Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 9 TAHUN DENGAN TONSILITIS


DIFTERI DAN SUSPEK OBSTRUCTIVE SLEEP APNEU(OSA)

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan


Ilmu Kesehatan THT-KL Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr.Kanti Yunika, Sp.THT-KL


Pembimbing : dr. Bodro Prastowo
Dibacakan oleh : Michelle Abigail 22010116210131
Reza Sebastian Prakasa 22010116210028
Bellakusuma N 22010116210023
Sherly Mediana 22010116210128
Dibacakan tanggal : April 2018

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2018

1
2

HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus seorang anak laki-laki 5 tahun dengan tonsillitis difteri dan
suspek obstructive sleep apneu (OSA)
Penguji Kasus : dr.Kanti Yunika, Sp.THT-KL
Pembimbing : dr. Bodro Prastowo
Dibacakan oleh : Michelle Abigail 22010116210131
Reza Sebastian Prakasa 22010116210028
Bellakusuma N 22010116210023
Sherly Mediana 22010116210128
Dibacakan tanggal : April 2018
Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, April2018

Mengetahui

Penguji kasus, Pembimbing,

dr.Kanti Yunika, Sp.THT-KL dr. Bodro Prastowo


3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yangmerupakan bagian
daricincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yangterdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah),tonsil tuba
Eustachius(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun dan
anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun. Tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi,bila tonsilitis akut sering kambuh walaupun penderita telah mendapat
pengobatan yang memadai, maka perlu diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis
kronik.
Berdasarkan durasi waktu, tonsilitis dibagi menjadi tonsillitis akut dan
tonsilitis kronik.1Tonsilitis dapat disebabkan oleh virus (40-60%) dan bakteri (5-
40%), seperti salah satu contohya adalah bakteri patogen Corynebacterium
diphteriae yang menyebabkan tonsilitis difteri. Tonsilitis difteri sering ditemukan
pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Pada tahun 2017, dari 20 provinsi di Indonesia didapatkan 593 kasus
difteri dan 32 kematian dimana seharusnya angka kejadian kasus difteri dapat
dikurangi dengan adanya imunisasi.
Pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Tonsilitis termasuk
dalam level kompetensi 3B yang berarti sebagai dokter umumdiharapkan mampu
membuat diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien, mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya.Melalui kasus ini akan dilaporkan seorang anak
laki-laki 9 tahun dengan tonsillitis difteri dan suspek OSA yang datang ke IGD
RSDK Semarang pada tanggal 7 April2018
4

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran
mampu menegakkan diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat berdasarkan
data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dan pengelolaan tonsillitis difteri dan suspek OSA.

1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses
belajar menegakkan diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat pada pasien
dengan tonsillitis difteri dan suspek OSA.
5

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. HAS
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan :Belum tamat SD
Masuk RS : 7 April 2018
No. CM : C667965 / 9496846

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Nyeri tenggorok  12 1. AML
2. Suara serak  12
3. Demam  12
4. Leher membesar  12
5. Batuk (+)  12
6. Pilek (+)  12
7. Tidur mendengkur (+)  13
8. Sering terbangun karena sesak (+)  13
9. Tonsil T3-T3, hiperemis (+/+) ,kripte melebar
(+/+), pseudomembran (+/+)  12
10. Limfadenopati level II dextra (+) 12
11. Swab tenggorok : C.difteri (+)  12
12. Tonsilitis difteri
13. Suspek Obstructive Sleep Apneu
6

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 7 April 2018 pukul 10.45 WIB di
IGD RSDK, Semarang
Keluhan utama : Nyeri tenggorok
Perjalanan penyakit sekarang :
±5 hari SMRS anak mengeluh nyeri pada tenggorok. Nyeri dirasa terus
menerus sepanjang hari. Nyeri memberat ketika menelan dan berbicara. Tidak
ada faktor yang memperingan nyeri. Nyeri dirasa sangat berat hingga anak tidak
mau makan, hanya bisa minum susu saja. Keluhan tersebut disertai mendengkur
saat tidur (+) yang dirasakan semakin memberat, kadang anak terbangun saat
malam hari karena kesulitan bernapas. Keluhan tidak berkurang dengan
perubahan posisi. Anak juga mengeluh leher terasa membesar dan nyeri saat
disentuh maupun saat membuka mulut. Demam (+) ngelemeng, naik turun,
membaik dengan obat penurun panas. Batuk (+) dahak putih, pilek (+) lendir
kental warna kuning kehijauan. Suara serak (+), nyeri pada wajah (-), nyeri
kepala (-), sesak napas (-), keluar cairan dari telinga (-), telinga terasa penuh (-),
pendengaran berkurang (-) dan gigi berlubang (-). BAB dan BAK dalam batas
normal. Anak pernah dibawa ke puskesmas, dikatakan radang tenggorokan dan
diberi obat penurun panas. Karena keluhan dirasa semakin memberat, ibu pasien
membawa anak ke IGD RSDK.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keganasan (+), terdiagnosis AML Desember 2017 di RSDK rutin
kemoterapi
- Riwayat imunisasi dasar lengkap (+)
- Riwayat batuk pilek berulang (-)
- Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupadisangkal
- Riwayat alergi disangkal
7

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien merupakan siswa SD. Ayah pasien bekerja sebagai pegawai
swasta, dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasien memiliki 1 orang adik berusia
15 bulan. Pembiayaan dengaan BPJS PBI.
Kesan: sosial ekonomi kurang.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 7 April 2018 pukul 11.00 WIB di IGD RSDK,
Semarang.
A.1 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak lemas
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : kurang aktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
(TB :120 cm, BB : 19,5 kg, BMI: 13,54)
Tanda Vital : TD : tidak lakukan pemeriksaan
HR : 120x/menit
RR : 32x/menit
T : 37,7oC
Wong Baker : 5-6
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup, sawo matang
Mata : Conjunctiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Jantung : BJ I-II murni, bising (-), gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), stridor (-/-)
Hati : hepar tak teraba
Limpa : limpa teraba Schuffner 3-4
Limfe : Pembesaran kelenjar limfe leher anterior dextra
Anggota gerak : Kesan dalam batas nomal
8

A.2 Status Lokalis (THT)


1. Telinga:
Gambar:

Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri


Hiperemis (-), nyeri tekan Hiperemis (-), nyeri tekan
Mastoid
(-), nyeri ketok (-), fistel(-) (-), nyeri ketok (-), fistel(-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-) discharge (-)
Warna putih cemerlang, Warna putih cemerlang,
perforasi (-), retraksi (-), perforasi (-), retraksi (-),
Membran timpani
reflek cahaya (+) arah jam reflek cahaya (+) arah jam
5, granulasi(-) 7, granulasi(-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal:


Gambar:
9

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-),warna
kulit sama dengan sekitar, allergic shinner (-), nasal
Hidung
crease (-), allergic salute (-)
Palpasi os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discaj (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)
Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
Konka Inferior
livid (-) livid (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan(-) Deviasi (-), pendarahan(-)
Fenomena palatal Sulit dinilai Sulit dinilai
Diafanoskopi tidak dilakukan

3. Tenggorok:

Orofaring Keterangan
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (+)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah
Mukosa Hiperemis (+), granulasi (-)
Ukuran T3, hiperemis (+), Ukuran T3, hiperemis (+),
Tonsil
permukaan tidak rata, permukaan tidak rata,
10

kripte melebar (+), detritus kripte melebar (+), detritus


(-), pseudomembran (+) (-), pseudomembran (+)
Peritonsil Abses (-)
Palatal phenomenon Sulit dinilai
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Endoskopi: tidak dilakukan pemeriksaan

4. Kepala dan Leher:


Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-), facies adenoid (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (+/-), level II
Jumlah satu, ukuran 3x2x2cm, nyeri tekan (+),
konsistensi kenyal, terfiksir, bull neck (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-/-)
Lain-lain : (-)
5. Gigi dan Mulut
Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
Lain-lain : (-)
B. Pemeriksaan Penunjang
B.1 Laboratorium
HEMATOLOGI PAKET
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 12,3 gr% 10,50-15,00 N
Hematokrit 35,4 % 36-44 L
Eritrosit 4,27 juta/uL 3,0-5,4 N
MCH 28,8 Pg 23,00-31,00 N
MCV 82,9 fL 77-101 N
11

MCHC 34,7 g/dL 29-36 N


Leukosit 95,8 ribu/uL 5,0-13,5 H
Trombosit 37 ribu/uL 150-400 L
RDW 12,8 % 11,6-14,8 N
MPV 9,6 fL 4-11 N

KIMIA KLINIK
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Glukosa 94 mg/dL 80-160 N
sewaktu
Ureum 6 mg/dL 15-39 L
Kreatinin 0,5 mg/dL 0,60-1,30 L
Elektrolit
Natrium 122 mmol/L 136-145 L
Kalium 3,0 mmol/L 3,5-5,1 L
Chlorida 93 mmol/L 98-107 L

KOAGULASI
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Plasma Prothrombin
Time (PPT)
Waktu Prothrombin 16,0 Detik 11,0-14,5 H
PPT kontrol 13,6 detik
Partial Thromboplastin
Time (PTTK)
Waktu Thromboplastin 32,5 Detik 24,0-36,0 L
APTT kontrol 31,4 Detik L

B.2 Pemeriksaan swab tenggorok


Pewarnaan gram
Diplococcus gram (+) (+)/POSITIF
Kuman bentuk batang gram (+) (+)/POSITIF
Leukosit 1-5/LP
12

Neisser
C.diphteriae (+)/POSITIF
CATATAN : ditemukan kuman bentuk batang gram positif dengan granula
metakromatik

III. RINGKASAN :
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang ke IGD RSDK dengan keluhan
nyeri tenggorok sepanjang hari sejak ± 5 hari yang lalu hingga anak sulit makan.
Batuk (+) dahak putih kental. Pilek keluar cairan warna kuning kehijauan kental.
Demam (+) ngelemeng, naik turun. Suara serak (+), leher membesar (+) dan nyeri.
Keluhan tersebut disertai mendengkur saat tidur (+) yang dirasakan semakin
memberat, kadang anak terbangun saat malam hari karena kesulitan bernapas.
Pemeriksaan fisik tenggorok didapatkan tonsil ukuran T3-T3, mukosa
hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+), pseudomembran (+/+). Pemeriksan leher
didapatkan limfadenopati level II dextra. Hasil swab tenggorok ditemukan bakteri
diplococcus gram (+) positif, kuman bentuk batang gram (+) positif, dan
C.diphteriae positif.

IV. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


DD/ Tonsilitis difteri
Tonsilitis lakunar
Mononukleosis
AML
Suspek OSA

V. DIAGNOSIS SEMENTARA
Tonsilitis difteri
AML
Suspek OSA
13

VI. RENCANA PENGELOLAAN :


IpDx : S: -
O: Pemeriksaan swab tenggorok, pemeriksaan darah rutin, elektrolit,
Pemeriksaan Rasio Adenoid Nasofaring
IpRx :
- Infus D5 ½ NS 20 tpm
- ADS 40.000 unit
- Metilprednisolon 20 mg / 12 jam i.v
- Eritromicin 250 mg / 6 jam p.o (selama 10 hari)
- Balance cairan dan diuresis / 12 jam
- Konsul dan rawat bersama TS anak
- Rawat ruang isolasi

VII. PEMANTAUAN
- Keadaan umum, tanda vital
- Keluhan leher membesar
- Keluhan mengorok saat tidur
- Keluhan terbangun pada malam hari karena sesak
- Progresifitas penyakit
- Respon terapi
- Efek samping obat yang mungkin ditimbulkan

VIII. EDUKASI :
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai infeksi difteri pada tonsil
atau amandel yang dialami pasien sehingga menutupi jalan napas dan harus
dilakukan pemantauan sehingga diperlukan rawat inap. Terapi yang diberikan
berupa antibiotik dan anti difteri serum.
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga agar mengkonsumsi obat secara teratur
 Pasien dianjurkan untuk mematuhi arahan dokter
14

IX. PROGNOSIS :
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanam : Dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
3.1.1 Faring
Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang dilapisi oleh selaput
lendir yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Di bagian belakang
mukosa dinding faring terdapat dasar tulang sfenoid dan dasar tulangoksipital. Di
sebelah atas dari faring terdapat adenoid. Muara tuba eustachius pars kartilaginosa
yang disebut fossa rosenmulleri terletak di dinding lateral dari faring. Faring
terletak di posterior rongga hidung dan mulut dan posterior ke laring.1 Oleh
karena itu, faring terbagi menjadi bagian hidung, mulut, dan laring: (1)
nasofaring, (2) orofaring, dan (3) laringofaring. Faring meluas dari dasar
tengkorak sampai ke batas inferior tulang rawan krikoid (di sekitar tingkat
vertebra C6), di mana ia menjadi kontinyu dengan kerongkongan.1,2

Gambar 1. Anatomi Faring

Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia buccofaringeal. Di sepanjang
16

faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian
jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial.3
Fungsi faring terutama untuk pernapasan, penelanan, resonansi suara dan
artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama adalah
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua transport
makanan melalui faring. Tahap ketiga jalannya bolus melalui esophagus keduanya
secara involunter.1
3.1.2 Tonsil
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan
ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.4

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
17

mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).4,5
3.1.2.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.6

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :


1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior. A.
carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
18

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.7

Gambar 4. Anatomi Tonsila Palatina

3.1.2.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga
tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.7
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid
akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan
mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir.
Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya
ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul
19

sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan.8,9

Gambar 5. Adenoid

3.1.2.3 Tonsil Lingual


Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.10
3.1.2.4 Fosa Tonsil
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang
disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil.5
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar
yang kemudian membentuk septa.5
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke
arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak
diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan
20

serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi
adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.5
3.1.2.5 Vaskularisasi Tonsil
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris
dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina
desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal
asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. 5,10

Gambar 6. Vaskularisasi Tonsil


21

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran


getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah
bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening
selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. 10
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V
melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf
glossofaringeus (N. IX). 10

Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher

Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan


patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi
terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60
tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua
kompartemen tonsil. 10
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada
respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel
kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis.
Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga
membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan
22

dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik.11
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui
limfe.11

3.2 Tonsilitis
3.2.1 Definisi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis
diperkirakan akibat obstruksi kripte tonsil, sehingga mengakibatkan terjadi
multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil dalam kripte tonsil yang
normal. Pendapat lain patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat
dengan lokasi maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen
baik inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk kedalam tonsil terjadi
perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi.12,13,14
3.2.2 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan
membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis
akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien
hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam
tinggi (390C-400C). Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit
menelan, tenggorokan akan terasa mengental.11
23

Tetapi bila penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri


yang tinggi terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi
kerusakan tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan
terjadi penyakit. Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun
juga membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan.11
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang
berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang terdiri
dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.11

3.2.3 Klasifikasi
A. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri
tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan
adanya limfadenopati servikal. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14
hari.15,16
Tonsilitis akut berdasarkan penyebab infeksi, yaitu :
1. Tonsilitis Viral
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus. Gejala lebih menyerupai common
cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang sering Epstein Barr,
influenza ,para influenza, coxasakie, echovirus, rhinovirus.17,
2. Tonsilitis Bakterial
Bakteri penyebab terbanyak dari berbagai literatur dikatakan adalah
Streptococcus β haemolyticus group A. Pada berbagai penelitian belakangan ini
terlihat pergeseran bakteri penyebab tonsilitis, terbanyak adalah Staphylococcus
aureus, kemudian diikuti oleh Streptococcus β haemolyticus group A, Haemofilus
influenzae dan Streptococcus pneumonia.17
24

Infiltrasi bakteri ke dalam jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk eksudat dikenal dengan
detritus.17
B. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang. Tonsilitis kronis secara umum diartikan
sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap lebih dari 3
bulan. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.15
Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang tertahan di
dalam kripte tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya.15,16
Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga
timbulgangguan menelan, obstruksi sleep apnea dan gangguan suara. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai ukuran,
dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil arsitektur kripte yang
rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripte tonsil dan sikatrik pada pilar.17
Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah:
• Kripte tonsil melebar
• Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba
• Muara kripte terisi pus
• Tonsil tertanam atau membesar
Tonsilofaringitis kronik dapat dicetuskan oleh berbagai macam faktor
sebagai berikut.
 Infeksi persisten jaringan sekitar. Pada rinitis dan sinusitis kronik, discaj
purulen turun ke faring secara konstan yang menjadi sumber infeksi. Hal ini
menyebabkan hipertrofi lateral laringeal band. Tonsilitis kronik dan sepsis
gigi berperan pada faringitis kronik dan nyeri tenggorok berulang.11
 Bernafas melalui mulut. Nafas melalui mulut membuat faring terpajan udara
yang belum disaring, dilembabkan, dan disesuaikan dengan suhu tubuh. Hal
25

ini menyebabkan faring lebih rentan terhadap infeksi. Nafas melalui mulut
dapat disebabkan oleh: (i) obstruksi nasal, yaitu polip nasi, rhinitis alergika
atau rinitis vasomotor, hipertrofi turbinate, deviasi septum nasi; (ii) Obstruksi
nasofaring, yaitu adenoid dan tumor; (iii) protrusi gigi yang mencegah aposisi
bibir; (iv) kebiasaan tanpa penyebab organik. 11
 Iritan kronik. Merokok berlebihan, paparan terhadap asap rokok,
mengonsumsi alkohol, mengunyah tembakau, dan makanan yang sangat
pedas.11Faringitis kronik juga berhubungan dengan riwayat konsumsi
minuman dingin.11
 Polusi lingkungan. Lingkungan berasap atau berdebu atau gas industri iritan
11
dapat berperan terhadap terjadinya faringitis kronik. Asap rokok akan
mengiritasi epitel orofaring dan menyebabkan kerusakan serta mengganggu
mucosal clearance dan respon imun. Asap rokok juga dapat mengubah flora
normal orofaring dan menjadi faktor predisposisi infeksi.11
 Cara berbicara yang salah. Penggunaan suara yang berlebihan seperti
berteriak dapat menginduksi faringitis kronik teruutama faringitis kronik
hipertrofi.11
C. Tonsilitis Mebranosa11
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-
anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa)
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
26

d. Penyakit kelainan darah


Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi
dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.

3.2.4 Tatalaksana
 Terapi simptomatis faringitis akut meliputi intake cairan yang cukup, NSAID,
analgesik/antipiretik, gargle. 15
 Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan
dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari pada orang
dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4−6 kali pemberian/hari. 15
 Antibiotik diberikan terutama apabila diduga penyebab faringitis bakteri adalah
Streptococcus β hemolyticus grup A. Antibiotik yang dipakai adalah golongan
penisilin. Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB IM tunggal atau amoksisilin
500mg/kgBB 3 kali/hari selama 10 hari atau eritromisin 4x500 mg/ hari. Pada
faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2 kali/hari.15
 Pada terapi faringitis kronik, penyebab faringitis kronik perlu dihilangkan.
Penyakit penyebab seperti rinitis atrofi (pada faringitis atrofi), rinitis dan
sinusitis kronik harus diobati11Pengobatan simptomatis dapat diberikan obat
kumurdan tablet hisap11. Pada faringitis kronik hipertrofi dapat diberikan
ekspektoran bila diperlukan. 15

3.3 Tonsilitis Diphteri


3.3.1 Definisi
Difteri adalah infeksi toksik akut yang disebabkan oleh spesies
Corynebacterium, terutama Corynebacterium diphtheriae dan jarang disebabkan
oleh strain toksik dari Corynebacterium ulcerans.1 Difteri adalah penyebab utama
kematian pada masa kanak-kanak, ditandai dengan adanya peradangan pada
tempat infeksi dari kuman penyebabnya, terutama pada selaput mukosa faring,
27

laring, tonsil, hidung dan kulit. Hal ini akan diikuti dengan pembentukan
pseudomembran yang menempel erat pada tonsil, faring, laring dan nares. Bahkan
pada kasus yang berat, infeksi dapat menyebar ke trakea, menyebabkan trakeitis,
dan atau adenopati servikalis yang menyebabkan obstruksi saluran nafas yang
mengancam jiwa penderita difteri.18
3.3.2 Patogenesis
Kepadatan penduduk, higiene, dan sanitasi yang buruk, mobilisasi,
imunisasi tidak lengkap, fasilitas kesehatan yang kurang, dan pasien
immunocompromise merupakan faktor resiko penularan penyakit ini. Manusia
merupakan host utama dari infeksi ini.19
Organisme penyebab difteri biasanya menetap pada lapisan superfisial
pada lesi kulit atau mukosa saluran napas, dan memicu reaksi inflamasi lokal.
Virulensi dari organisme etiologis dari difteri ditentukan oleh kemampuannya
dalam memproduksi eksotoksin polipeptida 62-kd poten, yang mampu
menghambat sintesa protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal.20
Toksin difteri yang disekresi oleh strain toksikogenik dari
Corynebacterium diphtheriae, adalah polipeptida untai tunggal Mr 58,342. Strain
toksin C. Diphtheriae membawa gen struktural tox yang dapat ditemukan pada
corynebakteriofag lisogenik beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.20
Strain yang sangat bersifat toksik memiliki 2 atau 3 gen tox + yang
dimasukkan ke dalam genom. Ekspresi dari gen ini diatur oleh pejamu bakterial
dan bersifat iron dependent. Pada kondisi konsentrasi besi yang rendah, regulator
gen dihambat dan mengakibatkan peningkatan produksi toksin. Toksin
diekskresikan dari sel bakteri dan melalui pembelahan untuk membentuk dua
rantai, rantai A dan B, yang akan berikatan dengan ikatan disulfida di antara
residu-residu sistein. Rantai B berikatan dengan reseptar permukaan sel pejamu
yang rentan, dan dengan sifat proteolitiknya mampu memotong lapisan membran
lipid, yang kemudian memungkinkan rantai A untuk masuk ke dalam sel pejamu.
Seiring meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksiknya dapat berlangsung
melalui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin difteri tidak
memiliki target organ spesifik, namun myocardium dan syaraf perifer adalah
28

organ yang paling sering dipengaruhi oleh toksin tersebut. Toksin ini kemudian
menyebabkan inflamasi lokal dan destruksi sel epitel yang diikuti nekrosis sel.21
Dalam waktu beberapa hari awal terjadinya infeksi saluran napas,
koagulum nekrotik yang tebal dan pekat, sel epitel, fibrin, leukosit dan eritrosit
membentuk pseudomembran adheren berwarna abu kecoklatan. Pseudomembran
ini sulit dilepas dan dapat menyebabkan perdarahan edematosa submukosa.21
Absorpsi toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal,
trombositopenia, kardiomiopati dan demyelinasi syaraf.
Difteri secara klasik digambarkan sebagai infeksi dengan fokus primer
pada tonsil atau faring pada lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah
tempat fokus primer yang juga umum ditemui setelah tonsil dan faring. Setelah
masa inkubasi 2 hingga 4 hari, tanda-tanda lokal dan gejala inflamasi mulai
berkembang. Demam pada pasien jarang lebih tinggi dari 39oC.21
3.3.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari infeksi C. diphtheriae sangat bergantung pada
lokasi infeksi, status imunitas pejamu, serta produksi dan distribusi toksin.
Onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari (kisaran
1-10 hari). Gejala awal bersifat umum dan tidak spesifik, sering menyerupai
infeksi virus pernapasan atas. Kelainan pernapasan dimulai dengan sakit
tenggorokan dan radang faring ringan. Pasien dengan difteri biasanya datang
dengan keluhan berikut :22
 Demam tidak tinggi (biasanya jarang >39oC)
 Malaise
 Sakit tenggorokan
 Sakit kepala
 Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran
 Suara serak dan disfagia
 Dispneu, stridor, mengi, batuk
Pembentukan pseudomembran lokal atau penggabungan dapat terjadi
pada bagian manapun dari saluran pernapasan. Biasanya ditemukan di palatum,
faring, epiglotis, laring, trakea, sampai daerah trakeobronkus. Pada pemeriksaan
29

dapat ditemukan edema tonsil, uvula, daerah submandibular, dan leher bagian
depan, diikuti dengan gejala suara serak, stridor, dan pembesaran kelenjar getah
bening serivikal anterior. Membran ini sangat menular, sehingga tindakan
pencegahan harus dilakukan ketika memeriksa atau merawat pasien yang
terinfeksi. Kombinasi adenopati mukosa leher dan pembengkakan limfe
menyebabkan tampilan seperti buffalo hump pada pasien. Penyebab kematian
paling sering adalah obstruksi jalan nafas atau sesak nafas karena aspirasi
pseudomembran.23
Sumbatan jalan nafas atas (upper airway obstruction) juga dapat
ditemukan pada pasien difteri. Sumbatan jalan nafas atas tersebut diklasifikasikan
dalam klasifikasi Jackson, dengan kriteria:
1. Jackson I
Adanya sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, dan tidak
ditemukan sianosis.
2. Jackson II
Gejala Jackson I disertai dengan retraksi supraklavikuler dan infraklavikuler,
sianosis ringan, dan pasien tampak gelisah.
3. Jackson III
Gejala Jackson II disertai dengan adanya retraksi interkostal, epigastrium, dan
sianosis yang lebih nyata dibandingkan Jackson II.
4. Jackson IV
Merupakan skala terberat dari skala obstruksi Jackson, dengan gejala Jackson
III disertai wajah tegang serta ada kemungkinan ditemukannya gagal nafas. 24
30

Gambar 1. Algoritma penentuan diagnosis obstruksi saluran nafas akut.

3.3.4 Diagnosa
Diagnosis difteri harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis karena
keterlambatan pengobatan akan membahayakan nyawa pasien. Selain dari klinis,
diagnosis difteri juga didapat dari isolasi kuman Corynebacterium diphtheriae.
Sesuai dengan Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria
(CDC), kasus difteri dibagi menjadi 3, yaitu:
A. Kasus Suspek
 Faringitis, naso-faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau kombinasi
dari gejala tersebut) tanpa demam atau dengan demam subfebris
 Pseudomembran keabuan yang sulit dilepaskan
 Terjadi perdarahan pada pseudomembran bila dimanipulasi atau dilepas
31

B. Kasus Probable
Kasus suspek disertai dengan + 1 atau lebih kriteria berikut :
 Stridor
 Bullneck
 Kolaps sirkulasi toksik
 Acute Kidney Injury
 Ptekie pada submukosa/kulit
 Miokarditis
 Kematian
Pasien perlu ditanyakan juga hal-hal berikut:
 Apakah pasien baru saja kembali dari daerah endemis difteri (kurang lebih
dalam 2 minggu terakhir)?
 Apakah pasien melakukan kontak dengan pasien terkonfirmasi difteri atau
carrier difteri (kurang lebih dalam 2 minggu terakhir)?
 Apakah pasien melakukan kontak dengan orang yang melakukan perjalanan
ke daerah endemis difteri (kurang lebih selama 2 minggu terakhir)?
 Status untuk imunisasi difteri tidak lengkap termasuk belum melakukan
booster
C. Kasus Terkonfirmasi Laboratorium
 Kultur positif C. diphteriae dan satu diantara hasil laboratorium berikut
 Elek test positif
 PCR Tox Gene postif (positif subunit A dan B).25

3.3.5 Terapi
C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui limfe dan
pembuluh darah. Sehingga tujuan dari tatalaksana adalah menginakstivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal dan mengeliminasi kuman difteri tersebut.22
32

Tatalaksana umum22
 Pasien dirawat di ruang isolasi hingga 2 kali kultur menunjukkan hasil
negatif. Kultur ulang harus dilakukan 2 minggu setelah terapi antibiotika
selesai.
 Tirah baring untuk mencegah komplikasi-komplikasi seperti miokarditis
 Pemberian cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi, dapat diberikan dengan
makanan cair

Tatalaksana khusus
1. Pemberian ADS (Anti Difteria Serum)25
Anti toksin harus segera diberikan setelah diagnosis difteri ditegakkan. Dosis
ADS ditentukan bukan berdasarkan berat badan tetapi berdasarkan berat dan lama
sakit. Dosis ADS dapat dilihat dalam tabel berikut :
33

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau mata terlebih dahulu
karena dapat terjadi reaksi anafilaktik. Uji kulit dilakukan dengan cara
menyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan NaCl 0,9% 1;1000 secara intrakutan
pada volar lengan bawah dan 0,1 ml NaCl 0,9% pada sisi berlawanan. Dikatakan
hasil positif jika terdapat indurasi >10 mm pada tempat ADS atau lebih dari 3 mm
dibandingkan kontrol40. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
1:10 ADS dengan NaCl 0,9%. Mata yang berlawanan diberikan 1 tetes garam
fisiologis. Hasil positif apabila dalam 20 menit ada hiperemi konjungtiva dan
lakrimasi.25

2. Antibiotika
Antibiotika yang dapat diberikan pada pasien difteri antara lain adalah
eritromisin per oral atau injeksi, dengan dosis 40mg/kgBB/hari (dengan dosis
maksimum 2 gram/hari) selama 14 hari, atau prokain penisilin G secara
intramuskuler (300.000 unit/hari untuk pasien dengan berat badan ≤10kg dan
600.000 unit/hari untuk pasien dengan berat badan >10kg) selama 14 hari.22

3.4 Obstructive Sleep Apneu


3.4.1 Definisi
OSA adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik
sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea
34

(penurunan aliran udara paling sedikit 30-50% sehingga menyebabkan penurunan


saturasi oksigen) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi
secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga
menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini
menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap
tidur yang lebih awal. Kejadian apnea terjadi selama 10-60 detik dan OSA yang
ekstrim dapat terjadi berulang setiap 30 detik.26

Gambar 8. Patogenesis OSA

3.4.2 Etiologi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi
berupa neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi, contohnya: kegemukan
terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk
terjadinya OSA. Angka prevalens OSA pada orang yang sangat gemuk adalah 42-
48% pada laki-laki dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan akan
meningkatkan gejala-gejala OSA.27
3.4.3 Faktor risiko OSA
Faktor risiko untuk terjadinya OSA:28
A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui: 28
1. Umur : prevalens dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur.
2. Jenis kelamin : Risiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause.
3. Ukuran dan bentuk jalan napas:
35

a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).


b. Micrognathia (rahang yang kecil).
c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.
d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).
B. Faktor risiko penyakit: Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan
dengan: 28
1. Emfisema dan asma.
2. Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).
3. Obstruksi nasal.
4. Hypothyroid, akromegali, amyloidosis, paralisis pita suara, sindroma
postpolio, kelainan neuromuskular, Marfan's syndrome dan Down
syndrome.
C. Risiko gaya hidup:
1. Merokok
2. Obesitas: 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.
a. Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.
b. Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati
denganmenggunakan nasal CPAP.

3.4.4 Tanda dan Gejala OSA


Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah: 27
1. Gejala malam hari saat tidur
a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling / ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak / terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
2. Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
36

d. Tidak bisa konsentrasi


e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar

3.4.5 Klasifikasi OSA


Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine, dapat dibagi
menjadi 3 golongan: 28
1. Ringan (nilai AHI 5-15).
2. Sedang (nilai AHI 15-30).
3. Berat (nilai AHI >30).
3.4.6 Diagnosis OSA
Baku emas untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur
semalam dengan alat polysomnography / PSG). Parameter-parameter yang
direkam pada polysomnogram adalah electroencephalography (EEG),
electrooculography (pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG),
electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas
pernapasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG
adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari
jalan napas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali)
yang disertai dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha
pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan
terjadi desaturasi oksigen. 28
Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk
mengisi kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien yang mempunyai
risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama
berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan
apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan
setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat
37

berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi
badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan
berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini
mempunyai validitas yang tinggi. 27
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat: 26
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali
ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang
hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea per-
jam selama tidur (AHI ≥ 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.

3.4.7 Tatalaksana OSA


Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 28
1. Intervensi bedah:
Pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring;
somnoplasty; trakeostomi.
2. Perubahan gaya hidup:
Menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu
untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan mengkonsumsi kafein.
3. Alat-alat buatan:
Alat untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke belakang
(mempertahankan posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.

3.5 Indikasi Tonsilektomi berdasarkan Health Technology Assesment


2004
3.5.1 Indikasi absolut tonsilektomi
a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
38

- Obstruksi saluran napas misal pada OSAS(Obstructive Sleep Apnea


Syndrome)
- Disfagia berat yang disebabkan obstruksi
- Gangguan tidur
- Gangguan pertumbuhan dentofacial
- Gangguan bicara (hiponasal)
- Komplikasi kardiopulmoner
b. Riwayat abses peritonsil.
c. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untukmenentukan patologi anatomi
terutama untukhipertrofi tonsil unilateral.
d. Tonsilitis kronik atau berulang sebagai fokal infeksiuntuk penyakit-penyakit
lain.
3.5.2 Indikasi relatif
a. Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil padatahun sebelumnya, atau 5
episode atau lebihinfeksi tonsil tiap tahun pada 2 tahun sebelumnyaatau 3
episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahunpada 3 tahun sebelumnya dengan
terapi antibiotikadekuat.
b. Kejang demam berulang yang disertai tonsilitis.
c. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaikdengan pemberian terapi
medis.
d. Tonsilitis kronik atau berulang pada karierstreptokokus B-hemolitikus yang
tidak membaikdengan pemberian antibiotik resisten β-laktamase
3.5.3 Kontra indikasi
1. Radang akut
2. Penyakit-penyakit perdarahan :
- Leukemia
- Hemofilia
- Anemia
- Hemoragia diastesa
3. KU : jelek
4. Epidemi polio
39

5. Kehamilan / menstruasi
6. Status asmatikus
3.5.4 Tehnik Operasi (HTA 2004)
1. Diseksi
2. Sluder / Guillotine
3. Elektrosurgery ( Bedah listrik)
4. Radiofrekuensi
5. Skalpel Harmonik
6. Coblation
7. Intracapsular Partial Tonsillectomy
8. Laser Tonsil Ablation (CO2-KTP)
3.5.5 Komplikasi
Komplikasi yang timbul merupakan gabungan komplikasi tindakan
bedah dan anestesi
1. Komplikasi Anestesi
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien hipovolemi
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
- Hipotensi dan henti jantung
3. Komplikasi Bedah

1. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering
A. Early bleeding ( perdarahan primer, reactionary haemorrage)
B. Late/ delayed bleeding ( perdarahan sekunder) 24 jam post operasi
2. Nyeri
disebabkan kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal,
inflamasi, dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia.
Biasanya berlanjut sampai 14-21 hari setelah operasi
40

4. Komplikasi lain:
dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan terhadap suara, aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velofaringeal, stenosis faring, lesi di
bibir, lidah, gigi, dan pneumonia
41

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien HAS, anak laki-laki, 9 tahun datang dengan keluhan nyeri


tenggorok sepanjang hari sejak ± 5 hari yang lalu hingga anak sulit makan.
Keluhan disertai batuk (+) dahak putih kental, pilek keluar cairan warna kuning
kehijauan kental, demam (+) ngelemeng, naik turun, suara serak (+), leher
membesar (+), dan nyeri, mendengkur saat tidur (+) yang dirasakan semakin
memberat, kadang anak terbangun saat malam hari karena kesulitan bernapas.
Pasien juga telah terdiagnosis AML Desember 2017 di RSDK rutin
kemoterapiPemeriksaan fisik tenggorok didapatkan tonsil ukuran T3-T3, mukosa
hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+), pseudomembran (+/+). Pemeriksan leher
didapatkan limfadenopati level II dextra.
Manifestasi klinis dari tonsillitis difteri sangat bergantung pada lokasi
infeksi, status imunitas pejamu, serta produksi dan distribusi toksin. Onset gejala
difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari (kisaran 1-10 hari). Gejala awal
bersifat umum dan tidak spesifik, sering menyerupai infeksi virus pernapasan atas.
Kelainan pernapasan dimulai dengan sakit tenggorokan dan radang faring ringan.
Pasien dengan difteri biasanya datang dengan keluhan demam tidak tinggi
(biasanya jarang >39oC), malaise, sakit tenggorokan, sakit kepala, limfadenopati
saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran, suara serak dan disfagia,
dispneu, stridor, mengi, batuk. Pembentukan pseudomembran lokal atau
penggabungan dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pernapasan.
Biasanya ditemukan di palatum, faring, epiglotis, laring, trakea, sampai daerah
trakeobronkus. Pada pemeriksaan dapat ditemukan edema tonsil, uvula, daerah
submandibular, dan leher bagian depan, diikuti dengan gejala suara serak, stridor,
dan pembesaran kelenjar getah bening serivikal anterior.Selain itu, faktor resiko
pada pasien ini adalah menurunnya imun pasien akibat dari penyakit sistemik
yang dideritanya sehingga pasien lebih rentan terkena tonsillitis.
Berdasarkan klasifikasi WHO, pasien didiagnosa dengan suspek tonsillitis
difteri karena belum ditemukan tanda-tanda seperti stridor, bullneck, kolaps
42

sirkulasi toksik, gagal ginjal akut, ptekie, riwayat berpegian ke daerah endemis,
dan status imunisasi pasien lengkap.
Obstructive Sleep Apneu (OSA)memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia,
jenis kelamin, dan ukuran dan bentuk jalan napas. Semakin bertambahnya usia
maka prevalensi kejadian OSA lebih tinggi. Risiko laki-laki untuk menderita OSA
adalah 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Ukuran dan bentuk
jalan napas dipengaruhi oleh struktur kraniofasial, micrognathia, macroglossia,
dan adanya pembesaran adenotonsillar. Faktor risiko pada pasien ini adalah
adanya pengaruh pembesaran dari tonsil.
Tatalaksana dari tonsillitis difteri bertujuan untuk menginakstivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal dan mengeliminasi kuman difteri tersebut.Pada kasus, pasien telah
dirawat di ruang isolasi untuk mencegah penularan. Pasien tirah baring total,
diberikan diet melalui oral sesuai kebutuhan kalori pasien. Diusulkan pemeriksaan
swab tenggorok, dan adenoid nasofaring, sambil diberi pengobatan suportif yaitu
antibiotic cefadroxil sirup 2x1 sendok the, pseudoefedrin 3x1 pulv, fluticasone
sparay 3 dd puff 1.
43

BAB V
SIMPULAN

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Anamnesis nyeri tenggorok, sulit makan, batuk berdahak, pilek,
demam ngelemeng, suara serak, leher membesar, nyeri, mendengkur saat tidur.
Pasien juga telah terdiagnosis AML Desember 2017 di RSDK rutin
kemoterapiPemeriksaan fisik tenggorok didapatkan tonsil ukuran T3-T3, mukosa
hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+), pseudomembran (+/+). Pemeriksan leher
didapatkan limfadenopati level II dextra.Sehingga dapat ditegakkan diagnosis
pada pasien ini adalah suspek tonsillitis difteri dan suspek OSA.
Terapi pada pasien iniberupa simptomatik dan kuratif dengan pemberian
antibiotik, mukolitik, dan nasal spray dan dirawat di ruang isolasi untuk mencegah
penularan.
44

DAFTAR PUSTAKA

1. Higler BA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
2. O'Rahilly, R., Muller, F., Carpenter, S., and Swenson, R. Basic Human
Anatomy: A Regional Study of Human Structure. Chapter 53. City of
Publication: Cumberland House Publishing, 2008.
3. Dipiro, J. T. R., Talbert, G. C. Yee, et al. Pharmacotherapy, A. A
Pathophysiologic Approach 7th Edition. United States of America: The
McGrawhill Companies inc.: 2008
4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
5. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih
bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
6. Wanri, A. 2007. Tonsilektomi. Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang: 2-7.
7. Anggraini, D, Sikumbang, T. 2001. Altas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Hermani, B, Fachrudin, D, Hutauruk, S.M, Riyanto, B.U, Susilo, Nazar, H.N,
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
10. Kartosoediro, S. Rusmarjono, 2007. Nyeri Tenggorok dalam: Soepardi, E.A,
Iskandar, N, Bashruddin, J, Restudi, R.D, Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
11. Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D. 2012.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ketujuh, Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
45

12. Ferrara L, Naviglio D, Caruso AA. Approach under the Form of


Semiqualitative Cytological Evaluation for Chronic Pharyngitis. European
Scientific Journal 2013;3.

13. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, et al. Liver cirrhosis mortality in 187
countries between 1980 and 2010: a systematic analysis. BMC medicine
2014;12:145.
14. Rusmarjono, Soepardi EA. Fringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid, 7 ed.
In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Kepala Tenggorok dan Kepala Leher.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
15. Andrašević AT, Baudoin T, Vukelić D, et al. ISKRA guidelines on sore
throat: diagnostic and therapeutic approach – Croatian national guidelines.
16. Renner B, Mueller CA, Shephard A. Environmental and non-infectious
factors in the aetiology of pharyngitis (sore throat). Inflamm Res
2012;61:1041-1052.
17. Anggraini SM, Kartikawati H. Hubungan Faringitis Kronik dengan Riwayat
Konsumsi Makanan Minuman Ektrem Secara Suhu dan Rasa. Fakultas
Kedokteran Undip 2011
18. Centers for Disease Control and Prevention. Corynebacterium diphtheriae.
Epidemiol Prev Vaccine Prev Dis 13th Ed [Internet]. 2015;107–18. Available
from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf
19. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. 1345-1348 p.
20. Golaz A, Hardy IR, Strebel P. Epidemic diphtheriae in the Newly
Independent Stats of the Former Soviet Union : implication for diphtheria
control in the United States. J Infect Dis. 2000;181:237–43.
21. Lurie P, Stafford H, Tran P. Fatal Respiratory Diphtheria in the Netherlands
after 50 Years of Vaccination : results from a seroepidemiological study.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004;52(53):1285–6.
22. Chen RT, Broome CV, Weinstein RA. Diphtheria in the United States. Am J
46

Public Health. 1985;75(12):1393–7.


23. Mandell, Bennett, Dolin. Principles and Practice of Infectious Disease.
Philadelphia: Springer Berlin Heidelberg; 2005. 2457-2464 p.
24. Sasidaran K, Bansal A, Singhi S. Acute upper airway obstruction. Indian J
Pediatr. 2011;78(10):1256–61.
25. Centers for Disease Control and Prevention. Check List for Assessing a
Patient with Suspected Diphtheria. USA: CDC; 2015.
26. Dixon JB, Schachter LM, O’Brien PE. Sleep disturbance and obesity. Arch
Intern Med 2001;161:102-6.
27. Craig A Hukins. Obstructive sleep apnea – management update review:
Neuropsychiatric Disease and Treatment 2006:2(3) 309–26
28. Jordan AS, White DP, Fogel RB. Recent advances in understanding the
pathogenesis of obstructive sleep apnea. Current opinion pulmonary
medicine, 2003;1-3.

Anda mungkin juga menyukai