1
2
HALAMAN PENGESAHAN
Melaporkan kasus seorang anak laki-laki 5 tahun dengan tonsillitis difteri dan
suspek obstructive sleep apneu (OSA)
Penguji Kasus : dr.Kanti Yunika, Sp.THT-KL
Pembimbing : dr. Bodro Prastowo
Dibacakan oleh : Michelle Abigail 22010116210131
Reza Sebastian Prakasa 22010116210028
Bellakusuma N 22010116210023
Sherly Mediana 22010116210128
Dibacakan tanggal : April 2018
Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang, April2018
Mengetahui
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran
mampu menegakkan diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat berdasarkan
data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dan pengelolaan tonsillitis difteri dan suspek OSA.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses
belajar menegakkan diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat pada pasien
dengan tonsillitis difteri dan suspek OSA.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. HAS
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan :Belum tamat SD
Masuk RS : 7 April 2018
No. CM : C667965 / 9496846
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 7 April 2018 pukul 10.45 WIB di
IGD RSDK, Semarang
Keluhan utama : Nyeri tenggorok
Perjalanan penyakit sekarang :
±5 hari SMRS anak mengeluh nyeri pada tenggorok. Nyeri dirasa terus
menerus sepanjang hari. Nyeri memberat ketika menelan dan berbicara. Tidak
ada faktor yang memperingan nyeri. Nyeri dirasa sangat berat hingga anak tidak
mau makan, hanya bisa minum susu saja. Keluhan tersebut disertai mendengkur
saat tidur (+) yang dirasakan semakin memberat, kadang anak terbangun saat
malam hari karena kesulitan bernapas. Keluhan tidak berkurang dengan
perubahan posisi. Anak juga mengeluh leher terasa membesar dan nyeri saat
disentuh maupun saat membuka mulut. Demam (+) ngelemeng, naik turun,
membaik dengan obat penurun panas. Batuk (+) dahak putih, pilek (+) lendir
kental warna kuning kehijauan. Suara serak (+), nyeri pada wajah (-), nyeri
kepala (-), sesak napas (-), keluar cairan dari telinga (-), telinga terasa penuh (-),
pendengaran berkurang (-) dan gigi berlubang (-). BAB dan BAK dalam batas
normal. Anak pernah dibawa ke puskesmas, dikatakan radang tenggorokan dan
diberi obat penurun panas. Karena keluhan dirasa semakin memberat, ibu pasien
membawa anak ke IGD RSDK.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keganasan (+), terdiagnosis AML Desember 2017 di RSDK rutin
kemoterapi
- Riwayat imunisasi dasar lengkap (+)
- Riwayat batuk pilek berulang (-)
- Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupadisangkal
- Riwayat alergi disangkal
7
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 7 April 2018 pukul 11.00 WIB di IGD RSDK,
Semarang.
A.1 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak lemas
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : kurang aktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
(TB :120 cm, BB : 19,5 kg, BMI: 13,54)
Tanda Vital : TD : tidak lakukan pemeriksaan
HR : 120x/menit
RR : 32x/menit
T : 37,7oC
Wong Baker : 5-6
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup, sawo matang
Mata : Conjunctiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Jantung : BJ I-II murni, bising (-), gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), stridor (-/-)
Hati : hepar tak teraba
Limpa : limpa teraba Schuffner 3-4
Limfe : Pembesaran kelenjar limfe leher anterior dextra
Anggota gerak : Kesan dalam batas nomal
8
Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-),warna
kulit sama dengan sekitar, allergic shinner (-), nasal
Hidung
crease (-), allergic salute (-)
Palpasi os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discaj (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)
Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
Konka Inferior
livid (-) livid (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan(-) Deviasi (-), pendarahan(-)
Fenomena palatal Sulit dinilai Sulit dinilai
Diafanoskopi tidak dilakukan
3. Tenggorok:
Orofaring Keterangan
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (+)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah
Mukosa Hiperemis (+), granulasi (-)
Ukuran T3, hiperemis (+), Ukuran T3, hiperemis (+),
Tonsil
permukaan tidak rata, permukaan tidak rata,
10
KIMIA KLINIK
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Glukosa 94 mg/dL 80-160 N
sewaktu
Ureum 6 mg/dL 15-39 L
Kreatinin 0,5 mg/dL 0,60-1,30 L
Elektrolit
Natrium 122 mmol/L 136-145 L
Kalium 3,0 mmol/L 3,5-5,1 L
Chlorida 93 mmol/L 98-107 L
KOAGULASI
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Plasma Prothrombin
Time (PPT)
Waktu Prothrombin 16,0 Detik 11,0-14,5 H
PPT kontrol 13,6 detik
Partial Thromboplastin
Time (PTTK)
Waktu Thromboplastin 32,5 Detik 24,0-36,0 L
APTT kontrol 31,4 Detik L
Neisser
C.diphteriae (+)/POSITIF
CATATAN : ditemukan kuman bentuk batang gram positif dengan granula
metakromatik
III. RINGKASAN :
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang ke IGD RSDK dengan keluhan
nyeri tenggorok sepanjang hari sejak ± 5 hari yang lalu hingga anak sulit makan.
Batuk (+) dahak putih kental. Pilek keluar cairan warna kuning kehijauan kental.
Demam (+) ngelemeng, naik turun. Suara serak (+), leher membesar (+) dan nyeri.
Keluhan tersebut disertai mendengkur saat tidur (+) yang dirasakan semakin
memberat, kadang anak terbangun saat malam hari karena kesulitan bernapas.
Pemeriksaan fisik tenggorok didapatkan tonsil ukuran T3-T3, mukosa
hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+), pseudomembran (+/+). Pemeriksan leher
didapatkan limfadenopati level II dextra. Hasil swab tenggorok ditemukan bakteri
diplococcus gram (+) positif, kuman bentuk batang gram (+) positif, dan
C.diphteriae positif.
V. DIAGNOSIS SEMENTARA
Tonsilitis difteri
AML
Suspek OSA
13
VII. PEMANTAUAN
- Keadaan umum, tanda vital
- Keluhan leher membesar
- Keluhan mengorok saat tidur
- Keluhan terbangun pada malam hari karena sesak
- Progresifitas penyakit
- Respon terapi
- Efek samping obat yang mungkin ditimbulkan
VIII. EDUKASI :
Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai infeksi difteri pada tonsil
atau amandel yang dialami pasien sehingga menutupi jalan napas dan harus
dilakukan pemantauan sehingga diperlukan rawat inap. Terapi yang diberikan
berupa antibiotik dan anti difteri serum.
Menjelaskan pada pasien dan keluarga agar mengkonsumsi obat secara teratur
Pasien dianjurkan untuk mematuhi arahan dokter
14
IX. PROGNOSIS :
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
3.1.1 Faring
Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang dilapisi oleh selaput
lendir yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Di bagian belakang
mukosa dinding faring terdapat dasar tulang sfenoid dan dasar tulangoksipital. Di
sebelah atas dari faring terdapat adenoid. Muara tuba eustachius pars kartilaginosa
yang disebut fossa rosenmulleri terletak di dinding lateral dari faring. Faring
terletak di posterior rongga hidung dan mulut dan posterior ke laring.1 Oleh
karena itu, faring terbagi menjadi bagian hidung, mulut, dan laring: (1)
nasofaring, (2) orofaring, dan (3) laringofaring. Faring meluas dari dasar
tengkorak sampai ke batas inferior tulang rawan krikoid (di sekitar tingkat
vertebra C6), di mana ia menjadi kontinyu dengan kerongkongan.1,2
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia buccofaringeal. Di sepanjang
16
faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian
jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial.3
Fungsi faring terutama untuk pernapasan, penelanan, resonansi suara dan
artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama adalah
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua transport
makanan melalui faring. Tahap ketiga jalannya bolus melalui esophagus keduanya
secara involunter.1
3.1.2 Tonsil
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan
ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.4
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
17
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).4,5
3.1.2.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.6
sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan.8,9
Gambar 5. Adenoid
serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi
adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.5
3.1.2.5 Vaskularisasi Tonsil
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris
dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina
desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal
asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. 5,10
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik.11
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui
limfe.11
3.2 Tonsilitis
3.2.1 Definisi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis
diperkirakan akibat obstruksi kripte tonsil, sehingga mengakibatkan terjadi
multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil dalam kripte tonsil yang
normal. Pendapat lain patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat
dengan lokasi maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen
baik inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk kedalam tonsil terjadi
perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi.12,13,14
3.2.2 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan
membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis
akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien
hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam
tinggi (390C-400C). Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit
menelan, tenggorokan akan terasa mengental.11
23
3.2.3 Klasifikasi
A. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri
tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan
adanya limfadenopati servikal. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14
hari.15,16
Tonsilitis akut berdasarkan penyebab infeksi, yaitu :
1. Tonsilitis Viral
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus. Gejala lebih menyerupai common
cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang sering Epstein Barr,
influenza ,para influenza, coxasakie, echovirus, rhinovirus.17,
2. Tonsilitis Bakterial
Bakteri penyebab terbanyak dari berbagai literatur dikatakan adalah
Streptococcus β haemolyticus group A. Pada berbagai penelitian belakangan ini
terlihat pergeseran bakteri penyebab tonsilitis, terbanyak adalah Staphylococcus
aureus, kemudian diikuti oleh Streptococcus β haemolyticus group A, Haemofilus
influenzae dan Streptococcus pneumonia.17
24
Infiltrasi bakteri ke dalam jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk eksudat dikenal dengan
detritus.17
B. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang. Tonsilitis kronis secara umum diartikan
sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap lebih dari 3
bulan. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.15
Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang tertahan di
dalam kripte tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya.15,16
Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga
timbulgangguan menelan, obstruksi sleep apnea dan gangguan suara. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai ukuran,
dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil arsitektur kripte yang
rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripte tonsil dan sikatrik pada pilar.17
Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah:
• Kripte tonsil melebar
• Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba
• Muara kripte terisi pus
• Tonsil tertanam atau membesar
Tonsilofaringitis kronik dapat dicetuskan oleh berbagai macam faktor
sebagai berikut.
Infeksi persisten jaringan sekitar. Pada rinitis dan sinusitis kronik, discaj
purulen turun ke faring secara konstan yang menjadi sumber infeksi. Hal ini
menyebabkan hipertrofi lateral laringeal band. Tonsilitis kronik dan sepsis
gigi berperan pada faringitis kronik dan nyeri tenggorok berulang.11
Bernafas melalui mulut. Nafas melalui mulut membuat faring terpajan udara
yang belum disaring, dilembabkan, dan disesuaikan dengan suhu tubuh. Hal
25
ini menyebabkan faring lebih rentan terhadap infeksi. Nafas melalui mulut
dapat disebabkan oleh: (i) obstruksi nasal, yaitu polip nasi, rhinitis alergika
atau rinitis vasomotor, hipertrofi turbinate, deviasi septum nasi; (ii) Obstruksi
nasofaring, yaitu adenoid dan tumor; (iii) protrusi gigi yang mencegah aposisi
bibir; (iv) kebiasaan tanpa penyebab organik. 11
Iritan kronik. Merokok berlebihan, paparan terhadap asap rokok,
mengonsumsi alkohol, mengunyah tembakau, dan makanan yang sangat
pedas.11Faringitis kronik juga berhubungan dengan riwayat konsumsi
minuman dingin.11
Polusi lingkungan. Lingkungan berasap atau berdebu atau gas industri iritan
11
dapat berperan terhadap terjadinya faringitis kronik. Asap rokok akan
mengiritasi epitel orofaring dan menyebabkan kerusakan serta mengganggu
mucosal clearance dan respon imun. Asap rokok juga dapat mengubah flora
normal orofaring dan menjadi faktor predisposisi infeksi.11
Cara berbicara yang salah. Penggunaan suara yang berlebihan seperti
berteriak dapat menginduksi faringitis kronik teruutama faringitis kronik
hipertrofi.11
C. Tonsilitis Mebranosa11
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-
anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa)
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
26
3.2.4 Tatalaksana
Terapi simptomatis faringitis akut meliputi intake cairan yang cukup, NSAID,
analgesik/antipiretik, gargle. 15
Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan
dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari pada orang
dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4−6 kali pemberian/hari. 15
Antibiotik diberikan terutama apabila diduga penyebab faringitis bakteri adalah
Streptococcus β hemolyticus grup A. Antibiotik yang dipakai adalah golongan
penisilin. Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB IM tunggal atau amoksisilin
500mg/kgBB 3 kali/hari selama 10 hari atau eritromisin 4x500 mg/ hari. Pada
faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2 kali/hari.15
Pada terapi faringitis kronik, penyebab faringitis kronik perlu dihilangkan.
Penyakit penyebab seperti rinitis atrofi (pada faringitis atrofi), rinitis dan
sinusitis kronik harus diobati11Pengobatan simptomatis dapat diberikan obat
kumurdan tablet hisap11. Pada faringitis kronik hipertrofi dapat diberikan
ekspektoran bila diperlukan. 15
laring, tonsil, hidung dan kulit. Hal ini akan diikuti dengan pembentukan
pseudomembran yang menempel erat pada tonsil, faring, laring dan nares. Bahkan
pada kasus yang berat, infeksi dapat menyebar ke trakea, menyebabkan trakeitis,
dan atau adenopati servikalis yang menyebabkan obstruksi saluran nafas yang
mengancam jiwa penderita difteri.18
3.3.2 Patogenesis
Kepadatan penduduk, higiene, dan sanitasi yang buruk, mobilisasi,
imunisasi tidak lengkap, fasilitas kesehatan yang kurang, dan pasien
immunocompromise merupakan faktor resiko penularan penyakit ini. Manusia
merupakan host utama dari infeksi ini.19
Organisme penyebab difteri biasanya menetap pada lapisan superfisial
pada lesi kulit atau mukosa saluran napas, dan memicu reaksi inflamasi lokal.
Virulensi dari organisme etiologis dari difteri ditentukan oleh kemampuannya
dalam memproduksi eksotoksin polipeptida 62-kd poten, yang mampu
menghambat sintesa protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal.20
Toksin difteri yang disekresi oleh strain toksikogenik dari
Corynebacterium diphtheriae, adalah polipeptida untai tunggal Mr 58,342. Strain
toksin C. Diphtheriae membawa gen struktural tox yang dapat ditemukan pada
corynebakteriofag lisogenik beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.20
Strain yang sangat bersifat toksik memiliki 2 atau 3 gen tox + yang
dimasukkan ke dalam genom. Ekspresi dari gen ini diatur oleh pejamu bakterial
dan bersifat iron dependent. Pada kondisi konsentrasi besi yang rendah, regulator
gen dihambat dan mengakibatkan peningkatan produksi toksin. Toksin
diekskresikan dari sel bakteri dan melalui pembelahan untuk membentuk dua
rantai, rantai A dan B, yang akan berikatan dengan ikatan disulfida di antara
residu-residu sistein. Rantai B berikatan dengan reseptar permukaan sel pejamu
yang rentan, dan dengan sifat proteolitiknya mampu memotong lapisan membran
lipid, yang kemudian memungkinkan rantai A untuk masuk ke dalam sel pejamu.
Seiring meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksiknya dapat berlangsung
melalui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin difteri tidak
memiliki target organ spesifik, namun myocardium dan syaraf perifer adalah
28
organ yang paling sering dipengaruhi oleh toksin tersebut. Toksin ini kemudian
menyebabkan inflamasi lokal dan destruksi sel epitel yang diikuti nekrosis sel.21
Dalam waktu beberapa hari awal terjadinya infeksi saluran napas,
koagulum nekrotik yang tebal dan pekat, sel epitel, fibrin, leukosit dan eritrosit
membentuk pseudomembran adheren berwarna abu kecoklatan. Pseudomembran
ini sulit dilepas dan dapat menyebabkan perdarahan edematosa submukosa.21
Absorpsi toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal,
trombositopenia, kardiomiopati dan demyelinasi syaraf.
Difteri secara klasik digambarkan sebagai infeksi dengan fokus primer
pada tonsil atau faring pada lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah
tempat fokus primer yang juga umum ditemui setelah tonsil dan faring. Setelah
masa inkubasi 2 hingga 4 hari, tanda-tanda lokal dan gejala inflamasi mulai
berkembang. Demam pada pasien jarang lebih tinggi dari 39oC.21
3.3.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari infeksi C. diphtheriae sangat bergantung pada
lokasi infeksi, status imunitas pejamu, serta produksi dan distribusi toksin.
Onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari (kisaran
1-10 hari). Gejala awal bersifat umum dan tidak spesifik, sering menyerupai
infeksi virus pernapasan atas. Kelainan pernapasan dimulai dengan sakit
tenggorokan dan radang faring ringan. Pasien dengan difteri biasanya datang
dengan keluhan berikut :22
Demam tidak tinggi (biasanya jarang >39oC)
Malaise
Sakit tenggorokan
Sakit kepala
Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran
Suara serak dan disfagia
Dispneu, stridor, mengi, batuk
Pembentukan pseudomembran lokal atau penggabungan dapat terjadi
pada bagian manapun dari saluran pernapasan. Biasanya ditemukan di palatum,
faring, epiglotis, laring, trakea, sampai daerah trakeobronkus. Pada pemeriksaan
29
dapat ditemukan edema tonsil, uvula, daerah submandibular, dan leher bagian
depan, diikuti dengan gejala suara serak, stridor, dan pembesaran kelenjar getah
bening serivikal anterior. Membran ini sangat menular, sehingga tindakan
pencegahan harus dilakukan ketika memeriksa atau merawat pasien yang
terinfeksi. Kombinasi adenopati mukosa leher dan pembengkakan limfe
menyebabkan tampilan seperti buffalo hump pada pasien. Penyebab kematian
paling sering adalah obstruksi jalan nafas atau sesak nafas karena aspirasi
pseudomembran.23
Sumbatan jalan nafas atas (upper airway obstruction) juga dapat
ditemukan pada pasien difteri. Sumbatan jalan nafas atas tersebut diklasifikasikan
dalam klasifikasi Jackson, dengan kriteria:
1. Jackson I
Adanya sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, dan tidak
ditemukan sianosis.
2. Jackson II
Gejala Jackson I disertai dengan retraksi supraklavikuler dan infraklavikuler,
sianosis ringan, dan pasien tampak gelisah.
3. Jackson III
Gejala Jackson II disertai dengan adanya retraksi interkostal, epigastrium, dan
sianosis yang lebih nyata dibandingkan Jackson II.
4. Jackson IV
Merupakan skala terberat dari skala obstruksi Jackson, dengan gejala Jackson
III disertai wajah tegang serta ada kemungkinan ditemukannya gagal nafas. 24
30
3.3.4 Diagnosa
Diagnosis difteri harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis karena
keterlambatan pengobatan akan membahayakan nyawa pasien. Selain dari klinis,
diagnosis difteri juga didapat dari isolasi kuman Corynebacterium diphtheriae.
Sesuai dengan Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria
(CDC), kasus difteri dibagi menjadi 3, yaitu:
A. Kasus Suspek
Faringitis, naso-faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau kombinasi
dari gejala tersebut) tanpa demam atau dengan demam subfebris
Pseudomembran keabuan yang sulit dilepaskan
Terjadi perdarahan pada pseudomembran bila dimanipulasi atau dilepas
31
B. Kasus Probable
Kasus suspek disertai dengan + 1 atau lebih kriteria berikut :
Stridor
Bullneck
Kolaps sirkulasi toksik
Acute Kidney Injury
Ptekie pada submukosa/kulit
Miokarditis
Kematian
Pasien perlu ditanyakan juga hal-hal berikut:
Apakah pasien baru saja kembali dari daerah endemis difteri (kurang lebih
dalam 2 minggu terakhir)?
Apakah pasien melakukan kontak dengan pasien terkonfirmasi difteri atau
carrier difteri (kurang lebih dalam 2 minggu terakhir)?
Apakah pasien melakukan kontak dengan orang yang melakukan perjalanan
ke daerah endemis difteri (kurang lebih selama 2 minggu terakhir)?
Status untuk imunisasi difteri tidak lengkap termasuk belum melakukan
booster
C. Kasus Terkonfirmasi Laboratorium
Kultur positif C. diphteriae dan satu diantara hasil laboratorium berikut
Elek test positif
PCR Tox Gene postif (positif subunit A dan B).25
3.3.5 Terapi
C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui limfe dan
pembuluh darah. Sehingga tujuan dari tatalaksana adalah menginakstivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal dan mengeliminasi kuman difteri tersebut.22
32
Tatalaksana umum22
Pasien dirawat di ruang isolasi hingga 2 kali kultur menunjukkan hasil
negatif. Kultur ulang harus dilakukan 2 minggu setelah terapi antibiotika
selesai.
Tirah baring untuk mencegah komplikasi-komplikasi seperti miokarditis
Pemberian cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi, dapat diberikan dengan
makanan cair
Tatalaksana khusus
1. Pemberian ADS (Anti Difteria Serum)25
Anti toksin harus segera diberikan setelah diagnosis difteri ditegakkan. Dosis
ADS ditentukan bukan berdasarkan berat badan tetapi berdasarkan berat dan lama
sakit. Dosis ADS dapat dilihat dalam tabel berikut :
33
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau mata terlebih dahulu
karena dapat terjadi reaksi anafilaktik. Uji kulit dilakukan dengan cara
menyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan NaCl 0,9% 1;1000 secara intrakutan
pada volar lengan bawah dan 0,1 ml NaCl 0,9% pada sisi berlawanan. Dikatakan
hasil positif jika terdapat indurasi >10 mm pada tempat ADS atau lebih dari 3 mm
dibandingkan kontrol40. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
1:10 ADS dengan NaCl 0,9%. Mata yang berlawanan diberikan 1 tetes garam
fisiologis. Hasil positif apabila dalam 20 menit ada hiperemi konjungtiva dan
lakrimasi.25
2. Antibiotika
Antibiotika yang dapat diberikan pada pasien difteri antara lain adalah
eritromisin per oral atau injeksi, dengan dosis 40mg/kgBB/hari (dengan dosis
maksimum 2 gram/hari) selama 14 hari, atau prokain penisilin G secara
intramuskuler (300.000 unit/hari untuk pasien dengan berat badan ≤10kg dan
600.000 unit/hari untuk pasien dengan berat badan >10kg) selama 14 hari.22
3.4.2 Etiologi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi
berupa neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi, contohnya: kegemukan
terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk
terjadinya OSA. Angka prevalens OSA pada orang yang sangat gemuk adalah 42-
48% pada laki-laki dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan akan
meningkatkan gejala-gejala OSA.27
3.4.3 Faktor risiko OSA
Faktor risiko untuk terjadinya OSA:28
A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui: 28
1. Umur : prevalens dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur.
2. Jenis kelamin : Risiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause.
3. Ukuran dan bentuk jalan napas:
35
berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi
badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan
berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini
mempunyai validitas yang tinggi. 27
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat: 26
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali
ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang
hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea per-
jam selama tidur (AHI ≥ 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
5. Kehamilan / menstruasi
6. Status asmatikus
3.5.4 Tehnik Operasi (HTA 2004)
1. Diseksi
2. Sluder / Guillotine
3. Elektrosurgery ( Bedah listrik)
4. Radiofrekuensi
5. Skalpel Harmonik
6. Coblation
7. Intracapsular Partial Tonsillectomy
8. Laser Tonsil Ablation (CO2-KTP)
3.5.5 Komplikasi
Komplikasi yang timbul merupakan gabungan komplikasi tindakan
bedah dan anestesi
1. Komplikasi Anestesi
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien hipovolemi
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
- Hipotensi dan henti jantung
3. Komplikasi Bedah
1. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering
A. Early bleeding ( perdarahan primer, reactionary haemorrage)
B. Late/ delayed bleeding ( perdarahan sekunder) 24 jam post operasi
2. Nyeri
disebabkan kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal,
inflamasi, dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia.
Biasanya berlanjut sampai 14-21 hari setelah operasi
40
4. Komplikasi lain:
dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan terhadap suara, aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velofaringeal, stenosis faring, lesi di
bibir, lidah, gigi, dan pneumonia
41
BAB IV
PEMBAHASAN
sirkulasi toksik, gagal ginjal akut, ptekie, riwayat berpegian ke daerah endemis,
dan status imunisasi pasien lengkap.
Obstructive Sleep Apneu (OSA)memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia,
jenis kelamin, dan ukuran dan bentuk jalan napas. Semakin bertambahnya usia
maka prevalensi kejadian OSA lebih tinggi. Risiko laki-laki untuk menderita OSA
adalah 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Ukuran dan bentuk
jalan napas dipengaruhi oleh struktur kraniofasial, micrognathia, macroglossia,
dan adanya pembesaran adenotonsillar. Faktor risiko pada pasien ini adalah
adanya pengaruh pembesaran dari tonsil.
Tatalaksana dari tonsillitis difteri bertujuan untuk menginakstivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal dan mengeliminasi kuman difteri tersebut.Pada kasus, pasien telah
dirawat di ruang isolasi untuk mencegah penularan. Pasien tirah baring total,
diberikan diet melalui oral sesuai kebutuhan kalori pasien. Diusulkan pemeriksaan
swab tenggorok, dan adenoid nasofaring, sambil diberi pengobatan suportif yaitu
antibiotic cefadroxil sirup 2x1 sendok the, pseudoefedrin 3x1 pulv, fluticasone
sparay 3 dd puff 1.
43
BAB V
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler BA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
2. O'Rahilly, R., Muller, F., Carpenter, S., and Swenson, R. Basic Human
Anatomy: A Regional Study of Human Structure. Chapter 53. City of
Publication: Cumberland House Publishing, 2008.
3. Dipiro, J. T. R., Talbert, G. C. Yee, et al. Pharmacotherapy, A. A
Pathophysiologic Approach 7th Edition. United States of America: The
McGrawhill Companies inc.: 2008
4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
5. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih
bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
6. Wanri, A. 2007. Tonsilektomi. Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang: 2-7.
7. Anggraini, D, Sikumbang, T. 2001. Altas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Hermani, B, Fachrudin, D, Hutauruk, S.M, Riyanto, B.U, Susilo, Nazar, H.N,
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
10. Kartosoediro, S. Rusmarjono, 2007. Nyeri Tenggorok dalam: Soepardi, E.A,
Iskandar, N, Bashruddin, J, Restudi, R.D, Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
11. Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D. 2012.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ketujuh, Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
45
13. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, et al. Liver cirrhosis mortality in 187
countries between 1980 and 2010: a systematic analysis. BMC medicine
2014;12:145.
14. Rusmarjono, Soepardi EA. Fringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid, 7 ed.
In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Kepala Tenggorok dan Kepala Leher.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
15. Andrašević AT, Baudoin T, Vukelić D, et al. ISKRA guidelines on sore
throat: diagnostic and therapeutic approach – Croatian national guidelines.
16. Renner B, Mueller CA, Shephard A. Environmental and non-infectious
factors in the aetiology of pharyngitis (sore throat). Inflamm Res
2012;61:1041-1052.
17. Anggraini SM, Kartikawati H. Hubungan Faringitis Kronik dengan Riwayat
Konsumsi Makanan Minuman Ektrem Secara Suhu dan Rasa. Fakultas
Kedokteran Undip 2011
18. Centers for Disease Control and Prevention. Corynebacterium diphtheriae.
Epidemiol Prev Vaccine Prev Dis 13th Ed [Internet]. 2015;107–18. Available
from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf
19. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. 1345-1348 p.
20. Golaz A, Hardy IR, Strebel P. Epidemic diphtheriae in the Newly
Independent Stats of the Former Soviet Union : implication for diphtheria
control in the United States. J Infect Dis. 2000;181:237–43.
21. Lurie P, Stafford H, Tran P. Fatal Respiratory Diphtheria in the Netherlands
after 50 Years of Vaccination : results from a seroepidemiological study.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004;52(53):1285–6.
22. Chen RT, Broome CV, Weinstein RA. Diphtheria in the United States. Am J
46