3 Pengertian ijma’
Secara etimologi, ijma’ ( )اإلجماعyang berarti “kesepakatan”.
Seperti yang disebutkan dalam al qur’an surat Yusuf ayat 15:
ِي
ه ف َُ
ُلوْعيج َْ
َ ن َع
ُوا أ َج
ْم َأ
ِ و
ِهُوا ب ََ
هبَّا ذ
لمََ
ف
ُِب ْ ِ
الج ََا
بة َي
غ
Artinya :
ُم
ْ ََا
ءك َكَشُر ُم
ْ و َك
مرَْ
ُوا أ
ِع َج
ْم َأ
ف
Artinya :
Menurut pendapat Abul Husayn al-Bashri (w. 436 H) ijma’ yaitu persetujuan
dari satu kelompok (jama’ah) mengenai suatu masalah tertentu melalui
tindakan atau penghindaran tindakan.
Adapun definisi ijma’ dari para pakar ilmu fiqh, yaitu:
ِ ََد
ِثة ِ الحا ْم َلىَ ح
ُك ْر
ِ ع َص
ء العَِ
َها
ُقُ ف َقِفا
ِتا
َ
ْها ْ ف
ِي ََّ
دم َقيت ََلم
َ ْ َّة
ِ و ِي ِْ
ينِ الدْر
موُُْ األِنم
خِالَف
Jadi, dari beberapa pendapat yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan
bahwa ijma’ adalah:
Jumhur ulama ushul fiqh mengatakan bahwa Ijma’ sebagai upaya para
mujtahid untuk menetapkan suatu hukum yang tidak ada ketentuannya dalam
al qur’an dan hadits.apabila ijma’ tidak punya landasan,maka ijma’tidak sah.
Jumhur ulama’ berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i
(pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat
mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya mengapa ijma’
dijadikan sebagai landasan hukum islam yang ketiga setelah al qur’an dan
hadits.
Menurut jumhur ulama’, ijma’ sebagai sumber hukum yang pasti didasarkan
pada dalil-dalil berikut:
َّ ُوا
َاَّلل ِيعَطُوا أ
منََ آ
ِينالذَّ ها
َيَُّ
يا أ َ
ُم
ْ ْكِنِ م
مر ُول
ِْي األ َأ
لوََّسُو
ُوا الر ِيع َط
َأو
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
serta ulil amri diantara kamu.”
Menurut jumhur ulama’ ushul fiqh, lafad ulil amri mengandung makna
umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan
perangkatnya).
2. Al-Qur’an surat An nisa’ ayat 115
ماَ د
ِْ َ ْ
بع ِنل م ََّسُو
ِ الر يشَاق
ِق ُ ْمنََ
و
ِيل
ِ َ سَب
ْرَي
ْ غِعَّب
يت ََ
دى و َه ْ ه
ُال َُ َل َي
َّن َ
تب
ِ
ِهْلنصََّلى و
َُ توَ ما َ ِله َِ
نوُ َ
ِينِنْم
ُؤ ْ
الم
ًا َص
ِير ْء
تم ََسَا َّم
َ و هنََ
ج
Artinya :
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali.”
3. Al-Qur’an surat An nisa’ ayat 83
ُول
ِي َِلى أ
َإ َِلى الر
َّسُول
ِ و ه إُدوَُّ
ْ رََلو
و
َِين َّ ه
الذ َُ
ِم ْ َلع
َل همُْ
ِنِ م ْاأل
مر
ْ
همُْ
ِن َ ُ
ُون
ه م ِط َن
ْب َ
يسْت
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri).”
َِّاس
ِلن ْ لَت
ِج ُخ
ْر ٍ أ
مةَُّ
َ أ
ْرَي ُم
ْ خ ُن
ْت ك
َِن َْ
ن ع َْ
هوتنََ
ُوفِ و َع
ْر ْ ن ب
ِالم َُو
مرُْ
تأَ
َّ ن ب
ِِاَّلل َُو
ِنْم
تؤَُ َر
ِ و ْك
ُن ْ
الم
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah.”
6. Sabda Rasulullah SAW
الَلة
ٍ ََ ََ
لى ضُ ع
ِعَم
ْتتج َ ِْي
ََل متَُّ
أ
“Umatku tidak akan bersepakat atas suatu kesesatan.”
Berdasarkan dari segi bentuknya, ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Berdasarkan segi yakin dan tidak yakinnya, ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu benar terjadi, tidak ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang
lain.
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma'
yang dilakukan pada waktu yang lain.
1. Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain,
karena ada kesamaan ‘illah hukum mujtahid yang menyamakan
hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal
menurut pandangan mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal)
tersebut pada cabang.
3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash
syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash
hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.
Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para
fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah
bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
2. Al-far’u (cabang).
Yaitu masalah yang hendak di qiyaskan yang tida ada ketentuan nash yang
menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-far’u juga memiliki
beberapa persyaratan yaitu:
3. Hukum ashlu
Yaitu hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya
ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-qur’an maupun al-hadits.
4. Al-‘illah
Yaitu sifat yang didaarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun.
4.1 Kedudukan qiyas dalam hukum islam
Dalam peranannya dalam agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber
hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti
yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad,
maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui
tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih
hukum asal yang lebih dekat dengan objek.
Firman Allah SWT:
ِْالَ لى
ْـاِبــَار
َـآ ص ُو
ْ ي ا
ْا
ُوْــر َــبِــي َـاع
ْــت ف
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran.”
Hadits Nabi SAW:
َّ َِاب
.ِاَّلل ِت
ِك ْض
ِى ب َق
ل أََا ق. َاءَض
َضَ َلكَ ق
َرع
ََا
ل َّ َِاب
ق. ِاَّلل ِت
ِى ك ِْتج
د ف ن َلم
َ ْ ْإَِ
ف: ل ََاق
.-صلى هللا عليه وسلم- ِاَّللَّ ِ َسُول
ِرَّة
ِسُنَب
ف
َّ ِ
- ِاَّلل َسُول َّة
ِ ر ِى سُن
د ف َ ْ
ِْتج ن َلم
ْإَِ
ف: ل ََا
ق
َّ َِاب
. ِاَّلل ِت ََلَ ف
ِى ك و-صلى هللا عليه وسلم
َُسُو
ل َ ر َب َض
َر ُ َََل
ف.آلو ِى و ْي
َأد ر َه
ُِ ْت َج
ل أََا ق
: ل ََا َق
ه وَُ
درَْ
ص-صلى هللا عليهوسلم- ِاَّلل َّ
َا
لم َّ ِ
ِ ِاَّلل َسُول
ل رََسُو َّق
َ ر َفِى و َّ َِّلل
الذ ُْ
َِّ د َم ْ
الح
َّ ل
ِاَّلل
َ ََسُو ْض
ِى ر ُ
ير
Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin
Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan
hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab :
“Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi :
“Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab
Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah
juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan
menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah
dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.