Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning (PjBL),


menurut Solomon (2003) berarti siswa yang belajar dari pengalaman, siswa
bekerja secara berkelompok beradu solusi untuk memecahkan masalah yang
autentik, berbasis kurikulum bahkan seringkali membutukan aspek disiplin ilmu
yang lain. Pembelajaran berbasis proyek ini sendiri merupakan model
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melakukan investigasi masalah di
mana puncaknya adalah pada produk yang autentik (Grant, 2009). Menurut Wena
pembelajaran berbasis proyek ini memberikan kesempatan kepada pendidik untuk
mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Pembelajaran
ini dimulai dengan masalah yang harus dipecahkan oleh siswa. Proyek
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan dalam aktivitasnya seperti
pemecahan masalah, pengambil keputusan, meneliti, atau mendokumentasikan
sendiri kegiatannya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek
adalah pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah yang dipecahkan oleh
siswa yang melibatkan kerja proyek yang menghasilkan produk kerja yang
autentik.

Adapun definisi pembelajaran berbasis proyek yang lebih komprehensif


menurut The George Lucas Educational Foundation (2005) adalag sebagai
berikut :

1. Project based learning is curriculum fueled and standards based.


Pembelajaran berbasis proyek merupakan pendekatan pembelajaran
yang menghendaki adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui
pembelajaran ini, proses inkuiri dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun dan membimbing peserta didik dalam sebuah
kolaboratif yang mengintergrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta
didik dapat melihat berbagai elemen mayor sekaligus berbagai prinsip
dalam sebah disiplin yang sedang dikaji.

2. Pembelajaran berbasis proyek (PjBL) merupakan model pembelajaran


yang menuntut pengajar dan atau peserta didik mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan. Mengingat bahwa masing-masing peserta didik
memiliki gaya belajar yang berbeda maka PjBL ini memberikan
kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi)
dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya. Hal
ini memungkinkan setiap peserta didik pada akhirnya mampu
menjawab pertanyaan penuntun.

3. Project based learning asks students to investigate issue any topics


addresing real-world problems while integrating subjects across the
curriculum. Pembelajaran berbasis proyek merupakan pendekatan
pembelajaran yang menuntut peserta didik membuat “jembatan” yang
menghubungkan antar berbagai subjek materi.Melalui jalan ini, peserta
didik dapat melihat pengetahuan secara holistik. Lebih daripada
itu,pembelajaran berbasis proyek merupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan
usaha peserta didsk,

4. Project based learning is a method that fosters abstract, intellectual


tasks to explore complex issues .Pembelajaran berbasis proyek
merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan
pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian ,
interpretasi dan mensintesis informasi melalui cara yang bermakna.
Adapun tahap pembelajran atau sintaks PjBL menurut The George Lucas
Educational Foundation (2005) adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Penentuan pertanyaan mendasar

Pembelajaran ini dimulai dengan pertanyaan esensial yakni pertanyaan


yang dapat memberi penugasan siswa dalam melakukan suatu aktivitas
pertanyaan disusun dengan mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia
nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pertanyaan yang disusun
hendaknya tidak mudah untuk untuk dijawab dan dapat mengarahkan siswa untuk
membuat proyek. Pertanyaan seperti itu pada umumnya bersifat terbuka
(divergen), provokatif, menantang, membutuhkan keterampilan berpikir tinggi,
dan terkait dengan kehidupan siswa. Guru berusaha agar topik yang diangkat
relevan untuk para siswa.

Tahap 2. Menyusun perencanaan proyek

Perencanaan dilakukan secar kolaboratif antara guru dan siswa. Dengan


demikian siswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut.
Perencaan berisi tentang aturan main, pemilihan kegiatan yang dapat mendukung
dalam menjawab pertanyaan penting, dengan cara mengintegrasikan berbagai
materi yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk
membantuk penyelesaian proyek.

Tahap 3 Menyusun jadwal

Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal kegiatan dalam


menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain,

1) Membuat jadwal untuk menyelesaikan proyek

2) Menetukan waktu akhir penyelesaian proyek

3) Membawa siswa agar merencanakan cara yang baru

4) Membimbing siswa ketika mereka membuat cara yang tidak


berhubungan dengan proyek
5) Meminta siswa untuk membuat penjelasan (alasan) tentang cara
pemilihan waktu

Kemudian jadwal yang telah disepakati harus disetujui bersama agar guru
dapat melakukan monitoring kemajuan belajar dan pengerjaan proyek di luar
kelas.

Tahap 4. Memantau siswa dan kemajuan proyek

Guru bertanggung jawab untuk memantau kegiatan siswa selama


menyelesaikan proyek. Pemantauan ini dilakukan dengan cara memfasilitasi siswa
pada setiap proses. Dengan kata lain guru berperan menjadi mentor bagi aktivitas
siswa.

Tahap 5. Penilaian hasil

Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian


standar kompetensi, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-masing
siswa, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai
siswa, membantuk guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

Tahap 6. Evaluasi pengalaman

Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi


terhadap kegiatan dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi
dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta
untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan
proyek. Guru dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki
kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu
temuan baru untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama
pembelajaran.

Karakteristik pembelajaran berbasis proyek yang efektif menurut NYS


Departement of Education (2009), adalah sebagai berikut :

1) Menuntun siswa untuk menginvestigasi ide dan pertanyaan


penting.
2) Dibingkai dalam proses inkuiri.

3) Dilaksanakan berdasarkan pada kebutuhan dan minat siswa.

4) Presentasi dan produk pelakasanaanya diatur sendiri oleh siswa


secara mandiri.

5) Membutuhkan kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis dan


kemampuan informasi untuk menginvestigasi, menggambarkan
kesimpulan dan membuat konten.

6) Menghubungkan dunia nyata dengan masalah atau isu yang


otentik.

Adapun karakteristik pembelajaran berbasis proyek menurut Thomas


(2000), diantaranya sebagai berikut :

1) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka


kerja.

2) Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan pada


peserta didik.

3) Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas


permasalahan atau tantangan yang diajukan.

4) Peserta didik secara kolaboratif bertanggung jawab untuk


mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan
permasalahan.

5) Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu.

6) Peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas


yang sudah dijalankan.

7) Produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif.

8) Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan


perubahan.
Pembelajaran berbasis proyek membantu siswa dalam belajar pengetahuan
dan keterampilan yang kokoh yang dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan
otentik. Situasi belajar, lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik,
otentik dan menyajikan kompleksitas alami dunia nyata mampu memberikan
pengalaman pribadi siswa terhadap objek yang dipelajari dan informasi yang
diperoleh siswa membawa pesan sugestif cukup kuat. Selain itu, pembelajaran
berbasis proyek mendukung proses konstruksi pengetahuan dan pengembangan
kompetensi produktif siswa yang secara aktual muncul dalam bentuk-bentuk
keterampilan okupasional/teknikal dan keterampilan sebagai pekerja yang baik
(Kamdi,2007).

Kemudian menurut Thomas (1999), pembelajaran berbasis proyek


memiliki beberapa prinsip sebagai berikut :

1) Centrality

Prinsip sentralitas menegaskan bahwa kerja proyek merupakan


esensi dari kurikulum dalam pembelajaran. Kerja proyek bukan
merupakan praktik tambahan dan aplikasi praktis dari konsep yang sedang
dipelajari, melainkan menjadi sentral dalam kegiatan di kelas.

2) Driving question

Pertanyaan pengarah dalam pembelajaran berbasis proyek


merupakan fokus masalah atau pertanyaan yang mengarahkan pelajar
untuk memperoleh konsep atau prinsip utama mengenai suatu hal tertentu
melalui proyek yang dilakukan.

3) Construnctive investigation

Prinsip investigasi konstruktif merupakan proses yang mengarah


pada pencapaian tujuan yang mengandung inkuiri, pembangunan konsep,
dan resolusi. Investigasi ini memuat proses perancangan, pembuatan
keputusan, penemuan masalah dan pemecahan masalah. Aktivitas inti dari
proyek dalam proses ini harus meliputi transformasi dan konstruksi
pengetahuan.
4) Autonomy

Prinsip otonomi dalam pembelajaran berbasis proyek dapat


diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan proses
pembelajran. Siswa bebas menentukan pilihannya sendiri dalam proyek,
bekerja dengan supervisi dan bertanggung jawab.

5) Realism

Prinsip realisme menjelaskan bahwa proyek melibatkan tantangan


kehidupan nyata yang berfokus pada pertanyaan atau masalah autentik,
bukan simulatif. Pemecahan masalah yang dilakukan dalam proyek juga
berpotensi untuk ditetapkan di lapangan pada kondisi sesungguhnya.

Adapun keuntungan dari pembelajaran berbasis proyek, menurut The buck


Institute for Education yang dikuti oleh Herwandy (2013) adalah sebagai berikut :

1) Meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar, mendorong


kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka
perlu untuk dihargai.

2) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

3) Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan


permasalahan yang kompleks.

4) Meningkatkan kolaborasi.

5) Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikan


keterampilan komunikasi.

6) Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber.

B. Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Scriven & Paul ( ), berpikir kritis merupakan suatu proses


intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi, menerapkan,
menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau
dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran atau komunikasi
untuk memandu keyakinan dan tindakan. Johnson (2009) menyatakan bahwa
berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan
dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan,
membujuk, menganalisis pendapat atau asumsi. Untuk lebih spesifik lagi,
Williams(2011) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis dalam ilmu
sains merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan yang relevan dan
reliabel tentang alam semesta. Di mana pengetahuan tersebut diperoleh melalui
serangkaian penguji hipotesis yang sistematis, sehingga kemampuan berpikir
kritis diperlukan agar serangkaian proses tersebut berakhir pada penarikan
kesimpulan yang benar. Adapun menurut Ennis (2011),berpikir kritis merupakan
berpikir secara berasalan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.

Dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah suatu proses berpikir secra
berasalan dan reflektif yang terarah dan jelas dalam kegiatan seperti memecahkan
masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis pendapat serta asumsi
untuk mendapatkan pengetahuan yang relevan dan reliable tentang alam semesta.

Berpikir kritis termasuk ke dalam berpikir tingkat tinggi. Menurut


Hassobah (2007), berpikir kritis merupakan kemampuan memberi alasan secara
terorganisasi serta mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan untuk
menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat,
membuat perbandingan, menarik kesimpulan serta mengevaluasi argumen dan
memecahkan masalah.

Pemikiran kritis yang baik akan memenuhi beragam standar intelektual


seperti kejelasan, tingkat akurasi dan presisi, relevansi, logika berpikir yang
digunakan, keluasan sudut pandang, kedalamam berpikir, kejujuran, kelengkapan
informasi dan implikasi dari solusi yang dikemukakan. Berpikir kritis dengan
jelas menuntut interpretasi dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi dan
sumber-sumber informasi lainnya. Cara berpikir tersebut juga menuntut
keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang relevan dan menarik implikasi dalam memikirkan isu atau
permasalahan (Fisher,2008). Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk
menghindari kesalahan dalam mengambil kesimpulan dan membantu dalam
pemecahan permasalahan. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis
terhadap suatu permasalahan akan mempertimbangkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan permasalahan serta mencari argumen dan fakta yang relevan
untuk mengambil keputusan yang tepat.

Keterampilan berpikir kritis menurut Nitko dan Brookhart (2011),


diidentifikasi menjadi lima kategori yakni,

a. Klasifikasi dasar

b. Dukungan dasar

c. Menyimpulkan

d. Klarifikasi tingkat lanjut

e. Strategi dan taktik

Tabel 2.1 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

No Kategori Indikator

1 Melakukan Klarifikasi Dasar 1. Fokus pada pertanyaan


2. Menganalisis Argumen
2 Menilai dukungan dasar 3. Menilai kredibilitas
sumber

3 4. Membuat kesimpulan
secara deduktif
Membuat Kesimpulan 5. Membuat kesimpulan
secara induktif
4 Melakukan klarifikasi tingkat 6. Menilai definisi
lanjut 7. Mendefinisikan asumsi

5 Menerapkan strategi dan taktik 8. Mengambil keputusan


dalam menyelesaikan masalah dalam tindakan

Sumber : Nitko dan Brookhart (2011)

Adapun indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1993),

Tabel 2.2 Indikator Berpikit Kritis

No. Aspek Indikator


1. Memberikan penjelasan  Memfokuskan pertanyaan
sederhana  Menganalisis pertanyaan
 Bertanya dan menjawab pertanyaan
tentang suatu penjelasan
2. Membangun  Mempertimbangkan apakah sumber
keterampilan dasar dapat dipercaya atau tidak
 Mengobservasi dan mempertimbangkan
suatu laporan hasil observasi
3. Menyimpulkan  Mendeduksi dan mempertimbangkan
hasil deduksi
 Menginduksi dan mempertimbangkna
induksi
 Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan
4. Memberikan penjelasan  Mendefinisikan istilah dan
lanjut mempertimbangkan suatu definisi
dalam tiga dimensi
 Mengindetifikasi asumsi
5. Mengatur strategi dan  Menentukan suatu tindakan
taktik  Berinteraksi dengan orang lain
Sumber : Ennis (1993)

Kemampuan berpikir kritis dapat diukur menggunakan instrumen yang


dikembangkan melalui aspek dan indikator berpikir kritis. Instrumen tersebut
dapat mengukur satu atau lebih dari satu aspek berpikir kritis Dalam penelitian ini
menggunakan semua indikator .

C. Sosioscientific Issue

Socioscientific Issues (SSI) merupakan suatu strategi yang bertujuan untuk


menstimulasi perkembangan intelektua, moral dan etika,serta kesadaran perihal
hubungan antara sains dengan kehidupan sosial (Zeidler, et al., 2005; Nuang-
chalerm, 2010). SSI sendiri merupakan representasi isu-isu atau persoalan dalam
kehidupan sosial yang secara konseptual berkaitan erat dengan sains Anagun &
Ozden, 2010) dengan solusi jawaban yang relatif atau tidak pasti (Topcu, et al,
2010). SSI merujuka pada suatu persolaan sosialyang dilematis berkaitan dengan
sains secara konseptual, prosedural maupun teknologik juga merupakan topik-
topik sains dimana subjek didik dalam masyarakat tertentu yang berhadapan
langsung dengan situasi konflik yang menyangkut sains dan kehidupan sosialnya
(Subiantoro dkk, 2012). Situasi konflik ini dapat berimplikasi terhadap aspek
sosial, etika, budaya,politik serta ekonomi dalam kehidupan siswa (Dawson dan
Venville, 2010).
Dapat disimpulkan bahwa Socioscientific issues ini merupakan sebuah
pendekatan pembelajaran yang mengorientasikan suatu pembelajaran pada
konteks sains dan hubungannya dengan kehidupan sosial menggunakan suatu isu-
isu yang ada di masyarakat yang berdampak pada nilai dan moral siswa. Di mana
SSI ini memuat isu-isu krusial yang berkaitan dengan sains secara baik secara
konseptual, prosedural maupun teknologi. Disamping itu SSI ini juga
menghadapkan siswa pada situasi konflik yang ada dalam kehidupan.

Menurut, Zeidler dkk (2005) dalam pembelajaran SSI ini mempunyai


beberapa manfaat yaitu,

1. Menumbuhkan literasi sains pada para peserta didik sehingga


dapat menerapkan pengetahuan sains berbasis bukti dalam
kehidupan sehari-hari.

2. Terbentuknya kesadaran sosial dimana peserta didik dapat


melakukan refleksi mengenai hasil penalaran mereka.
3. Mendorong kemampuan argumentasi proses berpikir dan
bernalar ilmiah terhadap suatu fenomena yang ada di
masyarakat.

4. Meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang meliputi


menganalisis, membuat kesimpulan, memberikan penjelasan,
mengevaluasi, menginterpretasi dan melakukan self-regulation.

SSI ini sangat berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis karena
dalam proses pembelajarannya sendiri siswa diharuskan secara aktif mulai dari
menganalisis isu-isu yang ada di masyarkat sampai dalam membuat kesimpulan.

Anda mungkin juga menyukai