Anda di halaman 1dari 6

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan laporan tentang “UKM Batik Tanah Liek” Laporan
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti tahap proses perkuliahan dalam mata
kuliah kewirausahaan.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari
segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun. Semoga Laporan ini bermanfaat khususnya bagi kami
dan pembaca pada umumnya.
1. Sejarah Batik Tanah Liek
Pada tahun 1995, dikampungnya, simanik, Batusangkar, Kabupaten Tanah
Datar, provinsi sumatra barat, bu Hj.wirda Hanim melihat upacara adat. Dimana pada
waktu itu para Datuk dan Bundo Kanduang memakai Batik Tanah Liek. Batik Tanah
Liek yang mereka kenakan kusam bahkan sudah sobek. Memakainya pun sangat
berhati-hati karena sudah sangat tua. Melihat keadaan kain yang sangat tua itu, bu Hj.
Wirda Hanim bertanya dihati dan menjawab sendiri, “berarti kain yang mereka pakai
tidak diproduksi lagi:. Maka timbullah niatnya untuk memproduksi kain tersebut.
Sedangkan beliau tidak memiliki ilmu membatik.
Pada saat itu beliau menemui guru batik di Sekolah Menengah Seni Rupa
(SMSR) Kota Padang, dengan cara berkunjung Langsung ke sekolah dan rumahnya,
dengan harapan bisa bekerja sama. Tetapi, guru tersebut hanya menyuruh siswanya
saja. Walaupun begitu bu Hj. Wirda Hanim tetap membiayainya, mulai dari membeli
kain, dan obat-obatan membatik, namun hasil para siswa ini tidak memuaskan.
Hal tersebut tidak membuat bu Hj. Wirda Hanim putus asa. Beliau memncoba
membuat ulang motif kain kuno ke kertas. Bukan itu saja, beliau juga membuat motif
yang terdapat di Rumah Gadang. Hal tersebut ia lakukan lebih kuarang selama 6
bulan. “sambil menunggu jalan keluarnya, saya tetap mencari dan meniru motif-motif
dari kain batik tanah liek di kampung saya”, motif kuno tersebut adalah kuda laut dan
burung hong, di samoing itu saya juga mengambil motif Minang dari ukiran dan
pakain, serta membuat motif-motif yang sebagian perpaduan dari motif-motif itu.”
Katanya.
Tepat pada saat itu, dewan kerajinan Nasional Provinsi Sumatera Barat
mengadakan pelatihan batik tanah liek dengan atah peserta sebanyak 20 orang yang
berasal dari Kabupaten Solok 10 orang dan 10 orangnya lagi dari Kabupaten Pesisir
Selatan. Kota Padang memang tidak diikutsertakan karena kebanyakan orang Padang
memiliki usaha bordir, termasuk beliau sendiri yang memiliki usaha bordir
”Monalisa”. Walaupun tidak ada jatah peserta, bu Hj. Wirda Hanim tetap ingin ikut.
Akhirnya beliau ikut dengan biaya sendiri. Namun, pelatihan yang diikutinya belum
memuaskan.
Pada tahun 1995, dengan meminta izin suami, Ruslan Majid, beliau pergi ke
Jogjakarta sekaligus meminjam uang sebanyak 20 juta rupiah sebagai modal dengan
tujuan untuk belajar batik disana. Berselang hanya 2 hari saja, beliaupun kembali ke
Padang.
Selain merasa tidak betah, beliau juga tidak bisa meninggalkan usaha
bordirnya dengan karyawan 20 orang yang menetap dirumahnya. Bu Hj. Wirda
Hanim meminta kepada Dewan Batik Jogjakarta mengirimkan pengajar batik ke
padang yang beliau kontrak selama 3 bulan. Tapi sebelumnya bu Hj. Wirda Hanim
menitipkan contoh kain Batik Tanah Liek dengan harapan dapat dibuatkan motif dan
warna yang sesuai dengan contoh kain tersebut.
Berkat kegigihannya, yang telah menghabiskan modal banyak dengan
membeli kain sutra, obat-obatan betik serta peralatan membatik, tidak membuatnya
putus asa. Tepat seminggu sebelum kontrak pengajar dari jogja habis, bu Hj. Wirda
Hanim teringat pelajaran membuat warna hiasan kue pengantin dan kue ulang tahun
yan pernah diikutinya di jakarta. Beliau melakukan uji coba dengan warna kimia
untuk batik. Seperti mencari warna yang sesuai dengan Batik Tanah Liek yang
waranya mirip tanah. Dari 10 lembar kain, yang masing-masingnya berukuran 2
meter, dan 2 lembar saja yang menyerupai warna batik tanah liek.
Namun begitu, bu Hj. Wirda Hanim tetap melakukan Eksperimen dengan
menggaji karywan khusus batik. Sejak itu, beliau memproduksi Batik Tanah Liek
dengan bahan kimia. Sehingga pada saat itu, dinamakanlah merk hasil produksinya
Batik Tanah Liek “ Citra Monalisa”. Tapi tetap saja, Batik Tanah Liek kuno
dibandingkan dengan batik buatannya sangat jauh berbeda.
Pada suatu ketika, beliau pulang kampung dan bertanya kepada seorang ibu
yang ada disana. “kenapa batik ini dinamakan barik tanah liek?”, dan ibu itu pun
menjawab bahwa Batik Tanah Liek ini pada dasarnya diwarnai dengan tanah dan
motifnya diwarnai dengan “tumbuh-tumbuhan apa saja yang bisa diambil?” dan
tersebut melanjutkan jawabannya yaitu gambir, rambutan, pinang, dan lain-lain.
Berdasarkan informasi itulah, bu Hj. Wirda Hanim mencoba mencari tahu pembuatan
dan ketahanannya.
Akhirnya, setelah 10 tahun mencoba, barulah beliau mendapatkan Batik Tanah
Liek sesuai dengan contoh yang ada sekaligus telah dipatenkan dengan nama “Batik
Tanah Liek”. Modal yang dulu pernah beliau pinjam dari suaminya, sudah terlunasi
berkat bantuan dari Pertamina pada tahun 1997, bantuan pinjaman pertama yang
beliau terima. Menurut informasi yang beliau dapat dari bu Upik Rauda Tayib,
seorang tokoh Budayawan asal Sumatera Barat, Batik Tanah Liek berasal dari cina
bukan dari jawa.
Sampai sekarang, bu Hj. Wirda Hanim tetap melestarikan Batik Tanah Liek
yang berada di kediaman sakaligus show room beliau yaitu Jalan Sawahan Dalam,
No.33, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Bukan itu saja, beliau juga
mendapatkan berbagai penghargaan baik dari pemerintah maupun swasta, seperti
Upakarti Award pada tahun 2006 atas jasa melestarikan produk tradisional seni dan
budaya indonesia, serta dari MARKPLUS pada tahun 2014 sebagai Marketeer of the
year.
2. Jumlah karyawan
Batik Tanah Liek mempunyai 40 orang karyawan. Yang mana terbagi menjadi
beberapa bagian yaitu memotong kain, memisahkan kain, canting, menutup motif dan
finishing kain. Tenaga kerja tersebut bekerja dirumah masing-masing. Kecuali
menjahit dan menyablon batik. Diperlukan alat khusus untuk mencetak batik seperti
cap batik, printing kain dan alat pencetak kain yang terbuat dari logam.

3. Cara Mengelola
Bahan baku yang digunakan oleh perusahan batik ini adalah bahan terpilih.
Kainnya didatangkan dari Sulawesi, Garut, Lombok dan menggunakan bahan kain
Sutra China juga. Bahan pewarna yang digunakan untuk Batik Tanah Liat adalah
tanah liat pilihan yang diambil dari perkampungan di Sumatera Barat. Tanah liat
diambil ekstraknya dan dijadikan bahan pewarna alami Batik Tanah Liat. Ada
beberapa jenis batik lain yang diproduksi juga, yaitu batik printing/sablon, batik tulis,
dan batik cap yang bahannya dari bahan kimia. Batik jenis ini diproduksi untuk
memenuhi permintaan konsumen. Batik Tanah Liat ini tidak diproduksi lagi, jadi
untuk menjaga cirikhasnya Batik Tanah Liat ini Hanya diproduksi di satu cabang saja.
Selain itu harganya juga relatif mahal dari jenis batik lainnya. Karena batik Tanah Liat
diproduksi dengan manual atau handmade.
Pusat produksi batik ini berada di Kecamatan Sumanik Batusangkar. Yaitu
kampung ibu Hj. Wirda Hanim sendiri. Alasan ibu wirda bahwa pusat produsen
batiknya berada di sumanik karena karyawan yang terpercaya sudah berumur dan
tidak memungkin lagi untuk bekerja di Padang, dan alas an lainnya bahan baku
tanahnya untuk dijadikan bahan pewarnanya juga tidak membutuhkan biaya lagi
untuk mendapatkannya.

4. Kiat Sukses ibu Hj.Wirda Hanim


Kiat sukses dari ibu Wirda dalam menjalni bisnisnya dengan suskses yaitu:
1) Kreatif  dalam membangun sebuah bisnis kita harus kreatif mencari produk
Yang lain dari lain.
2) Inovatif  kita harus dapat menciptakan hal-hal yang baru dalam bisnis.
3) Optimis  yaitu percaya diri, dalam menjalankan bisnis kita harus percaya
diri dengan produk yang kita jual.
4) Sabar  perjalanan dalam membangun bisnis dari bawah tidaklah mudah,
untuk itu diperlukan kesabaran.
5) Peduli  dilihat dari sejarah bisnis ibu Wirda bahwa ibu Wirda memulai
bisnisnya dari melihat upacara adat dikampungnya bahwa kain batik tanah liek
yang dipakai oleh para Datuak dan Bundo Kanduang sudah kusam dan harus
berhati-hati memakainya karena murah robek. Dari kepedulian melihat hal itu
ibu Wirda bisa memiliki bisnis Batik Tanah Liek ini.
5. Tingkat keuntungan
Keuntungan didapat secara musiman. Keuntungan yang didapat dari
perusahaan ini adalah dari penjualan pesanan dari perusahaan untuk oleh-oleh.
Perusahaan yang didapatkan dari oleh-oleh ini misalnya dapat dipesan dengan jumlah
besar misalnya 100 buah. Dan keuntungan ini tidak menentu. Apabila konsumen
ramai keuntungan yang didapat pun banyak begitu sebaliknya. Menjelang puasa dan
lebaran pun tidak memengaruhi tingkat keuntungan. Karena batik ini memproduksi
barang dengan limited edition. Oleh karena itu batik ini di beli oleh orang yang
mengerti seni akan batik dan rela membayar cukup mahal untuk karya seni kain batik
ini.

6. Suka Duka Menjalani Usaha


Duka menjalani usaha ini adalah batik yang diproduksi tidak sesuai dengan
selera konsumen. Misalnya konsumen sedang ingin motif tertentu tidak sesuai dengan
seleranya. Tidak jarang juga batik ini kedainya lengang dikunjungi oleh konsumen.
Tetapi untuk menyiasati hal itu batik ini juga memproduksi kain batik berbagai
macam motif dan warna serta memproduksi baju kemeja untuk laki-laki. Sukanya
adalah barang yang diproduksi terjual walaupun harganya mencapai jutaan untuk
Batik Tanah Liat ini.

7. Kesimpulan.
Dari wawancara yang kami jalani ini, kami menyimpulkan bahwa Batik Tanah
Liat adalah usaha yang sangat unik. Usaha yang sekaligus mempertahankan budaya
minang. Karena dari segala motif yang di produksi semuanya adalah dari motif
Sumatera Barat asli. Jadi, dengan lancarnya usaha ini, bisa disebut juga dapat
melestarikan budaya minang melalui Batik Tanah Liek.

Anda mungkin juga menyukai