Anda di halaman 1dari 121

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I.)

Oleh:
ROUDLOTUL JANNAH
NIM 11110003

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id

Achmad Maimun, M.Ag.


Dosen STAIN Salatiga

NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
Sdri. Roudlotul Jannah

Kepada:
Yth. Ketua STAIN Salatiga
di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini,
kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Roudlotul Jannah


NIM : 111 10 003
Jurusan/Progdi : Tarbiyah/PAI
Judul : PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera
dimunaqasyahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Salatiga, 12 Januari 2015

Pembimbing

Achmad Maimun, M.Ag.


NIP. 197005101998031003
SKRIPSI

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

DISUSUN OLEH

ROUDLOTUL JANNAH

NIM: 11110003

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah,


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 21 Februari
2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1
Kependidikan Islam

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A.

Sekretaris Penguji : Achmad Maimun, M.Ag.

Penguji I : Miftachur Rif‟ah, M.Ag.

Penguji II : Imam Mas Arum, M.Pd.

Salatiga, 21 Februari 2015


Ketua STAIN Salatiga

Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.


NIP. 19670112 199203 1 005
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Bismillahirrohmanirrohim

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Roudlotul Jannah

NIM : 11110003

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, 12 Januari 2015

Yang Menyatakan,

Roudlotul Jannah
Nim: 11110003
MOTTO

    


“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”

(Q.S Al-Qolam (68): 4)

‫ت ِلََُتِّ َم َم َكا ِرَم ْالَ ْخ ََل ِق‬‫ث‬


ْ ِ‫اِمَّنَا بع‬
ُ ُ
"Sesungguhnya saya diutus di bumi ini untuk menyempurnakan

akhlak (budi pekerti) yang mulia”

(H.R.Bukhori dan Abu Dawud)


PERSEMBAHAN

Alhamdulillah dengan izin Allah skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini
saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua saya (bapak Ngatminanto dan ibu Jazariyatun) yang selalu
penulis hormati, yang telah memberikan motivasi dan inspirasi sehingga
penulis bisa lebih semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Dalam do‟a
penulis selalu meminta, semoga dalam hidup ini Allah SWT selalu meridhoi
cita-cita penulis untuk menjadi anak sholikhah yang bisa menyenangkan hati
kedua orang tua dan bisa selalu menempatkan posisi keduanya pada derajat
yang Engkau muliakan.
2. Kakakku Uswatun Khasanah dan Agus Badawi yang telah menjadi
penyemangat hidupku dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
3. Dosen pembimbing skripsiku bapak Achmad Maimun, M.Ag., yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing saya dengan
penuh ketulusan dan kesabaran.
4. Dosen-dosen STAIN Salatiga, terimakasih telah mengalirkan ilmu yang
dimiliki dan mendidik dengan penuh keihlasan serta kesabaran. Terimakasih,
jasa-jasamu tidak akan saya lupakan.
5. Abah As‟ad Haris Nasution, ibunda Nyai Fatihah Ulfah Imam Fauzi, ibunda
Nyai Husnul Halimah, dan abah Taufiqurrahman serta ustadz-ustadzah Pon-
Pes Al-Manar yang telah berjuang dalam agama Allah SWT.
6. Sahabat-sahabatku Awalina Maftukhah, Fajar Khusnul Mufidah, Ika Fitri
Handayani, Atin Handayani, yang selalu menemani penulis dalam perkuliahan
di STAIN Salatiga dan yang telah memberikan motivasi serta dukungan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Semua temen-teman PAI angkatan 2010 khususnya PAI A, terimakasih atas
kebersamaan yang telah mewarnai perjalanan di STAIN Salatiga ini.
8. Mas Thoif Ahmad, yang telah memberikan motivasi serta dukungan
terbaiknya dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman Pondok AL-Manar yang telah menemani selama di Pesantren.
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

akhir skripsi dengan judul “Pemikiran Hamka Tentang Nilai-nilai Pendidikan

Budi Pekerti”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

memperoleh gelar kesarjanaan S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak,

tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Ketua STAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.

3. Bapak Rasimin, S.Pdi., M.Pd., selaku Ketua Program Studi S1 Pendidikan

Agama Islam.

4. Bapak Achmad Maimun, M.Ag., selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya

dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah

banyak memberikan pengarahan dan bimbingan selama masa kuliah.


6. Segenap dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga yang telah banyak

memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku

perkuliahan.

7. Ayahku (Ngatminanto) dan ibuku (Jazariyatun) yang selalu memberikan

dukungan dan semangat serta dengan tulus ikhlas mendoakan agar cepat

menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

8. Kakakku (Uswatun Khasanah) dan (Agus Badawi) yang selalu memberikan

motivasi dan semangat kepada penulis.

9. Para pustakawan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang telah

memberikan pelayanan kepada penulis dalam menggali wacana.

10. Sahabat-sahabat dan seluruh pihak yang tidak bias penulis sebutkan satu-

persatu. Terimakasih atas segala bantuan dan do‟anya.

Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a semoga Allah senantiasa

memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda kepada mereka. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran

yang membangun sangat penulis harapkan untuk kajian yang akan datang.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, amin.

Salatiga, 12 Januari 2015

Penulis,

Roudlotul Jannah

Nim: 11110003
ABSTRAK

Jannah, Roudlotul. 2015. Pemikiran Hamka Tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi


Pekerti. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama
Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Achmad Maimun, M.Ag.
Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan, Budi Pekerti, Hamka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran Hamka
tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui
penelitian ini adalah (1) bagaimana pemikiran Hamka tentang nilai-nilai
pendidikan budi pekerti?, dan (2) bagaimana relevansi pemikiran Hamka tentang
nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan pendidikan saat ini?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka penelitian menggunakan pendekatan kepustakaan.
Metode penelitian yang digunakan dengan jenis penelitian kepustakaan
(Library research), sumber data primernya adalah Tafsir al-Azhar dan buku-buku
karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian di antaranya adalah
buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi, buku Lembaga Hidup, dan buku
Tasawuf Modern, sedangkan sumber data sekundernya adalah buku-buku lain
yang relevan dengan obyek pembahasan penulis.
Adapun teknis analisa data menggunakan metode deduktif dan induktif.
Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Hamka tentang nilai-
nilai pendidikan budi pekerti yaitu (a) nilai pendidikan budi pekerti terhadap
Allah berupa ketakwaan, keimanan, tawakkal, syukur, taubat, sabar, dan
istiqamah, (b) nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri berupa tanggung
jawab, iffah, dan pengendalian diri, (c) nilai pendidikan budi pekerti terhadap
orang tua berupa birrul walidain, dan mentaati kedua orang tua dalam kebaikan,
(d) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain berupa kejujuran, amanah,
pemaaf, dermawan, rendah hati, kemanusiaan, toleransi, keadilan dan ihsan.
Adapun relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti
dengan pendidikan saat ini adalah sama-sama terdapat nilai pendidikan religius,
nilai pendidikan kejujuran, nilai pendidikan toleransi, nilai pendidikan peduli
sosial, dan nilai pendidikan tanggung jawab, sehingga pemikiran Hamka tentang
nilai-nilai pendidikan budi pekerti sangat tepat jika diajarkan pada pendidikan saat
ini. Skripsi ini di dalamnya terdapat kesimpulan yang penting, bahwasannya
Hamka membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya kalau
dispesifikkan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah tidak
lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai pendidikan budi pekerti
terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai
pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai
pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain
tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBAR BERLOGO .............................................................................. ...ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................... v

MOTTO ...................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................... viii

ABSTRAK .................................................................................................... x

DAFTAR ISI................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5

E. Telaah Pustaka ................................................................................... 6

F. Penegasan Istilah ................................................................................ 7

G. Metode Penelitian ............................................................................ 10

H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

BAB II BIOGRAFI HAMKA

A. Konteks Internal ............................................................................... 16

1. Aspek Geneologis ........................................................................ 16


2. Aspek Pendidikan ........................................................................ 17

3. Aspek Karir dan Peran ................................................................ 19

B. Konteks Eksternal ............................................................................ 22

1. Aspek Sosial Politik .................................................................... 22

2. Aspek Sosial Keagamaan ............................................................ 24

3. Aspek Kultural ............................................................................ 26

4. Pemikiran-pemikiran yang Berpengaruh ..................................... 27

C. Karya-karyanya ................................................................................ 29

BAB III TINJAUAN KARYA HAMKA

A. Penamaan Tafsir Al-Azhar .............................................................. 35

1. Faktor yang Melatarbelakangi Tersusunnya Tafsir Al-Azhar ..... 35

2. Sebab Dinamai Tafsir Al-Azhar .................................................. 35

B. Karya Hamka Tentang Budi Pekerti Selain dalam Tafsir Al-Azhar 36

1. Buku Akhlaqul Karimah ............................................................. 36

2. Buku Lembaga Budi .................................................................... 38

3. Buku Lembaga Hidup ................................................................. 40

4. Buku Tasauf Moderen ................................................................. 40

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

A. Tinjauan Konseptual tentang Budi Pekerti ............................................ 42

B. Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti............... 46

C. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti

dengan pendidikan saat ini .................................................................. 98


BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 107

B. Saran .............................................................................................. 108

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini lebih menekankan aspek

intelektual saja. Kepandaian otak ternyata belum cukup untuk membantu anak

didik menjadi manusia yang lebih utuh, bahkan bagi beberapa siswa kepandaian

otak malah membantu siswa berperilaku yang merugikan orang lain (Soewandi,

2005: 107).

Pendidikan remaja, bukanlah hanya soal pendidikan dan pengembangan

pengetahuan, apalagi hanya otak. Hal itu tidak cukup, karena hanya akan

membawa orang mengerti, tetapi belum pasti bahwa mereka dapat hidup

berselaras dengan Tuhan, orang tua, dan orang lain (Soewandi, 2005: 111).

Melihat realita saat ini kemerosotan budi pekerti sudah terjadi di negara

ini, terutama generasi muda. Kenakalan remaja setiap tahun menunjukkan

peningkatan yang cukup kompleks. Di antara mereka terlibat narkoba, terlibat

tawuran, terlibat seks bebas, akses media porno, aborsi, berlagak jagoan, dan

perbuatan yang mengandung unsur negatif lainnya. Mengatasi kenakalan remaja,

merupakan tanggung jawab bersama terutama orang tuanya untuk mengingatkan

mereka agar menjauhi tingkah laku yang buruk yang dapat merugikan diri sendiri

maupun orang lain.

Bentuk kenakalan remaja di Indonesia salah satunya adalah

penyalahgunaan narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) sudah melakukan

penelitian yang menyatakan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di


Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna

narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8

sampai 4,2 juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan

sisanya sekedar coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala

Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) BNN dan Kombes Pol Sumirat

Dwiyanto seperti dihubungi detik Health pada hari Rabu 6 Juni 2012

(http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/05/kriminalitas-remaja-di-sekitar-kita/ diakses

24 April 2014).

Uraian di atas menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia

kebanyakan adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Dengan demikian

pendidikan budi pekerti itu sangat penting, terutama bagi para pelajar dan

mahasiswa. Banyak tokoh Nasional maupun Internasional yang menjelaskan di

dalam karya-karyanya tentang pendidikan budi pekerti yang seharusnya perlu

dijadikan pembelajaran bagi masyarakat, khususnya bagi para pelajar dan

mahasiswa.

Salah satu tokoh yang menjelaskan tentang pendidikan budi pekerti

adalah Hamka. Beliau adalah ulama besar, ahli tafsir, imam besar masjid, ahli

sejarah, petinggi politik. Beliau pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia

(MUI), petinggi Muhammadiyah, hingga menjadi novelis, sastrawan, pujangga di

Indonesia (http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir/, diakses 3 April 2014).

Menurut Hamka budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada

pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah,

tanpa membutuhkan pemikiran. Ukuran untuk menetapkan budi pekerti adalah

akal dan syara’ (Hamka, 1992: 4).


Allah SWT telah berfirman memuja Nabi-Nya dengan menyatakan

nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya di dalam al-Qur‟an surat Al-

Qolam (68) ayat 4 yang berbunyi:

‫مك لَ َعلَى ُخلُ ٍق َع ِظْي ٍم‬ ِ


َ ‫َوان‬

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar, berbudi pekerti yang

luhur” (Tim Departemen Agama RI, 2006: 564).

Di dalam hadis riwayat Bukhori dan Abu Dawud, Rasulullah SAW

bersabda:

‫ت ِلََُتِّ َم َم َكا ِرَم ْالَ ْخ ََل ِق‬ ِ ِ


ُ ْ‫امَّنَا بُعث‬

“Sesungguhnya saya diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan


budi pekerti yang mulia” (Faruq, 2005: 121).

Maka dari itu pendidikan budi pekerti memang sangat diperlukan oleh

seorang muslim terlebih generasi muda. Seorang muslim seharusnya semenjak

dini haruslah diajarkan tentang pendidikan budi pekerti Islam, supaya mereka

kelak bisa mengemban tugas serta tanggung jawab dengan baik yang akan

dihadapinya dimasa yang akan datang, serta sebagai bahan acuan bagi para

remaja muslim dalam bertingkah laku sehari-hari, supaya mereka dapat mencapai

keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak.

Berdasarkan permasalahan di atas, dan begitu besarnya perhatian serta

usaha yang dicurahkan Hamka dalam menampilkan pendidikan budi pekerti yang

selama ini kurang diterapkan dalam kehidupan, maka penulis tertarik untuk
mengangkat skripsi yang berjudul “Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai

Pendidikan Budi Pekerti”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka permasalahan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti?

2. Bagaimana relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi

pekerti dengan pendidikan saat ini?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti.

2. Mengetahui relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi

dengan pendidikan saat ini.

D. Manfaat penelitian

Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah di atas mempunyai

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan

pendidikan di Indonesia secara umum dan pendidikan Islam pada

khususnya.
b. Sebagai salah satu sumbangan dari pokok-pokok pemikiran Hamka

tentang pendidikan budi pekerti pada masa mendatang.

2. Manfaat praktis

a. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan panduan bahwa

pendidikan budi pekerti memiliki peranan yang penting dalam

meningkatkan perilaku remaja di lingkungan sekitarnya.

b. Bagi orang tua, penelitian ini dapat dijadikan panduan dalam

membimbing remaja agar memiliki budi pekerti yang luhur.

c. Bagi remaja, dengan penelitian ini nantinya dapat menambah

pengetahuan tentang pendidikan budi pekerti, supaya dapat

diaplikasikan dalam bertingkah laku sehari-hari, serta dapat mencapai

keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak.

E. Telaah Pustaka

Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan budi pekerti pernah dikaji oleh

beberapa tokoh, salah satu di antaranya adalah kajian pemikiran tokoh Hamka.

Akan tetapi penulis belum menemukan tulisan yang secara khusus membahas dan

mengupas secara komprehensif tentang “Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai

Pendidikan Budi Pekerti”. Sejauh yang penulis ketahui, kajian tentang pemikiran

Hamka sendiri telah diangkat sebagai skripsi oleh Nur Kholis yang berjudul

“Studi Komparasi antara Konsep Hamka dengan Abdullah Nasih Ulwan tentang

pendidikan Akhlak”, adapun fokus masalahnya membahas tentang persamaan dan

perbedaan pemikiran Hamka dan Abdullah Nasih Ulwan tentang Pendidikan

Akhlak, serta hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada persamaan dan

perbedaan pemikiran antara Hamka dan Abdullah Nasih Ulwan tentang

Pendidikan Akhlak. Pendidikan akhlak menurut keduanya merupakan upaya


adanya proses akhlak pada diri manusia untuk mendekatkan diri pada Allah

SWT, yang pada akhirnya berorientasi pada percapaian kebahagiaan dunia

akhirat. Perbedaan antara keduanya yaitu pandangan Hamka lebih bersifat

objektif. Semua manusia mempunyai kewajiban untuk mendapatkan pendidikan

akhlak, terutama pada mereka yang terbiasa dengan perangai atau tabi‟at yang

jelek, sehingga diharapkan tabi‟at tersebut berubah menjadi lebih baik. Sementara

Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa tabi‟at atau perangai merupakan

sesuatu yang sangat sulit untuk dirubah. Lingkungan dan pendidikan orang tua

sangat mempengaruhi dalam bentuk tabi‟at manusia (Kholis, 2003: x).

Dari penelitian di atas, sejauh pengamatan penulis belum ada yang

membahas pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti.

Penelitian di atas penulis gunakan untuk memperkuat penelitian terkait pemikiran

Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Harapan penulis dengan

penelitian ini dapat melengkapi informasi yang ada sebelumnya dan menambah

wacana khasanah keilmuan.

F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalahpahaman, maka

penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:

1. Pengertian nilai menurut beberapa pendapat sebagai berikut:

a. Nilai adalah sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan

(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 615).

b. Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan (Saliman dan

Sudarsono, 1994: 157).


c. Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar

menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga

preferensinya tercermin dalam perilaku, sikap dan perbuatan-

perbuatannya (Maslikhah, 2009: 106).

d. Nilai berarti aspek kepribadian yang bersifat menilai yang menjadi

dasar pegangan dan kriteria bagi orang bersangkutan dalam menentukan

baik atau buruk, bermanfaat atau tidak dan penting atau tidak penting

(Asifudin, 2004: 161).

2. Pengertian pendidikan menurut beberapa pendapat sebagai berikut:

a. Pendidikan berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan awalan pe-

dan akhiran -an yang berarti pengukuhan sikap dan tata perilaku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewesakan manusia

melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, cara dan perbuatan

mendidik (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 263).

b. Pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari seorang pendidik

untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya

serta keterampilannya (Saliman dan Sudarsono, 1994: 178).

c. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, bangsa dan negara

(Maslikhah 2009: 130).

d. Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran


agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara (Hasbullah, 2009: 4).

e. Pendidikan ialah menanamkan akhlak yang utama, budi pekerti yang

luhur serta didikan yang mulia dalam jiwa anak-anak, sejak kecil

sampai ia menjadi orang yang kuasa untuk hidup dengan kemampuan

usaha dan tenaganya sendiri (Al-Ghulayaini, 2009: 315).

3. Pengertian budi pekerti menurut beberapa pendapat sebagai berikut:

a. Budi adalah alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan

untuk menimbang baik dan buruk, sedangkan pekerti adalah perangai,

tabiat, akhlak, watak (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 131).

b. Menurut Saliman dan Sudarsono (1994: 37), budi adalah akal, daya

untuk berfikir.

c. Budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa

seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa

membutuhkan pemikiran (Hamka, 1992: 4).

d. Budi sering diartikan sebagai nalar, pikiran, akal. Dengan nalar itulah,

orang berpekerti yaitu bertindak baik. Maka pelajaran budi pekerti,

menjadi pelajaran tentang etika hidup bersama (bertindak baik) yang

berdasarkan nalar. Ada unsur kesadaran dan ada unsur melaksanakan

kesadaran itu (Soewandi, 2005: 112).

e. Menurut Syadzili (2005: 7), budi pekerti atau akhlak adalah tata cara

berperilaku dan berhubungan dengan orang lain.


Jadi nilai pendidikan budi pekerti adalah suatu sifat yang diperoleh

seseorang melalui proses belajar dalam rangka mengembangkan potensi diri,

sehingga dapat mendorong untuk melaksanakan tingkah laku yang baik dan

benar.

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan.

Obyek penelitian digali lewat beragam informasi kepustakaan berupa buku,

ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah dan dokumen (Zed, 2004: 89).

2. Sumber Data

Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun yang

menjadi sumber data primer adalah karya Hamka yaitu Tafsir al-Azhar dan

buku-buku karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian di

antaranya adalah buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi, buku

Lembaga Hidup, dan buku Tasauf Modern.

Kemudian yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam karya Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam

Indonesia karya Harun Nasution, Ensiklopedi Pendidikan karya Soegarda

Poerbakawatja dan Harahab, Ensiklopedi Al-Qur‟an karya Ahmad Fawaid

Syadzili, buku Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka karya Ahmad

Hakim dan M. Thalhah, buku Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym

karya Sulaiman Al-Kumayi, buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter


karya Muchlas Samani dan Hariyanto, dan buku-buku yang lain yang

bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini

adalah dengan mencari dan mengumpulkan tafsir, ensiklopedi, dan buku.

Adapun yang menjadi sumber data primer yaitu karya Hamka yaitu Tafsir al-

Azhar dan buku-buku karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan

penelitian di antaranya adalah buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi,

buku Lembaga Hidup, dan buku Tasauf Modern. Dan sumber data sekunder

di antaranya adalah Ensiklopedi Tematis Dunia Islam karya Taufik

Abdullah, Ensiklopedi Islam Indonesia karya Harun Nasution, Ensiklopedi

Pendidikan karya Soegarda Poerbakawatja dan Harahab, Ensiklopedi Al-

Qur‟an karya Ahmad Fawaid Syadzili, buku Politik Bermoral Agama: Tafsir

Politik Hamka karya Ahmad Hakim dan M. Thalhah, buku Kearifan

Spiritual dari Hamka ke Aa Gym karya Sulaiman Al-Kumayi, buku Konsep

dan Model Pendidikan Karakter karya Muchlas Samani dan Hariyanto, dan

buku yang relevan lainnya.

Setelah data terkumpul maka penulis mengidentifikasi ayat-ayat al-

Qur‟an dan buku-buku karya Hamka yang membahas tentang pendidikan

budi pekerti, kemudian penulis mencocokkan ayat-ayat al-Qur‟an yang

berkaitan tentang pendidikan budi pekerti dengan tafsir al-Azhar, langkah

selanjutnya penulis mengidentifikasi nilai pendidikan budi pekerti yang

terkandung di dalam tafsir al-Azhar dan buku-buku karya Hamka yang

membahas tentang pendidikan budi pekerti, sehingga penulis dapat

memperoleh data atau informasi untuk bahan penelitian.


4. Teknik analisis data

Yaitu penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan

memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain

untuk memperoleh kejelasan mengenai halnya.

Macam-macam metode yang digunakan dalam menganalisis

masalah adalah sebagai berikut:

a. Deduktif

Yaitu apa saja yang di pandang benar pada suatu peristiwa

dalam suatu kelas atau jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang

termasuk di dalam jenis itu (Hadi, 1981: 36).

Metode ini digunakan penulis untuk menganalisa data tentang

budi pekerti di sekitar kita, baik budi pekerti kepada Allah, kepada diri

sendiri, kepada orang tua, dan kepada orang lain.

b. Induktif

Yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-

peristiwa yang kongkret, kemudian dari peristiwa-peristiwa yang

khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi,

1981: 42).

Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa ayat-ayat al-

Qur‟an dalam tafsir al-Azhar dan buku-buku Hamka yang membahas

tentang pendidikan budi pekerti, sehingga dapat diketahui nilai-nilai

pendidikan budi pekerti yang terkandung di dalamnya, guna ditarik

kesimpulan dan dicari relevansinya dengan pendidikan saat ini.


H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, penulis

berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis

besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab, maka disusunlah pembahasan dalam suatu

sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Telaah Pustaka

F. Penegasan Istilah

G. Metode Penelitian

H. Sistematika Penulisan

BAB II Biografi Hamka

A. Konteks Internal, yang meliputi: aspek geneologis, aspek

pendidikan, aspek karir dan peran.

B. Konteks Eksternal, yang meliputi: aspek sosial politik, aspek

sosial keagamaan, aspek kultural dan pemikiran-pemikiran yang

berpengaruh.
C. Karya-karyanya, yang meliputi: buku dibidang sastra, buku

dibidang politik dan budaya, buku dibidang keagamaan Islam,

majalah dan tafsir.

BAB III Tinjauan Tafsir Al-Azhar

A. Penamaan Tafsir al-Azhar, yang meliputi: faktor yang

melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar, dan sebab dinamai

Tafsir al-Azhar.

B. Karakteristik Penafsiran Tafsir al-Azhar, yang meliputi: landasan

penafsiran Tafsir al-Azhar, metode penafsiran Tafsir al-Azhar,

corak penafsiran Tafsir al-Azhar dan langkah-langkah penafsiran

Tafsir al-Azhar.

C. Karya Hamka Tentang Budi Pekerti Selain Dalam Tafsir al-

Azhar.

BAB IV Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti

A. Tinjauan Konseptual Tentang Budi Pekerti, yang meliputi:

persamaan serta perbedaan moral, etika, akhlak, budi pekerti dan

pengertian akhlak maupun budi pekerti menurut para ahli.

B. Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti.

C. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi

Pekerti dengan Pendidikan Saat Ini.

BAB V Penutup berisi Kesimpulan dan Saran.


BAB II

BIOGRAFI HAMKA

A. Konteks Internal

1. Aspek Geneologis

Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir

pada tanggal 17 Februari 1908 bertepatan dengan (14 Muharram 1329 H) di

Kampung Molek, Minangkabau, Sumatera Barat. Dia lahir sebagai anak

pertama dari tujuh bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat

melaksanakan ajaran agama Islam

(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, diakses 24

Maret 2014).

Hamka merupakan keturunan dari seorang ulama terkenal yang berasal

dari Maninjau bernama Abdullah Saleh murid dari Tuanku Pariaman Panglima

Perang Tuanku Imam Bonjol. Ayah Hamka bernama Syekh Haji Abdul Karim

Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul yang terlahir pada 10

Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang,

Maninjau, Minangkabau

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-

wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Ayah Hamka adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam di

Minangkabau. Saat berusia 17 tahun, dia dibawa ke Makkah untuk

memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama di tanah suci. Pada tahun

1941 ayahnya ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi


karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap mengganggu keamanan dan

keselamatan umum pada masa itu

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-

wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Akhirnya, ayah Hamka wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua

bulan sebelum proklamasi. Pada tahun 1976 makamnya dipindahkan ke

kampung halamannya, Muara Pauh, Sungai Batang, Maninjau

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-

wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Sementara ibu Hamka, bernama Siti Shafiyah berasal dari keturunan

seniman di Minangkabau. Adapun kakek Hamka dari ayahnya, yakni

Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat

Naqsyabandiyah.(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amru

llah, diakses 24 Maret 2014).

2. Aspek Pendidikan

a. Lembaga pendidikan yang pernah dimasuki

Hamka mengikuti pendidikan formal hanya sampai kelas 2

Sekolah Dasar. Setelah kelas 2 Sekolah Dasar, dia tidak pernah bersekolah

formal lagi. Hamka lebih suka belajar sendiri. Dalam usia 6 tahun (1914)

dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Dari ayahnya, Hamka mendapat

pendidikan agama, seperti nahwu, sharaf, hadis, dan fikih sehingga beliau

lebih cepat pandai daripada kawan sebayanya (Pramuko, 2001: 9).

Sewaktu berusia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan

malamnya belajar mengaji al-Qur‟an dengan ayahnya sendiri hingga

khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada
sekolah-sekolah Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang

Panjang dan di Parabek (Hamka, 1985: XV).

b. Guru-guru yang pernah mengajarnya

Pada tahun 1916 sampai tahun 1923 Hamka bersekolah di Diniyah

School dan Sumatera Thawalib, guru-gurunya waktu itu ialah Syekh

Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay.

Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di

bawah pimpinan ayahnya sendiri (Hamka, 1985: XV).

Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang

lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan

semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Perantauan mencari ilmu

dari tanah Jawa ia mulai dari kota Yogyakarta. Dalam kesempatan ini

Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadi Kusumo, di mana Hamka

mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur‟an darinya. Ia juga bertemu dengan

H.O.S Tjokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan

sosialisme. Hamka juga mendapat kesempatan untuk bertukar pikiran

dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan

Syamsul Rijal, tokoh Jong Islamieten Bond, suatu organisasi yang

bertujuan mempelajari Islam dan mengajarkan agar ajaran-ajarannya

dilaksanakan, serta mengembangkan rasa simpatik kepada Islam dan

pengikutnya, di samping juga menunjukkan rasa toleran terhadap pemeluk

agama lain (Hakim dan Thalhah, 2005: 26).

3. Aspek Karir dan Peran

Hamka memulai pengabdian pada ilmu pengetahuan dengan menjadi

guru agama Islam pada 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada
tahun 1929 M, ia juga menekuni profesi guru agama di Padang Panjang

(Ghofur, 2008: 209).

Pada tahun 1930 kongres Muhammadiyah ke-4 berlangsung di Bukit

Tinggi dan Hamka tampil sebagai pemateri dengan judul “Agama Islam dan

Adat Minangkabau.” Dan ketika Muktamar Muhammadiyah ke-20 di

Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka tampil dengan materi yang berjudul

“Muhammadiyah di Sumatera”. Setahun kemudian atas kepercayaan Pimpinan

Pusat Muhammadiyah Hamka diutus ke Makasar menjadi mubaligh. Pada tahun

1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang. Tahun 1934 ia

diangkat menjadi anggota tetap majelis Muhammadiyah Sumatera Tengah (Al-

Kumayi, 2004: 25).

Sekembalinya dari Makasar, Hamka mendirikan Kulliyatul Mubalighin

di Padang Panjang dan aktif sebagai mubaligh. Kemudian pada tahun 1936

Hamka pindah ke Medan, di kota ini Hamka bersama Dr. Yunan Nasution

menerbitkan majalah “Pedoman Masyarakat.” Majalah yang menurut Yunan

Nasution memberikan pengaruh besar bagi hasil karyanya di masa depan (Al-

Kumayi, 2004: 26).

Pada tahun 1946, berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padang

Panjang, dan Hamka terpilih sebagai ketuanya. Situasi ini sangat

menguntungkan Hamka, sehingga bakatnya sebagai penulis dan penceramah

bertambah populer (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Hamka merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner

merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949.

Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat sebagai pejabat tinggi

Departemen Agama, Hamka memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk


mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji Masyarakat.

Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili partai

politik modern Islam, Masyumi. Karir politik berakhir dengan dibubarkannya

majelis ini oleh presiden Sukarno (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Di saat Hamka menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama,

kedudukan tersebut memberikan peluang baginya untuk mengikuti konferensi di

luar negeri. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundangnya

untuk menetap selama empat bulan. Selama kunjungan tersebut, Hamka

mempunyai pandangan yang lebih terbuka terhadap negara-negara non-Islam.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, secara berturut-turut Hamka menjadi

anggota misi kebudayaan di Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama

untuk menghadiri peringatan mangkatnya Budha di Birma (1954), menghadiri

Konferensi Islam di Lahore (1958) dan menghadiri undangan Universitas Al-

Azhar Kairo untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh

di Indonesia (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Hamka merupakan salah seorang tokoh yang sangat berjasa dalam dunia

keilmuan, beliau dikaruniai gelar kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari

Universitas al-Azhar pada tahun 1958 M. Karena karir intelektualnya yang

cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M, ia dilantik sebagai dosen Universitas

Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah

dipegangnya pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Pada tahun 1960 beliau

terpilih menjadi imam besar masjid Al-Azhar. (Ghofur, 2008: 210).

Setelah dibebaskan dari tahanan, beberapa tahun kemudian Hamka

memperoleh Gelar (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Kebangsaan


Malaysia pada tahun 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno juga

diterimanya dari pemerintah Indonesia (Ghofur, 2008: 212).

Pada tahun 1975, Hamka dipercaya menjadi Ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI). Tak mengherankan karena Hamka dikenal alim, pemberani,

teguh dalam pendirian, juga ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Dua bulan

sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI

mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh masalah

perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan penganut agama lainnya,

termasuk umat Islam. MUI yang diketuai Hamka telah mengeluarkan fatwa

bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal,

di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu

Prawira Negara dan meminta untuk mencabutnya (Hakim dan Thalhah, 2005:

28).

B. Konteks Eksternal

1. Aspek Sosial Politik

Pada awal abad ke-19, Tanah Minangkabau sebagai tanah kelahiran

Hamka, telah disorot sebagai suatu gerakan kebangkitan Islam yang disebut

dengan Gerakan Paderi, gerakan yang belum terorganisir dengan baik serta

didukung dengan militerisme yang tinggi. Kebangkitan ini dipelopori oleh

empat tokoh, yakni Syeikh Taher Djamaluddin, Syeikh Muhammad Djamil

Djambek, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan Haji Abdullah

Ahmad. Walaupun Syeikh Taher Djamaluddin bermukim di Singapura, namun

beliau berpengaruh besar terhadap ketiga tokoh terakhir yang merupakan

muridnya. Pengaruh tersebut tersalur melalui majalah al-Imam (1906-1909)


yang membuat artikel-artikel masalah keagamaaan, peristiwa-peristiwa penting

yang terjadi di dunia Islam, serta pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan

juga melalui sekolah al-Iqbal al-Islamiyah (Hakim dan Thalhah, 2005: 29).

Langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan oleh tiga serangkai,

Syeikh Muhammad Djamil Djambek melalui organisasi Samaratul Ikhwan,

Syeikh Abdul Karim Amrullah melalui bukunya Qati‟u Razbi al-Mulhidun, dan

haji Abdullah Ahmab melalui majalah al-Munir, mendapat reaksi yang cukup

keras, terutama dari kalangan Ulama Kaum Tua. Tindakan mereka dalam

memberantas paham bid‟ah, takhayul dan khurafat, dipandang oleh Ulama Tua

mendesak posisi mereka ke kawasan pinggiran. Kenyataan ini mengindikasikan

betapa tingginya intensitas perdebatan masalah-masalah keagamaan di

Minangkabau pada awal abad ke-20, yang menurut Taufik Abdullah hal ini

telah menciptakan polarisasi sosial. Kondisi tersebut bertambah keras ketika

para Ulama Kaum Muda memunculkan lembaga-lembaga pendidikan dan juga

melahirkan sebuah organisasi politik yang dikenal dengan PERMI (Persatuan

Muslimin Indonesia) sebagai proses lanjutan kaderisasi Sumatera Thawalib

(Hakim dan Thalhah, 2005: 29).

Ketegangan sosial dalam bentuk polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda,

serta ditambah dengan konflik Kaum Adat dan pemerintah kolonial Belanda,

telah memunculkan sikap kritis yang begitu tajam dalam pemikiran Kaum

Agama di Minangkabau, dan menimbulkan sikap kultural yang mengidentikkan

Minangkabau dengan Islam. Di tengah latar belakang sosial demikianlah

Hamka lahir dan dibesarkan oleh orang tua dan kakek-neneknya (Hakim dan

Thalhah, 2005: 30).


Pada tahun 1959, tidak lama setelah berfungsinya masjid Al-Azhar,

suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI

dalam mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan

mereka bertambah mengikat, masjid Al-Azhar pun tidak luput dari kondisi

tersebut. Masjid ini dituduh menjadi pusat “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.

Tanpa diduga sebelumnya, pada hari senin 12 Ramadhan 1382 yang bertepatan

dengan 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di

hadapan kurang lebih dari seratus orang Kaum Ibu di masjid Al-Azhar, ia

ditangkap oleh penguasa Orde lama, lalu dijebloskan ke dalam tahanan. Sebagai

tahanan politik, Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di

kawasan puncak, yakni Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Mega

Mendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka

mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir al-Azhar. Akhirnya

setelah Orde lama jatuh, kemudian Orde baru bangkit di bawah pimpinan

Suharto dan kekuatan PKI pun telah dirampas, Hamka dibebaskan dari tuduhan.

Kesempatan ini dipergunakan Hamka untuk memperbaiki serta

menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang pernah ia tulis di beberapa rumah

tahanan sebelumnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 31).

2. Aspek Sosial Keagamaan

Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka

secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra.

Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai

seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat

bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi
ketua MUI pertama tahun 1975 (http://Biografi_Buya_Hamka-

Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014).

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau

mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau

lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-

pesan moral Islam (http://Biografi_Buya_Hamka-Biografi_Web.html diakses 17

Mei 2014).

Ada satu yang sangat menarik dari Hamka, yaitu keteguhannya

memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang

menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi

Hamka. Pada zamam pemerintah Soekarno, Hamka berani mengeluarkan

fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu

membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di

situ saja, Hamka juga terus menerus mengkritik kedekatan pemerintah dengan

PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh

Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel

Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi

Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep

demokrasi terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan

dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah

subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan (http://Biografi_Buya_Hamka-

Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014).

3. Aspek Kultural
Hamka merupakan sosok intelektual yang unik. Keunikannya terletak

pada latar belakang lembaga pendidikannya yang tradisional, namun ia

mempunyai wawasan generalistik dan modern. Keberadaan Hamka merupakan

sebuah kontiniuitas intelektual Melayu yang sudah tidak ada lagi di zaman

modern ini. Kemampuannya berkomunikasi sesuai dengan kemelayuan baik

melalui bahasa lisan maupun tulisan telah menempatkan dirinya pada

kedudukan khusus dalam sejarah intelektual Islam di kawasan rumpun Melayu.

Bukan hanya karena beliau banyak menulis buku-buku sejarah, khususnya

sejarah Islam di nusantara termasuk biografi, melainkan pemikiran Hamka telah

dapat mengisi kekosongan khazanah peradaban Islam di nusantara.

Kemasyhuran pemikiran dan intelektualitasnya melampaui batas tanah air

bahkan menyebar sampai ke negeri-negeri Islam baik di kawasan kelompok

Melayu maupun Timur Tengah. Dalam konteks ini Hamka dapat dikatakan

sebagai pewaris dan penyambung intelektual Islam Melayu klasik

(http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-

konteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014).

Jaringan intelektual Hamka bukan hanya terbatas di Indonesia saja akan

tetapi juga merambah ke kawasan negara-negara rumpun Melayu khususnya

Malaysia dan Singapura bahkan sampai ke Timur Tengah. Di Malaysia, buku-

buku karya Hamka beredar secara luas dan mendapat tempat di kalangan

masyarakat Melayu. Bahkan beberapa di antaranya dijadikan sebagai rujukan

dan buku teks pada beberapa lembaga pendidikan. Beberapa karya tersebut telah

dicetak ulang di Kuala Lumpur. Bagi orang-orang Melayu, Hamka adalah putra

besar alam Melayu yang tampil pada saat umat mengalami ketegangan dalam

menangani berbagai persoalan berat yang diakibatkan oleh penjajah


(http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-

konteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014).

Sebagai seorang ilmuwan, Hamka memberikan perhatian serius terhadap

isu-isu kemelayuan dan keislaman. Sebagai seorang putra Melayu, Hamka

sangat mencintai seluruh bumi Melayu tanpa dihalangi oleh batas-batas

wilayah. Sebagai seorang yang mempunyai kesadaran sejarah dan budaya,

Hamka tidak dapat melepaskan pola pikirnya dari ikatan kemelayuan yang

seagama, dan sebudaya. Tingginya penghargaan masyarakat Melayu terhadap

pemikiran Hamka, telah mengantarkan dirinya sebagai sosok yang dikagumi

dan dicintai oleh berbagai kalangan (http://ulama-

minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-sosio.html

diakses 19 Agustus 2014).

4. Pemikiran-pemikiran yang Berpengaruh

Hamka selain dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh, seperti Muhammad

Abduh, Sayyid Quthb, H. O. S Cokroaminoto, A. R. Sutan Mansur dan lainnya,

pemikiran Hamka juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang terjadi

semasa hidupnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Semisal karyanya,

Tafsir al-Azhar, yang di dalamnya banyak dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa

kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang telah disatu-

alurkan dengan kerangka pemikiran yang terdapat dalam dalil-dalil al-Qur‟an

dan al-Hadis, ditambah dengan corak pemikiran-pemikirannya yang

diekspresikan ketika dalam tahanan yang sedikit banyak telah memberikan

warna pemikiran yang dijiwai oleh semangat perjuangan keras dalam upaya

melawan ketidakadilan ataupun kekerasan yang dilakukan oleh Orde lama,

sehingga terasa lazim dan inovatif bila Hamka mengaitkan penafsirannya


dengan berbagai peristiwa kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa

Indonesia pada waktu itu (Hakim dan Thalhah, 2005: 32).

Kemudian buku Di Bawah Lindungan Ka‟bah, yang ditulis berdasarkan

pengalamannya di Makkah selama enam bulan, dan juga karyanya yang

berjudul Empat Bulan di Amerika, yang ditulis berdasarkan pengalamannya

sewaktu berkunjung ke Amerika selama empat bulan, yang telah memberikan

wawasan luas tentang pluralitas budaya yang ada, dan memberikan kontribusi

yang sangat besar terhadap kemajuan sistem pemikiran bangsa Indonesia di

berbagai bidang, terutama bidang pendidikan (Hakim dan Thalhah, 2005: 32).

C. Karya-karyanya

1. Buku dibidang sastra, yaitu:

a. Si Sabariyah, (1928).

b. Laila Majnun (1932) di terbitkan oleh Balai Pustaka.

c. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi), (1934).

d. Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Haji Agus Hakim, Alumni Kulliyyatul

Muballighin, yang didirikan Hamka di Padang Panjang, menceritakan

bahwa naskah buku di atas telah ditulis pada tahun 1935 di Medan, akan

tetapi oleh Balai Pustaka diterbitkan pada tahun 1937.

e. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, buku ini menurut pengalaman

Hamka, dikarang sebab inspirasi ketika beliau menjadi muballigh PB.

Muhammadiyah di Makasar. Buku ini diterbitkan pada tahun 1936 di

Medan.
f. Merantau ke Deli, cerita roman ini dikarang berdasar inspirasi yang beliau

tangkap ketika beliau menjadi guru agama di perkebunan Bajalingge. Buku

ini diterbitkan pada tahun 1938 di Medan.

g. Didalam Lembah Kehidupan. Dalam buku ini banyak disinggung tentang

kemudharatan pernikahan poligami yang kurang perhitungan. Buku ini

diterbitkan pada tahun 1939 oleh Balai Pustaka.

h. Dijemput Mamaknya (1939).

i. Keadilan Ilahi (1939) di Medan.

j. Tuan Direktur (1939).

k. Terusir (1940) di Medan.

l. Margaretta Gauthier, 1940 (Hakim dan Thalhah, 2005: 33).

m. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946).

n. Di Tepi Sungai Nil (1950) di Jakarta.

o. Di Tepi Sungai Dajlah (1950) di Jakarta.

p. Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950) di Jakarta.

q. Ayahku (1950) di Jakarta.

r. Pribadi (1950).

s. Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pada

tahun 1950.

t. Kenangan-kenangan hidup 2.

u. Kenangan-kenangan hidup 3.

v. Kenangan-kenangan hidup 4.

w. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dari Pedoman Masyarakat,

dibukukan 1950).
x. Empat Bulan di Amerika jilid 1 dan 2 (1953) di Jakarta (http:// Daftar

Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).

2. Buku dibidang politik dan budaya, yaitu:

a. Negara Islam diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera

Barat.

b. Islam dan Demokrasi diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang,

Sumatera Barat.

c. Revolusi Fikiran diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera

Barat.

d. Revolusi Agama diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera

Barat.

e. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi diterbitkan pada tahun 1935 di

Padang Panjang, Sumatera Barat.

f. Dari Lembah Cita-cita diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang,

Sumatera Barat.

g. Sesudah Naskah Renville diterbitkan di Sumatera Barat.

h. Dilamun Ombak Masyarakat diterbitkan di Sumatera Barat.

i. Merdeka diterbitkan di Sumatera Barat.

j. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, (1947).

k. Urat Tunggang Pancasila diterbitkan pada tahun 1950 di Jakarta.

l. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982

oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

m. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

n. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

o. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, (1970).


p. Urat Tunggang Pancasila (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses

10 Mei 2014).

3. Buku dibidang keagamaan Islam, yaitu:

a. Khathibul Ummah (1925) di Padang Panjang.

b. Agama dan Perempuan (1929).

c. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq), (1929).

d. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).

e. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).

f. Kepentingan Tabligh (1929).

g. Ayat-ayat Mi‟raj (1929).

h. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

i. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937; Cetakan ke 2 tahun 1950.

j. Falsafah Hidup (1938) di Medan.

k. Lembaga Hidup (1938) di Medan.

l. Pedoman Muballigh Islam (1938) di Medan.

m. Tasauf Moderen (1938) di Medan.

n. Lembaga Budi (1938) di Medan.

o. Agama dan Perempuan, (1939).

p. Sejarah Islam di Sumatera (Zaman Jepang, 1943).

q. Semangat Islam diterbitkan (Zaman Jepang, 1943).

r. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman (1946) di Padang Panjang, Sumatera

Barat.

s. Menunggu Beduk Berbunyi, sedang Konferansi Meja Bundar di Bukittinggi,

Sumatera Barat.

t. Falsafah Ideologi Islam 1950 (sekembali dari Mekkah).


u. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dari Mekkah).

v. Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950) di Jakarta.

w. Lembaga Hikmat, (1953) oleh Bulan Bintang, Jakarta.

x. Sejarah Ummat Islam Jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

y. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

z. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.

aa. Sejarah Ummat Islam Jilid 4 (1955).

bb. Pelajaran Agama Islam (1955).

cc. Pelajaran Agama Islam, 1956.

dd. Pandangan Hidup Muslim (1960).

ee. Soal jawab (1960), disalin dari karangan-karangan Majalah Gema Islam.

ff. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam (1968).

gg. Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti

Kristan (1970).

hh. Islam dan Kebatinan, (1972); Bulan Bintang.

ii. Studi Islam (1973), diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

jj. Kedudukan Perempuan dalam Islam, (1973).

kk. Doa-doa Rasulullah S.A.W, (1974).

ll. Himpunan Khutbah-khutbah.

mm. Bohong di Dunia.

nn. Muhammadiyah di Minangkabau (1975), (Menyambut Kongres

Muhammadiyah di Padang).

oo. Akhlaqul Karimah diterbitkan pada tahun 1992 di Jakarta (http:// Daftar

Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).


4. Majalah, yaitu:

a. Majalah Seruan Islam diterbitkan pada tahun 1927 di Tanjung Pura

(Langkat).

b. Majalah 'Tentera' (4 nomor), 1932, di Makassar.

c. Majalah Al-Mahdi (9 nomor), 1932, di Makassar.

d. Majalah Pedoman Masyarakat diterbitkan pada tahun 1936 di Medan.

e. Majalah 'Semangat Islam' (Zaman Jepang, 1943).

f. Majalah 'Menara' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946

(http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).

5. Tafsir , yaitu: tafsir Al-Azhar

Tafsir Al-Azhar diterbitkan sebanyak tiga puluh juz oleh Penerbit Pustaka

Panjimas, Jakarta pada tahun 1984, yaitu sekitar tiga tahun setelah wafatnya

Hamka. Tafsir Al-Azhar ini merupakan karya utama dan terbesar Hamka di

antara lebih dari seratus lima belas karyanya pada bidang sastra, politik dan

budaya, keagamaan Islam. Tafsir Al-Azhar di dalamnya terdapat penyajian tafsir

yang dibarengi dengan peristiwa-peristiwa kontemporer, dan tetap berjalan pada

kehati-hatian dalam penyusunannya dari cerita-cerita Isra‟iliyyat. Hal ini

menjadikan Tafsir Al-Azhar lebih menonjol dan mempunyai ciri khas tersendiri

dari tafsir-tafsir lain semasanya (Hakim dan Thalhah, 2005: 34).


BAB III

TINJAUAN KARYA HAMKA

A. Penamaan Tafsir Al-Azhar

1. Faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-

Azhar, yaitu:1) semangat generasi muda Islam di Indonesia dan di daerah-

daerah yang berbahasa Melayu, yang berminat untuk mengetahui isi al-Qur’an

di zaman sekarang, tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai

bahasa Arab. 2) kecenderungan Hamka dalam penulisan tafsir ini juga bertujuan

untuk memudahkan pemahaman para muballigh yang kadang-kadang

mengetahui banyak atau sedikit bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan

umumnya. Para muballigh saat ini menghadapi masyarakat yang sudah cerdas,

sehingga dalam menyampaikan dakwahnya perlu diberikan keterangan al-

Qur’an secara langsung. Maka tafsir ini merupakan suatu alat penolong bagi

muballigh untuk menyampaikan dakwahnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 35).

2. Sebab dinamai Tafsir al-Azhar

Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan

setelah shalat subuh di Masjid Agung Al-Azhar. Atas usul dari tata usaha

majalah, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran tafsir waktu subuh

dimuat di dalam majalah yang bernama Gema Islam sejak bulan Januari 1962.

Tempat kantor redaksi dan administrasi majalah terdapat di dalam ruang masjid

Agung Al-Azhar (Hamka, 1985: 48).


Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud

Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia

pada bulan Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di

Jakarta.Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir al-Azhar, sangat berkaitan

erat dengan tempat lahirnya tafsir ini yaitu Masjid Agung al-Azhar yang terletak

di Kebayoran Baru sejak tahun 1959(http://el-

fathne.blogspot.com/2010/05/tafsir-al-azhar.htmldiakses 28 Agustus 2014).

B. Karya Hamka Tentang Budi PekertiSelain Dalam Tafsir al-Azhar

Selain dari tafsir al-Azhar ada beberapa karya Hamka yang menerangkan

tentang budi pekerti yaitu:

1. Buku Akhlaqul Karimah

Menurut Hamka budi pekerti yang baik adalah perangai dari para Rasul

dan orang terhormat, sifat orang yang muttaqien dan hasil dari perjuangan

orang yang ‘abid. Sedang budi pekerti yang jahat adalah racun berbisa,

kejahatan dan kebusukan yang menjauhkan diri dari Rabbil Alamin. Budi

pekerti jahat menyebabkan orang terusir dari jalan Tuhan, dan masuk di jalan

setan. Budi pekerti jahat adalah pintu menuju neraka, sedang budi pekerti

yang baik, seperti pintu menuju jannah Illahi (Hamka, 1992: 1).

Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati.

Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa

penyakit jiwa, akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi, ia

lebih berbahaya dari penyakit badan (Hamka, 1992: 1).

Hakikat budi ialah suatu persediaan yang telah ada di dalam jiwa, yang

menimbulkan perilaku dengan mudah, sehingga tidak berkeinginan untuk


berfikir lama. Jika persediaan itu dapat menimbulkan perilaku yang terpuji,

maka dinamai budi pekerti yang baik. Tetapi jika yang tumbuh perilaku tercela

menurut akal dan syara‟, maka dinamai budi pekerti yang jahat(Hamka, 1992:

4).

Budi pekerti adalah perilaku yang bersumber dalam batin. Karena ada juga

orang yang menafkahkan hartanya dengan ringan, tetapi tidak bersumber dari

dalam batin, akan tetapi karena ada maksud yang terselip di dalamnya. Sumber

dari budi pekerti ada empat perkara yaitu:

a. Hikmatialah keadaan batin yang dapat mengetahui mana yang benar dan

mana yang salah, sehingga segala perbuatannya berhubungan dengan

ikhtiar.

b. Syuja‟ahialah kekuatan marah yang dituntun oleh akal, baik maju dan

mundurnya.

c. „Iffahialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara‟.

d. Adlialahkeadaannafs, yaitu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri

ketika marah atau ketika syahwat naik (Hamka, 1992: 5).

2. Buku Lembaga Budi

Dalam buku ini Hamka menuliskan sebuah pantun yang menyatakan

bahwa hidup berbudi itu merupakan tujuan hidup.

Diribut runduklah padi,

Dicupak Datuk Temenggung,

Hidup kalau tidak berbudi,

Duduk tegak kemari canggung,

Bersamaan bunyi pantun Melayu ini dengan sebuah syair Arab Syauqi

Bey:
ِ
‫َخ ََلقُ ُه ْم َذ َهبُ ْوا‬
ْ‫تأ‬ْ َ‫ت َوإِ ْن ُُهُْو َذ َهب‬ ْ ‫َوإِمَّنَا ْاْل َُم ُم ْاْل‬
ْ َ‫َخ ََل ُق َمابَقي‬

Satu bangsa terkenal ialah lantaran budinya.

Kalau budinya telah habis, nama bangsa itupun hilanglah.

Maksud dari pantun dan syair di atas menurut Hamka adalah hendaklah

pada diri ada kemauan untuk mengikuti jalan yang benar dan menjauhi

kehendak yang jahat. Kalau nafsu dituruti, dialah yang menjadi raja di dalam

kehidupan, tetapi kalau dihindari, akan menjadikan selamat di dunia dan

akhirat. Untuk mengekang nafsu ada dua cara yang pertama apabila melihat

suatu perkara, jangan dilihat luarnya saja. Yang kedua hendaklah sanggup

melawan kehendak nafsu kepada keburukan, dan sanggup juga melawan

kehendak nafsu yang lupa dari pada kebaikan (Hamka, 1980: 13).

Menurut penyelidikan ahli-ahli ilmu budi bangsa Barat, budi dapat menjadi

rusak disebabkan karena sempitnya lapangan tempat manusia hidup. Orang

yang sempit lapangan hidupnya, tidak dapat melihat orang lain, melainkan

hanya dirinya sendiri saja, tabiatnya egoistis, merupakan sedekat-dekatnya

berbuat jahat. Sebab segala kejahatan yang dilakukannya dirasa hanya memberi

manfaat untuk dirinya sendiri, tanpa berfikir akan merugikan orang lain

(Hamka, 1980: 17).

Obat budi yang rusak adalah dengan mempertinggi derajat sosial di dalam

masyarakat. Menanamkan perasaan tolong menolong kepada sesama manusia,

mendidik anak-anak di dalam lapangan olahraga beramai-ramai, sehingga terasa

kepada mereka bahwa dirinya adalah satu rangkaian dengan masyarakat umum,

yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Hamka, 1980: 17).
Untuk memperbaiki kerusakan budi maka perlu menyediakan dua

penjagaan. Pertama menjaga masyarakat dan kedua menyediakan ancaman

hukuman. Dalam memperbaiki dan menjaga kerusakan budi masyarakat bisa

melalui berbagai jalan, yaitu:

a. Memajukan olahraga

b. Memajukan pengajaran dan pendidikan pemuda-pemuda

c. Memberantas pemabukan dan pelacuran

d. Melarang keras bergelandang

e. Menjaga perkara-perkara yang bisa menjadikan para remaja kepada

pelacuran, misalnya menjalankan sensus secara teliti atas film-film dan

buku-buku cabul (Hamka, 1980: 19).

3. Buku Lembaga Hidup

Dalam buku ini Hamka menuliskan bahwa salah satu hak perorangan

adalah hak budi. Hak budi yaitu pemeliharaan kesehatan diri sendiri, baik diri

yang lahir (jasmani) dengan berikhtiar supaya tetap sehat, kuat, sigap dan

tangkas, serta hak batin dengan menambah ilmu pengetahuan dan menjaga

kesopanan. Dilarang meminum minuman keras, menghisap candu, berzina dan

sejenisnya, karena semua itu membahayakan badan (Hamka, 1991: 17).

Adanya larangan meminum minuman keras, karena dapat merusak budi

pekerti dan menghilangkan akal. Meminum minuman keras juga dapat merusak

kesehatan, sehingga pecandu minuman keras menjadi penyakit yang berbahaya

bagi masyarakat. Meminum minuman keras merupakan pintu dari berbagai

kejahatan, perzinaan, pembunuhan dan pencurian (Hamka, 1991: 55).

4. Buku Tasauf Moderen


Dalam pembahasan ke-3 buku ini Hamka menuliskan tentang keutamaan

budi. Keutamaan budi ialah menghilangkan segala perangai yang buruk, adat

istiadat yang rendah, yang di dalam agama telah dinyatakan mana yang harus

dibuang dan mana yang harus dipakai. Serta biasakan perangai-perangai yang

terpuji, membekas di dalam pergaulan setiap hari dan terasa nikmat memegang

adat yang mulia (Hamka, 1988: 87).

Jika sesuatu yang dilarang Allah ditinggalkan dan mengerjakan yang

diperintahkan, tetapi merasa bahwa perbuatannya terpaksa, maka merupakan

tanda bahwa belum naik tingkat keutamaan budinya. Sebab haruslah senantiasa

berpegang dengan diri dan berjuang dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat

mencapai tujuan yang mulia (Hamka, 1988: 87).

Dalam pembahasan ke-4 Hamka menuliskan tentang kesehatan jiwa dan

badan. Supaya tidak terkena penyakit jiwa dan badan, beliau salah satunya

menyuruh untuk bergaul dengan orang budiman. Pergaulan membentuk

kepercayaan dan keyakinan. Maka untuk membersihkan jiwa, hendaknya

bergaul dengan orang-orang yang berbudi(Hamka, 1988: 106).

Orang yang berbudi akan merasa berat mengerjakan kejahatan karena

menyalahi keutamaan. Tetapi jika bertemu suatu golongan yang mengerjakan

kejahatan secara bebas, berbicara tidak baik, melanggar peraturan budi dan

kesopanan, maka orang yang berbudi semakin lama akan mudah terpangaruh.

Sehingga dalam pergaulan sehari-hari harus dapat memilih teman yang berbudi

pekerti baik (Hamka, 1988: 107).


BAB IV

NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

D. Tinjauan Konseptual Tentang Budi Pekerti

Istilah budi pekerti, akhlak, moral dan etika sering disinonimkan antara yang

satu dengan yang lainnya, karena pada dasarnya semuanya mempunyai fungsi yang

sama yaitu menentukan nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia

dari aspek baik dan buruknya, benar dan salahnya. Beberapa point di bawah ini

akan memberikan penjelasan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam

pembahasan budi pekerti. Tujuannya supaya dapat mempermudah pemahaman

akan perbedaan antara istilah-istilah tersebut, seperti penjelasan di bawah ini:

1. Moral

Saliman dan Sudarsono (1994: 149) menyatakan di dalam kamus

pendidikan dan pengajaran, bahwa kata moral secara etimologis berasal dari

bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan yang menjadi dasar baik atau

buruk. Sedangkan secara terminologis moral adalah nilai-nilai atau adat

kebiasaan yang bersumber dari masyarakat baik secara terpaksa ataupun

tidak. Moral bermanfaat untuk menentukan batas-batas dari sifat-sifat atau

perbuatan-perbuatan yang dapat dinyatakan baik atau buruk dan benar atau

salah.

Lawan dari moral adalah a-moral. Orang yang bermoral adalah yang

dalam tingkah lakunya selalu baik dan benar. Ukuran untuk menetapkan moral

adalah adat kebiasaan yang bersumber dan berkembang di dalam masyarakat.


2. Etika

Etika menurut Poerbakawatja dan Harahab (1982: 98) berasal dari

bahasa Yunani ethos yang berarti sikap batin. Sedangkan secara terminologis

etika adalah ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk moral.

Etika merupakan filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik dan

buruk. Etika juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri

(Poerbakawatja dan Harahab, 1982: 98). Ukuran untuk menetapkan etika

adalah pertimbangan akal pikiran manusia, atau rasio.

3. Akhlak

Akhlak secara etimologis menurut Nasution (1992: 98) berasal dari

bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari khuluk. Kata khuluk atau

akhlak dalam ensiklopedi tematis dunia Islam berarti tabi‟at, perangai,

kebiasaan atau karakter (Abdullah, 2003: 326). Akhlak dalam ensiklopedi

pendidikan berarti budi pekerti, watak dan kesusilaan yaitu kelakuan baik yang

merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap

sesama manusia (Poerbakawatja dan Harahab, 1982: 12).

Secara terminologis, akhlak menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat yang

tetap pada jiwa seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan

dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Akhlak

dibagi menjadi dua yaitu akhlak mahmudah yaitu akhlak yang baik dan akhlak

mazmumah yaitu akhlak yang buruk. Ukuran untuk menetapkan akhlak adalah

al-Qur’an dan sunnah.

4. Budi Pekerti
Kata budi menurut Poerbakawatja dan Harahab (1982: 51) berarti akal

atau daya untuk berfikir. Budi pekerti mencakup segi-segi kejiwaan (daya fikir)

dan perbuatan manusia (pekerti). Secara terminologis, budi pekerti menurut

Hamka (1992: 4) adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang,

yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan

pemikiran. Ukuran untuk menetapkan budi pekerti adalah akal dan syara’.

Persamaan antara moral, etika, akhlak, dan budi pekerti dapat dilihat

dari fungsinya yang sama-sama menentukan nilai suatu perbuatan yang

dilakukan oleh manusia dari aspek baik dan buruknya, benar dan salahnya,

yang sama-sama bertujuan untuk memberikan petunjuk bagi kehidupan

manusia secara lahir dan batin. Sedangkan perbedaan antara moral, etika,

akhlak, dan budi pekerti yaitu moral adalah nilai-nilai yang bersumber dari

masyarakat baik karena terpaksa ataupun tidak, etika adalah ilmu yang

mempelajari tentang bentuk-bentuk moral, akhlak adalah suatu sifat yang

tetap pada jiwa seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan

dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran, sedangkan budi pekerti adalah

suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat

menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran.

Adapun pengertian budi pekerti dan akhlak menurut beberapa pendapat

para ahli adalah sebagai berikut:

a. Pengertian Akhlak Menurut Al-Ghazali

Akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang

mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa

membutuhkan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Al-Ghazali membagi


akhlak menjadi dua yaitu akhlak yang baik (mahmudah) dan akhlak tercela

(mazmumah). Akhlak yang baik (mahmudah) adalah kebaikan batin.

Kebaikan batin adalah bila sifat-sifat terpuji mengalahkan sifat-sifat yang

tercela. Akhlak tercela (mazmumah) adalah akhlak yang harus dihindari

dan tidak dilaksanakan.

b. Pengertian Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih

Akhlak menurut Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tahzib al-Akhlak

adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu

perbuatan tanpa memerlukan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Ibnu

Miskawaih membagi akhlak menjadi dua yaitu akhlak yang baik

(mahmudah) dan akhlak tercela (mazmumah).

c. Pengertian Budi Pekerti Menurut Hamka

Budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa

seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa

membutuhkan pemikiran (Hamka, 1992: 4). Secara garis besar Hamka

membagi nilai budi pekerti menjadi dua yaitu: budi pekerti yang baik dan

budi pekerti yang buruk (jahat). Budi pekerti yang baik adalah suatu

persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan

tingkah laku terpuji menurut akal dan syara’, sedangkan budi pekerti yang

buruk (jahat) adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang,

yang dapat menimbulkan tingkah laku tercela menurut akal dan syara’.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hamka menyamakan

makna budi pekertinya dengan akhlak Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih,

yaitu berkenaan dengan keadaan di dalam jiwa seseorang yang


mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa

membutuhkan pemikiran. Jadi, Hamka mengikuti pemikiran Al-Ghazali

dan Ibnu Miskawaih, sehingga dapat diduga kuat bahwa pendapat hamka

tidak murni dari pemikirannya sendiri, melainkan terinspirasi oleh

pendapat Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

E. Pemikiran Hamka Tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti

Nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran Hamka dikategorikan

menjadi empat, yaitu: pendidikan budi pekerti terhadap Allah, pendidikan budi

pekerti terhadap diri sendiri, pendidikan budi pekerti terhadap kedua orang tua, dan

pendidikan budi pekerti terhadap orang lain. Adapun penjelasannya seperti yang

tertera di bawah ini:

1. Pendidikan Budi Pekerti terhadap Allah

Manusia telah diciptakan oleh Allah dengan ciptaan yang paling

sempurna dari makhluk lainnya, yaitu diberi akal dan pikiran oleh Allah.

Manusia diciptakan di bumi ini untuk beribadah kepada Allah dan juga diberi

kepercayaan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Sebelum seorang muslim

berbudi pekerti sesamanya, bahkan terhadap dirinya, dia harus terlebih dahulu

berbudi pekerti terhadap Allah. Kualitas cinta kepada sesamanya tidak boleh

melebihi kualitas cinta kepada Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah

hendaknya memegang teguh prinsip akidah yang telah diyakininya, karena

akidah merupakan pondasi yang utama dalam pembentukan budi pekerti yang

luhur.
Maka dari itu pendidikan akidah terhadap Allah perlu diajarkankan

kepada peserta didik, karena pendidikan akidah merupakan langkah awal

terbentuknya pendidikan budi pekerti terhadap Allah. Adapun pendidikan budi

pekerti terhadap Allah yang terdapat dalam tafsir al-Azhar yaitu:

a. Ketakwaan

Takwa adalah menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi

semua larangan-Nya. Takwa tidak akan sempurna, kecuali jika seseorang

telah meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan melakukan segala

perbuatan yang baik.

Penjelasan tentang takwa banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar.

Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang

berkaitan dengan takwa, yaitu:

1) Surat al-Baqarah ayat 2

        

Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk

bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. al-Baqarah/2: 2).

Kata takwa diambil dari rumpun kata wiqayah artinya

memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan.

Memelihara diri jangan sampai terperosok kepada suatu perbuatan

yang tidak diridhai Tuhan. Memelihara segala perintah-Nya supaya

dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang

tidak baik (Hamka, 1985: 114).


Pada akhir Desember 1962 Hamka mengadakan Konferensi

Kebudayaan Islam di Jakarta. Dengan beberapa temannya, Hamka

telah membicarakan pokok isi dari Kebudayaan Islam. Kesimpulan

Konferensi ialah bahwa Kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa.

Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha,

dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal shalih.

Terkadang takwa diartikan dengan takut, padahal arti takwa lebih luas

lagi. Bahkan dalam takwa terdapat juga arti berani memelihara

hubungan dengan Tuhan, bukan hanya karena takut, tetapi karena ada

kesadaran diri sebagai hamba (Hamka, 1985: 115).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa takwa merupakan

perwujudan dari iman dan amal shalih. Takwa tidak hanya sebatas

takut kepada Allah, karena takut hanya sebagian kecil dari takwa.

Takwa mengandung adanya kesadaran pada diri sebagai hamba untuk

melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Jadi

inti dari takwa adalah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan.

2) Surat Ali Imran ayat 102

        

  


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”
(Q.S. Ali Imran/3: 102).

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


sebenar-benar takwa kepada-Nya” (Hamka, 1987: 25).

Takwa adalah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan.

Orang yang memegang takwa dengan sebenar-benar takwa,

terpelihara tujuan hidupnya, sebab arti takwa sendiri ialah

pemeliharaan (Hamka, 1987: 25).

“Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam


keadaan beragama Islam” (Hamka, 1987: 26).

Pegang teguh takwa dan sampai mati tetap dalam Islam.

Sekali telah datang ke dunia, maka jiwa telah terisi dengan

kepercayaan kepada Tuhan dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan

demikian jiwa menjadi kuat dan besar (Hamka, 1987: 26).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa ciri dan hasil dari orang

yang bertakwa adalah akan terpelihara tujuan hidupnya. Tujuan hidup

manusia yang sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah.

Adapun ciri dari orang yang bertakwa kepada Allah, yaitu dengan

menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala

larangan Allah.
b. Keimanan

Iman berarti mengakui, mempercayai atau meyakini. Beriman

kepada Allah artinya mengakui, mempercayai atau meyakini bahwa Allah

itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan Maha suci dari

segala sifat yang buruk.

Dasar pendidikan akhlak bagi orang muslim adalah akidah yang

benar, karena akhlak tersarikan dari akidah yang benar. Akidah seseorang

akan benar dan lurus jika keimanan terhadap Allah juga benar dan lurus.

Orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berperilaku baik

sebagaimana perintah Allah. Sehingga orang yang beriman tidak mungkin

akan menjauh bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang ditetapkan

Allah.

Penjelasan tentang iman banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar.

Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang

berkaitan dengan iman, yaitu:

1) Surat Al-Baqarah ayat 3

     

 

Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang


mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S. Al-Baqarah/2: 3).

Iman berarti percaya, yaitu pengakuan hati yang terbukti

dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan


hidup. Maka iman dengan yang ghaib merupakan tanda dan syarat

pertama dari takwa (Hamka, 1985: 116).

Ditingkat pertama percaya kepada yang ghaib dan

kepercayaan kepada yang ghaib dibuktikan dengan salat, sebab

hatinya dihadapkan kepada Allah yang diimaninya. Maka dengan

kesukaan bersedekah dan menolong, imannya telah dibuktikan kepada

masyarakat. (Hamka, 1985: 119).

Dari tafsir di atas dapat di simpulkan bahwa iman adalah

pengakuan hati diucapkan oleh lisan yang dibuktikan dengan

perbuatan. Iman seseorang kepada Allah dibuktikan dengan salat

sedangkan dengan bersedekah imannya dibuktikan kepada

masyarakat.

2) Surat Al-Anfal ayat 2

       

      

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang

bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan


apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman

mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka

bertawakkal” (Q.S. Al-Anfal/8: 2).

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila

disebut nama Allah gemetarlah hati mereka” (Hamka, 1993:

250).

Seandainya ada orang yang mengaku dirinya beriman,

menurut ayat ini, belum akan diterima iman dan belum terhitung

ikhlas, kalau hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut

orang. Apabila nama Allah disebut terbayanglah dalam ingatan orang

yang beriman betapa Maha Besar kekuasaan Allah, yang mengadakan,

menghidupkan, mematikan dan melenyapkan. Dan ingatan kepada

Allah itu bukan semata-mata karena disebut, melainkan karena

melihat kekuasaan-Nya. Maka merasa takut jika usianya akan habis

padahal dia belum melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah

(Hamka, 1993: 250).

“Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka

(karenanya)” (Hamka, 1993: 250).

Sedangkan mendengar nama Allah disebut orang, hati dan

jantung bergetar karena takut, apalagi jika ayat-ayat Allah dibaca

orang, niscaya ayat-ayat itu menambah iman kepada Allah. Ayat-ayat

Allah dapat dibaca pada segala sudut alam ini dengan alat ilmu
pengetahuan. Semua menunjukkan bahwa Allah Esa adanya (Hamka,

1993: 250).

Tafsir diatas menjelaskan bahwa orang yang beriman adalah

orang yang bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah disebut

orang. Jika ayat-ayat Allah dibaca orang, maka akan menambah

keimannya kepada Allah.

c. Tawakkal

Tawakkal berarti berserah diri kepada Allah dan berpegang teguh

kepada-Nya. Tawakkal merupakan implikasi dari iman.

Penjelasan tentang tawakkal banyak terdapat di dalam tafsir al-

Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar

yang berkaitan dengan tawakkal, yaitu:

1) Surat Hud ayat 123


      

       

 

Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di

bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan

semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah

kepada-Nya, dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa

yang kamu kerjakan” (Q.S. Hud/11: 123).

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi”

(Hamka, 1988: 156).

Apa saja urusan yang dihadapi di dunia ini, dan bagaimana

kesulitan yang dihadapi, bukakanlah pintu hati dan lihatlah alam

sekitar. Semuanya Allah yang menciptakan dan menguasai. Semua

penuh keghaiban, dengan rahasia (Hamka, 1988: 156).

“Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya”

(Hamka, 1988: 157).


Dia yang mengetahui semua dan Dia yang menentukan.

Sesudah hidup ini pasti ada kematian, nanti juga akan dihisab amal

manusia di akhirat. Pahala atau dosa semua menjadi urusan kepada-

Nya (Hamka, 1988: 157).

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya dan

sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”

(Hamka, 1988: 157).

Karena rahasia langit, bumi dan rahasia manusia, Tuhan yang

menguasai. Kemana akan bertawakkal menyerah diri, kalau tidak

kepada-Nya. Dengan menghambakan diri dan bertawakkal, dapat

mengisi jiwa dengan kekuatan yang baru, untuk meneruskan hidup.

Maka Kaum Muslimin harus menghambakan diri dan bertawakkal

diiringi dengan bekerja dan beramal (Hamka, 1988: 157).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa ketika ditimpa suatu

kesulitan, maka harus tabah dan berserah diri kepada Allah. Sesudah

hidup ini pasti ada kematian, dan akan dihisab amal manusia di

akhirat. Dengan menghambakan diri dan bertawakkal, dapat mengisi

jiwa dengan kekuatan untuk meneruskan hidup. Menghambakan diri

dan bertawakkal kepada Allah juga harus diiringi dengan bekerja dan

beramal.

2) Surat at-Taghabun ayat 13


        



Artinya: “(Dia-lah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia dan hendaklah

orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja” (Q.S.

at-Taghabun/64: 13).

Apa saja musibah yang menimpa diri, jika sudah tawakkal,

menyerah atau pasrah, dengan sendirinya jiwa menjadi kuat.

Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah adalah akibat yang

wajar dari akidah tauhid (Hamka, 1985: 245).

Dengan tawakkal bukan berarti manusia berhenti berusaha.

Segala daya dan upaya sebagai insan, segala kecerdikan dan

kecerdasan akal akan dipergunakan sebaik-baiknya, tetapi seorang

mukmin sangatlah insaf bahwa kepandaiannya, ikhtiar dan usahanya

sebagai manusia adalah sangat terbatas (Hamka, 1985: 245).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa seberapa besar musibah

yang menimpa diri, maka hendaknya bertawakkal. Dengan tawakkal

jiwa akan menjadi kuat. Tawakkal atau menyerahkan diri kepada

Allah merupakan akibat dari akidah tauhid. Dengan tawakkal manusia


bukan berarti berhenti berusaha, akan tetapi segala daya dan upaya

sebagai insan, segala kecerdikan dan kecerdasan akal akan

dipergunakan sebaik-baiknya.

d. Syukur

Syukur berarti mempergunakan sesuatu yang telah diberikan Allah

sesuai dengan fungsinya masing-masing dan sesuai dengan yang telah

ditentukan Allah. Bersyukur kepada Allah berarti juga patuh atau taat

kepada Allah. Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 7:

       

   

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;


„Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih‟" (Q.S.
Ibrahim/14: 7).

Ayat ini merupakan peringatan Tuhan kepada Bani Israil setelah

mereka dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan itu adalah perkara

besar yang wajib disyukuri. Dalam bersyukur seharusnya tetap berusaha

untuk mengatasi kesulitan. Setelah bebas dari tindasan Fir‟aun, mereka

harus membangun. Jangan mengeluh seandainya belum tercapai apa yang

dicita-citakan. Syukuri yang ada, maka pasti akan ditambah Tuhan. Tetapi

jika mengeluh seakan-akan pertolongan Tuhan tidak segera datang, maka

itu namanya kufur, artinya melupakan nikmat, tidak mengenal terima


kasih. Orang yang demikian akan mendapat siksa yang pedih (Hamka,

1983: 122).

Tafsir di atas menyatakan bahwa Allah memberi peringatan kepada

Bani Israil setelah mereka dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan

yang mereka dapat merupakan suatu hal yang besar yang harus disyukuri.

Dilarang mengeluh seandainnya apa yang dicita-citakan belum berhasil,

karena mengeluh merupakan bentuk dari kufur.

e. Taubat

Makna taubat menurut bahasa adalah kembali. Maksudnya adalah

kembali taat kepada Allah setelah sebelumnya ingkar kepada Allah. Taubat

berarti menyesali yang telah terlanjur diperbuat, menghentikan kesalahan

yang pernah diperbuat dan tidak akan mengulangi kesalahan lagi.

Kemudian berbuat amal ibadah sebanyak-banyaknya, supaya dapat

beristiqamah di jalan Allah. Allah berfirman di dalam surat at-Tahrim ayat

8:

        

      

        


       

        

    

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah

dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-

mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan

memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi

dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya

mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka,

sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah

bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya

Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Q.S. at-Tahrim/66: 8).

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan

taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya)” (Hamka, 1985:

314).
Orang yang telah beriman disuruh memeliharakan diri dan

keluarga dari azab neraka. Demikian orang yang telah beriman disuruh

supaya taubat, dengan sebenar-benarnya taubat. Bukan orang yang berdosa

saja yang disuruh bertaubat, orang yang tidak bersalah juga disuruh

bertaubat. Dalam ayat ini Hamka memberi arti taubat sejati. Asal dari kata

nasuha ialah bersih. Maka menjadilah taubat yang bersih (Hamka, 1985:

314).

“Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan

memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai” (Hamka, 1985: 316).

Seseorang yang telah benar-benar taubat nasuha, pasti Allah akan

menghapus dosanya dan menghapus keburukkan yang selama ini melekat

dalam pribadinya. Di sini terdapat dua janji yang pasti dari Tuhan. Janji

pertama di dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar taubat

hidupnya akan diperbaiki oleh Tuhan, kalau selama ini dirinya telah cacat

karena dosa, tetapi karena wajah hidupnya telah dihadapkan kepada Tuhan

dan dengan segera Tuhan akan merubah dirinya dari orang buruk jadi

orang baik, muka yang keruh akan dosa selama ini akan berganti beransur-

ansur menjadi jernih berseri karena sinar iman yang memancar dari dalam

roh. Janji yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam surga sebagai

ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha hendak bebas

dari pengaruh hawa nafsu dan syaitan (Hamka, 1985: 316).

“Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Hamka,

1985: 317).
Begitu jiwa orang yang beriman, meskipun tidak berbuat dosa

besar, namun mereka tetap memohon taubat nasuha kepada Tuhan agar

cahaya itu ditambah dan disempurnakan dan agar diberi ampun, karena

yang maha sempurna hanyalah Allah. Dalam melanjutkan hidup mereka

tidak mau melupakan bahwa Tuhan dapat merubah keadaan. Orang yang

tadinya taat dan tekun, kalau Allah menentukan bisa saja berputar haluan

jadi orang yang sesat atau kembali terperosok ke dalam lumpur kehinaan

(Hamka, 1985: 317).

Tafsir di atas merupakan perintah kepada orang yang berdosa

maupun orang yang beriman supaya bertaubat dengan taubat nasuha yaitu

taubat sejati atau taubat yang bersih. Seseorang yang telah benar-benar

taubat nasuha, Allah akan menghapus dosanya dan menghapus keburukkan

yang selama ini melekat dalam pribadinya. Ada dua janji yang pasti dari

Tuhan. Janji pertama di dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar

taubat hidupnya akan diperbaiki oleh Tuhan. Janji yang kedua ialah akan

dimasukkan ke dalam surga. Orang yang beriman, meskipun tidak berbuat

dosa besar, namun mereka tetap taubat nasuha kepada Tuhan, karena

Tuhan dapat mengubah keadaan orang yang beriman menjadi orang yang

sesat.

f. Sabar

Sabar ialah menyerahkan diri kepada Tuhan dengan penuh

kepercayaan dan menghilangkan segala keluhan serta kegelisahan dalam

hati. Sabar merupakan syarat utama dalam membina iman dan kebajikan.

Allah berfirman di dalam surat al-Furqan ayat 75:


      

 

Artinya: “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi

(dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut

dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”(Q.S. al-

Furqan/25: 75).

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang sabar akan diberi

ganjaran tempat yang mulia di surga. Kesabaran berjuang menegakkan

kepribadian sebagai muslim, menyebabkan kebahagiaan jiwa, karena

mendapat surga jannatun na‟im, tempat tinggal yang nyaman, disambut

dengan para Malaikat Tuhan dengan ucapan selamat dan salam bahagia

(Hamka, 1992: 48).

Tafsir di atas menunjukkan bahwa Allah akan memberi pahala

tempat yang mulia di surga bagi orang yang sabar. Kesabaran berjuang

sebagai seorang muslim, dapat membahagiakan jiwa karena mendapat

surga.

g. Istiqamah
Istiqamah berarti teguh atau tetap pada pendirian. Orang yang

beristiqamah tidak dapat dicondongkan ke kiri maupun ke kanan. Ia tetap

berada pada tempat berdirinya dan tidak berubah. Allah berfirman di dalam

surat Fushshilat ayat 30:

        

       

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: „Tuhan kami ialah

Allah‟ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka

Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:

„Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan

gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan

Allah kepadamu‟" (Q.S. Fushshilat/41: 30).

Ayat ini menyuruh manusia agar menetapkan pendirian dan

memegang teguh, tidak dilepaskan lagi. Teguh pendirian ialah tegap

dengan pendirian, tidak bergeser dan berubah. Istiqamah membentuk

pribadi orang, sehingga memenuhi arti dirinya sebagai insan sejati, khalifah
Allah di bumi. Maka di dalam shalat lima waktu, di dalam shalat nawafil

dan rawatib, yang fardhu dan yang sunnat, hendaknya membaca al-

Fatikhah. (Hamka, 1982: 224).

Supaya terbaca inti do‟a kepada Tuhan untuk kebahagiaan hidup

yaitu “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Mustaqim ialah rangkaian

kata dari iatiqamah. Jika jalan yang lurus telah diberikan, maka akan

tercapai istiqamah. Agar istiqamah dapat dicapai, maka harus berdo‟a,

mengharap agar Tuhan membawa kepada istiqamah. Orang yang telah

mencapai istiqamah bukan jin, iblis, syaitan dan manusia jahat yang

mendekatinya, melainkan malaikat (Hamka, 1982: 225).

Tafsir di atas menyuruh manusia supaya memegang teguh

pendiriannya. Istiqamah dapat membentuk pribadi seseorang, sehingga

memenuhi arti dirinya sebagai insan sejati, khalifah Allah di bumi. Agar

istiqamah dapat dicapai, maka harus berdo‟a, mengharap agar Tuhan

membawa kepada istiqamah.

2. Pendidikan Budi Pekerti terhadap Diri Sendiri

Islam mengajarkan bahwa setiap muslim untuk berbudi pekerti

terhadap diri sendiri. Manusia yang telah diciptakan oleh Allah dalam potensi

fitrah, wajib menjaganya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin.

Adapun pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri yang terkandung dalam

tafsir al-Azhar meliputi:

a. Tanggung jawab

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau

perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung


jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan

kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati artinya sudah menjadi

bagian hidup manusia bahwa setiap manusia di bebani dengan tangung

jawab.

Apabila dikaji, tanggung jawab adalah kewajiban yang harus di

pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.

Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa

bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk

perbuatannya, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan

pengadilan atau pengorbanan. Allah berfirman di dalam surat al-

Muddatstsir ayat 38:

    

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah


diperbuatnya,” (Q.S. al-Muddatstsir/74: 38).

Pada ayat sebelumnya telah diperingatkan terserah kepada manusia

sendiri, sesudah manusia diberi peringatan, apakah akan maju ke muka,

apakah akan berbuat amal yang mulia terlebih dahulu semasa masih hidup

ini, untuk bekal pertahanan diri di akhirat kelak, atau apakah dia akan

mundur, akan ragu-ragu atau tidak peduli kepada yang diserukan oleh

Rasul sebagai pelaksana dari pada perintah Tuhan (Hamka, 1983: 219).
Telah banyak ayat-ayat lain yang menerangkan bahwa di hari

kiamat kelak akan dilakukan perhitungan (hisab) yang teliti. Tidak akan

ada orang yang terhukum dengan aniaya. Ganjaran adalah imbalan dari apa

yang dikerjakan. Kalau yang jahat yang dikerjakan, pasti ganjaran buruk

yang akan diterima. Berat atau agak ringan kesalahan yang diperbuat

sangat menentukan berat dan ringannya ganjaran. Allah itu adalah Hakim

Yang Maha Adil (Hamka, 1983: 219).

Tafsir di atas menjelaskan di akhirat nanti manusia akan dimintai

pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat semasa di dunia. Jika

manusia berbuat baik maka ganjaran yang akan diterimanya, dan jika

berbuat buruk atau jahat maka siksaan atau hukuman yang akan

diterimanya sebagai wujud pertanggung jawaban atas perbuatannya.

b. Iffah

Secara bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah yaitu

menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan.

Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari

perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada

perkara yang diharamkan dan menginginkannya.

Menurut Hamka (1992: 5), ‘iffah adalah mengekang kehendak

nafsu dengan akal dan syara’. Penjelasan tentang ‘iffah banyak terdapat di

dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam

tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan‘iffah, yaitu:


1) Surat al-Maidah ayat 90

      

     

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)

khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi

nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.

Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Maidah/5: 90).

Diharamkannya khamar karena termasuk minuman yang

menimbulkan dan menyebabkan mabuk, kadang disebut arak atau

tuak. Minuman itu menimbulkan mabuk oleh karena telah ada

alkoholnya. Alkohol timbul dari ragi (Hamka, 1983: 31).

Orang Arab negeri tempat tuak mulai diharamkan, membuat

tuak atau arak dari buah anggur atau kurma. Dan diambil juga dari

beras ketan, yang asalnya sebagai tapai, tetapi setelah dipermalamkan


beberapa hari bisa juga memabukkan. Maka segala minuman yang

memabukkan menjadi haram untuk diminum (Hamka, 1983: 31).

Orang yang telah minum arak, fikiran menjadi kacau karena

mabuk. Terlepas nafsu manusia daripada mengekangnya dan jatuh

kemanusiaannya. Di waktu mabuk orang lupa diri dan tidak dapat

mengendalikan diri (Hamka, 1983: 32).

Dari tafsir di atas sudah jelas bahwa segala minuman yang

memabukkan maka hukumnya adalah haram. Diharamkannya

minuman yang memabukkan dikarenakan banyak kerugiannya. Jika

seseorang telah mabuk maka fikirannya akan kacau, nafsunya terlepas

tanpa terkendali, sehingga tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Orang yang sedang mabuk sangat mudah melakukan perilaku yang

keji lainnya, seperti berjudi bahkan berzina.

2) Surat al-Isra‟ ayat 32

        

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang

buruk” (Q.S. al-Isra‟/17: 32).

Zina adalah segala persetubuhan yang tidak disyahkan dengan

nikah, atau yang tidak syah nikahnya. Dengan kesimpulan sekali

persetubuhan yang tidak disyahkan lebih dahulu dengan nikah, sudah

termasuk zina. Tetapi ada juga nikah terlebih dahulu, namun nikahnya
tidak syah, yaitu bersetubuh dengan mahram, menikahi istri orang,

atau menikahi orang dalam „iddah (Hamka, 1992: 56).

Dalam ayat ini dijelaskan ”janganlah kamu mendekati zina”,

artinya segala sikap dan tingkah laku yang dapat membawa kepada

zina, jangan dilakukan dan supaya dijauhi. Karena pada laki-laki dan

pada perempuan ada syahwat setubuh. Apabila seorang laki-laki dan

perempuan telah berdekatan, susah menghindari syahwat. Sesuai pada

arti sebuah hadits: “kalau seorang laki-laki dan seorang perempuan

telah khalawat (berdua) maka yang ketiga adalah syaitan”. Ketika

duduk sendiri dengan tenang, akal dan pertimbangan budi dapat

berbicara, tetapi kalau seorang laki-laki telah berdua saja dengan

seorang perempuan, akal budi tidak dapat berbicara, melainkan yang

berbicara adalah syahwat. Apabila nafsu sudah terpenuhi, akal akan

berbicara dan menyesal. Tetapi sebelum terpenuhi, semua terasa gelap

(Hamka, 1992: 57).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa zina adalah persetubuhan

tanpa adanya ikatan pernikahan yang syah. Satu kali persetubuhan saja

sudah dinamakan zina. Segala perbuatan yang dapat menjadikan zina

harus dihindari. Jika seorang laki-laki dan perempuan berdekatan

maka syahwat yang berbicara, karena tiap laki-laki dan perempuan

memiliki syahwat untuk bersetubuh.

c. Pengendalian Diri

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan akan dan

fikiran, harus dapat mengendalikan dirinya dari segala yang diharamkan

dan dari hawa nafsu. Nafsu adalah salah satu organ rohani manusia, yang
sangat besar pengaruhnya dan sangat banyak mengeluarkan intruksi kepada

anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak. Sikap seseorang ketika

tergoda nafsu seharusnya dengan mengendalikan nafsu dengan kendali

agama. Sikap pengendalian ini yang baik dan dibenarkan oleh agama.

Penjelasan tentang pengendalian diri banyak terdapat di dalam

tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-

Azhar yang berkaitan dengan pengendalian diri, yaitu:

1) Surat Shad ayat 26

       

       

         

    

Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah

(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan

(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah


kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan

kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang

sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,

karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S.

Shad/38: 26).

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu” (Hamka, 1994:

212).

Hawa adalah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa

marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci. Dalam bahasa

asing bahwa hawa ialah emosi atau sentimen. Bahaya akan

mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum

dipengaruhi oleh hawanya (Hamka, 1994: 212).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa seorang penguasa ketika

menjatuhkan hukuman jangan menggunakan hawa nafsunya, akan

tetapi harus sesuai dengan peraturan yang telah di buat oleh

pemerintah seperti menggunakan undang-undang, supaya tercipta

keadilan. Hawa nafsu merupakan keinginan yang ada pada diri sendiri

untuk berkehendak sesuai dengan kemauan diri sendiri tanpa

membutuhkan pertimbangan dari orang lain. Maka hanya diri sendiri

yang dapat mengendalikan nafsunya.

2) Surat al-Isra‟ ayat 27


       

 

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-

saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada

Tuhannya” (Q.S. al-Isra‟/17: 27).

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara

syaitan” (Hamka, 1992: 50).

Ayat ini menjelaskan bahwa pemboros adalah kawan syaitan.

Biasanya kawan yang karib atau teman setia besar pengaruhnya

kepada orang yang ditemaninya. Orang yang telah ditemani syaitan

sudah kehilangan pedoman dan tujuan hidup (Hamka, 1992: 50).

“Dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Hamka,

1992: 50).

Sudah jelas apabila seseorang telah membuang harta tanpa

bermanfaat, maka pengaruh syaitan telah masuk ke dalam dirinya.

Oleh karenanya syaitan tidak mengenal terima kasih, menolak dan

melupakan ni‟mat, karena telah menjadi sahabat orang yang


bersangkutan. Maka sifat dan perangai syaitan telah memasuki dan

mempengaruhi pribadinya, sehingga segala tingkah laku hidupnya

tidak mengenal terima kasih. Begitu banyaknya rizki dan ni‟mat yang

dilimpahkan Allah kepada dirinya, tetapi dibuang dengan sia-sia

(Hamka, 1992: 50).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa pemboros adalah kawan dari

syaitan. Jika seseorang telah berkawan dengan syaitan maka dirinya

akan kehilangan pedoman dan tujuan hidup. Orang yang boros tidak

dapar mensyukuri ni‟mat yang Allah berikan, karena telah menbuang

rizki dan ni‟mat dengan sia-sia. Maka dari itu manusia harus dapat

mengendalikan dirinya supaya tidak membelanjakan hartanya dengan

berlebihan.

3. Pendidikan Budi Pekerti terhadap Kedua Orang Tua

Setiap muslim harus membangun budi pekerti dalam lingkungan

keluarganya. Budi pekerti yang luhur terhadap keluarga dapat dilakukan

dengan berbakti kepada kedua orang tua. Setiap muslim jangan sekali-kali

melakukan yang sebaliknya, misalnya berani kepada orang tua. Adapun

pendidikan budi pekerti terhadap orang tua yang terkandung dalam tafsir al-

Azhar meliputi:

a. Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

Kata “al birr” adalah kata yang mengandung arti seluruh kebaikan,

sedangkan birrul walidain berarti berbuat kebaikan kepada kedua orang tua
sebanyak-banyaknya. Sehingga dengan pendidikan birrul walidain

diharapkan dapat menumbuhkan masyarakat yang peduli akan kasih

sayang. Allah berfirman di dalam surat al-Isra‟ ayat 23 dan 24:

        

       

.         

       

   

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada

ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara

keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam

pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan

kepada keduanya perkataan „ah‟ dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: „Wahai Tuhanku, kasihilah mereka

keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu

kecil‟” (Q.S. al-Isra‟/17: 23-24).


“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-

baiknya” (Hamka, 1992: 40).

Bahwasannya berkhidmat kepada ibu bapak menghormati kedua

orang tua yang telah menjadi sebab anaknya dapat hidup di dunia ini ialah

kewajiban yang kedua setelah beribadah kepada Allah. Manusia apabila

telah berumah tangga sendiri, beristri dan mempunyai anak, sering tidak

memperhatikan lagi berkhidmat kepada ibu bapaknya. Harta benda dan

anak keturunan sering menjadi fitnah ujian bagi manusia di dalam

perjuangan hidupnya, di sanalah kasih sayang ibu bapak kepada anaknya.

Namun anak yang telah berdiri sendiri sering terlupa memperhatikan ibu

bapaknya (Hamka, 1992: 40).

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai

berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada keduanya perkataan (ah)” (Hamka,

1992: 41).

Jika usia keduanya (ibu dan bapak), atau salah satu seorang

diantara keduanya sampai meningkat tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup

sendiri dan sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya,

hendaklah sabar berlapang hati memelihara orang tua. Bertambah tua

kadang-kadang bertambah seperti anak-anak minta dibujuk dan minta belas

kasih anak. Mungkin ada bawaan orang yang telah tua yang membosankan
anak, maka janganlah terlanjur dari mulut satu kalimat yang mengandung

rasa bosan atau jengkel memelihara orang tua (Hamka, 1992: 41).

“Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada

mereka perkataan yang mulia” (Hamka, 1992: 41).

Sesudah dilarang mengucapkan kalimat yang mengandung rasa

bosan atau jengkel, janganlah keduanya dibentak, dihardik dan dibelalaki

mata. Perumpamaan qiyas yang dipakai para ahli ushul fiqih, yaitu:

Sedangkan mengeluh uffin yang tidak kedengaran saja tidak boleh, apalagi

membentak-bentak dan menghardik-hardik (Hamka, 1992: 41).

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan” (Hamka, 1992: 42).

Sebagai anak, jika merasa telah menjadi orang besar, jadikanlah

kecil di hadapan bapak ibu. Apabila dengan tanda-tanda pangkat dan

pakaian kebesaran datang mencium mereka, niscaya air mata keterharuan

akan berlinang di wajah mereka tidak dengan disadari. Itu sebabnya di

dalam ayat ditekankan “minar rahmati” karena sayang yang datang dari

hati yang tulus dan ikhlas (Hamka, 1992: 42).

“Dan ucapkanlah: „Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,

sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil‟"

(Hamka, 1992: 45).


Pada ayat ini tergambar susah payah ibu bapak mengasuh mendidik

anak diwaktu masih kecil, penuh kasih sayang. Yaitu kasih sayang yang

tidak mengharapkan balasan jasa (Hamka, 1992: 45).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa berkhidmat dan menghormati

kedua orang tua ialah kewajiban yang kedua setelah beribadah kepada

Allah. Jika usia keduanya (ibu dan bapak), atau salah satu seorang diantara

keduanya bertambah tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup sendiri dan sudah

sangat bergantung kepada belas kasih puteranya, maka disuruh bersabar

dan berlapang hati dalam memelihara orang tua, serta jangan mengucapkan

kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel dan jangan membentak,

menghardik dan membelalaki mata kepada keduanya. Sebagai seorang

anak jika merasa telah menjadi orang besar, jadikanlah kecil di hadapan

bapak ibu, karena mereka telah bersusah payah mengasuh mendidik

diwaktu masih kecil, dengan penuh kasih sayang dan tidak mengharapkan

balasan jasa.

b. Mentaati kedua orang tua dalam kebaikan

Ketaatan seorang anak kepada orang tuanya hampir disejajarkan

dengan besarnya kewajiban beribadah kepada Allah. Bentuk ketaatan

seorang anak kepada orang tua sangat banyak, mencakup semua dimensi

kebajikan, selama tidak bertentangan dengan syari‟at Islam.

Penjelasan tentang mentaati kedua orang tua banyak terdapat di

dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam

tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan mentaati kedua orang tua, yaitu:

1) Surat al-Ankabut ayat 8


      

          

    

Artinya: “Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada orang

orang tuanya bersikap baik. dan jika keduanya memaksamu

untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada

pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti

keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku

kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. al-

Ankabut/29: 8).

“Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada orang orang

tuanya bersikap baik” (Hamka,1982: 152).

Tuhan mendatangkan wasiyat, artinya perintah. Tuhan

mewajibkan dan memerintahkan kepada manusia supaya kepada ayah

dan ibunya hendaknya bersikap yang baik. Karena kedua orang tua
asal dari kejadian manusia. Dengan perantara keduanya Allah

menghadirkan setiap manusia ke bumi ini. Ayah mencarikan segala

perlengkapan hidup, ibu mengasuh dan menjaga di rumah

(Hamka,1982: 152).

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku

dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,

maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Hamka,1982:

152).

Sebagai orang yang telah beriman kepada Allah seorang

mukmin tidak mengenal lagi adanya Tuhan selain Allah. Seandainya

diajak menyembah Tuhan yang lain, orang mukmin tidak dapat

mengikutinya, sebab Tuhan yang lain tidak ada dalam akidah.

Seandainya ayah atau ibu, mengajak supaya menyembah Tuhan yang

lain, mukmin tidak boleh menuruti. Ayah dan ibu wajib dihormati,

tetapi mereka tidak boleh dipatuhi dalam hal yang mengenai akidah.

Jika bertemu hak Allah dengan hak kedua orang tua, yang tidak dapat

diperdamaikan, hak Allah yang harus didahulukan (Hamka,1982:

152).

“Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu

apa yang telah kamu kerjakan” (Hamka, 1982: 152).

Di hadapan Allah nanti akan dipisahkan antara iman dan kufur

sejelas-jelasnya. Meskipun ayah kandung dan ibu kandung, tidak

mempercayai Keesaan Tuhan, beliau akan di tempatkan di golongan


orang musyrikin, jauh terpisah dari anaknya yang telah beriman

(Hamka, 1982: 152).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa kepada ayah dan ibu

hendaknya bersikap yang baik, karena mereka telah menjadi perantara

seorang anak dilahirkan di dunia. Ayah dan ibu wajib dihormati, tetapi

mereka tidak boleh dipatuhi dalam hal yang mengenai akidah. Jika

bertemu hak Allah dengan hak kedua orang tua, yang tidak dapat

diperdamaikan, maka hak Allah yang harus didahulukan. Allah nanti

akan memisahkan antara iman dan kufur sejelas-jelasnya, jadi orang

tua kandung yang musyrik akan terpisah dari anaknya yang beriman.

2) Surat Luqman ayat 15

         

        

        

   


Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan

dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu

tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,

dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan

ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian

hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan

kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S.

Luqman/31: 15).

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan

dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang

itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Hamka,

1988: 130).

Ilmu yang sejati niscaya diyakini oleh manusia. Manusia yang

berilmu akan susah dipengaruhi oleh orang lain kepada sesuatu

pendirian yang tidak berdasar ilmiah. Bahwa Allah adalah Esa,

merupakan puncak dari segala ilmu dan hikmah. Pada saat seorang

anak yang setia kepada orang tua akan didesak, dikerasi, kadang-

kadang dipaksa oleh orang tuanya untuk mengubah pendirian yang

telah diyakini. Sekarang terjadi orang tua yang wajib dihormati sendiri

yang mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan, menukar


tauhid dengan syirik. Maka jangan diikuti keduanya (Hamka, 1988:

130).

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (Hamka, 1988:

130).

Bahwa keduanya selalu dihormati, disayangi, dicintai dengan

sepatutnya, dengan yang ma‟ruf. Jangan mereka dicaci dan dihina,

melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah memang berbeda

akidah engkau dengan akidah beliau. Seandainya mereka sudah tua,

asuh mereka dengan baik. Tunjukkan bahwa seorang muslim adalah

seorang manusia yang berbudi (Hamka, 1988: 130).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa manusia yang berilmu akan

susah dipengaruhi oleh orang lain dengan suatu pendirian yang tidak

berdasarkan ilmiah. Jika orang tua yang wajib dihormati sendiri yang

mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan, menukar tauhid

dengan syirik, maka jangan diikuti keduanya. Jangan mencaci dan

menghina, melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah memang

berbeda dengan akidah beliau dan tunjukan bahwa orang muslim

adalah manusia yang berbudi pekerti baik.

4. Pendidikan Budi Pekerti terhadap Orang Lain

Dalam pergaulan dengan orang lain setiap muslim harus dapat berbudi

pekerti sesuai dengan status dan posisi masing-masing. misalnya sebagai

pemimpin, seorang muslim hendaknya memiliki budi pekerti yang luhur seperti
bersifat jujur, amanah dan adil terhadap rakyatnya. Adapun pendidikan budi

pekerti terhadap orang lain yang terkandung dalam tafsir al-Azhar meliputi:

a. Kejujuran

Kata jujur atau benar dalam bahasa Arab, disebut sidiq, lawan dari

kidhib yaitu bohong atau dusta. Kejujuran adalah sendi yang terpenting

untuk tegak berdirinya masyarakat. Tanpa kejujuran masyarakat akan

hancur, karena tidak akan ada rasa saling mempercayai antara satu orang

dengan yang lainnya. Padahal manusia sebagai makhluk sosial yang tidak

dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Allah berfirman dalam surat

at-Taubah ayat 119 yang berbunyi:

      



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan

hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”(Q.S. at-

Taubah/9: 119).

Meskipun kadang-kadang berat ujian yang akan ditempuh, namun

takwa hendaknya ditegakkan terus. Ka‟ab bin Malik dan kedua temannya,

sebagai orang-orang yang beriman telah mempertahankan takwa, walaupun

untuk mereka telah menderita sementara, dikucilkan 50 hari. Mereka


saksikan orang-orang yang berbohong dapat melepaskan diri dari kesulitan

dan mereka kalau bercakap jujur akan dimurkai. Namun mereka tetap tidak

mau masuk golongan munafik yang berbohong untuk melepaskan diri.

Kejujuran kadang-kadang meminta pengorbanan dan penderitaan, tetapi

mereka tetap bertahan pada kejujuran. Mereka tetap mengambil pihak dan

memilih hidup bersama dalam golongan orang yang benar dan jujur.

Kadang-kadang orang munafik bangga karena munafiknya (Hamka, 1994:

81).

Ka‟ab bin Malik tidak mau memilih pihak dari barisan munafik,

sebab meskipun pada dhahirnya munafik kelihatan senang, terhadap apa

saja yang mereka bangun, apa saja yang mereka tegakkan, namun

sebenarnya hati mereka akan tetap bergoncang dan ragu kepada diri

sendiri. Mereka baru akan hilang goncangan hatinya, kalau hatinya sendiri

telah terpotong-potong. Ka‟ab bin Malik dan orang-orang yang menempuh

jalan yang benar itu berpendirian, meskipun kelihatan pada dhahir oleh

orang lain menderita, asal batin merasa bahagia sebab tetap berdiri pada

yang benar. Yang benar akhirnya akan tegak terus. Maka sampailah dia di

puncak kebahagiaan, apabila kebenarannya diakui Tuhan, bahwa

bagaimanapun susahnya menegakkan kebenaran, tirulah Ka‟ab bin Malik

dan kedua temannya, yaitu hendaknya selalu berdiri dipihak yang benar.

(Hamka, 1994: 81).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa meskipun berat ujian hidup yang

akan ditempuh, namun takwa harus selalu ditegakkan. Kejujuran terkadang

membutuhkan pengorbanan dan penderitaan, tetapi seberapa besar ujian

itu, harus tetap bertahan pada kejujuran. Allah memerintahkan agar kita
mencontoh Ka‟ab bin Malik dan kedua temannya, yang selalu berdiri

dipihak yang benar, walaupun banyak ujian yang harus dihadapi.

b. Amanah

Amanah adalah memenuhi hak-hak Allah dan para hamba-Nya.

Memenuhi hak-hak Allah berarti menjelankan semua perintah Allah dan

menjauhi semua larangan-Nya. Demikian pula dengan memenuhi hak-hak

para hamba-Nya, berarti akan mengembalikan semua titipan kepada yang

berhak menerimanya. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72, yang

berbunyi:

      

       

   

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,

bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk

memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,

dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia

itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S. al-Ahzab/33: 72).


“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,

bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul

amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan

dipikullah amanat itu oleh manusia” (Hamka, 1988: 111).

Tuhan memanggil tujuh lapis langit, kemudian Tuhan menawarkan

kepadanya tentang kesanggupan memikul amanat yang akan diletakkan

kepadanya. Langit dengan hormat telah menolak tawaran Allah, karena

amanat itu sangat berat (Hamka, 1988: 111).

Setelah ketujuh langit telah menyatakan tidak sanggup, Tuhan

memanggil bumi. Kepada bumi ditawarkan agar suka menerima amanat

itu. Maka bumi menyatakan penolakan, karena tanggung jawab memikul

amanat terlalu sangat berat (Hamka, 1988: 111).

Kemudian Tuhan memanggil gunung-gunung menawarkan amanat

itu. Gunung-gunung yang menjadi pasak bumi semua menyatakan tidak

sanggup. Lebih baik menolak dengan terus terang daripada menyanggupi

padahal akhirnya tidak bisa memikul. Maka Tuhan murka jika lebih dahulu

telah disanggupi padahal setengah jalan telah menyatakan tidak sanggup

meneruskan. Manusia yang menampilkan diri untuk memangku amanat

(Hamka, 1988: 111).

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Hamka,

1988: 111).

Manusia disebut zalim karena mereka sia-siakan amanat, tidak

mereka junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, bahkan
mereka sia-siakan. Mereka menjadi terhitung bodoh karena tidak tahu

harga diri, sampai ada yang suka mempersekutukan Allah dan suka

menjadi orang munafik (Hamka, 1988: 111).

Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya: “Ini adalah kata majaz, atau

sindiran. Sedangkan langit, bumi, dan gunung-gunung merasa berat

memikul, sebab hal tersebut manusia hendak berhati-hati” (Hamka, 1988:

112).

Tafsir di atas menunjukkan bahwa manusia telah bersedia untuk

memangku amanat Allah, padahal ketujuh langit, bumi dan gunung ketika

dipanggil Allah untuk memikul amanat menyatakan tidak sanggup.

Manusia disebut zalim karena mereka sia-siakan amanat, tidak mereka

junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, bahkan mereka sia-

siakan. Maka dari itu manusia hendaknya berhati-hati dalam mengemban

amanat Allah maupun amanat yang telah diberikan rakyat kepada seorang

pemimpin.

c. Pemaaf

Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain.

Sikap pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa

sedikit pun ada rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam

bahasa Arab sikap pemaaf disebut al-„afw yang juga memiliki arti

penghapusan, ampun, dan anugerah. Dalam al-Quran kata al-„afw disebut

sebanyak dua kali, akan tetapi penulis mencantumkan salah satu ayat dalam

tafsir al-Azhar yaitu surat al-A‟raf ayat 199, yang berbunyi:

      


Artinya: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang

bodoh”(Q.S. al-A‟raf/7: 199).

Arti „afwa ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang

terdapat dalam akhlak manusia. Setiap manusia walaupun baik hatinya dan

shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan

(Hamka, 1983: 221).

Dalam pergaulan hidup, berkumpul dengam banyak manusia yang

masing-masing mempunyai kelebihan, tetapi masing-masing juga

mempunyai segi kelemahan, yang kadang-kadang membosankan dan

menyinggung perasaan. Maka kekurangan-kekurangan pada perangai

demikian, hendaknya memperbanyak maaf (Hamka, 1983: 221).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa setiap manusia walaupun baik

hatinya dan shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan

dan kekurangan. Maka kelemahan dan kekurangan pada tingkah laku,

hendaknya harus diperbanyak dengan mohon maaf.

d. Dermawan

Dermawan berarti pemurah hati, atau orang yang suka berderma

(beramal, bersedekah). Dermawan adalah orang yang memberikan bantuan

kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan apa

pun. Allah berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 134, yang berbunyi:
      

      

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu

lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan

amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai

orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran/3: 134).

Dalam ayat ini diberikan tuntunan terperinci dan lebih jelas yang

diperlombakan ialah kesukaan memberi, kesukaan menderma untuk

mengejar surga yang seluas langit dan bumi, sehingga semua bisa masuk

dan tidak akan ada perebutan tempat. Disebut dengan jelas yaitu dalam

waktu senang dan dalam waktu susah, orang senang berderma dan susah

juga berderma. Tidak ada yang bersemangat meminta, tetapi semuanya

bersemangat memberi. Sehingga orang miskin tidak berjiwa kecil, yang

hanya mengharap belas kasih orang. Meskipun dia tidak mempunyai uang,

namun dia mempunyai ilmu untuk diajarkan atau tenaga untuk diberikan

(Hamka, 1987: 89).

Seumpama mendirikan sebuah masjid di suatu desa, yang kaya

mempunyai uang untuk membeli apa yang patut dibeli. Yang mempunyai

hutan bersedia kayunya ditebang untuk dijadikan tiang tonggak dan papan,
sedangkan yang ahli pertukangan bersedia bekerja dengan tidak mengharap

upah. Yang lain bergotong royang mengangkut pasir dan batu dari sungai,

kaum ibu memasak nasi dan lauk pauk serta menghantarkan makanan

kepada orang yang bekerja. Semuanya berlomba-lomba mengejar surga

yang luas dan lapang (Hamka, 1987: 89).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa Allah akan memberikan tuntunan

terperinci dan lebih jelas kepada orang yang suka memberi, suka

menderma untuk mendapatkan surga yang seluas langit dan bumi, sehingga

semua bisa masuk dan tidak akan ada perebutan tempat. Sehingga orang

yang miskin meskipun tidak memiliki harta benda, mereka mempunyai

ilmu untuk diajarkan dan mempunyai tenaga untuk diberikan.

e. Rendah hati

Rendah hati berarti tidak sombong atau tidak angkuh. Rendah hati

adalah sifat bijak yang melekat pada seseorang, yaitu memposisikan

dirinya dengan orang lain sama, merasa tidak lebih baik, tidak lebih mahir,

tidak lebih pintar, dan tidak juga lebih mulia. Penulis mengambil dua ayat

dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan rendah hati, yaitu:

1) Surat al-Furqan ayat 63

      

    


Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)

orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati

dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka

mengucapkan kata-kata (yang mengandung)

keselamatan”(Q.S. al-Furqan/25: 63).

Orang yang berhak disebut „Ibadur rahman (hamba-hamba

daripada Tuhan yang Maha Pemurah), ialah orang-orang yang

berjalan di bumi dengan sikap sopan-santun, lemah-lembut, tidak

sombong, dan sikapnya tenang. Bagaimana dia akan mengangkat

muka dengan sombong, padahal alam sekitar menjadi saksi bahwa dia

pasti menundukkan diri. Dia ada seperti padi yang telah berisi, sebab

dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran

Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesama manusia, karena dia insaf

bahwa dia tidak akan sanggup hidup sendiri di dunia ini. Apabila

berhadapan dengan orang bodoh yang bertanya kepada dia dan

dangkal fikirannya, maka pertanyaan orang bodoh dijawab dengan

memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang

benar. Orang yang seperti itu pandai menahan hati (Hamka, 1992: 41).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa sebagai manusia hendaknya

bersikap rendah hati, karena manusia tidak akan sanggup hidup sendiri

di dunia ini tanpa adanya orang lain. Apabila ada orang bodoh yang

bertanya maka jawablah dengan jawaban yang memuaskan. Apabila

orang bodoh salah dalam berpendapat, maka tunjukkanlah kebenaran

yang sebenarnya dan jangan menunjukkan sifat sombong padanya.


2) Surat al-Isra‟ ayat 37

         

   

Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan

sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat

menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai

setinggi gunung”(Q.S. al-Isra‟/17: 37).

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan

sombong” (Hamka, 1992: 68).

Sombong yaitu orang yang tidak mengetahui tempat dirinya.

Bersifat angkuh, karena dia telah lupa bahwa hidup manusia di dunia

ini hanyalah karena pinjaman Tuhan. Lupa bahwa asalnya hanyalah

air mani yang bergetah. Dan dia akan kembali menjadi tanah, tinggal

tulang-tulang yang berserakan, dan menakutkan. Lalu Allah

memperingatkan diri manusia yang mencoba sombong (Hamka, 1992:

68).
“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi”

(Hamka, 1992: 68).

Ini adalah kata kiasan yang tepat untuk orang yang sombong.

Seseorang yang sombong di atas bumi, menghardik menghantam

tanah, namun bumi tidak akan luka karena hantaman kakinya (Hamka,

1992: 68).

“Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”

(Hamka, 1992: 68).

Ini suatu ungkapan yang tepat untuk orang yang sombong. Dia

menengadah ke langit seperti menantang puncak gunung dan melawan

awan, padahal puncak gunung akan melihat dia menantang gunung.

Oleh sebab itu seorang mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri,

kemudian meletakkkan dirinya pada tempat yang sebenarnya (Hamka,

1992: 68).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa hidup manusia di dunia ini

hanyalah sementara. Maka hendaknya manusia jangan berlaku

sombong di dunia ini. Seorang mukmin sejati ialah seorang yang tahu

diri, kemudian meletakkkan dirinya pada tempat yang sebenarnya.

Sehingga dapat menjauhkan dirinya dari sifat kesombongan.

f. Kemanusiaan

Manusia adalah makhluk sosial ysng tidak dapat hidup sendiri

tanpa bantuan dari orang lain. Maka dari itu manusia hendaknya jangan
saling membunuh satu sama lainnya, kecuali membunuh yang dibenarkan

oleh Allah. Allah berfirman dalam surat al-Isra‟ ayat 33, yang berbunyi:

          

       

    

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.

dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami

telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah

ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya

ia adalah orang yang mendapat pertolongan”(Q.S. al-Isra‟/17:

33).

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”

(Hamka, 1992: 61).


Membunuh seseorang termasuk menyalahi hak hidup yang sudah

diberikan Allah kepada yang dibunuh, maka Allah melarangnya, kecuali

misalnya terjadi peperangan yang tidak dapat dihindari niscaya terjadi

bunuh-membunuh, atau seseorang membunuh sesama manusia, maka

berlaku hukum qishas, yaitu nyawa dengan nyawa atau hukum mati yang

dijatuhkan Hakim menurut undang-undang yang berlaku. Maka semacam

ini pencabutan nyawa seseorang adalah dalam lingkungan kebenaran, atau

dibenarkan (Hamka, 1992: 61).

“Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami

telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” (Hamka, 1992:

61).

Maksud ayat di atas adalah jika seseorang dibunuh orang dengan

aniaya, sewenang-wenang diluar hukum, maka wali terdekat atau keluarga

yang bertanggung jawab menuntut keadilan kepada penguasa, akan tetapi

penguasa yang mengambil tindakan misalnya menangkap, menjatuhkan

hukum, baik hukumannya dibunuh atau diwajibkan membayar diyat, yaitu

harta benda ganti kerugian (Hamka, 1992: 61).

“Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh”

(Hamka, 1992: 62).

Inti ayat ini adalah perlakuan prikemanusiaan yang diwajibkan

menjaganya. Artinya jika seseorang dihukum mati karena dia telah

membunuh orang lain, kemudian dilakukan kepadanya hukum dibunuh,

maka lakukanlah hukuman dengan cepat, ringkas dan menegakkan wibawa


hukum. Misalnya setelah orang itu mati, jangan dicincang atau dikerati

badannya, sebab yang demikian bukan hukum melainkan balas dendam.

Menurut Ath-Thabariy peringatan ini adalah untuk Nabi SAW dan

seterusnya untuk para penguasa sesudah beliau (Hamka, 1992: 62).

“Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan” (Hamka,

1992: 62).

Orang yang mati terbunuh dengan aniaya, pemerintah akan

menuntutkan belanja. Jika walinya mengadu kepada pemerintah,

pengaduannya akan diperhatikan, dia akan ditolong. Sebab urusan

kematian seseorang dengan aniaya bukanlah perkara kecil. Dan orang yang

mati teraniaya, sedang wali atau keluarganya tidak ada, penguasalah yang

menjadi wali dan penuntut haknya (Hamka, 1992: 62).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa perlakuan prikemanusiaan wajib

dijaga setiap manusia. Allah melarang manusia membunuh sesamanya

karena termasuk menyalahi hak Allah. Membunuh diperbolehkan seperti

dalam suatu peperangan yang tidak dapat dihindari lagi. Orang yang

membunuh sesamanya maka akan dihukum qishas, yaitu nyawa dengan

nyawa atau hukum mati yang dijatuhkan Hakim menurut undang-undang

yang berlaku. Maka semacam itu pencabutan nyawa seseorang adalah

dalam lingkungan kebenaran, atau dibenarkan.

g. Toleransi

Dalam bahasa Arab toleransi disebut “tasamuh”. Arti tasamuh ialah

bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Sikap toleransi harus

ada dalam kehidupan bermasyarakat, karena di dalam masyarakat terdapat


banyak perbedaan antara satu orang dengan lainnya, seperti perbedaan

dalam beragama dan keyakinan. Tanpa adanya toleransi, tidak mungkin

dapat tercipta kerukunan dan kedamaian hidup dalam masyarakat. Allah

berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:

            

     

       

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam),

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang

sesat. Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan

beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang

kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(Q.S. al-

Baqarah/2: 256).
“Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya

telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Hamka,

1986: 22).

Kalau anak sudah menjadi Yahudi, maka tidak boleh dipaksa

memeluk agama Islam. Keyakinan suatu agama tidak boleh dipaksakan,

sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. orang boleh menggunakan

akalnya untuk menimbang dan memilih kebenaran itu dan orang juga

memiliki fikiran sehat untuk menjauhi kesesatan (Hamka, 1986: 22).

“Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada

Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali

yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui” (Hamka, 1986: 22).

Agama Islam memberi kesempatan kepada seseorang supaya

menggunakan fikirannya yang murni, untuk mencari kebenaran. Asalkan

sudi membebaskan diri dari yang hanya ikut-ikutan dan pengaruh dari

hawa nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran. Apabila inti

kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Allah akan muncul, dan

kalau iman kepada Allah yang Maha Esa telah muncul, segala pengaruh

dari yang lain akan hilang. Tetapi suasana yang seperti ini tidak bisa

dengan paksaan, pasti muncul dari keinsafan sendiri (Hamka, 1986: 22).

Toleransi pada ayat ini terkadang dijadikan kesempatan yang baik

oleh pemeluk agama Kristen di negara-negara Islam untuk mendesak umat

Islam. Oleh sebab itu jika semangat beragama telah mundur pada kaum
muslimin sendiri, padahal ayat ini ada, maka akan mudah benteng-benteng

mereka diruntuhkan. Mereka oleh agamanya sendiri tidak boleh

memaksakan agama kepada orang lain, padahal orang lain dengan segala

daya dan upaya memaksa mereka meninggalkan Islam (Hamka, 1986: 25).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa seorang anak jangan dipaksa

dalam hal keyakinannya, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan.

Agama Islam telah memberikan kebebasan kepada semua orang supaya

menggunakan akal dan fikirannya untuk mencari suatu kebenaran. Ayat di

atas terkadang dijadikan kesempatan oleh pemeluk agama Kristen untuk

mempengaruhi keyakinan umat Islam, dengan segala cara memaksa oranag

Islam untuk meninggalkan keyakinannya.

h. Adil dan ihsan

Adil adalah kondisi jiwa yang memimpin syahwat, dan

membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan hukum. Ihsan adalah

perbuatan yang harus dilakukan ketika melakukan kebaikan.

Ibnu Abbas r.a. berkata,”Berlaku adil adalah melepaskan sekutu-

sekutu dari Allah. Sedangkan ihsan adalah engkau menyembah Allah

seakan-akan engkau melihat-Nya.

Menurut Hamka (1992: 5), adil adalah keadaan nafs, yaitu

kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika

syahwat naik. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 90, yang berbunyi:
      

      

  

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang

dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi

pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran”(Q.S. an-Nahl/16: 90).

Ada tiga hal yang diperintahkan oleh Allah supaya dilakukan

sepanjang waktu sebagai wujud dari ta‟at kepada Tuhan. Pertama jalan

adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah, dan

membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang punya

dan jangan berbuat zalim. Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri

kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri,

mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah adalah kawan

atau keluarga sendiri. Maka selama keadilan masih terdapat dalam

masyarakat, maka pergaulan akan aman sentosa, muncul amanat dan saling

mempercayai (Hamka, 1983: 280).

Diperintahkan melatih diri berbuat ihsan. Arti ihsan adalah

mengandung dua maksud. Pertama selalu mempertinggi mutu amalan,

berbuat yang lebih baik daripada yang sudah dilakukan, sehingga semakin
lama tingkat iman semakin naik. Maksud ihsan yang kedua adalah kepada

sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi dari keadilan. Misalnya

memberi upah yang sesuai pekerjaannya, itu adalah sikap adil. Tetapi jika

dilebihi upahnya, maka pemberian yang berlebih itu dinamai ihsan. Sebab

itu ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya daripada adil

(Hamka, 1983: 280).

Yang ketiga adalah memberi kepada keluarga terdekat. Ini juga

lanjutan dari ihsan. Karena kadang orang yang berasal dari satu ayah atau

ibu berbeda nasibnya, ada yang kaya dan ada yang kekurangan rizkinya.

Maka yang mampu dianjurkan berbuat ihsan kepada keluarganya yang

terdekat, sebelum mementingkan orang lain (Hamka, 1983: 281).

Tafsir di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada

manusia supaya melaksanakan tiga hal sepanjang waktu, sebagai wujud

dari ta‟at kepada Tuhan, yaitu adil, ihsan dan memberi kepada keluarga

terdekat. Adil yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah,

dan membenarkan mana yang benar. Ihsan yaitu berbuat lebih tinggi dari

keadilan, sedangkan memberi kepada keluarga terdekat merupakan

lanjutan dari ihsan.

F. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti

dengan Pendidikan Saat Ini

Pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti merupakan

sumbangan keilmuan yang dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan oleh para

pakar pendidikan saat ini. Pada kenyataannya pemikiran Hamka terdahulu telah

mencakup aspek budi pekerti yang saat ini sedang mengalami kemerosotan yang
sedang diresahkan semua warga negara Indonesia terutama dalam dunia pendidikan

di Indonesia.

Siswa saat ini, diharapkan dapat mencapai kompetensi lulusan dengan

keseimbangan antara soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi

sikap (afektif), keterampilan (psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Jadi siswa

tidak hanya dapat mencapai aspek kognitif saja yaitu hanya mengerti, tetapi juga

dapat melaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Thomas Lickona,

tanpa ketiga aspek di atas, maka pendidikan budi pekerti tidak akan efektif, dan

pelaksanaannya harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Maka dari itu

pendidikan budi pekerti harus didukung dengan ketiga aspek di atas, supaya

pendidikan budi pekerti tidak hanya sekedar pengetahuan bagi peserta didik

melainkan supaya peserta didik dapat mengaplikasikan secara terus-menerus dalam

kehidupan sehari-hari. Pendidikan budi pekerti juga harus dikembangkan oleh guru

atau dosen, agar para pelajar dan mahasiswa dapat berperilaku atau berkarakter yang

baik sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia, dan supaya menjadi insan kamil.

Merujuk pada buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Samani dan

Hariyanto (2013: 52) menyatakan, bahwa Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2011 telah

mengidentifikasikan nilai-nilai karakter atau budi pekerti yang bersumber dari

agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:

No. Nilai Deskripsi atau Indikator Perilaku

1. Religius a. Berdo‟a sebelum dan sesudah pembelajaran.


b. Taat dan istiqamah dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya.
c. Membiasakan berinfaq setiap hari jum‟at.
d. Bersyukur kepada Tuhan atas yang diperoleh.
2. Jujur a. Menyatakan apa adanya dan terbuka.
b. Konsisten antar apa yang dilakukan.
c. Berani karena benar.
d. Dapat dipercaya dan tidak curang.
3. Toleransi a. Menghargai perbedaan agama, suku, pendapat,
sikap dan tindakan orang lain yang berbeda.
b. Tidak memaksakan agama kepada keluarga,
teman dan orang lain.
4. Disiplin a. Dapat mengontrol tindakan, perilaku, dan
kebiasaan diri sendiri.
b. Tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
5. Kerja Keras a. Rajin dan ulet dalam bekerja.
b. Tidak menunda pekerjaan.
c. Tidak pernah berputus asa dalam bekerja.
6. Kreatif a. Mampu menyelesaikan masalah dengan
inovatif, luwes, dan kritis.
b. Berani mengambil keputusan dengan cepat dan
tepat..
c. Memiliki ide baru dan ingin terus berubah.
d. Dapat membaca situasi dan memanfaatkan
peluang baru.
7. Mandiri a. Tidak mudah bergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas.
b. Berusaha menyelesaikan persoalan yang
dihadapi dengan kemampuannya.
8. Demokratis a. Menghargai pendapat orang lain.
b. Berprinsip musyawarah untuk mufakat.
c. Bersifat terbuka.
9. Rasa Ingin Tahu a. Berusaha mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya.
b. Berusaha mengetahui apa yang dilihat dan
didengar.
10. Semangat a. Membiasakan melakukan pekerjaan secara
ikhlas untuk kemajuan dan kejayaan bangsa
Kebangsaan dan negara
b. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri sendiri maupun
kelompoknya.
c. Memperkuat persatuan dan kesatuan.
11. Cinta Tanah Air a. Lebih mencintai produk-produk dari
negaranya.
b. Menempatkan kepentingan negara di atas
kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya.
c. Bangga dengan negara Indonesia.
12. Menghargai Prestasi a. Bersyukur atas prestasi yang diperoleh.
b. Tidak sombong setelah mendapat prestasi yang
bagus.
c. Tidak menyobek hasil nilai ulangan atau test
yang jelek.
d. Tidak menghina teman yang prestasinya lebih
jelek dari kita.
13. Bersahabat atau a. Mengakui dan menghargai keberhasilan orang
lain.
Komunikatif b. Mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat.
14. Cinta Damai a. Mau bekerja sama dengan orang lain untuk
mencapai tujuan bersama.
b. Menjalin dan memelihara perdamaian melalui
saling percaya dan saling peduli.
15. Gemar a. Suka membaca buku-buku yang berkaitan
Membaca dengan pembelajarannya.
b. Menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan.
16. Peduli a. Menyayangi manusia dan makhluk lain.
Lingkungan b. Mencegah kerusakan pada lingkungan alam
dan sekitarnya.
c. Mengembangkan upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial a. Memberi bantuan kepada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
b. Memperlakukan orang lain dengan sopan.
c. Tidak suka menyakiti orang lain.
d. Mau berbagi dengan orang lain.
e. Tidak merendahkan orang lain.
f. Tidak mengambil keuntungan dari orang lain.
g. Mau terlibat dalam kegiatan masyarakat.
18. Tanggung Jawab a. Melakukan tugas sepenuh hati.
b. Bekerja dengan etos kerja yang tinggi.
c. Berusaha keras untuk mencapai prestasi
terbaik.
d. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan
tepat waktu.
e. Menerima segala resiko terhadap pilihan dan
keputusan yang diambil.
Dari 18 identifikasi nilai karakter atau budi pekerti di atas, dapat diperoleh

relevansi atau kesesuaian pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi

pekerti dengan nilai-nilai pendidikan karakter atau budi pekerti pada pendidikan

saat ini yaitu sebagai berikut:

1. Nilai religius berupa nilai ketakwaan, nilai keimanan, nilai tawakkal, nilai

syukur, nilai taubat, nilai sabar, dan nilai istiqamah.

2. Nilai jujur.

3. Nilai toleransi.

4. Nilai peduli sosial berupa nilai amanah, nilai pemaaf, nilai dermawan, nilai

rendah hati, nilai kemanusiaan, nilai adil dan ihsan.

5. Nilai tanggunng jawab.

Sedangkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran

Hamka yang tidak tercantum dalam 18 identifikasi nilai karakter atau budi

pekerti adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri, terdiri dari nilai-nilai; (1)

iffah (2) pengendalian diri.

b. Pendidikan budi pekerti terhadap kedua orang tua, terdiri dari nilai-nilai; (1)

birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), (2) mentaati kedua

orang tua dalam kebaikan.

Dari 4 nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran Hamka,

yang tidak tercantum dalam 18 identifikasi nilai karakter atau budi pekerti

menurut Kementerian Pendidikan Nasional di atas, perlu diaplikasikan

dalam pendidikan saat ini sebagai tambahan materi mengajar guru pada

seluruh mata pelajaran terlebih pada mata pelajaran agama Islam dan
pendidikan kewarganegaraan, mengingat terjadinya kemerosotan budi

pekerti bangsa Indonesia saat ini. Dalam proses belajar mengajar saat ini

ayat-ayat al-Qur’an sangat dibutuhkan sebagai penguat dan pendukung

materi pembelajaran, agar dalam jiwa dan fikiran peserta didik tertanam

nilai keagamaan. Maka dari itu tafsir al-Azhar merupakan wacana yang

tepat untuk mempermudah guru dalam menyampaikan isi kandungan

ayat-ayat al-Qur’an kepada peserta didik.

Jika dilihat dari konteks pendidikan saat ini, maka sebenarnya

pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti sudah

tercakup dalam pendidikan di Indonesia. Adapun pendidikan di Indonesia

dikategorikan menjadi 3, yaitu:

1) Pendidikan Informal (Pendidikan Keluarga)

Pendidikan keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai

peletak dasar bagi pendidikan budi pekerti dan pandangan hidup

keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari orang

tuanya dan dari anggota keluarga yang lain (Hasbullah, 2009: 38).

Pendidikan informal (pendidikan keluarga) merupakan

pendidikan awal sebelum peserta didik dihadapkan dengan pendidikan

formal (pendidikan sekolah). Melalui pendidikan keluarga akan

membentuk budi pekerti seorang anak yang kelak akan dibawa ke

pendidikan sekolah.

Adapun pendidikan budi pekerti dalam keluarga yang

diajarkan Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah melalui contoh

perlindungan orang tua kepada keluarganya seperti dalam al-Qur‟an

surat at-Tahrim ayat 6 yaitu perintah kepada orang yang beriman


supaya memelihara diri dan keluarganya dari api neraka, perintah

Luqman kepada anaknya seperti dalam al-Qur‟an surat Luqman ayat

11-17 yang menyuruh anaknya supaya beriman dan menyembah

Allah, bersyukur kepada Allah, melarang anaknya menyekutukan

Allah, menyuruh anaknya berbakti kepada kedua orang tuanya,

menyuruh berbuat jujur, menyuruh agar mendirikan shalat,

mengerjakan yang baik, mencegah dari perbuatan yang mungkar dan

menyuruh bersabar terhadap apa yang menimpa anaknya.

2) Pendidikan Formal (Pendidikan Sekolah)

Pendidikan di sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan

keluarga. Kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi anak yang

menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan dengan

masyarakat kelak (Hasbullah, 2009: 46).

Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam

memberikan pendidikan budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh

formalitas hubungan antara guru dan siswa. Dalam pendidikan sekolah

perlu dikembangkan strategi dalam pembelajaran, khususnya

pendidikan agama Islam dan budi pekerti.

Adapun strategi pendidikan yang diajarkan Hamka dalam

tafsir al-Azhar adalah dengan cara guru memberikan teladan yang baik

(uswatun khasanah) kepada murid sesuai dengan sifat Nabi

Muhammad di dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 21. Seorang guru

harus memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, karena

biasanya peserta didik cenderung meniru kelakuan yang ada di


sekitarnya. Termasuk sikap seorang guru terhadap peserta didik,

dengan guru lain, maupun kepada masyarakat.

3) Pendidikan Nonformal (Pendidikan Kemasyarakatan)

Pendidikan nonformal dalam perkembangannya saat ini

tampaknya sulit memberikan perhatian besar terhadap pendidikan budi

pekerti. Hal ini berhubungan dengan proses perubahan budaya dan

perkembangan teknologi yang sedang terjadi di dalam masyarakat

Indonesia. Selain pendidikan budi pekerti dalam keluarga dan sekolah,

pendidikan budi pekerti di masyarakat juga perlu diperhatikan. Anak

mudah terpengaruh budaya yang ada di masyarakat, jika anak bergaul

dengan orang yang berbudi maka dia akan menjadi seorang yang

berbudi luhur, dan sebaliknya jika bergaul dengan orang yang buruk

budinya, maka dia akan mudah terpengaruh yang mengakibatkan

buruk budinya.

Adapun pendidikan budi pekerti dalam masyarakat yang

diajarkan Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah melalui dakwah (ajakan

kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar), seperti yang

tertulis dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran ayat 104.

Pendidikan merupakan salah satu media paling efektif dalam

mengatasi kemerosotan budi pekerti saat ini. Pendidikan budi pekerti

harus dikembangkan, tidak hanya mencangkup sebatas pengetahuan,

melainkan perlu adanya praktek dalam keseharian, misalnya guru

memberikan contoh secara langsung kepada siswa perilaku dermawan,

yaitu dengan mengajak siswa mengunjungi para korban gunung

meletus, dengan memberikan bantuan kepada korban. Sehingga


dengan praktik secara langsung, dapat merangsang siswa supaya

memiliki kesadaran agar selalu berbuat baik kepada orang lain.

Terwujudnya manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur

merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia yang

kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional.

Maka pendidikan yang berorientasikan pada nilai-nilai pendidikan

budi pekerti menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan di Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis sebagaimana dalam bab-

bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Hamka tentang nilai-nilai

pendidikan budi pekerti yaitu (a) nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah berupa

ketakwaan, keimanan, tawakkal, syukur, taubat, sabar, dan istiqamah, (b) nilai

pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri berupa tanggung jawab, iffah, dan

pengendalian diri, (c) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua berupa birrul

walidain, dan mentaati kedua orang tua dalam kebaikan, (d) nilai pendidikan budi

pekerti terhadap orang lain berupa kejujuran, amanah, pemaaf, dermawan, rendah

hati, kemanusiaan, toleransi, keadilan dan ihsan.

Adapun relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi

pekerti dengan pendidikan saat ini adalah sama-sama terdapat nilai pendidikan

religius, nilai pendidikan kejujuran, nilai pendidikan toleransi, nilai pendidikan peduli
sosial, dan nilai pendidikan tanggunng jawab, sehingga pemikiran Hamka tentang

nilai-nilai pendidikan budi pekerti sangat tepat jika diajarkan pada pendidikan saat

ini.

Berdasarkan uraian di atas terdapat kesimpulan yang penting,

bahwasannya Hamka membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya

kalau dispesifikkan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah tidak

lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai pendidikan budi pekerti

terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai

pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai

pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain

tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.

B. Saran

Berdasarkan temuan yang peneliti uraikan dalam skripsi ini, maka peneliti

merekomendasikan sebagai berikut:

1. Penelitian ini hanya menfokuskan pada pemikiran Hamka tentang nilai-nilai

pendidikan budi pekerti. Banyak hal yang harus diteliti lagi, misalnya terkait

dengan pemikiran Hamka tentang pendidikan akidah yang direlevansikan

dengan kehidupan saat ini. Untuk memperdalam masalah tersebut, maka penulis

merekomendasikan untuk melakukan penelitian lanjutan.

2. Bagi pendidik, akan lebih baik jika dapat mengembangkan dan menggunakan

strategi, metode, serta evaluasi yang tepat dalam pembelajaran, sehingga nilai-

nilai pendidikan budi pekerti dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam

kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 3. Jakarta:


Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT).

Al-Ghulayaini, Musthafa. 2009. Izhatun Nasyi’in. Terjemahan jilid 1 oleh Siroj


Zaenuri Hadi Nur. Jakarta: PT Albama.

Al-Kumayi, Sulaiman. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang:


Pustaka Nuun.

Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islam. Surakarta: Muhammadiyah


University Press.

Faruq dkk., Umar. 2005. Pidato 3 Bahasa. Surabaya: Pustaka Media.

Ghofur, Saiful Amin. 2008. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani.

Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan


Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hakim, Ahmad dan M. Thalhah. 2005. Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik
Hamka. Yogyakarta: UII Press.

Hamka. 1980. Lembaga Budi. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.

1982. Tafsir al-Azhar Juz XX. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1982. Tafsir al-Azhar Juz XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1982. Tafsir al-Azhar Juz XXIV. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1983. Tafsir al-Azhar Juz XIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1983. Tafsir al-Azhar Juz XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1985. Tafsir al-Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1985. Tafsir al-Azhar Juz XXVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1985. Tafsir al-Azhar Juz XXIX. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1986. Tafsir al-Azhar Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1987. Tafsir al-Azhar Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1988. Tafsir al-Azhar Juz XII. Jakarta: Pustaka Panjimas.


1988. Tafsir al-Azhar Juz XXI. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1988. Tafsir al-Azhar Juz XXII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1988. Tasauf Moderen. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1991. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1992. Akhlaqul Karimah. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1992. Tafsir al-Azhar Juz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1992. Tafsir al-Azhar Juz XIX. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1993. Tafsir al-Azhar Juz IX. Jakarta: Pustaka Panjimas.

1994. Tafsir al-Azhar Juz XI. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kholis, Nur. 2003. Studi Komparasi Antara Konsep Hamka Dengan Abdullah
Nasih Ulwan Tentang Pendidikan Akhlak. Salatiga: STAIN Salatiga.

Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Poerbakawatja, Soegarda dan Harahab. 1982. Ensiklopedi Pendidikancet ke-3.


Jakarta: Gunung Agung.

Pramuko, Yudi. 2001. Hamka Pujangga Besar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Saliman dan Sudarsono. 1994. Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum.


Jakarta: Rineka Cipta.

Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soewandi dkk., Slamet. 2005. Pelangi Pendidikan.Yogyakarta: Universitas


Sanata Dharma.

Syadzili, Ahmad Fawa‟id. 2005. Ensiklopedi Tematis Al-Qur‟an. Jakarta:


Kharisma Ilmu.

Tim Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah Bahasa
Indonesia. Kudus: Menara Kudus.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia
cetakan ke 2: Balai Pustaka.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, diakses 24
Maret 2014.

http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir/, diakses 3 April 2014.

http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/05/kriminalitas-remaja-di-sekitar-kita/, diakses
24 April 2014.

http:// daftar karya buya hamka.htm, diakses 10 Mei 2014.

http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-wafatnya-
buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014.

http://biografi_buya_hamka-biografi_web.html, diakses 17 Mei 2014.

http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-
sosio.html, diakses 19 Agustus 2014.

http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/tafsir-al-azhar.html, diakses 28 Agustus


2014.

Anda mungkin juga menyukai