Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mutu Pelayanan Kebidanan dan Kebijakan
Kesehatan
Disusun oleh:
Jalum 3A
2018
COST REDUCTION
KELOMPOK 1
Terkadang pengertian cost reduction disamakan dengan cost cutting. Melainkan bahwa
cost reduction adalah manajemen biaya (cost management). “Cost management mengatur
proses-proses dari pengembangan produksi dan penjualan produk atau jasa yang berkualitas
baik dengan biaya rendah. Pada umumnya manajer mencoba mengurangi biaya hanya dengan
berhemat, misalnya dengan memecat karyawan, restrukturisasi dan menekan pemasok. Saat ini
tuntutan konsumen makin meningkat, mereka bukan saja menghendaki produk dengan harga
yang murah tetapi juga yang memiliki kualitas yang baik dan pemenuhan kebutuhan yang tepat
pada waktu tersebut tidak akan tercapai” (Imai 1999,h.42).
Cara terbaik dalam mengurangi biaya adalah mengeliminasi kelebihan penggunaan sumber
daya dalam proses produksi. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam usaha mengurangi biaya
khususnya biaya produksi adalah :
Penentuan Cost reduction target (Target Usaha Kaizen), yang hendak dicapai adalah sebagai
berikut :
Dalam standart costing, fokus perhatian produsen terletak pada bagaimana mencapai standart
cost yang telah ditetapkan sebelumnya atas dasar kondisi proses produksi terkini. Di lain pihak,
kaizen costing memfokuskan perhatian produsen ke arah cost reduction target yang didasarkan
pada kondisi proses produksi yang improvementnya direncanakan akan dilaksanakan dalam
periode tertentu.
Beberapa ahli manajemen memberikan definisi Activity Based Costing (ABC) sebagai berikut
:
Langkah-langkah dalam menerapkan metode Activity Based Costing adalah sebagai berikut:
2. Pengelompokan
Setelah aktivitas di identifikasikan dan didefinisikan, langkah selanjutnya adalah mengatur
cost center (merupakan perincian biaya dimana biaya-biaya diakumulasikan dan di
distribusikan). Cost center adalah tingkatan terendah yang rinci tempat biaya dikumpulkan
dan di distribusikan. Cost center terdiri dari sebuah aktivitas atau sekelompok aktivitas.
Perlu diingat bahwa untuk keakuratan, bukan presisi, sejumlah aktivitas dapat di
kelompokkan agar record yang detail terjaga dan analisis data menjadi minimum sehingga
diperoleh tingkat akurasi yang tinggi.
Materiality
Untuk tiap aktivitas harus diperhatikan, tidak saat ini, tetapi juga masa depan berdasarkan
rencana perusahaan. Apakah stasiun operasi tetap akan berdiri sendiri atau kemungkinan
akan digabungkan dengan stasiun lain.
Profil Biaya
Terdiri dari Cost Driver (Pemacu Biaya) utama dan application rate. Jika sebuah aktivitas
memiliki profil biaya yang unik lebih baik menjadikan aktivitas tersebut sebagai Cost
Center yang terpisah dari yang lainnya.
Biaya Utility : Listrik, gas, air, dan lain-lain diperlukan secara berbeda.
Supplies : Supplies utama dapat dikelompokkan ke beberapa cost center dan ditangani
sendiri.
Fringe benefit : Biaya di kendalikan oleh headcount, gross payroll, hours worked atau dasar
yang lain.
4. Analisa Hubungan antara Aktivitas Dengan Biaya
Setiap aktivitas didefinisikan dan dikelompokkan ke dalam cost center dan elemen biaya
utama disusun langkah selanjutnya adalah menentukan hubungan antara aktivitas –
aktivitas dan biaya, inti langkah ini adalah menentukan biaya yang berkaitan dengan suatu
cost center.
5. Identifikasi Cost Driver
Setelah diperoleh hubungan umum antara aktivitas dengan biaya, pemicu khusus yang
menimbulkan biaya di cost center yang spesifik harus diidentifikasikan. Cost driver
diidentifikasikan sebagai faktor yang digunakan untuk mengukur bagaimana biaya terjadi
dan cara untuk membebankan pada aktivitas atau produk. Pemicu biaya digunakan untuk
mengetahui konsumsi biaya pada aktivitas dan konsumsi aktivitas pada produk. Secara
praktis, pemicu biaya menunjukkan dimana biaya harus dibebankan dan seberapa besar
biayanya.
Untuk mencapai visi Puskesmas Idaman tersebut diatas, ditetapakan misi sebagai
berikut:
1. Memastikan Pelanggan Puskesmas.
2. Memahami psikografi Pelanggan Puskesmas.
3. Menata Mindset Tim Pelayanan Prima di Puskesmas Idaman.
4. Memberi kesempatan pada “front liner” untuk ikut mengambil keputusan dan memberikan
saran dalam pelaksanaan pelayanan prima di Puskesmas.
5. Mengembangkan pelayanan kesehatan yang tak terlupakan pada Pelanggan.
6. Menjalin komunikasi terus menerus dengan Pelanggan untuk menciptakan ”Customer
Market
Relationship”.
7. Melakukan penyesuaian organisasi terus menerus untuk peningkatan mutu pelayanan
kesehatan.
Puskesmas Rawat Inap ”IDOLA” adalah Puskesmas rawat inap dengan fasilitas ruangan yang
Indah dan rapi, suasana pelayanan yang Damai, memperlakukan pasien secara Obyektif,
menangani pasien secara Lancar serta Aman, sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Puskesmas Rawat Inap “IDOLA” dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu serta
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menggunakan strategi “SENYUM” dengan rincian
sebagai berikut:
”S”: Sambut pasien dengan senyum dan salam yang hangat
”E”: Eksplorasi dan bantu menemukan masalah kesehatan pasien
”N”: Niat yang tulus untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien dengan kemampuan
terbaik
”Y”: Yakinkan pada pasien bahwa kita akan menangani pasien secara:
”U”: Umum, artinya memperlakukan semua pasien secara adil tanpa membedakan status
sosial, suku, agama, maupun politik.
”M”: Mutu, artinya pelayanan kesehatan yang kita berikan adalah sesuai standar profesi
dan memuaskan pelanggan.
”Pasien sembuh dan puas”, merupakan visi Puskesmas Idola, untuk mencapai visi
tersebut diatas, ditetapkan misi sebagi berikut:
1. Mengembangkan sumber daya manusia yang profesional, unggul dan berkualitas. SDM
yang dimaksud terdiri dari: dokter spesialis empat besar (bedah, kandungan dan kebidanan,
anak dan penyakit dalam), dokter umum, bidan, perawat, nutrisionis dan administrasi.
2. Melengkapi dan menyajikan sarana dan prasana Puskesmas Rawat Inap yang bersih dan
rapi.
3. Menata Mindset Tim Pelayanan Prima di Puskesmas Rawat Inap ”IDOLA”.
4. Memahami psikografi Pelanggan Puskesmas.
5. Mengembangkan pelayanan kesehatan yang tak terlupakan pada Pelanggan.
6. Menjalin komunikasi terus menerus dengan Pelanggan untuk menciptakan ”Customer
Market Relationship”.
7. Melakukan penyesuaian organisasi terus menerus untuk peningkatan mutu pelayanan
kesehatan.
Kelompok 2
Teori saling ketergantungan ini (interdependence) lebih fokus terhdapa analisis prilaku
dari dua individu atau lebih yang berinteraksi satu sama lain. Ketika orang-orang berinteraksi
mereka akan saling memperngaruhi, ketika dua orang saling mempengaruhi pemikiran,
perasaan, atau perilaku, masing-masing, mereka dikatakan saling berhubungan
(interdependence) .
Kelompok 3
Total quality management (TQM) adalah suatu cara pendekatan dalam upaya
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan responsive instansi pelayanan kesehatan dengan
melibatkan seluruh staf/karyawan dalam segala proses aktifitas meningkatkan mutu dalam
rangka memenuhi kebutuhan/tuntutan konsumen pengguna jasa instansi pelayanan kesehatan-
instansi pelayanan kesehatan tersebut. Ini merupakan suatu tingkat tertinggi dalam upaya
instansi pelayanan kesehatan tersebut untuk mencapai tingkat dunia. Secara jelas akan
dijelaskan mengenai TQM lebih lanjut.
Prinsip understanding system yaitu perbaikan akan lebih efektif dalam sistem yang lebih baik
bukan insentif yang lebih besar peningkatan mutu pelayanan kebidanan mencakup :
Industri Rumah Sakit (RS) dewasa ini terus mengalami pertumbuhan ditunjang dengan
tingkat pertambahan penduduk dan peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan
yang semakin mudah. Hal ini tentunya berdampak kepada peningkatan jumlah volume pasien
di berbagai RS khususnya kota-kota besar.
Performa kualitas layanan manajemen RS harus terus meningkat terkait penguatan citra
merek atau brand imagedi kalangan masyarakat secara umum. Jika tidak ada perbaikan maka
manajemen RS harus bersiap diri ditinggalkan beberapa pasiennya yang memilih berobat di
tempat lain.
Saat ini mayoritas RS terlihat belum menerapkan sistem elektronik kesehatan (E-
Health) untuk meningkatkan kualitas layanannya. Sesuai dengan tuntutan pasar layanan
kesehatan,, sebuah RS dinilai perlu untuk mengintegrasikan sistem online, termasuk dengan
telah dimulainya era BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang bersifat nasional.
Pada waktu-waktu tertentu, jumlah pasien yang berobat juga akan bertambah banyak
dan mengakibatkan antrian yang cukup panjang sehingga memberikan kesan tidak nyaman
kepada pasien. Hal ini termasuk ketika pasien mengakses fasilitas layanan lainnya seperti
laboratorium dan apotik.
Proses pengawasan kinerja RS juga akan sulit termonitor karena tidak adanya sistem
online. Pimpinan manajemen RS tentunya mengharapkan data real time seperti uang yang
masuk dan stock barang yang tersedia untuk bias bekerja lebih efisien. Efisiensi tentunya juga
terkait dengan mengurangi beban pengeluaran yang tidak perlu akibat pengawasi yang belum
maksimal. Melalui upaya menekan beban pengeluaran maka otomatis pendapatan perusahaan
atau RS akan semakin meningkat dibandingkan sebelumnya.
Kematian ibu dan bayi dapat diakibatkan karena pelayanan di fasilitas kesehatan belum
maksimal ataupun terjadi keterlambatan pelayanan rujukan bagi ibu dan bayi yang
mengakibatkan sangat terlambat pula pasien tiba di fasilitas pelayanan rujukan. Di Indonesia
sudah sangat dikenal istilah “3 terlambat” yang menjadi penyebab kematian ibu dan bayi yaitu
terlambat pengambilan keputusan di tingkat keluarga, terlambat mencapai fasilitas pelayanan
kesehatan dan terlambat mendapat pertolongan di tingkat fasilitas kesehatan.
Terlambat mengambil keputusan biasanya terjadi karena ibu lebih memilih untuk
melahirkan di rumah, adanya kendala biaya atau transportasi, dan permasalahan akses ke
fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau (geografis). Terlambat yang kedua, terlambat
mencapai fasilitas kesehatan ini biasanya terjadi karena adanya masalah transportasi, tidak
adanya jejaring rujukan yang formal anatara bidan desa dengan rumah sakit, dan tidak adanya
protokol rujukan. Terlambat dalam mendapat pertolongan yang memadai di fasilitas kesehatan
terjadi karena rendahnya kualitas perawatan obstetri dan neonatus di berbagai fasilitas, adanya
persepsi rendahnya pelayanan untuk pasien berasuransi sosial seperti BPJS, dan pemberian
rujukan balik yang tidak umum.
Dari 3 terlambat tadi jika dikaji lebih lanjut akan kita jumpai adanya masalah dalam
sistem rujukan. Oleh sebab itu, diperlukan perbaikan dalam sistem rujukan yang ada sehingga
tercapai sistem rujukan yang efektif dan efisien. Pada 2011 - 2016 pemerintah Indonesia
bekerjasama dengan USAID melalui program EMAS untuk mencapai sistem rujukan yang
efektif, efisien, dan berkeadilan melalui berbagai intervensi.
Terkait dengan kasus yang dialami pasien, biasanya terjadi komplikasi maka pasien perlu
dirujuk
2. Laboratorium
Berupa bahan laboratorium untuk diagnosa pasien. Biasanya di faskes sebelumnya tidak
menyediakan layanan laboratorium tertentu maka perlu dilakukan rujukan
3. Ilmu
Melakukan perujukan ke tenaga kesehatan yang lebih kompeten sesuai dengan bidang
keilmuannya.
1. Rujukan kegawatdaruratan
2. Rujukan berencana
Dilakukan dengan adanya persiapan terkait kondisi pasien. Biasanya sudah diketahui
semenjak ANC atau awal persalinan terkait komplikasi atau kondisi berbahaya yang
mungkin dialami ibu maupun janin.
1. Kolaborasi
Dilakukan antar fasilitas kesehatan yang berbeda tingkatan. Sehingga sudah memiliki sarana
pasti untuk melakukan rujukan jika terjadi kasus yang tidak bisa ditangani di puskesmas
pembantu misalnya, bisa langsung dirujuk ke puskesmas/PONED untuk selanjutnya bisa
dirujuk ke rumah sakit/PONEK yang telah bekerjasama. Melalui kolaborasi ini terdapat
minimal 500.000 penduduk yang ter-cover dalam suatu wilayah. Luaran dari prinsip ini
adalah kejadian kematian ibu dan bayi dapat dicegah hingga 70%, sedangkan 20%-25%
sisanya merupakan peran dari program keluarga berencana (KB). Prinsip ini juga didukung
oleh kementrian kesehatan dalam bentuk mengeluarkan aturan berupa Standar Pelayanan
Minimal Kesehatan (SPMK), bahwa setiap fasilitas kesehatan harus terdiri dari:
Jika kerjasama atau kolaborasi antar faskes sudah terjalin, maka diperlukan juga adanya
komunikasi/pertukaran informasi yang tepat dan sama agar senantiasa menjaga kerjasama
yang telah terbentuk. Harapannya sistem rujukan dapat berjalan dengan baik, efektif dan
efisien. Sarana atau media pertukaran informasi yang bisa digunakan antara lain surat,
pedoman, leaflet, poster, buku saku, SMS, email, mengadakan pertemuan rutin, magang,
maupun pembinaan dan pelatihan.
Meski sudah terdapat prinsip dan aturan terkait sistem rujukan, pada pelaksanaannya
masih banyak hal-hal lain yang mempengaruhi keberhasilan dan kelancaran suatu rujukan
seperti 3 terlambat yang sudah dijelaskan sebelumnya. Agar sistem rujukan yang efektif dan
efisien bisa tercapai melalui program EMAS ini dilakukan beberapa intervensi antara lain,
membuat alat pemantauan kinerja rujukan berupa panduan atau checklist yang
digunakan untuk pedoman alur perujukan yang baku sekaligus memudahkan pemerintah
atau instansi terkait untuk melakukan evaluasi kesesuaian sistem rujukan yang dilakukan.
Selain itu diperlukan juga adanya perjanjian kerjasama jejaring rujukan. Dalam
perjanjian kerjasama ini sudah dijelaskan pula adanya peran, tanggungjawab serta alur dan
cara pemberian informasi terkait sistem rujukan antar fasilitas kesehatan. Selanjutnya
terdapat sistem pertukaran rujukan yang disebut dengan SijariEMAS(Sistem Informasi
Jejaring Rujukan Maternal dan Neonatal), merupakan sistem yang dibuat untuk
memudahkan komunikasi antas faskes. SijariEMAS ini lebih difokuskan untuk memperbaiki
komunikasi rujukan kegawatdaruratan antara para bidan dan rumah sakit rujukan melalui
SMS, aplikasi HP, website, ataupun call center.
Tidak hanya itu saja, dalam program EMAS ini juga dilakukan audit kematian ibu
dan bayi (MPA). Melalui MPA ini dapat diidentifikasi penyebab kematian ibu maupun bayi
tersering di suatu daerah sehingga bisa diketahui kelemahan pelayanan kesehatan yang ada.
Intervensi terakhir namun tidak kalah penting adalah dengan menggunakan motivator
kesehatan ibu dan anak(MKIA) dan promosi cakupan kesehatan universal. MKIA terdiri
dari para sukarelawan pribadi di tingkat desa untuk membantu mengatasi masalah terkait
keselamatan ibu dan bayi baru lahir seperti, kesadaran tanda bahaya kelahiran, identifikasi
kasus risiko tinggi, dan mendorong dilakukannya persalinan di fasilitas kesehatan yang
tersedia.
Seperti produk HealthLink yang merupakan solusi Hospital Information System (HIS)
untuk mengefisiensikan sistem manajemen RS. Layanan HealthLink juga didukung dengan
jaringan Local Area Network (LAN) dan jaringan Wide Area Network (WAN) atau internet.
Melalui HealthLink, koordinasi antar RS yang berafiliasi atau grup menggunakan sistem
online. Manajemen RS mendapatkan laporan dan analisa yang strategis untuk
pengembangan bisnis serta peningkatan pengalaman pelanggan atau customer experience.
HealthLink mengintegrasikan seluruh bagian rumah sakit mulai dari farmasi, logistik,
pengadaan, rawat inap, pendaftaran pasien, rekam medis, kasir, UGD, laboratorium, dan ruang
praktik dokter.
Melalui HealthLink, seorang pasien cukup mendaftar satu kali, setelah itu langsung
datang ke depan ruangan praktik poliklinik spesalis dan tidak perlu melakukan pendaftaran
kembali di RS. Hal ini karena seluruh data pasien dan pendaftaran sudah terhubung secara
online. HealthLink didukung dengan produk layanan Online Appointment yang merupakan
fasilitas multi media contact center bagi pelanggan untuk melakukan registrasi kunjungan
dokter. Layanan Online Appointment terintegrasi dengan data pasien dan data praktek dokter
secara online, sehingga pasien mendapatkan kepastian untuk jadwal kunjungan dokter.
Layanan ini tentunya akan memberikan manfaat kepada pasien seperti lebih
memudahkan akses pendaftaran, mengurangi waktu tunggu, dan mendapatkan kepastian
jadwal. Untuk menjaga hubungan baik antara pihak RS dan pasien, E-Health Lintasarta juga
memiliki produk layanan Hospital Reminder. Produk ini memungkinkan pihak manajemen RS
untuk mengirimkan layanan pesan singkat atau short message service (SMS) secara massal
kepada pasien.
Layanan ini bisa dimanfaatkan seperti untuk mengingatkan jadwal kontrol pasien,
jadwal vaksinasi, ucapan selamat kelahiran bayi, ucapan selamat ulang tahun, dan promosi
kegiatan RS serta program promo bagi pasien. Produk Hospital Reminder dapat
memelihara service level kepada pasien dan meningkatkan pendapatan rumah sakit. Sebagai
pelengkap solusi bagi manajemen RS, Lintasarta juga menyediakan
layanan Telemedicine berupa fasilitas video conference bagi RS untuk komunikasi jarak jauh.
Produk ini dapat digunakan untuk konsultasi dari dokter spesialis dengan dokter sub spesialis,
sosialisasi produk baru RS bahkan untuk operasi jarak jauh.
Produk layanan Telemedicine akan memberikan solusi dan manfaat berupa kecepatan
dalam penanganan pasien, solusi untuk keterbatasan dokter sub-spesialis. Serta tak kalah
penting pihak RS dapat mengefisiensikan biaya dan waktu yang dikeluarkan. Pelayanan
maksimal kepada pelanggan dengan mengefisiensikan waktu tunggu dan kemudahan
menggunakan fasilitas kesehatan bagi pasien menjadi sebuah kebutuhan yang wajib dipenuhi
sebuah RS.
Belum lagi program BPJS Kesehatan yang bersifat wajib atau mandatory pada tahun
2019 nanti bagi seluruh RS mendesak penerapan integrasi sistem online. Hal ini terkait
pembayaran klaim RS yang terpusat dari BPJS Kesehatan ke seluruh RS.
Atas dasar kebutuhan tersebut, produk E-Health tentunya menjadi solusi prioritas bagi
manajemen RS untuk meningkatkan kualitas koordinasi manajemen RS. Dampaknya sendiri
akan terwujud berupa kenyamanan pasien dalam mengakses fasilitas layanan kesehatan RS
serta peningkatan citra positif RS. Info solusi masalah pelayanan rumah sakitcara untuk
mengefisiensikan biaya kesehatan di rs contoh peningkatan sistem manejemen rscontoh
perbaikan untuk laboratorium di rumah sakitsolusi yang dapat dilakukan dalam masalah
meningkatkan pelayanan
MEASURING QUALITY
KELOMPOK 4
A. Pengertian
Jelas cara mengukur informasi apa yang dibutuhkan ,kapan pengukuran dilakukan.
Pengukuran Kualitas,Produk atau Proses, memerlukan pengumpulan dan analisis informasi,
biasanya dinyatakan dalam pengukuran dan metrik. Pengukuran dilakukan terutama untuk
mengendalikan proyek, dan karena itu dapat mengelolanya. Mereka juga digunakan untuk
mengevaluasi seberapa dekat atau jauh kita dari tujuan yang ditetapkan dalam rencana dalam
hal penyelesaian, kualitas, kepatuhan terhadap persyaratan, dll.
Metrik digunakan untuk mencapai dua tujuan, pengetahuan dan perubahan (atau pencapaian).
C. Kualitas klinis
Kualitas perawatan klinis berkaitan dengan interaksi antara penyedia layanan kesehatan dan
pasien dan cara-cara di mana input dari sistem kesehatan diubah menjadi hasil kesehatan.
Perawatan yang diberikan harus efektif, berbasis bukti dan tidak dimanfaatkan atau terlalu
sering digunakan. Konsep efektivitas klinis cenderung mengalihkan perhatian dari masukan
seperti obat-obatan dan peralatan dan menuju proses perawatan. 6Meskipun relatif mudah
diukur, ketersediaan input umumnya tidak dapat digunakan secara terpisah untuk menentukan
apakah kesehatan pasien akan meningkat sebagai akibat dari perawatan yang diterima. Proses
klinis secara langsung dikaitkan dengan perilaku penyedia layanan kesehatan dan pengukuran
mereka dapat memberikan titik awal yang penting dalam pengembangan metode untuk
meningkatkan perawatan yang diterima oleh pasien. Meskipun hasil kesehatan dapat
informatif, mereka hanya mungkin menjadi ukuran mentah kualitas karena ketidakpastian yang
melekat pada respon pasien terhadap perawatan kesehatan.
Penilaian kualitas klinis perawatan menimbulkan beberapa tantangan konseptual dan praktis.
Diperlukan basis bukti yang kuat yang dapat bertindak sebagai patokan untuk mengevaluasi
intervensi. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, perawatan yang diterima dapat
dibandingkan dengan perawatan yang direkomendasikan dalam pedoman nasional. Namun, di
banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, pedoman semacam itu tidak tersedia atau
tidak ditegakkan dengan buruk. Bahkan ketika pedoman seperti itu ada, evaluasi tentang apa
yang merupakan perawatan yang berlebihan tidak jelas dan memerlukan penilaian yang cermat.
Meskipun perawatan yang berbahaya harus dibedakan dari perawatan yang tidak perlu,
kategorisasi seperti ini dapat menjadi sulit dalam praktiknya. Perawatan untuk satu pasien dapat
diberikan selama beberapa interaksi oleh tim profesional kesehatan yang besar. Dalam keadaan
seperti itu, pengukuran kualitas perawatan sering berfokus pada sejumlah kecil intervensi yang
berbeda dengan keampuhan yang terbukti.
Ada beberapa tantangan praktis yang terkenal untuk penilaian kualitas perawatan klinis.
Sebagai contoh, mungkin tidak mungkin untuk mengamati interaksi antara pasien dan dokter
mereka dan, jika memungkinkan, observasi semacam itu dapat menghasilkan bias melalui efek
Hawthorne, yaitu penyedia layanan kesehatan mengubah perilaku mereka ketika diamati. Di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, catatan medis sering tidak dipelihara
dengan baik dan mungkin tidak mencerminkan praktik yang sebenarnya. Penggunaan yang
disebut menyamar atau pasien standar dalam penilaian perawatan klinis dapat meningkatkan
kekhawatiran etis, umumnya terbatas pada kondisi non-invasif dan bukan solusi praktis untuk
pengukuran kualitas rutin. Terlepas dari tantangan ini, literatur yang berpengaruh tentang
kualitas klinis perawatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah mulai muncul.
Upaya untuk meningkatkan kualitas perawatan sering didukung oleh pemahaman kualitas
biomedis - yaitu konseptualisasi standar kualitas emas yang dipandu oleh pedoman klinis -
yang dapat mengarah pada fokus yang sempit. Praktik penyedia cenderung bervariasi meskipun
ada prosedur dan pedoman akuntabilitas. Intervensi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
dimaksud atau mudah ditampung dalam model perawatan yang ditetapkan. Kualitas klinis
penting untuk hasil pasien tetapi persepsi kualitas perawatan - yang mungkin tidak berkorelasi
dengan kualitas sebenarnya - cenderung menjadi pendorong utama pemanfaatan. Pasien
mungkin juga merasa sulit untuk mengevaluasi kualitas perawatan karena mereka tidak
memiliki keahlian dan pelatihan medis dokter mereka
Ada dimensi temporal baik kualitas klinis maupun persepsi. Meskipun kerangka Donabedian
mengakui pentingnya memahami proses perawatan, kualitas perawatan mungkin sering dinilai
hanya dalam satu pertemuan atau episode penyakit. Namun, pengobatan individu untuk
sebagian besar penyakit bukanlah kejadian satu kali tetapi serangkaian episode pengobatan.
Persepsi pasien tentang kualitas dapat berkembang dari waktu ke waktu, karena atribut yang
berbeda dari layanan yang tersedia dan hasil mereka terungkap. Waktu menunggu dan sikap
staf dapat dirasakan dengan cepat. Namun pengalaman perawatan klinis pasien, misalnya
pembedahan, dan implikasinya untuk perawatan selanjutnya, misalnya sering melakukan
pemeriksaan, dan hasil kesehatan, misalnya komplikasi potensial, dapat terus berkembang
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Pasien mungkin hanya menjadi peka terhadap
manfaat memiliki penyedia yang berdedikasi dan tindak lanjut yang efektif setelah mereka
mengalami tidak adanya manfaat tersebut. Jalur yang mudah dijelajahi untuk perawatan dan
kontinuitas sangat penting untuk bagaimana pasien merasakan kualitas perawatan dan memilih
29
apakah akan melanjutkan perawatan atau tidak. Kepatuhan jangka panjang hanya mungkin
jika pasien yang terlibat menganggap perawatan mereka berkualitas baik. Kepatuhan semacam
itu merupakan tantangan khusus dalam pemantauan dan pengobatan penyakit tidak menular
kronis dan human immunodeficiency virus, terutama untuk sistem kesehatan yang kurang
mendapat sumber daya dari negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Menyatakan persyaratan dengan cara yang jelas, ringkas, dan dapat diuji hanyalah bagian dari
pencapaian kualitas produk. Juga perlu mengidentifikasi ukuran dan kriteria yang akan
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kualitas yang diinginkan dan menentukan apakah
telah tercapai. Ukuran menggambarkan metode yang digunakan untuk menangkap data yang
digunakan untuk menilai kualitas, sementara kriteria menentukan tingkat atau titik di mana
produk telah mencapai kualitas yang dapat diterima (atau tidak dapat diterima).
Mengukur kualitas produk dari artefak yang dapat dijalankan dicapai dengan menggunakan
satu atau lebih teknik pengukuran, seperti:
ulasan / penelusuran
inspeksi
eksekusi
Metrik yang berbeda digunakan, tergantung pada sifat tujuan kualitas dari pengukuran.
Misalnya, dalam ulasan, penelusuran, dan inspeksi, tujuan utamanya adalah fokus pada dimensi
kualitas fungsi dan keandalan. Cacat, cakupan, dan kepatuhan adalah metrik utama yang
digunakan ketika teknik pengukuran ini digunakan. Eksekusi bagaimanapun, dapat fokus pada
fungsi, keandalan, atau kinerja. Oleh karena itu, cacat, cakupan, dan kinerja adalah metrik
utama yang digunakan. Ukuran dan metrik lainnya akan bervariasi berdasarkan sifat
persyaratan.
Mengukur kualitas proses dicapai dengan menggunakan satu atau lebih teknik pengukuran, seperti:
Memahami cara terbaik untuk mengukur dan memantau kualitas layanan kesehatan adalah inti
dari pekerjaan peningkatan di Yayasan Kesehatan.
1.mengumpulkan data seputar kualitas dan keamanan juga penting untuk mengurangi masalah
2.menyoroti masalah seperti pengalaman pasien yang buruk atau tingkat infeksi yang tinggi.
3.Tidak mengumpulkan atau menggunakan informasi maka dapat terjadinya kegagalan yang
penting dalam perawatan - Mid Staffordshire, misalnya - menunjukkan betapa pentingnya
untuk memantau kualitas dan merespon dengan cepat ketika masalah diidentifikasi.
a. Harus aman
b. efektif,
d. tepat waktu,
Metrik untuk kedua tujuan digunakan untuk mengukur Proses dan Kualitas Produk.
Semua metrik membutuhkan kriteria untuk mengidentifikasi dan menentukan tingkat atau
tingkat kualitas yang dapat diterima tercapai. Tingkat kualitas yang dapat diterima dapat
dinegosiasikan dan bervariasi, dan perlu ditentukan dan disepakati pada awal siklus hidup
pengembangan. Sebagai contoh, pada iterasi awal, sejumlah besar cacat aplikasi dapat diterima,
tetapi bukan yang bersifat arsitektural. Pada iterasi akhir, hanya cacat estetika yang dapat
diterima dalam aplikasi.
Kriteria penerimaan dapat dinyatakan dalam banyak cara dan dapat mencakup lebih dari satu
ukuran. Kriteria penerimaan umum dapat mencakup langkah-langkah berikut:
Cacat menghitung dan / atau tren, seperti jumlah cacat yang diidentifikasi, tetap, atau yang
tetap terbuka (tidak tetap).
Cakupan tes, seperti persentase kode, atau penggunaan kasus yang direncanakan atau
dilaksanakan dan dilaksanakan (dengan tes). Cakupan uji biasanya digunakan bersama
dengan kriteria cacat yang diidentifikasi di atas).
Kinerja, seperti waktu yang diperlukan untuk tindakan yang ditentukan (kasus penggunaan,
operasi, atau peristiwa lainnya) terjadi. Ini adalah kriteria yang biasa digunakan untuk
pengujian Kinerja, Failover dan pengujian pemulihan, atau tes lain di mana kekritisan
waktu sangat penting.
Pemenuhan. Kriteria ini menunjukkan sejauh mana suatu artefak atau proses kegiatan /
langkah harus memenuhi standar atau panduan yang disepakati.
Penerimaan atau kepuasan. Kriteria ini biasanya digunakan dengan ukuran subjektif,
seperti kegunaan atau estetika.
Beberapa alasan utama mengapa mengukur kualitas perawatan sering terbukti sangat rumit.
Setiap pasien berbeda dan lingkungannya berubah selamanya. Ini dapat menyulitkan untuk
mengisolasi hasil tertentu dan mengukur keefektifannya. Indikator yang kami gunakan untuk
mengukur kualitas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti jenis perawatan yang
diterima seseorang, seberapa sehat mereka, riwayat medis mereka, dan apa arti kualitas
perawatan bagi mereka sebagai pasien. Semua faktor ini dapat mempengaruhi data pengukuran.
Untuk alasan ini sangat penting menggunakan pengalaman pasien sebagai ukuran inti kualitas,
meskipun bisa menjadi tantangan untuk menjaga staf memikirkan hal ini ketika merancang
kerja perbaikan. Dan menemukan cara untuk menanggapi pandangan pasien secara memadai
juga sulit, ketika setiap pasien akan mengalami kualitas dengan cara yang berbeda.
Kurangnya keahlian pengumpulan data di antara dokter diminta untuk mengumpulkan atau
data laporan diri menyajikan tantangan untuk pengukuran yang akurat. Seringkali kompetensi
dalam pengumpulan data diasumsikan dari pada diajarkan, menghasilkan perbedaan dalam
interpretasi ukuran atau tingkat pelaporan.
Penelitian terbaru yang ditugaskan oleh Yayasan Kesehatan menyoroti pentingnya memastikan sistem
pengumpulan data dirancang dan dioperasikan untuk menghasilkan indikator kualitas yang dapat
diandalkan. Penelitian 'Lining up' , yang dipimpin oleh Profesor Mary Dixon-Woods dari Universitas
Leicester, menemukan variabilitas besar dalam bagaimana rumah sakit mengumpulkan, mencatat dan
melaporkan tingkat infeksi saluran sentral. Ini menyimpulkan bahwa data ini tidak sebanding di seluruh
rumah sakit, dan mungkin bukan ukuran kinerja yang sesuai.
Yang salah
INTENDING TO CHANGE
Kelompok 5
Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) adalah rumusan tentang penampilan atau nilai
diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan yaitu
standar pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam sistem
pelayanan yang bertujuan untuk meningkatan kesehatan ibu dan anak dalam rangka
mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2001: 53).
Manfaat Standar Pelayanan Kebidanan
Standar pelayanan kebidanan mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Standar pelayanan berguna dalam penerapan norma tingkat kinerja yang
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan
2. Melindungi masyarakat
3. Sebagai pelaksanaan, pemeliharaan, dan penelitian kualitas pelayanan
4. Untuk menentukan kompetisi yang diperlukan bidan dalam menjalankan
praktek sehari-hari.
5. Sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan
pengembangan pendidikan (Depkes RI, 2001:2)
Format Standar Pelayanan Kebidanan
Dalam membahas tiap standar pelayanan kebidanan digunakan format bahasan sebagai berikut:
1. Tujuan merupakan tujuan standar
2. Pernyataan standar berisi pernyataan tentang pelayanan kebidanan yang
dilakukan, dengan penjelasan tingkat kompetensi yang diharapkan.
3. Hasil yang akan dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam
bentuk yang dapat diatur.
4. Prasyarat yang diperlukan (misalnya, alat, obat, ketrampilan) agar pelaksana
pelayanan dapat menerapkan standar.
5. Proses yang berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan
standar (Depkes RI, 2001:2).
Dasar hukum penerapan SPK adalah:
1. Undang-undang kesehatan Nomor 23 tahun 1992
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomer 23 tahum 1992 kewajiban tenaga
kesehatan adalah mematuhi standar profesi tenaga kesehatan, menghormati hak pasien,
menjaga kerahasiaan identitas dan kesehatan pasien, memberikan informasi dan
meminta persetujuan (Informed consent), dan membuat serta memelihara rekam medik.
Standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga
kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.
Hak tenaga kesehatan adalah memperoleh perlindungan hukum melakukan tugasnya
sesuai dengan profesi tenaga kesehatan serta mendapat penghargaan.
2. Pertemuan Program Safe Motherhood dari negara-negara di wilayah SEARO/Asia
tenggara tahun 1995 tentang SPK
Pada pertemuan ini disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan yang diberikan
kepada setiap ibu yang memerlukannya perlu diupayakan agar memenuhi standar
tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya, WHO SEARO
mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan
untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan
pelayanan di tingkat masyarakat. Standar ini diberlakukan bagi semua pelaksana
kebidanan.
3. Pertemuan Program tingkat propinsi DIY tentang penerapan SPK 1999
Bidan sebagai tenaga profesional merupakan ujung tombak dalam pemeriksaan
kehamilan seharusnya sesuai dengan prosedur standar pelayanan kebidanan yang telah
ada yang telah tertulis dan ditetapkan sesuai dengan kondisi di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY, 1999).
4. Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi
dan praktek bidan. Pada BAB I yaitu tentang KETENTUAN UMUM pasal 1 ayat 6
yang berbunyi Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik.
Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah pelayanan kebidanan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kebidanan serta penyelenggaraannya sesuai
kode etik dan standar pelayanan pofesi yang telah ditetapkan. Standar profesi pada
dasarnya merupakan kesepakatan antar anggota profesi sendiri, sehingga bersifat wajib
menjadi pedoman dalam pelaksanaan setiap kegiatan profesi (Heni dan Asmar,
2005:29)
B. Standar outcome
1. Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap klien
2. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif.
3. Outcome jangka pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tertentu atau prosedur tertentu.
4. Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional klien
KEPUASAN PELANGGAN
Pembelian atau penggunaan jasa memutuskan memberikan suatu penilaian terhadap produk
atau jasa dan bertindak atas dasar itu. Apakah pembeli puas setelah membelanjakan tergantung
kepada penampilan yang ditawarkan dalam hubungannya dengan harapan pembeli.
Philip Kotler dalam bukunya “Marketing Management” , memberikan definisi tentang
kepuasan pelanggan (customer satisfaction): “Kepuasan adalah tingkat keadaan yang
dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan pemampilan atau outcome
produk yang dirasakan dalam hubungannya denagn harapan seseorang”.
Tingkat kepuasan adalah suatu fungsi dari perbedaan antara penampilan yang dirasakan dan
harapan.
Ada 3 tingkat kepuasan :
a. Bila penampilan kurang dari harapan pelanggan tidak dipuaskan
b. Bila penampilan sebanding dengan harapan, pelanggan puas
c. Apabila penampilan melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang
Kepuasan pelanggan pengguna jasa pelayanan kesehatan (pasien/ klien) dipengaruhi oleh
beberapa faktor
1. pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya, dalam hal
ini aspek komunikasi memegang peranan penting
2. Empati (sikap peduli) yang ditunjukan oleh para petugas kesehatan, kemudahan dalam
melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan para
pelanggan. Sikapa ini akan menyentuh emosi pasien. Faktor inin akan berpengaruh
pada tingkat kepatuhan pasien (compliance)
3. Biaya (cost), tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber moral hazard
pasien dan keluarganya, “yang penting sembuh” sehingga menyebabkan mereka
menerima saja jenis perawatan dan teknologi yang ditawarkan petugas kesehatan.
Akibatnya, biaya perawatan menjadi mahal. Informasi terbatas yang dimiliki pasien dan
keluarganya tentang perawatan yang diterima dapat menjadi sumber keluhan pasien.
Sistem asuransi kesehatan dapat mengatasi masalah biaya kesehatan.
4. Bukti langsung penampilan fisik (tangibility); meliputi fasilitas fisik, perlengkapan
pegawai dan sarana komunikasi
5. Jaminan keamamnan yang ditunjukkan petugas kesehatan (assurance); kemampuan
kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf; bebas dari bahaya, risiko
dan keragu-raguan, ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter dsb
6. Kehandalan (reliability); merupakan kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera dan memuaskan
7. Daya tanggap/ kecepatan petugas dalam memberi tanggapan terhadap keluhan pasien
(responsiveness); keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan
pelayanan dengan tanggap
EFISIENSI PELAYANAN KESEHATAN
1. Efisiensi mutu pelayanan kesehatan merupakan dimensi penting dari mutu karena
efisiensi akan mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan, apalagi sumber daya
pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas.
2. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada
memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat
3. Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki
4. Pelayanan yang kurang baik karena norma yang tidak efektif atau pelayanan yang salah
harus dikurangi atau dihilangkan, dengan cara ini kualitas dapat ditingkatkan sambil
menekan biaya.
5. Pelayanan yang kurang baik, disamping menyebabkan risiko yang tidak perlu terjadi
dan kurang nyamannya pasien, seringkali mahal dan memakan waktu yang lama untuk
memperbaiki
6. Peningkatan kualitas memerlukan tambahan sumber daya, tetapi dengan menganilis
efisiensi, manajer program kesehatan dapat memilih intervensi yang paling cost –
effective.
7. efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang
optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan
berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif,
membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Sebagai contoh untuk
menyelesaikan sebuah tugas, cara A membutuhkan waktu 1 jam sedang cara B
membutuhkan waktu 2 jam, maka cara A lebih efisien dari cara B. Dengan kata lain
tugas tersebut dapat selesai menggunakan cara dengan benar atau efisiensi.
EFEKTIFITAS PROGRAM
Efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari
serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya.
Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-
tujuan yang telah ditentukan.
Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah
ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan
b. Pentingnya cara penyelesaian masalah
c. Sensitifitas cara penyelesaian masalah
Efektifitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi adalah melakukan tugas
dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum tentu efisien begitu juga sebaliknya. Yang
efektif bisa saja membutuhkan sumber daya yang sangat besar sedangkan yang efisien
barangkali memakan waktu yang lama. Sehingga sebisa mungkin efektivitas dan efisiensi bisa
mencapai tingkat optimum untuk kedua-duanya.
C. Sistem Untuk peningkatan kineja bidan
Kinerja bidan : proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh suatu organisasi dalam
memberikan jasa atau produk kepada pelanggan
Sekumpulan prinsip-prinsip pedoman untuk kegiatan di mana pekerjaan setiap individu
memberikan sumbangan bagi perbaikan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
“Bagaimana saya dapat membantu orang lain untuk memahami arti pekerjaan bagi
keseluruhan”
PRINSIP PERBAIKAN MUTU
1. Keinginan untuk Berubah
a. Tidak hanya menemukan praktek yang tidak benar
b. Nyatakan secara terbuka keinginan untuk bekerja dalam kemitraan untuk
meningkatkan pelayanan
2. Mendefinisikan Kualitas
Kemampuan pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Mengukur Kualitas
a. Menggunakan metode statistik yang tepat untuk menafsirkan hasil pengukuran.
b. Perlu informasi atas proses, kebutuhan pelanggan, dan kualitas penyedia
4. Memahami Saling Ketergantungan
Fragmentasi tanggung jawab akan menimbulkan suboptimaze “saya bekerja dengan
baik yang lain tidak”.
5. Memahami Sistem
Kesalahan yang terjadi disebabkan oleh sistem (85%) dan manusia (15%).
6. Investasi Dalam Belajar
Seluruh pakar menekankan pentingnya pelatihan/ pembelajaran. Mencari penyebab lalu
mendapatkan pengalaman utk perbaikan.
7. Mengurangi Biaya
Mengurangi kerja sia-sia, duplikasi, kompleksitas yang tak perlu.
8. Komitmen Pemimpin
Menunjukkan segala sesuatu baik itu dengan kata-kata maupun perbuatan atas
komitmen yang telah ditetapkan terutama untuk mutu.
Kelompok 6
Disusun Oleh :
Owi Noviana Sukri (P17324416006)
Aprisa Silayani (P17324416024)
Novia Hartini (P17324416032)
Indah Dwi Lasilva (P17324416037)
Mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik kebutuhan yang
dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat. Program menjaga mutu adalah suatu upaya yang
dilakukan secara berkesinambungan, sistematis, objektif dan terpadu dalam menetapkan
masalah dan penyebab masalah mutu pelayanan kesehatan berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan
kemampuan yang tersedia, serta menilai hasil yang dicapai dan menyusun saran-saran tindak
lanjut untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan.
TQM atau total quality management adalah pendekatan manajemen pada suatu
organisasi, berfokus pada kualitas dan didasarkan atas partisipasi dari keseluruhan sumber daya
manusia dan ditujukan pada kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan
memberikan manfaat pada anggota organisasi (sumber daya manusianya) dan masyarakat
TQM juga diterjemahkan sebagai pendekatan berorientasi pelanggan yang memperkenalkan
perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk,
dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang spesifik (keinginan,
kebutuhan, dan harapan pelanggan), mentransformasi (memproses) input dalam organisasi
untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya memberikan kepuasan kepada
pelanggan (output). Tujuan utama Total Quality Management adalah perbaikan mutu
pelayanan secara terus-menerus. Dengan demikian, juga Quality Management sendiri yang
harus dilaksanakan secara terus-menerus.
Fedoroff dan Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar untuk
mengukur kepuasan, yaitu :
Pendapat lain mengenai dimensi mutu juga dijelaskan oleh Oki (2000) dalam tujuh dimensi
diantaranya yaitu sebagai berikut :
a. Time, yaitu seberapa lama customer anda harus menunggu layanan pelayanan anda
b. Timeliness, yaitu apakah layanan pelayanan anda dapat diberikan sesuai janji.
c. Completeness, yaitu apakah semua bagian atau item daripelayanan anda, dapat
diberikan pada customer.
d. Courtes, yaitu apakah karyawan yang berada di "garis depan" menyapa dan melayani
customer anda dengan ramah dan menyenangkan.
e. Consistency, yaitu apakah layanan pelayanan anda selalu dilakukan dengan cara yang
sama untuk semua customer.
f. Accessbility and convenience, yaitu apakah layanan pelayanan anda mudah dijangkau
dan dinikmati.
g. Responsiveness, yaitu apakah karyawan anda selalu tanggap dan dapat memecahkan
masalah yang tidak terduga Selain pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi mutu.
Contoh kasus:
Reny Wahyuni, 40, harus merelakan kehilangan anak ketiganya yang baru lahir. Bayi
perempuan itu meninggal akibat terlambat mendapat penanganan dari pihak rumah sakit.
Padahal, ia merupakan anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kejadian bermula saat Reny yang tengah hamil delapan bulan kontrol ke Rumah Sakit Taman
Harapan Baru (THB) Bekasi. Kondisi Reny kurang fit. Darah tingginya kumat. Pihak rumah
sakit menyarankan Reny untuk segera bersalin
"Masih delapan bulan karena ibunya darah tinggi jadi mau enggak mau harus dikeluarkan
bayinya," ujar keponakan Reny, Aldian Juliari, kepada Metrotvnews.com, Selasa 13 Juni 2017.
Namun, tiga hari setelah dirawat Reny tak kunjung dioperasi. Pihak rumah sakit beralasan
menunggu tekanan darah pasien normal dulu. Sayangnya hingga Jumat 9 Juni 2017 tekanan
darah pasien tak membaik.
Pihak rumah sakit pun akhirnya memanggil keluarga pasien dan mengatakan tidak bisa
menangani Reny karena tidak memiliki inkubator untuk memfasilitasi bayi saat lahir nanti.
"Tiga hari tidak ada penanganan apa pun dari THB. Mereka bilang mau tunggu sampai tekanan
darah tingginya turun, tapi malah makin tinggi," tambah Aldi
Sejak pukul 10 pagi, Aldi bersama suami Reny berkeliling ke sejumlah rumah sakit di Kota
Bekasi. Setidaknya ada enam rumah sakit swasta yang didatangi, yakni RS Ananda Bekasi, RS
Anna Medika Bekasi, RS Mekar Sari, RS Bakti Kartini, RS Bella, dan RS Hermina Bekasi.
Sayangnya, semua rumah sakit menolak dengan alasan sama, yakni ruang ICU sedang penuh.
Aldi mengatakan, karena merasa diabaikan pihak RS THB, Reny memilih pulang.
Sabtu 10 Juni 2017, sekira pukul 03.00 WIB, Reny pulang ke kediamannya di Perumahan
Pejuang Pratama Bekasi. Tapi, pukul 08.00 WIB Reny kembali dirujuk ke RS Koja, Jakarta
Utara.
Menurut Aldi, pihaknya sempat ragu untuk ke RS Koja karena berada di Jakarta. Sementara
BPJS yang dimiliki ada di wilayah Bekasi. "Ternyata di Koja diterima, bahkan langsung
ditangani," tambahnya.
Reny pun akhirnya melahirkan pukul 20.00 WIB. Namun, kendati sempat menangis saat
dilahirkan, beberapa menit bayi tersebut dinyatakan meninggal dunia.
"Kata dokternya kenapa tidak segera ditangani sejak awal di THB," jelas Aldi.
Aldi menambahkan, keluarganya menyatakan kecewa dengan pelayanan rumah sakit di Bekasi
dan meragukan keterangan ketujuh rumah sakit yang mengatakan ruang ICU penuh di saat
bersamaan.
Gambar disamping menunjukan pelayanan
BPJS yang tidak berkualitas. Yaitu, ketika
pasien berobat ke Rumah Sakit dengan BPJS
pihak rumah sakit tidak memberikan
pelayanannya dengan baik dengan cara tidak
memberikan kamar untuk pengguna BPJS
Kelompok 7
James M. Kouzez dan Barry Z. Posner dalam buku mereka yang berjudul “The Leadership
Challenge (1987), mengemukakan sepuluh komitmen kepemimpinan yang diharapkan dari
setiap pemimpin, yaitu :
Pandangan ini berarti bahwa seorang pemimpin diharapkan senantiasa berusaha agar “status
quo” atau “kemapanan yang statis” tidak perlu dipertahankan, namun sebaliknya segera harus
diubah demi penyesuaian dengan gelombang perubahan yang terjadi. Agar komitmen tersebut
dapat terlaksana secara nyata dalam kehidupan organisasi, maka diperlukan langkah-langkah
strategis, antara lain :
2) Secara aktif memiliki kepedulian dan mempertanyakan setiap “status quo” atau “kemapanan
yang statis” dan secara sungguh-sungguh selalu mencari strategi maupun cara yang tepat untuk
merubah keadaan sehingga dapat merencanakan perubahan atau peluang baru.
Komitmen ini mempunyai maksud sama dengan memiliki tekad yang kuat dan keikhlasan yang
dalam untuk berusaha belajar dari keberhasilan dan kegagalan, meskipun terpaksa harus
membayar harga pengalaman dengan mahal dan konsekwensinya yang besar. Pemimpin dalam
konsep ini memandang betapa pentingnya keberanian untuk bersedia “menanggung resiko”
sebagai akibat usaha untuk lebih maju. Bahkan banyak yang meyakini bahwa menjadi
pemimpin adalah kesediaan hidup dengan alam kehidupan yang penuh resiko. Dengan
pandangan yang demikian, pemimpin wajib berusaha untuk mengembangkan tata nilai dan
budaya kerja yang penuh dengan kesetiaan semua anggotanya untuk berani mencoba dan
menanggung resiko.
Konsep ini berarti bahwa setiap pemimpin harus menampilkan pribadi yang memancarkan
suatu visi atau pandangan ke depan tentang gambaran wujud masa depan dengan kuat. Tugas
pemimpin yang utama adalah menciptakan visi yang jelas demi peningkatan kehidupan masa
depan organisasi dan manusia dalam organisasinya.
Ada beberapa prinsip yang perlu dipraktekan secara nyata dalam mengembangkan komitmen
ini, yaitu :
1) Mawas diri (mengenali diri secara benar);
2) Menetapkan masa depan yang diharapkan;
3) Merancang apa yang belum pernah dipikirkan orang lain;
4) Melatih intuisi dan rasa; dan
5) Selalu berorientasi ke depan.
D. Membina kesamaan visi
Ini berarti mengkomunikasikan visinya kepada semua pihak yang terkait dengan upaya
mewujudkan visinya. Upaya penyamaan visi oleh pemimpin merupakan ketrampilan untuk
memperhatikan adanya nilai-nilai, peminatan, harapan dan mimpi yang ada maupun
berkembang diantara anggota organisasi. Dengan demikian maka visi pemimpin juga
merupakan visi bersama dari semua anggota yang dipimpinnya (share vision).
Beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam usaha penyamaan visi ini, yaitu :
E. Menggalang kerjasama
Menggalang kerjasama atau mengupayakan agar orang-orang bersedia untuk bekerja dalam
satu kata dan semangat kebersamaan, adalah tugas dari seorang pemimpin. Membina kerjasama
pada prinsipnya adalah meningkatkan keterpaduan potensi organisasi melalui penyamaan
tujuan dan membina saling percaya diantara anggota organisasi.
1) Menciptakan kebersamaan;
3) Menciptakan keterbukaan;
Ini berarti bahwa pemimpin berkewajiban untuk membagi atau memberikan kekuasaan dalam
informasi yang dimilikinya, agar semua pihak yang terlibat dalam proses pembaharuan
mempunyai kekuatan atau sumberdaya gerak pembaharuan yang sama.
G. Menunjukan ketauladanan
Ini berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban untuk membuat orang lain dapat
berbuat dengan senantiasa memberikan contoh atau jalan awal bagi pertumbuhan selanjutnya.
Menyamakan dasar-dasar filosofi dan nilai-nilai, memahami nilai-nilai utama yang diterima
oleh individu dan kelompok adalah langkah yang strategis.
2) Menciptakan lebih banyak peluang untuk penyebaran visi dan jiwa pembaharuan;
3) Memelihara citra sebagai pemimpin yang konsisten dalam merealisasikan visinya; dan
Untuk mencapai hal tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu :
Pemimpin harus mampu manghargai setiap peran yang telah dimainkan oleh semua pihak
dengan ikut andil dalam menciptakan keberhasilan. Dalam menghargai setiap peran individu,
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
Untuk mencapai hal ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu :
KELOMPOK 8
A.Pengertian
Kegiatan investasi seringkali kita dengar pada dunia ekonomi, keuangan, dan perdagangan.
Misalnya: Amerika Serikat menginvestasikan modalnya dalam industri perminyakan di
Indonesia. Jerman dan Swiss memiliki investasi yang besar dalam bidang kesehatan dan
farmasi di Indonesia.
Pada konteks ini, kegiatan berinvestasi merupakan suatu usaha untuk memberikan atau
menanamkan modal untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Investasi merupakan memberikan atau menanam bibit. Investasi kesehatan adalah memberikan
atau menanam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Investasi kesehatan juga bisa diartikan sebagai usaha-usaha yang dilakukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Artinya apapun yang dilakukan oleh seseorang
atau masyarakat untuk tujuan memperoleh keuntungan dalam kehidupannya termasuk
mendapatkan pelayanan atau derajat kesehatan yang lebih baik disebut sebagai investasi
kesehatan.
Contoh: Orang berinvestasi dalam pelayanan kesehatan adalah orang yang telah mengeluarkan
dananya untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Konsep investasi pelayanan kesehatan dapat dikategorikan kedalam dua hal, yaitu:
Dalam sektor pelayanan kesehatan, kemampuan untuk belajar adalah sesuatu yang sangat es
ensial karena dalam bidang ini pengetahuan dan keahlian sangat cepat menjadi tertinggal
karena perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran yang terjadi secara terus-menerus.
Dalam menerapkan learning organization terdapat tujuh framework yang dapat digunakan
salah satunya adalah organizational learning. Pada organizational learning ini, semua struktur
dan proses yang ada dalam organisasi diatur untuk melakukan learning organization. Apabila
keterbukaan ini dimanfaatkan secara maksimal maka dinamisasi proses pembelajaran dalam
organisasi diharapkan akan muncul. Adanya staf Kesehatan ibu dan anak yang fokus dan
berusaha untuk melakukan diskusi dengan dinas kabupaten yang lain, senantiasa mengakses
informasi baik melalui internet maupun koordinasi langsung dengan dinas kesehatan provinsi
akan semakin memperkuat budaya pembelajar dalam organisasi. Pada level bidan desa
beberapa individu menunjukkan keinginan untuk senantiasa menambah dan meng-update ilmu
dan keterampilannya, serta aktif melakukan diskusi dengan dokter maupun teman sejawat
lainnya. Beberapa hal di atas membuktikan bahwa sudah mulai terdapat upaya learning
organization. Diharapkan ke depannya kondisi ini terus menunjukkan perkembangan ke arah
yang semakin baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh M Hakim pada 2017 tentang learning disability dalam
pelayanan KIA menunjukkan bahwa ada learning disabilities di dalam proses learning
organization di dalam organisasi dinas kesehatan. Learning disabilities meliputi individu
yang hanya fokus kepada posisinya (I am my position) masing - masing sehingga mengabaikan
interaksi dengan posisi yang lain. Selain itu kebiasaan untuk menyalahkan pihak luar (the
enemy is out there) atas permasalahan yang terjadi seperti menyalahkan dinas kesehatan,
pemerintah, hingga budaya masyarakat yang dianggap menyulitkan bidan mengumpulkan data
audit.
The ilusion of taking charge merupakan ketidakmampuan belajar dimana seseorang merasa
sudah berusaha untuk menangani masalah yang terjadi akan tetapi hal tersebut belum
memberikan efek yang optimal. Salah satunya adalah kegiatan promotif dan preventif seperti
kelas ibu hamil yang dicanangkan secara masif oleh dinas kesehatan. Seharusnya masih ada
hal lain yang harus diperhatikan agar masalah kematian ibu dan bayi dapat ditangani secara
komprehensif. Learning disabilities yang lain adalah the fixation on events, dimana individu
hanya berfokus pada kejadian jangka pendek dan tidak memperhatikan peristiwa jangka
panjang yang melatarbelakangi suatu masalah. Sebgai contoh, ketidakmampuan merespon
berbagai masalah atau perubahan kecil dalam organisasi dapat menyebabkan masalah
terlambat ditangani karena sudah terlanjur menjadi besar. Kematian ibu dan bayi dianggap
sebagai isu yang tidak teralu penting karena hal tersebut sudah terjadi. Sehingga masalah
tersebut senantiasa berulang tanpa ada langkah yang jelas untuk mengatasinya. Sedangkan
learning disabilities yang terakhir adalah mitos dari tim manajer. Ketidaktegasan dalam
bersikap, tidak fokus terhadap permasalahan yang lebih kompleks dan anggapan bahwa posisi
yang diduduki merupakan tempat yang tidak strategis merupakan contoh dari ketidakmampuan
belajar dari tim manajer.
SUMBER:
Diani N, Hasanbasri M, Hakimi M, 2017, Learning Disabilities Dalam Layanan Kesehatan Ibu
Dan Anak: Studi Kasus Di Dinas Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas Di Indonesia,
Jurnal Kebijakan Kesekatan Indonesia, Vol 06:83-89, Indonesia.