Anda di halaman 1dari 18

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. TT
Umur : 43 thn
Jenis Kelamin : Wanita
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Pringsewu
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal pemeriksaan : 18 Juli 2016

II. ANAMNESA
Autoanamnesa pada tanggal 18 Juli 2016.

Keluhan utama
Pasien mengeluh demam disertai gusi berdarah sejak 4 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD Puskesmas Pringsewu dengan keluhan demam tinggi terus menerus dan
gusinya berdarah . Demam sebelumnya dirasakan sejak 4 hari yang kemudian disertai gusi
berdarah sejak 2 hari SMRS.

Pasien juga mengeluh kepala pusing, lemas, mual, nyeri pada ulu hati dan perut sebelah kanan
atas. BAB berwarna hitam tetapi tidak mencret. BAK tidak ada keluhan.

Sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik dan diberi obat berupa paracetamol, amoxilin ,
ranitidin serta sodium diklofenak tetapi tidak kunjung sembuh.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengaku memiliki riwayat maag sejak kecil dan sering mengkonsumsi obat obatan
warung berupa promag. Pasien juga pernah operasi usus buntu 4 tahun yang lalu.

Riwayat penyakit keluarga dan lingkungan sekitar


1
Pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini , tetapi tetangganya
ada yang menderita gejala penyakit seperti ini.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 18 Juli 2016 pada pukul 23.15 WIB

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70mmHg

Nadi : 76x /menit

Pernafasan : 24x /menit

Suhu : 36 oC

Berat Badan : 65 kg

 Kepala
Bentuk : Normal simetris
Rambut : Hitam dengan distribusi yang merata dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Pupil isokor kanan dan kiri sama
Refleks cahaya positif
Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak krepitasi, tidak
hiperemis dan tidak ada sekret yang keluar dari hidung.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Mulut : Bentuk normal, tidak sianotik.

 Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB

2
 Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Iktus kordis tidak terlihat
Tidak ada kelainan kulit
Tidak ada pelebaran sela iga

Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri sama


Iktus kordis teraba pada ICS V Linea midclavicularis sinistra
Tidak ada nyeri tekan , tidak ada krepitasi , tidak teraba massa

Perkusi : Terdengan suara sonor diseluruh lapang paru


Batas kanan jantung pada ICS V linea parasternalis dekstra.
Batas kiri jantung pada ICS V linea midklavikularis sinistra.
Pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra.
Batas paru hati pada ICS VI linea midclavicularis dextra , dan
peranjakan paru positif.

Auskultasi : Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru, dan tidak terdengar suara
nafas tambahan
Bunyi jantung I-II reguler murni, tidak ada suara tambahan

 Abdomen :
Inspeksi : Perut cembung, simetris
Auskultasi : Bising usus terdengar dalam batas normal
Palpasi : Supel
nyeri tekan epigastrium dan perut kanan atas
Pembesaran hepar dan lien tidak teraba
Ballotement negatif
Perkusi : Timpani di 4 kuadran abdomen
Pemeriksaan Shiftting Dullnes negatif
Tidak ada pembesaran lien

 Ekstremitas : Akral hangat , turgor kulit baik


Tidak ada edema dan tidak sianotik

3
 Neurologi
 Refleks Fisiologis : Baik
 Refleks Patologis : Kaku kuduk, Babinski dan Babinski Grup Negatif
 Kekuatan Otot :5
 Fungsi Sensorik : Baik kanan dan kiri

V. PEMERIKSAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM (18 Juli 2016)

Pemeriksaan Hematologi

Hemoglobin : 14,9 g/dl (P:14-16, W:12-16) g/dl

Leukosit : 3200 /mm (3500-10.000)/mm

Eritrosit : 4,86 (3,8 – 5,8) jl/mm3

Hematokrit : 43,6 % (35-50)

Trombosit : 43.000 /mm3 (150-400) ribu/mm3

Pemeriksaan Faal Hati:

SGOT : 55 U/dl ( P: <38 ; W: <32 ) U/L

SGPT : 37 U/dl ( P: <41 ; W: <31 ) U/L

Pemeriksaan Faal Ginjal:

Ureum : 26 mg/dl ( 15-45 ) mg/dl

Kreatinin : 0,8 mg/dl ( P: 0,7 – 1.2 ; W: 0,5-0,9 ) mg/dl

Pemeriksaan Kimia Darah

Glukosa sewaktu : 85 mg/dl ( <170 )

4
Follow Up 18 – 07 – 2016 19 – 07 – 2016 20 – 07 - 2013 21 – 07 - 2013 22 – 07 - 2013

Tanggal

Keluhan Mual, lemas, Mual, lemas, Mual, lemas, Gusi berdarah Mual, lemas,
nyeri ulu hati nyeri ulu hati nyeri ulu hati gusi berdarah
dan perut kanan dan perut dan perut
atas. kanan atas kanan atas

Lab 06.00 18.00 06.00 18.00 06.00 18.00 06.00 18.00

Hb 15 14,4 15,4 14,5 15,7 13,2 14,1 13,7

Leukosit 3200 4200 5400 4900 4500 4800 8200 9100

Ht 44,6 % 44,2 % 49% 42,6% 47,1 38.1 41,6% 41,7%

Trombosit 44 rb 34rb 49 rb 40rb 62rb 42rb 143rb 160 rb

 Kesadaran CM CM CM CM CM

 TD 100/60mmhg 100/70mmhg 120/80mmhg 100/70mmhg 100/70


 Nadi 78x/mnt 78x/mnt 80x/mnt 80x/mnt 80x/mnt
 Pernafasan 20x/mnt 22x/mnt 20x/mnt 20x/mnt 20x/mnt
 Suhu
360 C 360 C 360 C 370 C 36,20 C

Mata

 Conjungtiva (+/+) (+/+) (-/-) (-/-) (-/-)


Anemis
 Sklera Ikterik (-/-) (-/-) (-/-) (-/-) (-/-)

Toraks
Vesikuler ka=ki Vesikuler ka=ki Vesikuler ka=ki Vesikuler ka=ki Vesikuler ka=ki

Rh - / -Wh - / - Rh - / -Wh - / - Rh - / -Wh - / - Rh - / - Wh - / - Rh - / - Wh - / -

BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler

Abdomen
NT (+) BU (+) NT (+) BU (+) NT (+) BU (+) NT (+) BU (+) NT (+) BU (+)

Hepar teraba 1 jari Hepar teraba 1 jari


dibawah arcus dibawah arcus
costae costae

Diagnosa DHF Grade II DHF Grade II DHF Grade II DHF Grade II DHF Grade II

5
VI. RESUME

Seorang wanita, 43 tahun datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan demam
tinggi terus menerus dan gusinya berdarah . Demam sebelumnya dirasakan sejak 4 hari yang
kemudian disertai gusi berdarah sejak 2 hari SMRS.

Pasien juga mengeluh kepala pusing, lemas, mual. Selain itu pasien juga merasakan nyeri ulu
hati dan perut kanan atas. nyeri dirasakan terus menerus baik sesudah atau sebelum makan. BAB
berwarna hitam dan BAK tidak ada keluhan. Sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik dan
diberi obat berupa paracetamol, amoxilin , ranitidin serta sodium diklofenak tetapi tidak kunjung
sembuh.

Pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran Composmentis, GCS E4M6V5. Tekanan darah


110/70 mmHg, nadi 76x /menit, pernafasan 24x /menit , suhu 36oC. Nyeri tekan didaerah
epigastrium dan perut kuadran kanan atas. Hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae dextra.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia . SGOT dan SGPT mengalami
peningkatan. Hb dan hematokrit dalam batas normal.

VII. DIAGNOSIS KLINIS

DHF grade II

VIII. DIAGNOSIS BANDING

ITP

IX. PENATALAKSAAN
 Umum
o Tirah Baring

 Medikamentosa
o IVFD RL 500cc per 8 jam
o Ranitidin IV 2 x 1 ampul per 12 jam
o Ceftriaxon IV 2 x 1gr per 12 jam
o Antacida 3 x 1 tab

6
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Kultur virus dengue
 Imunoserologi IgG dan IgM anti dengue
 Pemeriksaan Morfologi sel darah tepi
 USG abdomen

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam

7
DEMAM BERDARAH DENGUE

2.1 DEFINISI
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diathesis hemoragik. Pada DBD dapat terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom rejatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh rejatan/syok.(1)

2.2 ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus virus dengue, yang
termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30nm terdiri dari asam ribonuklear rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.Terdapat
4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan
demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe tersebut ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue
dengan flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West nile virus. (1)
Dalam laboraturium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci,
anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi
terhadap virus dengue pada hewan seperti kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda
menunjukan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk Aedes (stegomyia) dan
Toxorhynchites.(1)

2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi
(313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan
AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk dalam
daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk). Dalam lima tahun terakhir (2005-
2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi .
Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI
Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh

8
kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik
dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda
dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk
Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah
hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk
lebih mudah berkembang biak. (2)

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu
: 1. Vektor  perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain, 2. Pejamu  terdapatnya penderita di
lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jemis kelamin, 3.
Lingkungan  curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk (1)

9
2.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga kini masih diperdebatkan.


Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom rejatan dengue. Respon imun yang
diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah
a. Respon humoral berupa pembentukan antobodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplenmen dan sitotoksisitas yang dimediasi oleh antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enchancement (ADE),
b. Limfosit T baik T- Helper (CD 4) dan T- Sitotoksik (CD 8) berperan sebagai respon imun
terhadap virus dengue. Deferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma,
IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL- 10,
c. Monosit dan makrofag berperan sebagai fagositosis dengan opsoniasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag,
d. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentukanya C3a dan
C5a.(1)
Halstead pada tahun 1973 mengajukan the secondary heterotypic antibody dependent
enchancement of a dengue virus infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang
terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re – infeksi menyebabkan reaksi
amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus – antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T – Helper dan T – sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengativasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF α, IL – 1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktifasi oleh kompleks virus
(1)
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. Seperti hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea dan syok
hipovolemik.Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya hemokonsentrasi,
tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah satu patofisiologi yang terjadi
pada DBD. (2)

10
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme; 1. Supresi sumsum tulang
dan 2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada awal
infeksi (< 5 hari) menunjukan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan tercapai akan
terjadi peningkatan hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan terjadinya
stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia.
Destruksi trombosit terjadi melalui peningkatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan
PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.(1)
Koagulopati terjadi akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi
endotel. Berbagai penelitian menunjukan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah
dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui
aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi
faktor XI a namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).(1)

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Diterbitkan panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu,
disepakati klasifikasi kasus yang sekarang ;
1. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning sign)
2. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning sign)
3. Dengue berat (severe dengue)
11
Kriteria dengue tanpa tanda bahaya :
 Dengue Probable
1. Bertempat tinggal di/berpergian ke daerah endemik
2. Demam disertai 2 dari hal berikut;
1. Mual , muntah
2. Ruam
3. Sakit dan nyeri
4. Uji bendung positif
5. Leukopeni
6. Adanya tanda bahaya
3. Tanda bahaya
1. Nyeri perut
2. Muntah berkepanjangan
3. Terdapat akumulasi cairan
4. Perdarahan mukosa
5. Letargi, lemah
6. Pembesaran hati > 2cm
7. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat (3)
 Kriteria dengue berat
1. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan
distrees pernafasan.
2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinis.
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT > 1000, gangguan kesadaran, gangguan
jantung, dan organ lain) (3)

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:


 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
uji torniquet.
 Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
 Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah.
 Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur

12
2.7 DIAGNOSIS

Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi dengue. Riwayat penyakit yang harus
digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda
bahaya,diare, kemungkinan adanya gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di
lingkungan kerja, rumah yang sakit serupa. Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan
kesadaran penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat dikenal
lebih dini, adalah takipnea / pernafasan Kusmaul / efusi pleura, apakah ada hepatomegali/asites/
kelainan abdomen lainnya, cari adanya ruam atau petekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda
perdarahan spontan tidak ditemukan maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar
30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 % (2).

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium

Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:


 Leukosit : dapat normal atau menurun, mulai hari ke – 3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari
jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat
 Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
 Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya hematokrit naik lebih
dari sama dengan 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai hari ke 3 demam
 Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP, pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah
 Protein / albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
 SGOT/SGPT : dapat meningkat
 Ureum, kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
 Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
 Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah

13
Diagnosa pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT – PCR (Reverse transcriptase polymerase chain
reaction), namun karena teknik lebih rumit, saat ini tes serologi yang menditeksi adanya
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG (1)

 Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue


o IgM terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke – 3, menghilang
setelah 60 – 90 hari
o IgG pada infeksi primer mulai terditeksi pada hari ke – 14, pada infeksi sekunder
IgG terdeteksi hari ke – 2
 Uji HI dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan suveilans
 NS I : antigen NS I dapat di deteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan. Sensitivitas antigen NSI berkisar 63 – 93,4% dengan sensitivitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NSI
tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue

Pemeriksaan Radiologi

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan akan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur
pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG. (1)

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
ITP.

Sindrom syok dengue (SSD) seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<= 20 mmg), hipotensi
dibandingkan dengan standar sesuai umur, kulit dingin, lemah serta gelisah (1)

14
2.9 PENATALAKSANAAN

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang
berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat
atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik
berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen
utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. (4)
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi
komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari
ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai. (4)

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta
kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah.
Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. (4)

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:


1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar1).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 2).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20% (gambar 3).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 4). (4)

Gambar 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

15
Wolume cairan kritaloid yang dibutuhkan per hari
Dengan Rumus : 1500 + 20 x ( BB - 20) = ... ml
Gambar 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat(4)

Gambar 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%(4)

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek
samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat,
instabilitas hemodinamik danhemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahanyang singkat di
dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh
kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus
tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml
masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan
penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang
menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar
dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa
kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
16
koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid diban-dingkan
kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.
Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Gambar 4. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa(4)

Indikasi rawat inap


Penderita infeksi Dengue yang harus dirawat inap adalah seperti berikut. Bila ditemukan tanda
bahaya (warning sign), keluhan dan tanda hipotensi, perdarahan, gangguan organ (ginjal, hepar,
jantung dann nerologik), kenaikan hematokrit pada pemeriksaan ulang, efusi pleura, asites,
komorbiditas (kehamilan, diabetes mellitus, hipertensi, tukak petik dll), kondisi social tertentu
(tinggal sendiri, jauhdari fasilitas kesehatan, transportasi sulit).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; Juni 2006. Hal. 1709-13.

2. Wahyono Tri Yunis Miko, dkk. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Pusat data dan
surveilans epidemiologi Kementrian Kesehatan RI : Agustus 2010.

3. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. New edition. Geneva. 2009.

4. Pohan herdiman T, dkk. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah dengue. Medicinus
Scientific Journal of Parmaceutical Development and Medical Application. Jakarta : Maret 2009

18

Anda mungkin juga menyukai