin, sampel kemudian dipanaskan untuk
menghilangkan sisa hidrogen peroksida.

Pada pH 2, spesi oksihalogen yang berada dalam larutan pemutih dapat bereaksi dengan KI,
Sehingga perlu diperhitungkan keberadaan spesi ini dalam perhitungan akhir. Sebagai contoh,
ion klorin (ClO2-):

ClO2- + 4I- + 4H+  2I2 + Cl- + 2H2O

Ion Klorit merupakan spesi intermediet yang terbentuk saat pemutih terdekomposisi. Dua ion
hipoklorot bereaksi membentuk ion klorit:

OCl- + OCl-  ClO2- + Cl-

Ini berarti untuk setiap mol ion klorit yang terdapat dalam pemutih, 2 mol ion hipoklorit hilang.
Sebagai spesi intermediet, ion kloit akan bereaksi denan ion hipoklorit untuk membentuk ion
klorat:

ClO2- + OCl-  ClO3- + Cl-


Sehingga, untuk setiap mol ion klorat yang terdapat dalam pemutih, 3 mol ion hipoklorit hilang.
Dengan demikian, konsentrasi ion klorat yang tinggi menunjukkan hilangnya pemutih.

Dalam kondisi yang sangat asam, ion klorat bereaksi dengan ion iodide untuk menghasilkan
iodin:

ClO3- + 6I- + 6H+  3I2 + Cl- + 3H2O

Kesulitan yang dialami dalam kondisi sangat asam adalah teroksidasinya ion iodide menjadi
iodin. Untuk meminimalisir gangguan ini, ion bromide digunakan sebagai agen pereduksi. Ion
bromide tidak teroksidasi dalam kondisi ini. Setelah reaksi selesai (20 menit), ion Iodida
ditambahkan ke dalam sampel dan iodin terbentuk akibat reaksi dengan bromin yang
disebabkan dari reduksi spesi klorin yang sebelumnya terdapat dalam sampel. Pengenceran
yang cepat dari sampel dengan sodium fosfat menurunkan keasaman sampel dan dapat
meminimalisir reaksi samping yang tidak diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai