Anda di halaman 1dari 9

Pneumonia

Definisi

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan
alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran oksigen
dan karbon dioksida di paru-paru. Pada perkembangannya , berdasarkan tempat terjadinya
infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu:

1. pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP), apabila infeksinya


terjadi di masyaraka
2. pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila
infeksinya didapat di rumah sakit Pneumonia-masyarakat (community-acquired
pneumonia) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit ,
sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih
setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak
sedang menggunakan ventilator.
3. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator-acquired
pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah
intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat perawatan kesehatan (healthcare-
associated pneumonia) adalah pasien yang dirawat oleh perawatan akut di rumah
sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal
dirumah perawatan (nursing home atau long-term care facility), mendapatkan
antibiotik intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses
infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit atau klinik hemodialisa

Etiologi

a. Bakteri

Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu

1. Typical organisme

Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :

- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri patogen ini di


temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak 20-60%, sedangkan pada
pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.

- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan obat secara
intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini menyebar secara hematogen
dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru. Kuman ini memiliki daya taman paling kuat,
apabila suatu organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis
dan pembentukan abses. Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar
dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa antibiotik.

- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang merupakan flora
normal usus.Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien
defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah sakit, di rawat di
rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan endotracheal tube.

Contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :

- Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau yang sangat khas.

- Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak berkapsul. Pada pasien
alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan
resiko terserang kuman ini.

- Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul atau tidak berkapsul.
Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu encapsulated type B (HiB)

2. Atipikal organisme

Bakteri yang termasuk atipikal ada alah Mycoplasma sp. , chlamedia sp. , Legionella sp.

b. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya menyerang pada
pasien dengan imunodefisiensi.Diduga virus penyebabnya adalah cytomegalivirus, herpes
simplex virus, varicella zooster virus.

c. Fungi

Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik, dimana spora
jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang menyerang adalah Candida
sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.

Patofisiologi

Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di orofaring,
kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang mengalami
kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik,
penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas.

Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor
predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan tidak adanya
pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan menyebabkan
infeksi.Proses infeksi dimana pathogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah
dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia,dan
mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag,
limfosit dan sitokinin).Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari
sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini
menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun.Pada pemeriksaan dapat
diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan
reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru
menurun akan mengakibatkan kesulitan bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan
kematian.

Manifestasi Klinik

Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau
produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena
pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.

Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural
friction rub.

Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya

1) Community-Acquired Pneumonia

Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di sebabkan
oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and resistant strains ),
Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis (all
strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP
biasanya menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru
atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru. Tetapi apabila
terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa
efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi akibat infeksi
Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP
tertinggi pada lanjut usia dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat
pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi,
demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.

2) Hospital-Acquired Pneumonia

Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih dikenal


sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated pneumonia ) didefinisikan
sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah sakit tanpa
pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya
pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius
bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa ,
Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan akan mempengaruhi biaya
rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial
menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset
(biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset
pneumonia nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia nosokomial;
hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga mempengaruhi peningkatan
mortalitas.

Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta
dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif dari sample bronchoalveolar
lavange (BAL).

3) Ventilator-Acquired pneumonia

Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam
atau lebih setelah intubasi trakea.Ventilator adalah alat yang dimasukan melalui mulut atau
hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk melalui
lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.
Prokalsitonin
Prokalsitonin pertama kali ditemukan pada tahun 1975 setelah isolasi prohormon ini dari
ayamPotensi klinisnya belum diketahui hingga tahun 1993, saat Assicot dkk menemukan bahwa
kadar PCT meningkat pada anak dengan infeksi bakteri sistemik berat. Prokalsitonin terdiri dari
116 asam amino dengan berat molekul ± 13 kDa, dikode oleh gen CALC-1 yang terletak pada
kromosom 11 dan diproduksi sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon kalsitonin. Molekul ini
dapat dibagi menjadi 3 bagian antara lain bagian amino terminal PCT, kalsitonin imatur,dan
calcitonin carboxyl-terminus peptide-1 (CCP-1 atau katakalsin) (Gambar 1). Respons inflamasi
bakteri akan memicu pelepasan berbagai sitokin proinflamasi (IL1-β dan TNF-α) oleh
lipopolisakarida (LPS) yang akan meningkatkan produksi PCT. Sedangkan virus akan memicu
pele pasan IFN-α yang memberikan umpan balik negatif terhadap produksi PCT (Gambar 2).
Tanpa infeksi, transkripsi gen CALC-1 pada jaringan non-neuroendokrin akan mengalami
supresi, kecuali pada sel C tiroid

Prokalsitonin yang dihasilkan akan mengalami proses pemotongan hingga menjadi


kalsitonin. Kalsitonin yang terbentuk akan disimpan di dalam granula sekretorik dan disekresi
untuk meregulasi konsentrasi kalsium.Prokalsitonin meningkat 3-4 jam setelah stimulus
endotoksin bakteri, jauh lebih cepat dibandingkan CRP atau laju endap darah. Prokalsitonin terus
meningkat hingga ratusan nanogram per ml pada sepsis berat dan syok septik, mencapai plateau
pada 6-12 jam, menetap dalam 48 jam, kemudian turun ke nilai normal dalam 2 hari jika terapi
berhasil. Kadar PCT yang terus meningkat maka disimpulkan sebagai kegagalan terapi. Waktu
paruh dari PCT sekitar 20-24 jam dan tidak berkorelasi dengan bersihan kreatinin, usia atau jenis
kelamin. Normalnya kadar prokalstionin pada dideteksi karena memiliki kadar yang sangat
rendah, yaitu <0,1ng/ml. Angka ini biasanya meningkat paa pasien dengan infeksi berat yang
bermanifestasi klinis yang dapat mencapai 100ng/ml. Keadaan infeksi akibat bakteri dapat
meningkatkan kadarnyaa >0,2ng/ml sedangkan pada infeksi virus biasanya >0,5 tapi masih <1
ng/ml.

Peningkatan kadar PCT bisa saja tidak selalu terkait dengan infeksi sistemik. Keadaan
tertentu dapat mempengaruhi kadar PCT. Peningkatan kadar PCT dapat dijumpai pada hari-hari
pertama setelah trauma mayor, intervensi bedah mayor, luka bakar, terapi dengan antibodi OKT3
dan obat-obatan lain yang menstimulasi pelepasan sitokin proinflamasi, karsinoma paru sel kecil,
karsinoma sel C medular tiroid, neonatus (2 hari pertama kehidupan), syok kardiogenik berat
atau berkepanjangan, atau kelainan perfusi organ yang berat. Rendahnya kadar PCT tidak selalu
meniadakan infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain oleh tahap
awal infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal
(terutama kuman intraseluler).

Kadar PCT meningkat sesuai beratnya infeksi. Prokalsitonin dapat membantu dalam
diagnosis dan stratifikasi keparahan pada pasien dengan kecurigaan sepsis, sepsis berat, dan syok
septik. Pada berbagai studi, PCT menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
diferensiasi sepsis dengan systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Harbarth dkk.
menunjukkan bahwa dengan cut-off 1,1 ng/ml, PCT memperlihatkan sensitivitas 97% dan
spesifisitas 78% dalam membedakan SIRS dengan kondisi yang terkait dengan sepsis. Meisner
dkk. memperlihatkan bahwa terhadap hubungan yang kuat antara PCT dan skor sepsis-related
organ failure assessment (SOFA) yang mewakili beratnya disfungsi organ pada pasien dengan
multiple organ dysfunction syndrome (MODS).Kruger dkk mengungkapkan lebih spesifik lagi
fungsi PCT sebagai prediktor derajat beratnya pneumonia komunitas dengan kadar yang tinggi
lebih banyak dijumpai pada pasien yang meninggal selama follow-up.

Prokalsitonin dapat diukur dengan menggunakan pemeriksaan iunolminometrik.


Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien kritis yang mungkin sedang dalam pengaruh
antibiotika, vasoaktif dan unit perawatan intensif. Kadar PCT juga dapat digunakan untuk
evaluasi keberhasilan pengobatan antibiotic, dikatakan berhasil jika hasilnya berkurang hingga
50% dari hasil sebelumnya.

Kondisi Kadar PCT (ng/ml)

Normal <0,1

Inflamasi kronik dan penyakit autoimun 0,5 - 1

Infeksi Virus 0,5 - 1

SIRS, Multiple Trauma, Luka Bakar 0,5 - 2

Infeksi berat, Sepsis, Multiple Organ Failure > 2 (paling sering 10-100)

Perbandingan PCT dengan biomarker lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa


akurasi diagnostik PCT pada infeksi bakterial berat lebih superior dibandingkan dengan penanda
lain. Pada penelitan yang dilakukan di Prancis terhadap pasien yang mengalami infeksi
nosokomial, kadar cut-off PCT terbaik adalah 0,4 ng/mL untuk menentukan suatu infeksi bakteri.
Prokalsitonin juga terlihat lebih baik dibandingkan dengan LED atau CRP dalam menilai kondisi
bakteremia yang ditegakkan dengan kultur darah. Dalam suatu metaanalisis yang mem
bandingkan akurasi diagnosis infeksi bakterial PCT dengan CRP, terlihat bahwa akurasi
diagnostik PCT lebih tinggi dibanding CRP. Kadar PCT lebih sensitive (88% vs 75%) dan
spesifik (81% vs 67%) dibandingkan dengan CRP dalam membedakan infeksi bakterial dengan
inflamasi noninfeksi. Sensitivitas dalam membedakan infeksi bakterial dengan viral juga lebih
tinggi pada PCT (92% vs 86%) dengan spesifisitas yang hampir setara (73% vs 70%) jika
dibandingkan dengan CRP

Kultur darah dan kultur sputum masih merupakan standar baku dalam penegakan
diagnosis infeksi paru. Waktu yang lama dan terdapatnya kolonisasi flora normal pada proses
kultur dapat menghambat proses diagnostik. Oleh sebab itu, PCT dapat mengambil peran dalam
membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus, jamur, atau mikobakteria dalam waktu yang
singkat. Berbagai penelitian menunjukkan efektivitas PCT di bidang diagnosis infeksi paru.
Muller dkk. menggunakan PCT dalam mendiagnosis 925 pasien dengan pneumonia komunitas.
Pada kohort ini, 7,9% pasien yang mengalami bakteremia dengan patogen Streptococcus
pneumonia, kadar PCT-nya lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa bakteri patogen pada
kultur darah. Prokalsitonin juga terbukti efektif mendiferensiasi infeksi paru oleh virus dengan
atau tanpa superinfeksi bakteri. Metaanalisis oleh Pfister dkk menyebutkan bahwa pada pasien
yang mendapat perawatan kritis akibat pneumonia, kadar PCT lebih tinggi pada pasien yang
mengalami pneumonia bakterial (monoinfeksi atau koinfeksi dengan H1N1) dibandingkan
monoinfeksi H1N1. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan cut-off 0,5 µg/L, sensitivitas
dapat mencapai 80,5% dan nilai prediktif negatif 73,2% untuk diagnosis pneumonia bakterial.
Peneliti juga berusaha mencari tahu apakah PCT dapat memprediksi patogen spesifik penyebab
infeksi paru. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa patogen atipikal seperti mikoplasma tidak
meningkatkan kadar PCT. Namun Haeuptle dkk menunjukkan bahwa pneumonia yang
disebabkan oleh Legionella, kadar PCTnya terukur tinggi.

Biomarker ini juga terbukti efektif dalam membedakan pneumonia dengan gagal jantung
pada

pasien yang datang dengan keluhan sesak napas. Biomarkers in Acute Heart Failure (BACH)
trial yang dilakukan pada 1641 yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sesak napas
mendapatkan bahwa model diagnostik dengan menggunakan PCT saja lebih akurat dalam
membedakan pneumonia dengan gagal jantung akut dengan AUC 72,3%. Kombinasi PCT
dengan temuan klinis, akurasi akan meningkat hingga > 86% dalam diagnosis.

Prokalsitonin juga dapat diperiksakan pada cairan pleura. Penelitian yang dilakukan oleh
El-Shimy dkk memperlihatkan bahwa kadar PCT cairan pleura pada efusi parapneumonia (1,760
± 0,312 ng/ml) terukur lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan efusi pleura
transudatif (0,169 ± 0,074 ng/ml), tuberkulosis (0,204 ± 0,033 ng/ml), dan maligna (0,636 ±
0,167 ng/ml). Penelitian ini juga mendapatkan korelasi positif yang signifikan antara kadar
prokalsitonin serum dan cairan pleura pada keempat kelompok studi tersebut (r=0,905, p<0,001).
Selain dapat digunakan pada kasus infeksi paru, PCT juga dapat digunakan sebagai penanda
tumor pada karsinoma sel paru kecil. Pada penelitian yang dilakukan oleh Patout dkk. terhadap
147 sampel darah, 51 sampel pasien kanker paru sel kecil terukur tinggi kadar PCTnya
dibandingkan tumor paru jenis lainnya. Pada penelitian yang sama, PCT dikatakan sama sensitif
dan spesifik dengan NSE dalam diagnostik tumor paru metastase liver.Data-data ini
menunjukkan bahwa PCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang berharga di bidang
pulmonologi. Cut-off yang optimal berbeda-beda sesuai dengan beratnya tampilan dan setting
klinis (misalnya, layanan primer atau ICU), serta karakteristik patogen. Data yang ada juga
memperlihatkan kegunaan PCT dalam manajemen penyakit noninfeksi paru.

Kegunaan PCT dalam menentukan prognostik di bidang pulmonologi

Penilaian beratnya derajat penyakit dapat membantu pasien dalam mengetahui beratnya
perjalanan penyakit. Penilaian menentukan prognostik ini akan membantu perlunya perawatan di
rumah sakit atau ICU, evaluasi diagnostik, dan penilaian untuk menentukan lama rawat. Selama
ini prognosis ditentukan dengan menggunakan konsensus infeksi paru, yang merekomendasikan
stratifikasi pasien dengan pneumonia komunitas berdasarkan prediksi risiko mortalitas
menggunakan skoring risiko yang tervalidasi (misalnya, pneumonia severity index atau skor
CRB-65 (confusion, respiratory rate, BP). Skor risiko klinis memiliki keterbatasan karena hanya
berlaku pada populasi khusus. Dibutuhkan mekanisme untuk menentukan prognosis
menggunakan biomarker secara objektif dan cepat terukur serta segera menyesuaikan dengan
respons klinis setelah terapi.

Berbagai penelitian menunjukkan potensi PCT dalam hal prognosis pada pasien dengan
infeksi paru. Kadar PCT terukur tinggi pada pasien yang mortalitasnya tinggi. Di suatu penelitian
kohort prospektif multisenter terhadap 1.651 pasien pneumonia komunitas, PCT < 0,1 µg/L
mengeksklusi mortalitas pada kelompok pasien ini. Penelitian di Swiss menunjukkan bahwa
kadar PCT yang menurun pada pemeriksaan serial sesuai dengan perbaikan luaran klinis pasien.
Studi Procalcitonin-Guided Antibiotic Therapy and Hospitalisation in Patients with Lower
Respiratory Tract Infections (ProHOSP) ini memperlihatkan PCT terbukti merupakan prediktor
yang signifikan terhadap komplikasi terkait pneumonia komunitas dan meningkatkan akurasi
sistem skoring mortalitas seperti PSI dan CURB. Penelitian lain oleh Tokman dkk menunjukkan
bahwa PCT memprediksi mortalitas pada pasien terinfeksi HIV dengan infeksi saluran napas
bagian bawah. Penelitian ini mendapatkan cut-off 0.5 ng/mL sebagai prediktor independen
terjadinya mortalitas. Tokman dkk juga menyatakan bahwa PCT yang diintegrasikan dengan
tanda-tanda klinis seperti takipneu dan hipoksemia dapat menjadi model prognostik untuk
mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi kematian di rumah sakit.

Berdasarkan penelitian di atas, kegunaan prognostik PCT pada pasien dengan infeksi
paru dapat diringkaskan sebagai berikut :

(1) pada pasien dengan risiko rendah infeksi paru, kadar PCT < 0,25 µg/L menunjukkan
risiko rendah infeksi bakterial dan mortalitas yang rendah

(2) pada pasien dengan risiko rendah infeki paru, kadar PCT > 0,25 µg/L menunjukkan
risiko lebih tinggi terjadinya infeksi bakterial dengan mortalitas yang lebih tinggi

(3) pada pasien dengan risiko tinggi infeksi paru, kadar PCT < 0,1 µg/L secara efektif
menurunkan mortalitas akibat kausa bakterial, dan perlu dicari patogen nonbakterial,
(4) pemantauan kinetik PCT berkala lebih dibutuhkan dibandingkan pemeriksaan awal
pada pasien dengan risiko menengah dan tinggi.

Kadar PCT yang menetap selama masa follow-up mengidentifikasi pasien yang tidak
memiliki respons terhadap terapi. Follow-up mortalitas berbasis PCT akan membantu
manajemen klinis dan luaran pasien.

Peranan Prokalsitonin pada Pneumonia Komunitas


Beberapap penelitian berkatian dengan topic ini telah dilakukan di berbagai belahan dunia.
Sebuah penelitian kohort di Amerika oleh Shuetz P, dkk. menunjukan pada pasien dengan risiko
tinggi berdasarkan skor PSI namun memiliki PCT <0,1 ng/L tereksklusi dari risiko kematian.
Penelitian serupa yang dilakukan di Jerman juga menemukan bahwa PCT dapat dijadikan alat
prediksi mortalitas dan morbiditas pasien serta evaluasi keberhasilan pengobatan oleh dokter
karena kadarnya menurun sejalan dengan perbaikan klinis pasien. Terdapat dugaan juga bahwa
kadar PCT cenderung lebih tinggi pada infeksi akibat bakteri gram negatif disbanding dengan
gram positif. Prokalstitonin pada infeksi saluran napas berat dapat dijadikan acuan untuk
penghentian pemberian antibiotik. Berbeda dengan CRP, PCT tidak spesifik meningkat pada
pasien tuberkulosis paru, sehingga dapat digunakan sebagai alat diagnostik cepat dalam
membedakan infeksi bakteri dengan mycobacterial. Kadar prokalsitonin >3ng.ml-1 dan CRP
>246 mg.L-1 merupakan tanda infeksi pneumonia dan dapat menuntun diagnosis yang tepat.1

Anda mungkin juga menyukai