1
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterygium (Skuta, 2008).
B. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan dengan paparan dari luar seperti sinar
ultraviolet, angin, dan debu. Paparan tersebut dapat mengiritasi permukaan mata ,
kemudian akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti
dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh
darah. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu
substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat
pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran
Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Epitel merupakan lapisan sel yang meliputi permukaan luar mata. Epitel pada
mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap
2
respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan
mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan
membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut
akan merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan
faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan
baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea.
Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya
perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang
mengenainya (Fisher dan Trattler, 2013; Laszuarni, 2009, Caldwell, 2011).
C. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam
keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah
sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai
dengan jejas pada konjungtiva yang membesar (Fisher dan Trattler, 2013).
Menurut Aminlari,dkk (2010) gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan
bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda
asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut
stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
dapat menurun.
Sedangkan menurut Wijaya (1993), bila masih baru, banyak mengandung
pembuluh darah, sehingga warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran
tipis berwarna putih yang stationer. Bagian sentral melekat pada kornea dapat
tumbuh memasuki kornea kemudian menggantikan epitel dan membrana
Bowman, dengan jaringan elastik dan hyaline.
3
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
kekornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
4
Al-Ghozie, M. (2002). Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical
Examination. Yogyakarta: FK UMY.
Aminlari A, Singh R, Liang D. 2010. Management of Pterygium. Opthalmic
Pearls.
Anonymus. Pterygium. (2009). http://www.dokter-online.org/index.php.htm
(Diakses tanggal 3 Agustus 2013).
Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. (2010).
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.
Caldwell, M. Pterygium. (2011). www.eyewiki.aao.org/Pterygium (Diakses
tanggal 2 Agustus 2013).
Fisher JP, Trattler W. 2013. Pterygium.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall.
Diakses Agustus 2013.
Fisher, J. Pterygium. (2009). http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview (Diakses tanggal 4 Agustus 2013).
Ilyas, S. (2009). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Junqueira, L.C., Carneiro, J.,( 2007). Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Dalam:
Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Kemkes RI, 2010. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2009. http://www.depkes.go.id. (Diakses 1 Agustus 2013).
Laszuarni. (2009). Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Majmudar, P.A. (2010). Allergic Conjunctivitis Rush-Presbyterian-St Luke’s
Medical Center. http://emedicine.medscape.com/article/1191467-
overview. (Diakses 1 Agustus 2013).
Pope, DB. Pterygium and Pinguecula. (2009). http://eyenet.org (Diakses tanggal 1
Agustus 2013).
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology.
http://one.aao.org/asset.axd. (Diakses 1 Agustus 2013).