Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)

atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi

klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock

syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok

(Suhendro, 2006).

2.2. Epidemiologi

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit arbovirus dari keluarga

flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4) yang

ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

DBD menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan sebagai

penyebab utama kesakitan dan kematian anak (Kaushik, 2010). Data dari WHO

menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi berisiko dengue di

seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan

Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan

oleh demam berdarah dengue (WHO, 2009).

3
Gambar 2.1. Negara dengan Risiko Transmisi Virus Dengue. Sumber : WHO,
2012 (NaTHNaC, 2013)

Epidemi DBD adalah masalah kesehatan utama masyarakat di Indonesia,

Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis

dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan

dan pedesaan, tempat beberapa serotype virus beredar (WHO, 2009). DBD pertama

kali digunakan di Asia Tenggara tahun 1953 di Filipina. DBD di Indonesia pertama

kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya dan konfirmasi virologisnya

diperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan

terdapat di Sumatera Barat dan lampung kemudian tahun 1973 disusul Riau,

Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini DBD sudah endemis di kota besar dan penyakit

ini telah berjangkit di daerah pedesaan.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012

menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan

jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan

4
Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak terdapat

di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus),

Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya merupakan

provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor

risiko dari penyebaran penyakit dengue (Soedarmo, 2012).

v
Gambar 2.2. Jumlah Kasus Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).

Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit DBD tiap provinsi pada tahun

2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167 kematian yang diikuti oleh

Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108 kematian) dan Provinsi

DKI Jakarta dengan jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4 kematian, hal

tersebut dikarenakan sistim surveilans dan manajemen penatalaksanaan kasus DBD

di DKI Jakarta yang cukup baik (Kementrian Kesehatan, 2013).

5
Gambar 3.3. Jumlah Kematian Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).

2.3 Etiologi

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan

ukuran 50 nm dan terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul

4x106 . Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk

Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering

ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan

berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat

penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,

berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan

sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes

albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada

di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih,

seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari

dan memiliki jarak terbang 50 meter (Gubler, 2009).

6
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype

terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap

serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat

terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe

virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Gubler, 2009).

2.4 Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat

berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik

antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks

virus antibodi) yang tinggi (Soedarmo, 2012).

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal

sebagai berikut :

1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat

dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya

permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui

endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya

renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33%

dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar

7
komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun

plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a

agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses

inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk

membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin

yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami

metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan

dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia

hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin

vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas

kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi

intravaskular.

3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya

pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen

akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin yang

penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu

aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.

8
Gambar 2.4 Patogenesis pada Infeksi Sekunder Virus Dengue yang Berbeda

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara

hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya

reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut (Soedarmo, 2012):

1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan

sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.

2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada

sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada

permukaan sel fogosit mononukleus.

9
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang

telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah

sel yang terinfeksi.

4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated

intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-

mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut

berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen

dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta

tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.5 Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan

dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal

seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin

terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar–kelenjar getah

bening, hati dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah

dibawah kulit (Soedarmo, 2012).

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan

membedakan DD dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler

karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem

kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat berkurangnya

volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura

dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat

permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan

10
renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30% (Kaushik,

2010).

Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan

ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan

perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila

tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan

kematian (Soedarmo, 2012).

Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,

gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia yang

dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan

pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi

trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi agregasi trombosit menurun

mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi

disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu

oleh aktivitasi sistem koagulasi (Soedarmo, 2012).

DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada

awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi

bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan

memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol (Kaushik, 2010).

11
Gambar 2.5 Patofisiologi terjadinya Plasma Leakage Pada DBD (Kaushik, 2010).

2.6 Manifestasi Klinis

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :

a. Silent dengue atau Undifferentiated fever

b. Demam dengue klasik

Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih

manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi

perdarahan dan leukopenia Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias

yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam (Soedarmo, 2012).
-
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat

bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.


-
Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat

pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan

kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang

muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik

pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.

12
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobi,

berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan

membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang

patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai (Soedarmo,

2012).

Gambar 2.6. Spektrum Klinis DD dan DBD

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut

- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian

leukopeni hingga periode demam berakhir

- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme

pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni

- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin

meningkat.

c. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)

Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan

perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya

trombositopenia dan peningkatan hematokrit (Kaushik, 2010).

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,

disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri

13
otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita

mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,

namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut

dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat

menimbulkan kejang demam terutama pada bayi (Kaushik, 2010).

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)

positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada

bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di

daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada

fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,

perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya

membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae

kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya

penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan

syok (Soedarmo, 2012).

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi

penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang

bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan

perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat

mengalami syok (Soedarmo, 2012).

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal

dibawah ini dipenuhi :

 Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik

 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

14
o Uji bendung positif

o Petekie, ekimosis, atau purpura

o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

o Hematemesis atau melena

 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)

sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat :

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau

hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab,

dan anak tampak gelisah.

15
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak terukur. Keempat derajat tersebut

ditunjukkan pada gambar 2.7

Gambar 2.7. Spektrum Klinis DBD (Kaushik, 2010).

d. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah

dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab

dan pasien tampak gelisah (Kaushik, 2010).

16
Gambar 2.8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran
plasma pada DBD (Kaushik, 2010).

2.7 Diagnosis Banding

Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri,

virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis,

demam chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang

jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit

lain.

Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).

Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya

mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan

serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir

17
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai

nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama

dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula

pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.

Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear

(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk

membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas

terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan

serebrospinalis.

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD

derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada

hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada

ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai

leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan

pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat

kembali normal daripada ITP.

Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada

leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat

anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis

leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin

dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto

toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD

18
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma (yas,

2013).

2.8 Diagnosis

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium

(WHO, 2011).

a. Kriteria klinis

 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari

 Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

 Pembesaran hati

 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20

mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak

gelisah.

b. Kriteria laboratorium

 Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)

 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit  20% dari nilai dasar

/ menurut standar umur dan jenis kelamin Diagnosis DBD ditegakkan

berdasarkan

 Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/

peningkatan hematokrit 20%

 Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

 Dijumpai tanda perembesan plasma

- Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

19
- Hipoalbuminemia

 Perhatian

- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,

mendukung diagnosis DSS

- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok

sepsis

Tabel 21 Kriteria Diagnosis DD, DBD dan DSS (WHO, 2011)

2.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah

trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative

disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).

20
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)

ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,

saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue

berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :

 Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis

relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%

dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.

 Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

 Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin

awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam

 Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada

keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

 Protein/albumin

Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma

 Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

 Serologi

Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:

21
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang

setelah 60-90 hari

- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi sekunder).

 NS1

Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari

kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur

virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus

dengue.

2. Radiologi

Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan

radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%

(Soedarmo, 2012).

 Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai

edema paru karena overload pemberian cairan.

 Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama

daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang

kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.

 Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding

vesika felea, ascites dan dinding buli-buli

2.10 Komplikasi

 Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok

 kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan

 Edema paru, akibat over loading cairan. 11

2.11 Penatalaksanaan

22
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID) (Samsi, 2000).

Gambar 29. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit


(Hadinegoro, 2004).
a. Penatalaksanaan Demam Dengue

Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :

- Tirah baring selama fase demam akut

- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C,

sebaiknya diberikan parasetamol

- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang

mengalami nyeri yang parah

- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang

berkeringat lebih atau muntah (Vyas, 2013).

b. Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue

Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat

sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran

plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa

kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan

23
tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan

adanya kehilangan cairan.8 Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan

volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok

(WHO, 2009).

Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga

hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat

demam turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit,

trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.

Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil

diatasi hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15%

memerlukan transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk

resusitasi awal syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer

memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk

mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD

stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer

akibat adanya asidosis berat (WHO, 2009).

Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk

rumatan bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan

jumlah cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena

tidak ada perembesan plasma (WHO, 2009).

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi

kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan

hydroxy ethyl starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih

besar sehingga dapat bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada

24
cairan kristaloid dan memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular

lebih baik.

Tabel 2.2 Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid

(20ml/kgBB/30menit) dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada

perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera

diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang

memadai tetapi syok belum dapat diatasi.

Tabel 2.3. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

25
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat

traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis

sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya

juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila

terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi

trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP)

yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi

trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan

packed red cell (PRC) (Vyas, 2013).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam

intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk

mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)

bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi

hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak

masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar

hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi (Vyas, 2013).

26
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Gambar 2.10 Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

27
Gambar 2.11. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

28
Gambar 2.12. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

29
Gambar 2.13. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

30
Kriteria memulangkan pasien :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau

asidosis).7

2.12 Pencegahan

- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan

tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap

keluarga

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3

bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

- Foging Focus dan Foging Masal

d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang

waktu 1 minggu

e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB

dalam jangka waktu 1 bulan

f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan

menggunakan Swing Fog

31
Gambar 3.14. Kegiatan foging

- Penyelidikan Epidemiologi

g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam

setelah menerima laporan kasus

h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat.

- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15

32
BAB III

KESIMPULAN

Demam berdarah dengue adalah demam berdarah yang disebabkan oleh Virus

dengue yang ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. Manifestasi klinis dari

penyakit ini mulai dari asipmtomatis sampai demam berdarah dengue yang disertai

syok atau yang disebut sebagai dengue shock syndrome (DSS). Infeksi primer oleh

Virus Dengue mungkin memberi gejala demam dengue, apabila terjadi re-infeksi

oleh Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda maka reaksi yang terjadi sangat

berbeda. Teori patogenesis demam berdarah dengue yang banyak dianut saat ini

adalah secondary heterologous infection.

Menurut teori ini re-infeksi akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik

antibodi. Patofisiologi utama yang membedakan demam dengue dengan DBD

adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume

plasma, serta diatesis hemoragik. Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah

penggantian volume plasma secepat mungkin untuk memperbaiki kehilangan

volume plasma. Dengan memahami patogenesis DBD yang baik dan adanya

keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan

keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan DBD

33

Anda mungkin juga menyukai