Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS

Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki- laki
No Rekam Medik : 00-70-82-49
Tanggal Lahir : 22-12-2003 (15 tahun)
Alamat :
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk RS : 09 Juli 2018 pkl 20.05 WIB

1.2 KELUHAN UTAMA

Nyeri ulu ati sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit.

1.3 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 09 Juli


2018 di IGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu ati sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit, saat pasien memulai pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT).
Keluhan mual disangkal, keluhan muntah disangkal. Keluhan mata dan badan
kuning disangkal, keluhan buang air kecil seperti teh disangkal. Pasien sudah
mengonsumi obat Ranitidine namun tidak ada perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- riwayat sakit lambung disangkal
- riwayat pengobatan tuberkulosis sebelumnya disangkal
- riwayat alergi pada obat-obat tertentu disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- riwayat batuk lama di keluarga disangkal
- riwayat pengobatan tuberkulosis di keluarga disangkal
- riwayat kencing manis disangkal
- riwayat asma atau alergi disangkal

1.4 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

1
Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5 (compos mentis)
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit, regular, kuat angkat
- Suhu : 36,7 C per axilla
- Pernapasan : 20 x/menit, regular, tipe torakoabdominal
- SpO2 : 98 %

Status Generalis
1. Kulit
Warna : sawo matang, tidak ikterik dan tidak tampak pucat

2. Kepala : normocephali, rambut hitam, distribusi tidak merata

3. Mata : konjuntiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat isokor
3mm/3mm

4. Telinga : normotia, simetris, liang telinga lapang, tidak tampak


serumen

5. Hidung
Bagian luar : tidak terdapat deformitas
Septum : tidak tampak deviasi
Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi
Cavum nasi : tidak ada perdarahan, tidak ada sekret

6. Mulut
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir lembab
Lidah : sulit dinilai
Tonsil : sulit dinilai
Faring : sulit dinilai

7. Leher
Bendungan vena : tidak terdapat bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
KGB : tidak terdapat pembesaran
Trakea : ditengah

8. Thorax
Paru – paru
- Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, tidak tampak retraksi suprasternal
- Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, vocal fremitus sulit dinilai
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : bunyi nafas dasar vesikuler, tidak terdengar ronki, tidak
terdengar wheezing

Jantung
- Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis

2
- Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V linea aksilaris anterior sinistra
- Perkusi
Batas jantung kanan : ICS III-V, linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea aksilaris anterior sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung I/II reguler, tidak terdengar murmur maupun
gallop

9. Abdomen
- Inspeksi : perut datar, tidak terdapat jaringan parut, striae dan kelainan
kulit, tidak terdapat pelebaran vena
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium, tidak teraba massa, turgor kulit baik
- Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, nyeri ketok CVA
tidak ada

10. Extremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, CRT < 2 dtk, tidak
terdapat edema pada keempat ekstremitas

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 09 Juli 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai


Fungsi Hepar
SGOT 603.40 10.00-35.00 U/L
SGPT 191.70 10.00-45.00 U/L
Bilirubin Total 1.9 <1.0
Bilirubin Direk 1.08 0.00-0.20
Widal Test
S. Typhi O Negative Negative
S. Typhi AO Negative Negative
S. Typhi BO Negative Negative
S. Typhi CO Negative Negative
S. Typhi H Negative Negative
S. Typhi AH Negative Negative
S. Typhi BH Negative Negative
S. Typhi CH Negative Negative

1.6 RESUME

Tn. R, 15 tahun datang diantar keluarga dengan nyeri ulu ati sejak dua
minggu saat memulai pengobatan OAT. Riwayat sakit lambung, tuberkulosis,
hepatitis disangkal pasien.

3
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran composmentis (E4M6V5), Nadi: 84x/menit, reguler,
kuat angkat, RR: 20x/menit, SaO2: 98%. Status generalis, sklera tidak ikterik,
badan tidak jaundice, hepar tidak membesar, pemeriksaan fisik lain dalam
batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan transaminase
SGOT, SGPT serta peningkatan bilirubin.

1.7 DIAGNOSA KERJA


 Drug Induce Hepatitis e.c. OAT
 TB Paru kategori 1

1.8 PENATALAKSANAAN

 Ranitidine 1x1 amp


 Fetik supp 1x1 supp

1.9 PROGNOSIS

- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Functionam : ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam

1.10 FOLLOW UP

11 Juli 2018 12 Juli 2018 13 Juli 2018


S: nyeri ulu ati (+) S : nyeri ulu ati (-) mual(- S: tidak ada keluhan
)
O: O: O:
Kesadaran CM E4M6V5 Kesadaran CM E4M6V5 Kesadaran CM E4M6V5
N: 84 x/menit N: 86 x/menit N: 80 x/menit
RR: 20 x/menit RR : 20 x/menit RR: 20 x/menit

A: A: A:
- Drug Induce - Drug Induce - Drug Induce
Hepatitis Hepatitis Hepatitis
- TB kategori 1 - TB kategori 1 - TB kategori 1

P: P: P:
- Raber SpPD - Cek anti HAV, - Acc pulang dr.
- Inf. Asering/ 8 jam HbsAg, anti HCV Dewi, SpPD
- SNMC 2amp - IVFD : Asering - Terapi Hepamaks
dalam NaCl 0,9% - Hepamaks 3x1 tab dilanjutkan

4
100mL (untuk 3 - Sucralfat syr 3x1
hari) cth
- Hepamaks 3x2 tab - USG Abdomen
- Ranitidin 2x1 amp - SNMC 2 amp
- Stop OAT dalam NS
- Ceftriaxone 1x2 100cc/hari
gram - Ceftriaxone 1x2
gram
- Acc pulang dr.
Fachri, SpP

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah
TBC) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini adalah salah satu penyakit tertua
yang diketahui menyerang manusia. Penyakit ini biasanya menyerang paru-
paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-
organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang
disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap
obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan
mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari
setengah kasus. (PDPI, 2006)

2.2. Epidemiologi Tuberkulosis

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini
TB masih menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada tahun 1992 WHO
telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis pada
tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus
TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Indonesia
berada dalam peringkat ketiga terburuk setelah China dan India di dunia untuk
jumlah penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140
ribu lainnya meninggal. Perkiraan kejadian BTA sputum positif di Indonesia
adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985
dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking nomer 3 sebagai
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru
diperkirakan 0,24%. (Amin dan Asril, 2006).

6
2.3. Etiologi Tuberkulosis

Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetales. kompleks Mycobacterium tuberculosis
meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii.
Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis yang
terpenting dan paling sering dijumpai. (Mansjoer, 2001)

M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 µm dan lebar


0.3-0.5 µm, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria
dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan Pewarnaan
Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan gram, maka
warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa
mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia,
Rhodococcus, Legionella micdadei, dan protozoa Isospora dan Cryptosporidium.
Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan
peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel,
sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu
molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara
inang dan patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam
makrofaga. (PDPI, 2006)

2.4. Patogenesis Tuberkulosis


TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah
infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik,
sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman
merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD
(Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan
pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek
primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam
dahak. (Silbernagl dan Lang, 2007).
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di
jaringan paru sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut

7
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan
mengalami salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah
epituberklosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang
telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah
ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari
luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu atau
lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat
sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan,
timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa
tempat. (Depkes, 2005)
Gejala penting TB paru post primer adalah :
1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering
dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat.
2) Batuk darah atau bercak saja.
3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.

8
4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis,
atau rusaknya parenkim paru yang luas
5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia,
berat badan turun

2.5. Klasifikasi Tuberkulosis


Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)


TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif

2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :

9
- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu
antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006)

2.6. Diagnosa Tuberkulosis


Untuk menegakkan diagnosis TB paru, perlu diketahui tentang : gambaran klinik,
pemeriksaan jasmani, gambatan foto toraks, pemeriksaan basil tahan asam, pemeriksaan
uji tuberkulin dan pemeriksaan laboratorium penunjang.
Gambaran klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala
respiratorik (paru).
1) Gejala sistemik (umum), berupa :
a) Demam
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala
influenza. Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam,
kadang-kadang suhu badan dapat mencapai 40° 41° C. Serangan seperti influenza ini
bersifat hilang timbul, dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah
3 bulan, 6 bulan, 9 bulan (dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin
mengatakannya sebagai serangan influenza yang melompat-lompat dengan masa tidak
sakit semakin pendek dan masa serangan semakin panjang.
b) Gejala yang tidak spesifik
TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak
badan (malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit

10
kepala dan badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan
siklus haid.
2) Gejala respiratorik (paru)
a) Batuk
Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru;
batuk baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari
terangsangnya bronkus, bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk
berubah menjadi produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi
dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.
b)Batuk darah
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringannya batuk darah
tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu
terjadi pada setiap TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB
paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru.
c)Sesak napas
Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada
penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai
gejala ini.
d)Nyeri dada
Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik.

Pemeriksaan jasmani
Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural
jaringan paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru
tersebut. Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai
pegangan pada TB paru yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit
yang lanjut mungkin dapat dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi,
fibrosis, kolaps atau efusi.

Gambaran foto toraks


Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto
toraks PA dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi
dikerjakan atas indikasi.
Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru :

11
- Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru
- Bayangan berawan atau berbercak
- Terdapat kavitas tunggal atau banyak
- Terdapat kalsifikasi
- Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru
- Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.
Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus
atas, segmen posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen.
Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang
saja, akan tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang
merupakan bentuk khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan
radiologik adalah : sarang dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik,
keadaan penyebaran penyakit yang sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks
hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru dapat memberikan semua bentuk abnormal
pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan istilah "great imitator". (PDPI, 2006)

Pemeriksaan basil tahan asam


Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk
menemukan
BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat,
sehingga sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan
mikroskopik langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium
tuberculosis sebagai penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah :
- belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,
- terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan
yang tidak adekuat,
- cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,
- pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.
Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam
sputum, maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru
pada TB paru yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain,
paling mudah diobati dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006)

12
Pemeriksaan uji tuberkulin
Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada
TB paru anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih
tinggi seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko
dkk terhadap penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin
tidak mempunyai arti diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji
tuberkulin ini jarang dipakai untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar
untuk menegakkan diagnosis. (PDPI, 2006)

Pemeriksaan laboratorium penunjang


Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB
paru dan kadang-kadang juga dapat untuk
mengikuti perjalanan penyakit yaitu :
- laju endap darah (LED)
- jumlah leukosit
- hitung jenis leukosit.
Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri
dan limfosit di bawah nilai normal, laju endap darah meningkat. Dalam keadaan
regresi/menyembuh, leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari
nilai normal, laju endap darah akan menurun kembali. (PDPI, 2006)

2.7. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan:
- INH
- Rifampicin

13
- Pirazinamid
- Streptomisin
- Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
- Kanamisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan asam
klavulanat
- Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:
Kapreomisin, Sikloserin, PAS, Derivat INH dan Rifampisin, Thioamides
(ethioamide dan prothioamide)
Kemasan
- Obat Tunggal, disajikan secara terpisah, yakni INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol
- Obat Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi
dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Dosis Obat
Obat Dosis Dosis yang Dosis Dosis (mg) / Berat Badan
(mg/kgBB/hari) Dianjurkan Max (kg)
(mg/kgBB/hari)
Harian Intermitten <40 40- >60
60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
Tabel 1. Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006)
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan

14
priority utam WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO. Keuntungan kombinasi dosis tetap
antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi

Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik. (PDPI, 2006)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis


Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks lesi luas. Paduan obat
yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
a. TB Paru BTA (+), kasus baru
b. TB Paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas
2. TB Paru (kasus baru), BTA negative, pada foto thoraks lesi minimal. Paduan obat
yang dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3
3. TB Paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan
4. TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan:
3-6 bulan Kanamisin, Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan

15
Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada
fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan
tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal.
5. TB Paru kasus putus obat
Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan criteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
- BTA saat ini negative
Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
- BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka
waktu pengobatan yang lama.
b. Berobat < 4 bulan
- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kaut dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
- Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan.
6. TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minmal terdapat 4 macam OAT yang massif sensitive) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll. Pengobatan minimal 18
bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan
pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB
kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru. (PDPI, 2006)

16
2.8. Efek Samping Obat
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi
simptomatis maka pengobatan OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks.
Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis imbas obat yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila
terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentkan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah:
- Sindrom Flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom dispepsi, berupa sakit perut, mual, anorexia, muntah-muntah kadang
diare.
- Gatal-gatal dan kemerahan
Efek samping yang berat namun jarang terjadi:
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut, OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan
tidak perlu khawatir.

17
3. Pirazinamid
Efek samping utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout. Hal ini kemingkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung dengan dosis yang diapakai, jarang sekali
terjadi pada dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler untuk dideteksi.
5. Streptomisin.
Efek samping utama adalah kelainan syaraf VIII (Nervus Vestibulocochlearis)
yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat adalah telinga berdenging
(tinnitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan
bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gram. Jika pengobatan
diteruskan makan kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap.
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setalah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram.
Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan
pada perempuan hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin. (PDPI,
2006)

18
2.9. Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah
hebat hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak
pucat, badan lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan
keringat. Kadang-kadang ada juga yang suaranya sampai habis.
Menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya sebagai daya pertahanan alam.
Menjuhi sumber penularan. Selain itu bagi yang biasa ke dokter, dapat juga minta
penyuntikan vaksin BCG. Seorang ibu yang menderita TBC paru-paru, sebaiknya tidak
menyusui anaknya selama belum sembuh. Seseorang yang menderita penyakit tertentu,
di samping TB, memerlukan pengobatan yang berhati-hati sehingga tidak terjadi
kesalahan pemberian obat.

a. Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda


dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti
Tuberkolosis (OAT) aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak
dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus
barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu
hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular
TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan


pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui.

19
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat
badannya.

c. Penderita TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,


susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang
penderita TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah


sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya
dengan penderita TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan penderita TB-
HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral)
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan
suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution
(Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan penderita TB-HIV sebaiknya diberikan
secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.

e. Penderita TB dengan hepatitis akut

Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin
(R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Penderita TB dengan kelainan hati kronik

20
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak
diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya
kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan
ketat. Penderita dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan
OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Penderita TB dengan gagal ginjal

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini
dapat diberikan dengan dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan
faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang
sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gagal ginjal
adalah 2HRZ/4HR.

h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus

Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas


obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.
Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol,
karena dapat memperberat kelainan tersebut.

i. Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa


penderita seperti:

 Meningitis TB
 TB milier dengan atau tanpa meningitis

21
 TB dengan Pleuritis eksudativa
 TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan. (WHO, 2003)

Hepatotoksisitas Imbas Obat

22
2.10. Metabolisme Obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh.
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal.
Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit,
sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic
ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450.
Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau
hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini, dan beberapa dapat
langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)

Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam


retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat
reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun
daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh,
metabolit acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik
apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung jawab atas luka pada
hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010)

Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka


dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling
penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat.
Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain,
sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat
Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun di luar hati.
Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat, glutathione,
asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan
berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan
obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom
P-450 enzim adalah sebagai berikut:

 Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone

23
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
 Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010)

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara
permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan
penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan
kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang
hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek
yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis
terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan
pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi
tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering
penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50
persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006)

2.11. Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport


pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas
empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan
transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane
plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel
melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system

24
sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi
yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan
baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan
sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T
sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-
metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.
Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi
xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik
(biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein
sel menjadi immunogen). (Bayupurnama, Putut, 2006)

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang
tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang
mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada
idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen,
dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006)

2.12. Implikasi Klinis

Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau
substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama, Putut, 2006)

Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan,
dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada
hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis
akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus
sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006)

Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas


imbas obat berdasarkan :\

25
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5
hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30
hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi
obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati

Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika
dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
(Mehta, Nilesh, 2010)

Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan risiko
tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat,
menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian
obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. (Mehta,
Nilesh, 2010)

Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut
terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin
menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan

26
hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada
kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak minum
obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan
pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)

Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat.
Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap
bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis
asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang
tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit
terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi
3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)

2.13. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat

1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku
bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap
isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat
bervariasi antar individu.

2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-
anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun,
adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume
hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah
satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada
wanita.

4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap


keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation
(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.

27
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang
mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan
penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam
metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C
akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi
antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan
dekompensasi dengan obat beracun.

6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan
genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat.
Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik
karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi
polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa
depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.

7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-
orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation
rendah.

8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek


dibandingkan obat short-acting

9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan


mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
o Usia Muda - Salisilat, asam valproik
o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen
o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan
o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol

28
o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate (Mehta, Nilesh, 2010)

2.14. Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50
tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun,
masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak
diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta
terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan
ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan
Asril, 2006)

Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik
untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang
disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan
oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan
serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam
kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang
direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P)
dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)

Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin
(S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis
(usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier
HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat
tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas
pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah
dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis
pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap
tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

2.15. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT

29
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat
gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,
anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada
kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).

Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan
diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan
mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah,
sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat

2.16. Efek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine


transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat
peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif
ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan
menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih
dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-
Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang
menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi
hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT
dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi
progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH
bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat
menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak
11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat
terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang
memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis.
Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati

30
di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan
terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa
300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi
pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian
hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari
(mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan
TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang
menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari
430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)

Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal
terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih
lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa
dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin
menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama
terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin
terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima
rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden
hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima
rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang
dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk
pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas
dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre
Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada
pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000
dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang
dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)

Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi

31
hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol
yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore,
dkk, 2010)

Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)

2.17. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan
klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko


hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan
karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard
jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan
syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien

32
tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya
menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau
tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal
dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis
viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010).

2.18. Rekomendasi Mengelola OAT

Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional
untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
• Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
• Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
• Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan
dua bulan
Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.
• Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8
bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen
standar. (Kishore, dkk, 2010)

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
• INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300
mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
• Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600
mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi,
lanjutkan.
• Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat

33
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore, dkk, 2010)

2.19. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya
dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien
dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini
tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB
secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek
samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang
mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang
terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya
dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada
mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis.
Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk,
2010)

2.20. Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan


Hepatotoksisitas Imbas OAT

1.Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT


2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian
OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri
atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST>
120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg /
dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari
kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

34
2.21. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas

Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang


memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis:
Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak
mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan
gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak
perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini,
tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian setiap
dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin
dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya
kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi).
Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama
pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada
tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan
jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.

Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus
dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat
dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase
kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).

Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan
dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang
perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval
menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling
akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien
dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus
tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:

* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis


* Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis

35
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus
dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya,
pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien
melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah
menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena
kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji
pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga
merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola
kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui
sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum
di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak
adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir
(dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)

36
Daftar Pustaka

1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta. 2006.
2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
4) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005
5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta. EGC. 2007
6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced

Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in

Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue

18, 256-260

8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention

and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
9) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of
Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care
Medicine
10) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of
Gastroenterology and Hepatology. 2010

37
11) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National
Program. 2003

38

Anda mungkin juga menyukai