Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


TINDAKAN SECTIO CAESAREA (SC)

A. Konsep Dasar Sectio Caesaria


1. Pengertian Operasi Sectio Caesaria
Sectio caesaria (SC) adalah pembedahan untuk mengeluarkan anak dari
rongga rahim dengan mengiris dinding perut dan dinding rahim (fakultas
kedokteran Padjadjaran Bandung, 1985).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Prawirohardjo, 2005).
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina; atau seksio
sesarea adalah suatu histeretomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim
(Rustam, 1998).
2. Etiologi
a. Indikasi pada ibu
1) Panggul sempit absolute
2) Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstetric
3) Stenosis serviks vagina
4) Dispraporsi sefalo pelvic
5) Plasenta previa
6) Ruptur uteri (uteri yanhg robek)
b. Indikasi pada janin
1) Kelainan letak
2) Gawat janin
3) Cacat atau kelelahan janin sebelumnya
4) Prolapsus funiculus umbilicalis
5) Infuslensi plasenta
6) Diabetes maternal
7) Post maternal
8) Infeksi virus herpes pada praktur genetalia

3. Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesarea


a. Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis)
1) Sectio Caesarea Transperitonealis:
a) SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus
uteri). Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus
uteri kira-kira 10 cm.
(1) Kelebihan:
 Mengeluarkan janin dengan cepat.

1
 Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.
 Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.
(2) Kekurangan:
 Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak
ada reperitonealis yang baik.
 Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture
uteri spontan.
b) SC Ismika atau Profundal (low servical dengan insisi pada segmen
bawah rahim).
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada
segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.
(1) Kelebihan:
 Penjahitan luka lebih mudah.
 Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.
 umpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.
 Perdarahan tidak begitu banyak.
 Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil.
(2) Kekurangan:
 Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan
perdarahan banyak.
 Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi.
2) Sectio caesaria ekstra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum
parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal.
b. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Sayatan memanjang (longitudinal)
2) Sayatan melintang (transversal)
3) Sayatan huruf T (T insicion)
4. Indikasi
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan
menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal

2
yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses
persalinan normal (Dystosia):
a. Fetal distress.
b. His lemah/melemah.
c. Janin dalam posisi sungsang atau melintang.
d. Bayi besar (BBL > 4,2 kg).
e. Plasenta previa.
f. Kalainan letak.
g. Disproporsi Cevalo-Pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan
panggul).
h. Rupture uteri mengancam.
i. Hydrocephalus.
j. Primi muda atau tua.
k. Partus dengan komplikasi.
l. Panggul sempit.
m. Problema plasenta.
5. Komplikasi
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain:
a. Infeksi puerperal (Nifas):
1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari.
2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung.
3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik.

b. Perdarahan:
1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka.
2) Perdarahan pada plasenta bed.
3) Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
peritonealisasi terlalu tinggi.
4) Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis
dan fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak
e. Uji laboratorium

3
1) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) GDA
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah

B. Konsep Asuhan Keperawatan Tindakan Sectio Caesaria


1. Fase Preoperatif
Peran perawat dimulai ketika keputusan untuk intervensi pembedahan
dibuat dan berakhir ketika klien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas
keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar
pasien di tatanan klinik ataupun rumah, wawancara preoperatif dan menyiapkan
pasien untuk anestesi yang diberikan dan pembedahan.
Prioritas pada prosedur pembedahan yang utama adalah informed consent
yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur
yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit dan petugas kesehatan
dari klien dan keluarga mengenai tindakan tersebut. Informasi yang perlu
dijelaskan antara lain: kemungkinan resiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh,
kecacatan, dan pengangkatan bagian tubuh yang dapat terjadi selama operasi.
Kegiatan preoperatif yaitu pendidikan pasien (patient teaching),
menyiapkan area operasi (skin preparation) dan pengelolaan obat-obatan.
Persiapan yang baik akan mempengaruhi tingkat keberhasilan operasi disamping
faktor usia, status nutrisi, penyakit kronis dan sebagainya.
a. Pengkajian Preoperasi
1) Persiapan Fisik
a) Status kesehatan fisik umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat
penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,

4
pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status
kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi
endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus
istirahat yang cukup karena dengan istirahat dan tidur yang cukup
pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga
bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat
stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih
awal.

b) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan
berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah
(albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi
gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih
lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga
luka tidak bisa menyatu), demam, dan penyembuhan luka yang lama.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan
pemeriksaan diantaranya adalah kadar natrium serum (normal : 135
-145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5 – 5 mmol/l) dan
kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan
elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi
mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan
anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan
baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguri/anuria,
insufisiensi renal akut, dan nefritis akut, maka operasi harus ditunda

5
menunggu perbaikan fungsi ginjal, kecuali pada kasus-kasus yang
mengancam jiwa.
d) Pengosongan lambung dan kolon
Sebelum pembedahan dimulai (dengan anesthesia umum) lambung harus
kosong, Reflek esophagus mudah terjadi terutama pada permulaan
anesthesia sehingga dapat terjadi aspirasi isi lambung yang
merupakan suatu penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia
yang tidak mudah diatasi. Oleh karena itu pasien dipuasakan 6 jam
sebelum pembedahan. Selain itu, tujuan lainnya adalah menghindari
kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang
menbutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan
lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara
pemasangan NGT (naso gastric tube).
e) Suhu badan sebaiknya dipertahankan kurang lebih normal.
Penderita yang demam metabolismenya meningkat dan memerlukan
lebih banyak zat asam sehingga iribilitas miokard meningkat dan
keadaan syok tidak dapat dikompensasikan seperti biasa. Suhu tubuh
harus diturunkan terlebih dahulu. Bila demam disertai mengigil dapat
diberikan klorpromazin, hipotermia dibawah 340 C berisiko karena
metabolisme berlangsung lambat sehingga pembekuan darah terjadi
keterlambatan. Pasien yang demikian harus dihanggatkan dahulu
dengan selimut hangat atau dimandikan dengan air hangat 400C
termasuk pencukuran rambut pubis dan lavemen.
f) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
g) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan
perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu

6
yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada
pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus
dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada
daerah yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk
mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. Daerah yang
dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang
akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin (pubis)
dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi pada daerah sekitar
perut dan paha. Misalnya: apendiktomi, herniotomi, uretrolithiasis,
operasi pemasangan plate pada fraktur femur, hemoroidektomi.
h) Personal Hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasien yang
kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri dan
membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika
pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara
mandiri maka perawat akan memberikan bantuan pemenuhan
kebutuhan personal hygiene.
i) Latihan Preoperasi
Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini
sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi
pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir
pada tenggorokan. Latihan yang diberikan pada pasien sebelum
operasi antara lain: latihan nafas dalam, latihan batuk efektif, latihan
gerak aktif.
2) Persiapan Mental
Masalah mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi adalah
kecemasan. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa
digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Di samping itu perawat
perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien
dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan preoperasi, seperti
adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor
pendukung/support sistem. Untuk mengurangi kecemasan pasien,

7
perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan
operasi, antara lain: pengalaman operasi sebelumnya, persepsi pasien dan
keluarga tentang tujuan/alasan tindakan operasi, pengetahuan pasien dan
keluarga tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang,
pengetahuan pasien dan keluarga tentang situasi/kondisi kamar operasi
dan petugas kamar operasi, pengetahuan pasien dan keluarga tentang
prosedur (pra, intra, post operasi), pengetahuan tentang latihan-latihan
yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setalah
operasi, seperti : latihan nafas dalam, batuk efektif, ROM, dan lain-lain.
c) Penunjang Preoperasi
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan
penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bisa menentukan tindakan
operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang
dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi (jika ada), laboratorium
(berupa pemeriksaan darah lengkap (Hb), urin lengkap, LFT (Bilirubin,
SGOT,SGPT), RFT (BUN, serum creatinine), pH, gula darah, elektrolit)
maupun pemeriksaan lain seperti EKG, dan lain-lain.
d) Informed Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang
terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek
hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Informed Consent.
Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan
medis, operasi sekecil apapun mempunyai risiko. Oleh karena itu setiap
pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat
pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan
anestesi) (Smeltzer & Bare, 2002).
e) Obat-Obatan Premedikasi
Sebelum operasi dilakukan, sehari sebelumnya pasien akan
diberikan obat-obatan premedikasi untuk memberikan kesempatan
pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan
premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau diazepam.
Antibiotik profilaksis biasanya diberikan sebelum pasien dioperasi.
Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah

8
terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis
biasanya diberikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan
pasca bedah 2- 3 kali.
b. Diagnosa Keperawatan Preoperatif (Yang Mungkin Terjadi)
Ansietas berhubungan dengan proses pembedahan ditandai dengan pasien
mengatakan cemas kalau ada komplikasi operasi, tanda-tanda vital pasien
meningkat (khususnya TD > 120/80 mmHg, HR > 100 kali/menit).

c. Intervensi Preoperatif
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama…x…jam, diharapkan
kecemasan klien terhadap penyakit klien dapat berkurang dengan kriteria
hasil :
Anxiety Level
1) Mengatakan secara verbal tentang kecemasan (skala 5 = none).
2) Mengatakan secara verbal tentang ketakutan (skala 5 = none).
3) Kepanikan (skala 5 = none).
Anxiety Self-Control
1) Mampu mengurangi penyebab cemas (skala 5 = consistently demonstrated).
2) Mengontrol respon cemas (skala 5 = consistently demonstrated).
Intervensi:
Anxiety Reduction
1) Bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional: pendekatan yang menenangkan dapat mengurangi kecemasan
klien.
2) Kaji mengenai pandangan klien tentang situasi yang membuat klien cemas,
persepsi klien, dan adanya pengalaman masa lalu mengenai operasi
Rasional: untuk mengetahui tingkat kecemasan klien dan mengkaji
persepsi klien terhadap tindakan operasi yang akan dijalaninya.
3) Observasi tanda verbal dan nonverbal ansietas klien.
Rasional: dengan mengobservasi tanda verbal dan nonverbal dapat
mengetahui tingkat ansietas klien.

9
4) Sediakan dan berikan informasi pada klien informasi mengenai tindakan
operasi yang akan dijalani klien, alasan klien sampai saat ini belum operasi,
tujuan operasi, dan komplikasi yang dapat dialami klien setelah operasi.
Rasional: pemberian informasi yang aktual dapat mengurangi kecemasan
klien terhadap penyakitnya.
5) Temani klien untuk meningkatkan rasa nyaman dan mengurangi rasa takut.
Rasional: dengan menemani klien, dapat memberikan rasa aman dan
mengurangi kecemasan klien.

6) Dorong keluarga untuk selalu menemani klien.


Rasional: dengan ditemani keluarga, klien akan merasa termotivasi
menghadapi tindakan operasi yang akan dijalaninya.
7) Dorong klien untuk dapat mengungkapkan perasaan, persepsi dan rasa takut
secara verbal.
Rasional: untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan klien.
8) Identifikasi apabila level ansietas klien berubah.
Rasional: untuk memberikan intervensi yang tepat.
9) Dukung mekanisme koping yang diperlukan secara tepat.
Rasional: mekanisme pertahanan diri yang tepat dapat membantu
mengurangi kecemasan.
10) Instruksikan klien dalam penggunaan teknik relaksasi.
Rasional: teknik relaksasi dapat membantu memberikan rasa nyaman
kepada klien.
Calming Technique
1) Duduk dan bicarakan dengan klien mengenai kecemasan yang dialami dan
upaya yang dapat dilakukan klien untuk mengatasi kecemasan.
Rasional: membantu klien mengidentifikasi kecemasan dan koping klien.
2) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional: membantu klien mengontrol cemasnya.
Coping enchanment
1) Kaji sistem pendukung yang dapat digunakan klien
Rasional: membantu klien beradaptasi dengan situasi yang dapat
menimbulkan cemas.

10
Teaching: Preoperative
1) Informasikan pasien dan keluarga terdekat tentang jadwal, lama, dan lokasi
pembedahan.
Rasional: informasi yang adekuat dapat mengurangi tingkat kecemasan
pasien.
2) Sediakan waktu untuk pasien untuk bertanya dan mendiskuksikan prosedur
operasi
Rasional: sebagai media informasi untuk pasien.
3) Menjelaskan kegiatan-kegiatan preoperasi (anestesi, diet, persiapan BAB,
tes laboratorium, persiapan kulit, terapi IV, pakaian, area tunggu keluarga,
transpor ke ruang operasi)
Rasional: mengurangi tingkat kecemasan pasien
4) Menjelaskan jenis obat-obatan premedikasi dan efek obat-obat tersebut
Rasional: informasi yang adekuat mengurangi tingkat ansietas pasien.
5) Perkenalkan staf kesehatan yang akan melaksanakan operasi kepada pasien.
Rasional: membina hubungan saling percaya anatara pasien dengan
tenaga kesehatan
d. Implementasi Preoperatif
Implementasi merupakan pelaksanaan dari intervensi yang telah dibuat.
e. Evaluasi Preoperatif
Evaluasi merupakan hasil dari implementasi yang telah dilakukan dan
mengacu pada kriteria hasil yang sudah ditentukan dalam intervensi. Evaluasi
dijabarkan melalui SOAP, yaitu Subjektif, Objektif, Assesment, dan Planning.
Pada evaluasi preoperatif diharapkan ansietas klien berkurang dan klien dapat
memahami prosedur dan protokol preoperatif.
2. Fase Intraoperatif
Perawatan dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke bagian bedah dan
berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktivitas perawat
adalah memasang IV-line (infus), memberikan medikasi intravena, melakukan
pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan klien (menggenggam tangan klien, mengatur posisi klien). Contoh:
memberikan dukungan psikologis selama induksi anstesi, bertindak sebagai
perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja operasi
dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh.

11
Perawatan intraoperatif meliputi : pengkajian preanastesi, positioning, drapping
pada area pembedahan, monitoring hemodinamik, dan perawatan post anestesi di
Recovery Room.
a. Pengkajian Intraoperatif
1) Pemeriksaan Status Anestesi
Sebelum dilakukan anestesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan
mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh
mana resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa
digunakan adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA
(American Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena
obat dan teknik anestesi pada umumnya akan mengganggu fungsi
pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf (Smeltzer & Bare, 2002).
a) ASA I
Tidak ada gangguan organik, biokimia, dan psikiatri. Pasien sehat,
normal, kecuali pada bagian tubuh yang akan dioperasi. Misalnya,
penderita dengan herinia ingunalis tanpa kelainan lain, orang tua
sehat, bayi muda yang sehat.
b) ASA II
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan oleh
penyakit yang akan dibedah. Terdapat kelainan pada 1 nilai
laboratorium. Misal: penderita dengan obesitas, hipertensi terkontrol,
penderita dengan bronkitis dan penderita dengan diabetes mellitus
ringan yang akan mengalami appendiktomi.
c) ASA III
Penyakit sistemik berat, selain penyakit yang akan dioperasi dan
aktivitas terbatas. Terdapat kelainan dari 2 hasil laboratorium, namun
belum mengancam jiwa. Misalnya penderita diabetes mellitus dengan
komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendisitis akut,
pasien angina, COPD, AMI sebelumnya.
d) ASA IV
Penyakit/gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa, yang
tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, misalnya:
insufisiensi koroner atau infark miokard, gagal ginjal.
e) ASA V

12
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
dilakukan sebagai pilihan terakhir. Pasien dalam kondisi yang sangat
buruk dan diperkirakan tidak dapat bertahan dalam 24 jam. Misal:
penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di luar
rahim pecah atau ruptur aneurisma.
f) ASA VI
Pasien mati batang otak yang akan diambil sebagai donor organ.

g) Emergency (E)
Untuk pasien dengan kondisi darurat/operasi darurat.
2) Drapping Area Pembedahan
Di dalam kamar operasi persiapan yang harus dilakukan terhdap pasien
yaitu berupa tindakan drapping yaitu penutupan pasien dengan
menggunakan peralatan alat tenun (disebut: duk) steril dan hanya bagian
yang akan di incisi saja yang dibiarkan terbuka dengan memberikan zat
desinfektan seperti povide iodine 10% dan alkohol 70%.

b. Diagnosa Keperawatan Intraoperatif (Yang Mungkin Muncul)


1) Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
2) Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan pemajanan
suhu lingkungan yang ekstrem.
3) Risiko cidera posisi perioperatif berhubungan dengan gangguan
sensori/persepsi akibat anastesi dan tindakan pembedahan.
4) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
c. Intervensi Intraoperatif
1) Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x... diharapkan tidak
terjadi ganggauan volume cairan, dengan kriteria hasil:
a) Cardiopulmonary Status

13
(1) Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistol dan diastol/ dalam
batas normal (120/80mmhg) (skala 5 = no deviation from normal
range).
(2) Nadi dalam batas normal (60-100kali/menit) (skala 5 = no deviation
from normal range).
(3) Tidak ada pucat dan sianosis (skala 5 = no deviation from normal
range).
(4) Turgor kulit elastis (skala 5 = no deviation from normal range).
(5) Diaporesis tidak ada (skala 5 = no deviation from normal range).
(6) Edema tidak ada (skala 5 = no deviation from normal range).
b) Blood Loss Severity
(1) Kehilangan darah minimal (skala 5 = none).
Intervensi
a) Bleeding Precaution
(1) Monitor dan pantau adanya pendarahan secara persisten
Rasional: adanya pendarahan secara persisten dalam jumlah yang
banyak dapat menyebabakan ketidak seimbangan cairan tubuh
klien.
(2) Monitoring faktor koagulasi (PT, PTT).
Rasional: perlambatan PT dan PTT dapat menjadi indikator
pendarahan pada klien.
b) Bleeding Reduction
(1) Monitoring pendarahan jumlah darah yang keluar pada drainage.
Rasional: untuk mengetahui besarnya darah yang hilang sebagai
perhitungan kekurangan cairan dalam tubuh klien.
c) Fluid/Electrolyite Monitoring
(1) Pantau tanda-tanda vital klien
Rasional: tanda-tanda vital sebagai data obyektif yang
menginterpretasikan kondisi fisiologis klien.
(2) Monitoring pemasukan dan pegeluaran cairan /balance cairan.
Rasional: balance cairan dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi cairan dalam tubuh klien.
(3) Monitoring pengeluaran cairan berlebih (diaporesis).

14
Rasional: kehilangan cairan dapat terjadi melalui berbagai
mekanisme diamana pada klien dengan amputasi selain
kehilangancairan melalui pendarahan yang berlebih juga dapat
terjadi akibat diaporesis yang dialami klien.
2) Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan pemajanan
suhu lingkungan yang ekstrem.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x...diharapkan tidak
terjadi perubahan suhu tubuh dengan kriteria hasil:

a) Thermoregulation
(1) Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh (normal 36,5-37,5 0C) (skala 5
= not compromised).
(2) Tidak terjadi penurunan suhu tubuh (normal 36,5-37,50C) (skala 5 =
not compromised).
(3) Tidak terjadi perubahan warna kulit (skala 5 = not compromised).
Intervensi:
a) Temperatur Regulation Intraoperatif
(1) Lakukan pengaturan ruangan operasi untuk efek terapeutik dan
monitoring secara teratur.
Rasional: ketidak seimbangan suhu tubuh klien disebabkan akibat
terlalu ekstrimnya pengaturan suhu ruangan operasi, efek
terapeutik bertujuan untuk menunjang kesehatan klien. Sehingga
temperatur ruangan diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan
tidak merugikan klien selama menjalani operasi.
(2) Berikan penutup pada kepala klien
Rasional: pusat pengaturan suhu tibuh berada di medula oblongata
yaitu dikepala klien, sehingga dengan penutup kepala dapat
memberikan suasana hangat sehingga tidak terjadi perubahan suhu
tubuh.
(3) Berikan selimut pada tubuh klien dan minimalkan bagian tubuh
yang terpapar dengan suhu ruangan operasi secara langsung.

15
Rasional: pemberian selimut dapat menjaa kestabilan suhu tubuh
klien dan mneurunkan pegaruh suhu ruangan operasi yang di set
dingin.
(4) Secara continue monitoring suhu tubuh klien dan integumen klien.
Rasional: secara reguler dan terus menerus memantau suhu tubuh
klien selama operasi dapat memonitoring perubahan suhu tubuh
yang terjadi.
(5) Sediakan selimut penghangat pada saat-saat darurat.
Rasional: selimut penghangat diperlukan saat pasien dalam
penagruh anastesi untuk menstabilkan suhu tubuh klien selama
operasi.
3) Risiko cidera posisi perioperatif berhubungan dengan gangguan
sensori/persepsi akibat anastesi dan tindakan pembedahan.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama...x...diharapkan cidera tidak
terjadi dengan kriteria hasil:
a) Kondisi kulit: tidak ada abrasi, memar.
b) Kondisi pernafasan: tidak ada sumbatan, jalan nafas bebas, Intubasi
berada dalam posis yang benar dan dilakukan dengan prosedur yang
benar.
c) Tidak ada penyumbatan pada selang IV, nasogastrik atau kateter.
d) Pembedahan sesuai dengan persetujuan yang diberikan oleh klien baik
lisan atau yang tertera di list klien.
Intervensi:
a) Bleeding Precaution
(1) Lakukan monitoring tindakan selama prosedur pembedahan sesuai
dengan prosedur yang benar.
Rasional: kesalahan dalam pelaksanaan tindakan atau
ketidaksengajaan dalam prosedur tindakan yang dapat
menimbulkan trauma vaskuler dapat menimbulkan perdarahan dan
ketidak stabilan cairan tubuk klien.
(2) Lakukan tindakan pembedahan sesuai dengan prosedur yang benar
dan minimalkan kesalahan dalam tindakan.

16
Rasional: dengan melakukan tindakan pembedahan sesuai
prosedur maka out come akan sesuai yang diharapkan dan tidak
akan merugikan klien, kesalahan dalam mengambil tindakan
sepertihalnya kesalahan dalam memotong pembuluh darah atau
jaringan yang tidak seharusnya dipotong akan dapat menimbulkan
cidera pada klien.
b) Postanathesia Care
(1) Kaji adanya alergi bahan-bahan opersi yang ada disekitar klien
Rasional: alergi terhadap matras, selimut dll dapat mengakibatkan
kerusakan pada integritas kulit klien.
(2) Monitoring oksigenasi klien (jalan nafas, intubasi dengan tepat)
Rasional: monitoring oksigenasi secara kontinue meliputi jalan
nafas untuk memenuhi kebutuhan oksigen klien selama tindakan
operasi sehingga tidak menimbulkan cidera pada jaringan akibat
hipoksia dan tetap mempertahankan kepatenan jalan nafas.
Pemasangan intubasi dengantepat dapat mencegah terjadinya
cidera akibat tindakan intubasi.
(3) Monitoring dan catat vital sign, kesadarn klien dan fungsi sensori
dan motorik setiap 15 menit atau lebih.
Rasional: untuk mengetahui keefektifan anastesi, bila klien
mengalami peningkatan kesadaran yang artinya efek anastesi tidak
maksimal, dapat menimbulkan reaksi pada klien akibat nyeri dan
pergerakan yang tidak diharapkan selama operasi berlangsung
(4) Monitoring posisi klien, IV, kateter, dan NGT, ETT, selama tindakan
operasi.
Rasional: posisi yang salah, penempatan peralatan medis di tubuh
klien saat operasi dapat mengakibatkan cidera pada klien
intraoperatif.
(5) Lakukan restrain pada tubuh klien sesuai kebutuhan selama
intraoperatif.
Rasional: pengikatan pada beberapa bagian tubuh klien selama
tindakan operasi dapat mencegah kesalahan posisi, bagian tubuh
yang jatuh selama operasi.
4) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

17
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x... diharapkan tanda-
tanda infeksi tidak ditemukan dengan kriteria hasil:
a) Infection Severity
(1) Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh (normal 36,5-37,5 0C) (skala 5
= not compromised).
(2) Tidak terjadi penurunan suhu tubuh (normal 36,5-37,50C) (skala 5 =
not compromised).
(3) WBC dalam batas normal (4-11 x 103 u/L).
Intervensi:
a) Infection Control Intraoperative
(1) Jaga kebersihan, kelembaban, dan cahaya ruangan operasi.
Rasional: lingkungan operasi yang bersih, dengan kelembaban
dan pencahayaan yang cukup dapat mencegah kolonisasi
mikroorganisme dalam ruangan.
(2) Monitoring suhu ruangan operasi berkisar antara namun tetap
dengan efek terapeutik bagi pasin (20-240C).
Rasional: bakteri tidak mampu berkembang biak atau dalam
keadaan dorman dalam kondisi yang dingin.
(3) Kurangi kegiatan keluar masuk ruang operasi yang kurang penting.
Rasional: mikroorganisme di ruang operasi berasal dari
lingkungan luar yang terbawa masuk saat petugas kesehatan
masuk ke ruang operasi dan saat pintu ruangan operasi terbuka.
(4) Kolaborasi pemberian profilaksis antibiotik.
Rasional: profilaksis antibiotik dapat menurunkan
perkembangbiakan mikroorganisme dalam tubuh klien.
(5) Gunakan universal precaution.
Rasional: pemakaian universal precautin pada tim bedah selama
tindakan operatif dapat mengurangi penyebaran mikroorganisme
dari tim medis.
(6) Pertahan kesterilan alat operasi dengan teknik aseptik.
Rasional: untuk mengurangi kontaminasi alat medis dari
mikroorganisme sehingga tidak terjadi infeksi pada luka amputasi.
(7) Jaga integritas pemasangan kateter dan IV line.

18
Rasional: dengan tetap mempertahankan posisi kateter dan IV line
pada posisi yang tepat dan menjaga kebersihannya dapat
mengurangi kontaminasi mikriorganisme intraoperatif.

3. Fase Postoperatif
Perawatan dimulai dengan dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi
vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta
pemulangan. Lingkup aktivitas perawat antara lain perawatan post operasi di RR:
mengkaji efek dari agen anestesi, transportasi – score post anastesi, monitoring
tanda vital, keadaan umum, drainase, tube, komplikasi, dan infeksi, manajemen
luka, mobilisasi dini-ROM, rehabilitasi, discharge planning.
Perawatan Pasien Postoperasi Di Recovery Room
Recovery Room (RR) adalah suatu ruangan yang terletak di dekat kamar
bedah, dekat dengan perawat bedah, ahli anestesi dan ahli bedah sendiri,
sehingga apabila timbul keadaan gawat pasca-bedah, klien dapat segera diberi
pertolongan. Selama belum sadar betul, klien dibiarkan tetap tinggal di RR.
Setelah operasi, klien diberikan perawatan yang sebaik-baiknya dan dirawat oleh
perawat yang berkompeten di bidangnya (ahli dan berpengalaman).
a. Pengkajian Postoperatif
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien postoperasi di RR adalah sebagai
berikut:
1) Selama 2 jam pertama, periksalah nadi dan pernafasan setiap 15 menit, lalu
setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya. Setelah itu bila keadaan tetap

19
baik, pemeriksaan dapat diperlambat. Bila tidak ada petunjuk khusus,
lakukan setiap 30 menit. Laporkan pula bila ada tanda-tanda syok,
perdarahan, dan menggigil.
2) Infus, kateter, dan drain yang terpasang perlu juga diperhatikan.
3) Jagalah agar saluran pernafasan tetap lancar. Klien yang muntah
dimiringkan kepalanya, kemudian bersihkan hidung dan mulutnya dari sisa
muntahan. Bila perlu, suction sisa muntahan dari tenggorokan.
4) Klien yang belum sadar jangan diberi bantal agar tidak menyumbat saluran
pernafasan. Bila perlu, pasang bantal di bawah punggung, sehingga kepala
berada dalam sikap mendongak. Pada klien dengan laparatomi, tekuk
sedikit lututnya agar perut menjadi lemas dan tidak merenggangkan jahitan
luka.
5) Usahakan agar klien bersikap tenang dan rileks.
6) Tidak perlu segan untuk melaporkan semua gejala yang perawat anggap
perlu untuk mendapatkan perhatian, termasuk gejala yang “tampaknya”
tidak berbahaya.
b. Diagnosa Keperawatan Postoperatif (Yang Mungkin Muncul)
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (akibat tindakan
pembedahan) ditandai dengan klien melaporkan nyeri secara verbal, klien
melaporkan skala nyeri dari 0-10 skala nyeri yang digunakan, RR > 20
x/menit, klien terlihat meringis kesakitan.
2) Risiko syok berhubungan dengan komplikasi pasca tindakan operasi.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif.
4) Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan temperatur lingkungan
fluktuaktif ditandai dengan pucat ditandai dengan klien mengeluh badan
terasa panas dingin dan lemas, suhu tubuh klien > 37,50C atau < 36,50C.

c. Intervensi Postoperatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (akibat tindakan
pembedahan) ditandai dengan klien melaporkan nyeri secara verbal, klien
melaporkan skala nyeri dari 0-10 skala nyeri yang digunakan, RR > 20
x/menit, klien terlihat meringis kesakitan.
Tujuan:

20
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…x…jam diharapkan nyeri
dapat berkurang, dengan kriteria hasil:
a) Pain level
(1) Klien tidak melaporkan adanya nyeri (skala 5 = none).
(2) Klien tidak merintih ataupun menangis (skala 5 = none).
(3) Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 5 =
none).
(4) Klien tidak tampak berkeringat dingin (skala 5 = none).
(5) RR dalam batas normal (16-20 x/mnt) (skala 5 = normal).
(6) Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt) (skala 5 = normal).
(7) Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 =
normal).
b) Pain control
(1) Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik
manajemen nyeri non farmakologis (skala 5 = consistently
demonstrated).
(2) Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi (skala 5 =
consistently demonstrated).
(3) Klien melaporkan nyeri terkontrol (skala 5 = consistently
demonstrated).
Intervensi:
a) Pain management
(1) Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi
lokasi, karasteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri, serta faktor-faktor yang dapat memicu nyeri.
Rasional: pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang
dialami klien meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri serta faktor-faktor yang dapat memicu
nyeri klien sehinggga dapat menentukan intervensi yang tepat.
(2) Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari
ketidaknyamanan.
Rasional: dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non
verbal maka dapat membantu mengetahui tingkat dan
perkembangan nyeri klien.

21
(3) Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji
pengalaman nyeri dan menyampaikan penerimaan terhadap respon
klien terhadap nyeri.
Rasional: membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.
(4) Kaji tanda-tanda vital klien.
Rasional: peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut
nadi umumnya menandakan adanya peningkatan nyeri yang
dirasakan.
(5) Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan, seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
Rasional: membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor
yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien.
(6) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis:
teknik terapi musik, distraksi, guided imagery, masase dan lain-
lain).
Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta
membantu klien untuk mengontrol nyerinya.
(7) Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.
2) Risiko syok berhubungan dengan komplikasi pasca tindakan operasi.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…x…jam diharapkan klien
tidak mengalami syok, dengan kriteria hasil:
a) TTV dalam batas normal (Suhu : 36,5o – 37o C, TD: 120/80 mmHg, HR:
60-100x/menit, RR: 16-20 x/menit) (skala 5 = not compromissed).
b) Tidak tanda-tanda dehidrasi (skala 5 = not compromissed).
c) Turgor kulit elastis (skala 5 = not compromissed).
Intervensi:
a) Shock Prevention
(1) Pantau adanya tanda-tanda respon syok yang terkompensasi secara
segera, seperti: tekanan darah yang turun, kulit terasa panas/dingin,
muntah, atau merasa haus.
Rasional: tanda-tanda syok sejak dini dapat membantu
mempercepat penanganannya dan menyelamatkan hidupnya.

22
(2) Pantau adanya tanda-tanda sindrom inflamasi sistemik, seperti:
peningkatan suhu tubuh, takikardi, dan takipnea.
Rasional: adanya peningkatan suhu tubuh dapat mengindikasikan
adanya infeksi pada pasien.
(3) Pantau adanya tanda-tanda reaksi alergi pada pasien dengan segera.
Rasional: reaksi alergi sangat cepat pengaruhnya pada kondisi
individu, dan dapat mempersiapkan segera saat pasien mengalami
syok.
(4) Pantau adanya kemungkinan kehilangan cairan yang berlebihan,
seperti: melalui drainage, muntah, urine output.
Rasional: kehilangan cairan yang berlebih dapat meningkatkan
risiko syok akibat kurangnya asupan enrgi yang dihantarkan dan
lebih banyak yang dikeluarkan.
(5) Pantau status sirkulasi pasien (TTV, warna kulit, dan CRT).
Rasional: kondisi umum pasien termasuk TTV juga perlu untuk
mengetahui kondisi umum baik.
(6) Jelaskan pada keluarga tentang risiko terjadinya syok yang bisa
terjadi akibat penyakit pasien.
Rasional: pengetahuan keluarga yang baik dapat menunjang
perawatan pasien.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama…x…jam, diharapkan tidak
terjadi infeksi sekunder, dengan kriteria hasil:

a) Infection severity
(1) Klien tidak menunjukan tanda dan gejala infeksi (suhu : 36,5 o – 37o
C, TD: 90-96/60-65 mmHg, HR: 115-130 x/mnt, RR: 30-40 x/mnt)
(skala 5 = none).
(2) WBC klien dalam batas normal: 4 – 11 x 103 u/L (skala 5 = none).
(3) Tidak terjadi infeksi sekunder pada klien (skala 5 = none).
Intervensi :

23
a) Infection control
(1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal dengan
pemeriksaan TTV dan pemeriksaan fisik.
Rasional: membantu dalam memberikan intervensi secara cepat
dan tepat jika infeksi terjadi.
(2) Monitor hitung granulosit, WBC, kultur sputum/bakteri, tes
sensitivitas.
Rasional: dapat sebagai indikator ada tidaknya infeksi dan
menentukan sensitivitas pada obat tertentu.
(3) Bersihkan lingkungan klien secara rutin dan setelah tindakan
perawatan
Rasional: mencegah penyebaran infeksi pada orang lain dan
infeksi sekunder pada klien.
(4) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan dengan sabun antimikroba.
Rasional: mencegah infeksi nosokomial dan melindungi tenaga
kesehatan dari risiko tertular infeksi dari klien.
(5) Pertahankan lingkungan aseptik selama perawatan pasien.
Rasional: mencegah terjadinya infeksi lanjutan.
(6) Pertahankan teknik aseptik dalam perawatan dan
pemasangan/penggantian kateter infuse pasien sesuai dengan waktu
yang ditentukan.
Rasional: meminimalisir adanya infeksi sekunder dan
perkembangan kuman pada area pemasangan infus.
4) Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan temperature lingkungan
fluktuaktif ditandai dengan pucat ditandai dengan klien mengeluh badan
terasa panas dingin dan lemas, suhu tubuh klien > 37,50C atau < 36,50C.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…x…jam diharapkan
termoregulasi klien dapat kembali efektif dengan kriteria hasil:
a) Risk Control: Hypertermia
(1) Klien mengetahui tanda dan gejala hipertermia (skala 5 =
constistenly demonstrated).

24
(2) Perawat mengetahui factor-faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan suhu tubuh klien (skala 5 = constistenly
demonstrated).
(3) Perawat mengetahui efek-efek pengobatan yang dapat
meningkatkan suhu tubuh klien (skala 5 = constistenly
demonstrated).
b) Risk Control: Hypotermia
(1) Klien mengetahui tanda dan gejala hipotermia (skala 5 =
constistenly demonstrated).
(2) Perawat mengetahui factor-faktor lingkungan yang dapat
menurunkan suhu tubuh klien (skala 5 = constistenly
demonstrated).
(3) Perawat mengetahui efek-efek pengobatan yang dapat menurunkan
suhu tubuh klien (skala 5 = constistenly demonstrated).
c) Thermoregulation
(1) Berkeringat jika panas (skala 5 = no deviation from normal scale).
(2) Gemetar jika kedinginan (skala 5 = no deviation from normal
scale).
(3) Klien melaporkan suhu yang nyaman (skala 5 = constistenly
demonstrated).
d) Vital signs
(1) Suhu axila 36,6-37-40C skala 5 (no deviation from normal scale).
(2) RR 12-20 x/menit skala 5 (no deviation from normal scale).
(3) Nadi 80-100x/menit skala 5 (no deviation from normal scale).
(4) Tekanan darah systole 110-120mmHg skala 5 (no deviation from
normal scale).
(5) Diastole 80-90 mmHg skala 5 (no deviation from normal scale).

Intervensi:
a) Environmental managament: comfort
(1) Kaji penyebab ketidaknyamanan pada klien.
Rasional: memberikan intervensi yang tepat yang dapat meningkatkan
kenyamanan klien.

25
(2) Atur suhu ruangan sesuai dengan tingkat kenyamanan klien.
Rasional: suhu ruangan merupakan salah satu indicator penyebab
ketidaknyamanan klien.
(3) Berikan atau kurangi selimut untuk memperbaiki suhu tubuh klien
Rasional: pemberian selimut dapat mengurangi pengeluaran suhu
tubuh yang berlebih, jika diberikan dengan tepat dapat
memperbaiki suhu tubuh klien.
b) Temperature Regulation
(1) Ukur suhu klien setiap 2 jam.
Rasional: dengan pemantauan yang ketat dapat mengetahui
ketidaknormalan suhu tubuh klien dengan cepat dan memberikan
intervensi dengan tepat pula.
(2) Ukur tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.
Rasional: suhu tubuh yang tidak normal dapat mempengaruhi tanda-
tanda vital klien.
(3) Pantau warna kulit dan suhunya.
Rasional: mengindikasikan suhu tubuh klien.
(4) Ajarkan pada klien tanda dan gejala dari hipertermia dan
hipotermia.
Rasional: meningkatkan pengetahuan klien akan tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia.
(5) Anjurkan klien untuk melaporkan jika terjadi tanda-tanda
hipotermia dan hipertermia.
Rasional: mengetahui ketidaknormalan suhu sedini mungkin dan
memungkinkan pemberian intervensi dengan tepat.
(6) Lakukan water tepid spong jika terjadi hipertermia.
Rasional: water tepid spong dapat menurunkan peningkatan suhu
tubuh dan meningkatkan pengeluarannya melalui vasodilatasi.
(7) Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan dalam mengontrol
hipotermia terutama menggigil.
Rasional: menggigil merupakan kompensasi tubuh untuk
meningkatkan produksi suhu tubuh, jika ini lama terjadi dapat
mengurangi energy dari klien dan memperburuk kondisi klien.
(8) Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan antipiretik.

26
Rasional: antipiretik sesuai indikasi dapat mengurangi pelepasan
mediator-mediator inflamasi yang dapat memicu peningkatan
suhu tubuh.
d. Implementasi Postoperatif
Implementasi dilaksanakan berdasarkan intervensi keperawatan.
e. Evaluasi Postoperatif
Evaluasi dibuat berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne M. & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Interventions


Classification : Fourth Edition. United States of America : Mosby.

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis obstetric. Jakarta: EGC.


Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcomes Classification: Fourth Edition. United
States of America: Mosby.
NANDA International. 2011. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedia
Smeltzer SC and Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid Pertama.
Edisi Pertama. Jakarta: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai