Anda di halaman 1dari 9

1.

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH


1. PERIODE RASULULLAH

Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan
Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan
hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum
kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.

Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang
tidak diturunkan wahyu kepadaku.”

(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)

Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu
Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan
pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin
Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat,
Nabi bertanya kepada Muadz:

َّ َ ‫ل أ‬
‫ن‬ ََّ ‫سو‬ ُ ‫صلى ّللاهَّ َر‬ َّ ‫علَ ْي هَّه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سل ََّم‬
َ ‫ث َو‬ ََّ َ‫ن هإلَى ُم َعاذًا َبع‬ َّ‫ل ْال َي َم ه‬ ََّ ‫ْف فَقَا‬
ََّ ‫ضي َكي‬ ‫ل ت َ ْق ه‬
ََّ ‫ضي فَقَا‬‫ب فهي هب َما أ َ ْق ه‬ َّ‫ل ّللاهَّ هكت َا ه‬ ََّ ‫ن قَا‬َّْ ‫ن لَ َّْم فَإ ه‬
َّْ ‫ب فهي َي ُك‬ َّ‫ّللاه هكت َا ه‬
َّ
ََّ ‫سن هَّة قَا‬
‫ل‬ ُ ‫ل فَبه‬
َّ‫سو ه‬ ُ ‫ّللاه َر‬
َّ ‫صلى‬ َ ُ‫ّللا‬َّ ‫علَ ْي هَّه‬
َ ‫سل ََّم‬
َ ‫ل َو‬ َّْ ‫ن لَ َّْم فَإ ه‬
ََّ ‫ن قَا‬ َّْ ‫سن هَّة فهي يَ ُك‬ ُ ‫ل‬ ُ ‫صلى ّللاهَّ َر‬
َّ‫سو ه‬ َّ ‫علَ ْي هَّه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سل ََّم‬
َ ‫ل َو‬ َ
ََّ ‫ل َرأيهي أجْ ت َ هه َُّد قَا‬ ْ ْ
ََّ ‫لِله ال َح ْم َُّد قَا‬
َّ ‫ه‬
‫ق الذهي‬ ََّ ‫ل َوف‬ ََّ ‫ل َرسُو‬ َّ‫سو ه‬ُ ‫صلى ّللاهَّ َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ
َّ ‫عل ْي هَّه‬َ ‫سل ََّم‬
َ ‫َو‬

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada
Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya
putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di
dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya
lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad
dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas
diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh
beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan
kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad.

Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi mengembangkan Ilmu Ushul
Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal
untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah. (2)
(1) Al-Hudhari Byk, Ushul al-Fiqh, Maktabah tija’riyah al-Kubro, Mesir,1969 hal.4

(2) sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqh _files (google), 6 Oktober 2012

Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah


telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang
mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan.

Rasulullah bersabda

‫“ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم‬Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”

Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang
pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh
dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.

Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada
dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya
dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :

“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah
saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit,
Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana
pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu
menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.

Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat
datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji
bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan
pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.

Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal
dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan
terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum
Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang
peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan
hukum Islam bidang muamalah.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan
para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau
tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).

Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas
dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang
sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena
berkumur-kumur.

2. PERIODE SAHABAT

Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai
pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh r
sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu
ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka
gunpara pembesaakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.

Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti yang
dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh
hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi
kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini
mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode
penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah
mengamalkan metodenya.(2)

Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut
ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah
wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini,
tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat
ijtihad sudah merupakan sumber hukum.

Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa).
Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

‫علَى ْال ُم ْقت ِِر قَدَ ُرهُ َمت َاعًا بِ ْال َم ْع ُروفِ َحقًّا‬ ْ َ ‫ضةً َو َمتِِّعُوهُن‬
ِ ‫علَى ال ُموس‬
َ ‫ِع قَدَ ُرهُ َو‬ َ ‫سا َء َما لَ ْم ت َ َمسُّوهُن أ َ ْو ت َ ْف ِرضُوا لَ ُهن فَ ِري‬
َ ِِّ‫طل ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم إِ ْن‬
َ ‫ال ُجنَا َح‬
َ‫علَى ْال ُمحْ ِسنِين‬َ
Artinya :

“Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah
: 236).

Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para
sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya
cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa
Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah
dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah
terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu
yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan
adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam
menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak
membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits,
mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam
menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas
dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa
membutuhkan adanya kaidah-kaidah.

3. PERIODE TABI’IN DAN IMAM MAZHAB

Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III
Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang
dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di
daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama
Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang
tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini,
kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara
para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga
antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang
bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab
dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-
kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam
memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah
lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh
orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.

TAHAP PERKEMBANGAN USHUL FIQH

secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:

1. Tahap awal (abad 3H)

pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H), Al-
Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi
suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari
kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang
pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.

Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari
kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang
bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan
Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.(4)

(3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung


(4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996

Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan,
tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-
dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi’i menyusun ilmu
ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar’I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-
Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya.

Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu
Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar
Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.

Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 h ini tidak mencerminkan
pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu
sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat
perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.

Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan
inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya
sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam
madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian
kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya
dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik
menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits
saja(4)

2. Tahap perkembangan (abad 4 H)

Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik.
Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang
sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan
para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.

Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka
sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka
mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi
mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai
dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.

Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing
pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis
oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:

1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut
ulama takhrij

2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan
dirayah.

3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-
khilaf(3)

(4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996

(3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung

Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam
perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka
cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.

2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat

3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.

Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya
usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru
memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.

Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab
ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:

1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham
Al-Kharkhi,(w.340H.)

2. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga
terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3 Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-
Lamisy Al-Hanafi.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu
semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.

Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk
yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini
merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h.,
juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir
menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.(3)

3. Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )

kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi
perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di
kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari
para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.

Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama
memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar,
abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-
Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para
pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan
aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah
sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada
produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.

Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan
ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian
ilmu ushul fiqih slanjutnya.(4)

(3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung

(4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih
bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah
yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin

Anda mungkin juga menyukai