Anda di halaman 1dari 9

A.2.

3 Pengertian ijma’
Secara etimologi, ijma’ (‫ )اإلجماع‬yang berarti “kesepakatan”.
Seperti yang disebutkan dalam al qur’an surat Yusuf ayat 15:

‫ِي‬
‫ه ف‬ َُ
ُ‫لو‬‫ْع‬‫يج‬ َْ
َ ‫ن‬ ‫َع‬
‫ُوا أ‬ ‫َج‬
‫ْم‬ ‫َأ‬
‫ِ و‬
‫ِه‬‫ُوا ب‬ ََ
‫هب‬‫َّا ذ‬
‫لم‬ََ
‫ف‬
ِ‫ُب‬ ْ ِ
‫الج‬ َ‫َا‬
‫بة‬ ‫َي‬
‫غ‬
Artinya :

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukannya kedasar


sumur.”

Pengertian etimologi ijma’ yang kedua adalah ‫العزم على‬


‫شيء‬ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Seperti yang terdapat

dalam surat Yunus ayat 71:

‫ُم‬
ْ َ‫َا‬
‫ءك‬ ‫َك‬‫َشُر‬ ‫ُم‬
‫ْ و‬ ‫َك‬
‫مر‬َْ
‫ُوا أ‬
‫ِع‬ ‫َج‬
‫ْم‬ ‫َأ‬
‫ف‬
Artinya :

“… maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-kutumu…”

Kata ijma’ merupakan bentuk masdar dari ‫ أجمع‬yang berarti


memutuskan atau menyepakati sesuatu. Menurut istilah ushul fiqh, seperti
dikemukakan ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid
dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah
Rasulullah wafat”.

Secara terminologi, ada beberapa pendapat dari para ulam fiqh


mengenai pengertian ijma’. Ibrahim ibn Siyar al-Nazzam, seorang tokoh
mu’tazilah merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh
hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang.” Akan tetapi pengertian
ini tidak sama dengan pengertian secar etimologi.

Menurut pendapat Abul Husayn al-Bashri (w. 436 H) ijma’ yaitu persetujuan
dari satu kelompok (jama’ah) mengenai suatu masalah tertentu melalui
tindakan atau penghindaran tindakan.
Adapun definisi ijma’ dari para pakar ilmu fiqh, yaitu:

ِ َ‫َد‬
‫ِثة‬ ‫ِ الحا‬ ‫ْم‬ ‫َلىَ ح‬
‫ُك‬ ‫ْر‬
‫ِ ع‬ ‫َص‬
‫ء الع‬َِ
‫َها‬
‫ُق‬‫ُ ف‬ ‫َق‬‫ِفا‬
‫ِت‬‫ا‬
َ
‫ْها‬ ‫ْ ف‬
‫ِي‬ ََّ
‫دم‬ ‫َق‬‫يت‬ ‫ََلم‬
َ ْ ‫َّة‬
‫ِ و‬ ‫ِي‬ ِْ
‫ين‬‫ِ الد‬‫ْر‬
‫مو‬ُُ‫ْ األ‬‫ِن‬‫م‬
‫خِالَف‬

“Kesepakatan para fuqaha pada sebuah zaman terhadap suatu hukum di


antara hukum-hukum syara’ yang terjadi, tanpa di dahului adanya silang
pendapat sebelumnya.”

Jadi, dari beberapa pendapat yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan
bahwa ijma’ adalah:

Kesepakatan mengenai aturan yang dianggap kurang jelas setelah wafatnya


Rasullah SAW.

3.1 Dasar hukum ijma’

Jumhur ulama ushul fiqh mengatakan bahwa Ijma’ sebagai upaya para
mujtahid untuk menetapkan suatu hukum yang tidak ada ketentuannya dalam
al qur’an dan hadits.apabila ijma’ tidak punya landasan,maka ijma’tidak sah.
Jumhur ulama’ berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i
(pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat
mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya mengapa ijma’
dijadikan sebagai landasan hukum islam yang ketiga setelah al qur’an dan
hadits.

Menurut jumhur ulama’, ijma’ sebagai sumber hukum yang pasti didasarkan
pada dalil-dalil berikut:

1. Al-Qur’an surat An nisa’ ayat 59

َّ ‫ُوا‬
َ‫اَّلل‬ ‫ِيع‬‫َط‬‫ُوا أ‬
‫من‬َ‫َ آ‬
‫ِين‬‫الذ‬َّ ‫ها‬
َ‫ي‬َُّ
‫يا أ‬ َ
‫ُم‬
ْ ‫ْك‬‫ِن‬‫ِ م‬
‫مر‬ ‫ُول‬
ْ‫ِي األ‬ ‫َأ‬
‫لو‬َ‫َّسُو‬
‫ُوا الر‬ ‫ِيع‬ ‫َط‬
‫َأ‬‫و‬
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
serta ulil amri diantara kamu.”
Menurut jumhur ulama’ ushul fiqh, lafad ulil amri mengandung makna
umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan
perangkatnya).
2. Al-Qur’an surat An nisa’ ayat 115

‫ما‬َ ‫د‬
ِْ َ ْ
‫بع‬ ‫ِن‬‫ل م‬ َ‫َّسُو‬
‫ِ الر‬ ‫يشَاق‬
‫ِق‬ ُ ْ‫من‬ََ
‫و‬
‫ِيل‬
ِ ‫َ سَب‬
‫ْر‬‫َي‬
‫ْ غ‬‫ِع‬‫َّب‬
‫يت‬ ََ
‫دى و‬ َ‫ه‬ ْ ‫ه‬
ُ‫ال‬ ُ‫َ َل‬ ‫َي‬
‫َّن‬ َ
‫تب‬
ِ
‫ِه‬‫ْل‬‫نص‬‫ََّلى و‬
َُ ‫تو‬َ ‫ما‬ َ ِ‫له‬ َِ
‫نو‬ُ َ
‫ِين‬‫ِن‬‫ْم‬
‫ُؤ‬ ْ
‫الم‬
‫ًا‬ ‫َص‬
‫ِير‬ ْ‫ء‬
‫تم‬ َ‫َسَا‬ ‫َّم‬
‫َ و‬ ‫هن‬ََ
‫ج‬
Artinya :
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali.”
3. Al-Qur’an surat An nisa’ ayat 83

‫ُول‬
‫ِي‬ ‫َِلى أ‬
‫َإ‬ ‫َِلى الر‬
‫َّسُول‬
‫ِ و‬ ‫ه إ‬ُ‫دو‬َُّ
‫ْ ر‬‫ََلو‬
‫و‬
َ‫ِين‬ َّ ‫ه‬
‫الذ‬ َُ
‫ِم‬ ‫ْ َلع‬
‫َل‬ ‫هم‬ُْ
‫ِن‬‫ِ م‬ ْ‫األ‬
‫مر‬
ْ
‫هم‬ُْ
‫ِن‬ َ ُ
ُ‫ون‬
‫ه م‬ ‫ِط‬ ‫َن‬
‫ْب‬ َ
‫يسْت‬
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri).”

4. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143


‫ًا‬
‫َسَط‬
‫ة و‬ً‫م‬َُّ
‫ْ أ‬ ‫َاك‬
‫ُم‬ ‫لن‬َْ
‫َع‬‫ِكَ ج‬ََ
‫ذل‬ ‫َك‬
‫و‬
َ‫ُو‬
‫ن‬ ‫يك‬ ‫َّاسِ و‬
ََ ‫لى الن‬ ََ‫ء ع‬َ‫دا‬ َُ‫ونوا ش‬
َ‫ه‬ ُ ُ
‫َك‬ ِ
‫لت‬
ً‫ِي‬
‫دا‬ ‫ْ شَه‬
‫ُم‬‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫ل ع‬ُ‫َّسُو‬
‫الر‬
Artinya :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Kata al-wasth (pertengahan) pada ayat diatas mengandung arti adil
dan terpilih. Karena ijma’ lahir dari umat Islam yang adil dan terpilih
tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.
5. Al-Qur’an surat Ali imron ayat 110

ِ‫َّاس‬
‫ِلن‬ ‫ْ ل‬‫َت‬
‫ِج‬ ‫ُخ‬
‫ْر‬ ‫ٍ أ‬
‫مة‬َُّ
‫َ أ‬
‫ْر‬‫َي‬ ‫ُم‬
‫ْ خ‬ ‫ُن‬
‫ْت‬ ‫ك‬
ِ‫َن‬ َْ
‫ن ع‬ َْ
‫هو‬‫تن‬ََ
‫ُوفِ و‬ ‫َع‬
‫ْر‬ ْ ‫ن ب‬
‫ِالم‬ َ‫ُو‬
‫مر‬ُْ
‫تأ‬َ
َّ ‫ن ب‬
ِ‫ِاَّلل‬ َ‫ُو‬
‫ِن‬‫ْم‬
‫تؤ‬َُ ‫َر‬
‫ِ و‬ ‫ْك‬
‫ُن‬ ْ
‫الم‬
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah.”
6. Sabda Rasulullah SAW

‫الَلة‬
ٍ ََ ََ
‫لى ض‬‫ُ ع‬
‫ِع‬‫َم‬
‫ْت‬‫تج‬ َ ْ‫ِي‬
َ‫َل‬ ‫مت‬َُّ
‫أ‬
“Umatku tidak akan bersepakat atas suatu kesesatan.”

3.2 Macam-macam ijma’

Berdasarkan dari segi bentuknya, ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Ijma’ Sharih / Nuthqi / Bayani (ijma’ secara jelas)


Ijma’ Sharih ialah kesepakatan pendapat para mujtahid, dimana
kesepakatan tersebut mengenai hukum suatu masalah dinyatakan dalam
bentuk lisan atau perbuatan secara langsung.
2. Ijma’ Sukuti (diam dan tidak membantah pendapat yang ada)
Ijma’ Sukuti adalah dimana hanya sebagian ulama yang menyatakan
pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu, sementara sebagian
ulama lainnya mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan
terhadap pendapat tersebut.
Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’ yang pertama, yaitu ijma’ sharih
sebagai ijma’ dan merupakan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai ijma’ bentuk kedua (ijma’ sukuti).
Mazhab Asy-Syafi’i, Isa bin Aban dan Malikiyyah berpendapat, ijma’
sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat menjadi hujjah. Sementara
mayoritas ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat,
ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan menjadi hujjah.

Berdasarkan segi yakin dan tidak yakinnya, ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu:

1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu benar terjadi, tidak ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang
lain.
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma'
yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang


dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang
melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:

1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah


SAW.
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
3. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam
menurut Madzhab Maliki.
4. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu
sumber hukum Islam.

A.2.4 Pengertian Qiyas


Kata qiyas menurut etimologi adalah qadr (ukuran,bandingan).
Sedangkan menurut terminologi qiyas yaitu menyamakan suatu hukum yang
tidak ada hukumnya di al-qur’an dengan hukum yang sudah ada di al-qur’an.

Menurut beberapa ulama, qiyas dapat di artikan sebagai berikut:

1. Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain,
karena ada kesamaan ‘illah hukum mujtahid yang menyamakan
hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal
menurut pandangan mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal)
tersebut pada cabang.
3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash
syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash
hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa qiyas mempunyai


beberapa unsur, yaitu:

1. Al-ashlu (dasar, pokok)

Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para
fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah
bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
2. Al-far’u (cabang).
Yaitu masalah yang hendak di qiyaskan yang tida ada ketentuan nash yang
menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-far’u juga memiliki
beberapa persyaratan yaitu:

a. Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.


b. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang
terdapat dalam al-far’u.
c. Tidak ada dalil qhat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
d. Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang
terdapat dalam al-far’u.

3. Hukum ashlu
Yaitu hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya
ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-qur’an maupun al-hadits.
4. Al-‘illah
Yaitu sifat yang didaarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun.
4.1 Kedudukan qiyas dalam hukum islam
Dalam peranannya dalam agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber
hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti
yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad,
maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui
tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih
hukum asal yang lebih dekat dengan objek.
Firman Allah SWT:

ِ‫ْالَ لى‬
‫ْـا‬‫ِبــ‬‫َار‬
‫َـآ ص‬ ‫ُو‬
‫ْ ي‬ ‫ا‬
‫ْا‬
‫ُو‬‫ْــر‬ ‫َــبِــي‬ ‫َـاع‬
‫ْــت‬ ‫ف‬
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran.”
Hadits Nabi SAW:

‫ َلم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫اَّلل‬


‫َّا‬ َّ ‫ل‬ َ‫َسُو‬
‫ن ر‬ََّ‫أ‬
َ‫َا‬
‫ل‬ ‫َنِ ق‬
‫َم‬‫الي‬ ‫ًا إ‬
ْ ‫َِلى‬ ‫َاذ‬ ُ َ
‫مع‬ ‫َث‬‫ْع‬
‫يب‬َ ‫ن‬ َْ
‫د أ‬َ‫َا‬‫َر‬
‫أ‬
‫َا‬
‫ِذ‬ ‫ْض‬
‫ِى إ‬ َ َ
‫تق‬ ‫ْف‬‫َي‬
‫ك‬:

َّ ِ‫َاب‬
.ِ‫اَّلل‬ ‫ِت‬
‫ِك‬ ‫ْض‬
‫ِى ب‬ ‫َق‬
‫ل أ‬َ‫َا‬‫ ق‬. ‫َاء‬‫َض‬
‫َضَ َلكَ ق‬
‫َر‬‫ع‬
َ‫َا‬
‫ل‬ َّ ِ‫َاب‬
‫ ق‬. ِ‫اَّلل‬ ‫ِت‬
‫ِى ك‬ ِْ‫تج‬
‫د ف‬ ‫ن َلم‬
َ ْ ْ‫إ‬َِ
‫ ف‬: ‫ل‬ َ‫َا‬‫ق‬
.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫اَّلل‬َّ ِ ‫َسُول‬
‫ِر‬‫َّة‬
‫ِسُن‬‫َب‬
‫ف‬
َّ ِ
- ِ‫اَّلل‬ ‫َسُول‬ ‫َّة‬
‫ِ ر‬ ‫ِى سُن‬
‫د ف‬ َ ْ
ِْ‫تج‬ ‫ن َلم‬
ْ‫إ‬َِ
‫ ف‬: ‫ل‬ َ‫َا‬
‫ق‬
َّ ِ‫َاب‬
. ِ‫اَّلل‬ ‫ِت‬ ‫ََلَ ف‬
‫ِى ك‬ ‫ و‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬
ُ‫َسُو‬
‫ل‬ ‫َ ر‬ ‫َب‬ ‫َض‬
‫َر‬ ُ َ‫ََل‬
‫ ف‬.‫آلو‬ ‫ِى و‬ ‫ْي‬
‫َأ‬‫د ر‬ ‫َه‬
ُِ ‫ْت‬ ‫َج‬
‫ل أ‬َ‫َا‬ ‫ق‬
: ‫ل‬ َ‫َا‬ ‫َق‬
‫ه و‬َُ
‫در‬َْ
‫ ص‬-‫صلى هللا عليهوسلم‬- ِ‫اَّلل‬ َّ
‫َا‬
‫لم‬ َّ ِ
ِ ِ‫اَّلل‬ ‫َسُول‬
‫ل ر‬َ‫َسُو‬ ‫َّق‬
‫َ ر‬ ‫َف‬‫ِى و‬ َّ ِ‫َّلل‬
‫الذ‬ ُْ
َِّ ‫د‬ ‫َم‬ ْ
‫الح‬
َّ ‫ل‬
ِ‫اَّلل‬
َ َ‫َسُو‬ ‫ْض‬
‫ِى ر‬ ُ
‫ير‬
Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin
Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan
hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab :
“Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi :
“Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab
Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah
juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan
menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah
dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.

4.2 Macam-macam qiyas


Dilihat dari segi perbandingan illat pada ashal dan cabangnya dibagi menjadi:
1. Qiyas aula َ/‫ﺍﻭلى‬, yaitu qiyas yang ‘illat dalam far’u (cabang) lebih kuat
daripada ‘illat yang ada dalam ashal, misalnya mengqiyaskan memukul
kedua orang tua dengan mengatakan “uff” kepadanya, ‘illatnya adalah
menyakiti hati yang disebut dalam firman Allah SWT surah Al Isra’ :23
2. Qiyas musawy/َ‫مسﺍﻭﻱ‬, yaitu qiyas yang ‘illatnya
dalam far’u(cabang)‘illat sama kuat dengan ‘illat yang ada dalam ashal,
misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakan
harta anak yatim, ‘illatnya adalah merusak harta. (An Nisa’ :10).
3. Qiyas adna/َ‫ﺍﺩنى‬, yaitu qiyas yang ‘illat dalam far’u(cabang)lebih rendah
kekuatannya daripada ‘illat yang ada pada ashal. Misalnya, sifat
memabukkan dalam sebagian minuman yang memabukkan selain khamr,
meskipun hal itu tidak menghalangi
ditetapkannya ‘illat dalam far’u (cabang).
Ditinjau dari segi kuantitas ashalnya, menurut imam syafi’I dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Qiyas ma’na/ ‫ معنى‬, yaitu qiyas yang ashal bagi far’u (cabang) hanya
satu. yang masuk dalam qiyas ini adalah qiyas aula,musawi dan adna.
2. Qiyas syibhi/ ‫شبه‬, yaitu qiyas yang ashal bagi far’u (cabang) berbilang
banyak, sehingga mujtahid mengqiyaskan far’ukepada ashal yang lebih
mendekati (syabah).
Ditinjau dari segi kekuatan ‘illatnya, menurut Khudhari Bek, ulama syafi’iyah
membagi qiyas kepada dua macam yaitu:
1. Qiyas jaly/ ‫جلي‬, yaitu qiyas yang peniadaan perbedaan
antarafar’u dengan ashal mencapai tingkat yaqin, seperti
mengqiyaskan amat (budak) kepada hal hukum kemerdekaan.
2. Qiyas khafy/ ‫خفي‬, yaitu qiyas yang peniadaan perbedaan antara far’u
dengan ashal hanya mencapai tingkat dzan (‫ﻈن‬/ dugaan kuat) saja, seperti
mengqiyaskan nabidz (perasan buah-buahan) kepada khamr dalam hal
keharamannya jika sedikit.

Anda mungkin juga menyukai