BAB Dua
BAB Dua
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
(Suhendro, 2006).
2.2. Epidemiologi
flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4) yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
penyebab utama kesakitan dan kematian anak (Kaushik, 2010). Data dari WHO
menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi berisiko dengue di
seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan
3
Gambar 2.1. Negara dengan Risiko Transmisi Virus Dengue. Sumber : WHO,
2012 (NaTHNaC, 2013)
Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis
dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan
dan pedesaan, tempat beberapa serotype virus beredar (WHO, 2009). DBD pertama
kali digunakan di Asia Tenggara tahun 1953 di Filipina. DBD di Indonesia pertama
kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya dan konfirmasi virologisnya
diperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan
terdapat di Sumatera Barat dan lampung kemudian tahun 1973 disusul Riau,
Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini DBD sudah endemis di kota besar dan penyakit
jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan
4
Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak terdapat
di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus),
Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya merupakan
provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor
v
Gambar 2.2. Jumlah Kasus Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).
Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit DBD tiap provinsi pada tahun
2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167 kematian yang diikuti oleh
Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108 kematian) dan Provinsi
DKI Jakarta dengan jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4 kematian, hal
5
Gambar 3.3. Jumlah Kematian Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).
2.3 Etiologi
ukuran 50 nm dan terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106 . Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat
penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,
berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan
sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada
di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih,
seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari
6
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap
serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe
2.4 Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue. Reaksi tubuh
merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat
berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik
sebagai berikut :
endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya
dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar
7
komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun
hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin
intravaskular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya
8
Gambar 2.4 Patogenesis pada Infeksi Sekunder Virus Dengue yang Berbeda
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara
hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
9
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang
telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
2.5 Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan
dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal
seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin
bening, hati dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah
karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem
dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat
permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan
10
renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30% (Kaushik,
2010).
ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila
tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada
awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi
bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan
11
Gambar 2.5 Patofisiologi terjadinya Plasma Leakage Pada DBD (Kaushik, 2010).
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
perdarahan dan leukopenia Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias
yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam (Soedarmo, 2012).
-
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat
pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik
12
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobi,
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
2012).
- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
meningkat.
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri
13
otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
14
o Uji bendung positif
sebagai berikut:
hipoproteinemi.
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
15
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah
dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab
16
Gambar 2.8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran
plasma pada DBD (Kaushik, 2010).
virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis,
lain.
serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir
17
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai
nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama
pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk
serebrospinalis.
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada
hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai
pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis
dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto
toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
18
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma (yas,
2013).
2.8 Diagnosis
(WHO, 2011).
a. Kriteria klinis
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
b. Kriteria laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
berdasarkan
19
- Hipoalbuminemia
Perhatian
- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis
1. Laboratorium
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative
20
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).
Leukosit
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
Trombosit
Hematokrit
Hemostasis
Protein/albumin
Elektrolit
Serologi
21
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
2. Radiologi
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
(Soedarmo, 2012).
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
2.10 Komplikasi
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2.11 Penatalaksanaan
22
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID) (Samsi, 2000).
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa
kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan
23
tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan
(WHO, 2009).
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga
hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat
demam turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit,
trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
diatasi hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15%
resusitasi awal syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer
memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk
mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk
rumatan bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan
jumlah cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan
besar sehingga dapat bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada
24
cairan kristaloid dan memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular
lebih baik.
perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera
diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang
25
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat
terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi
trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP)
trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar
26
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
Gambar 2.10 Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD
27
Gambar 2.11. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.
28
Gambar 2.12. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%
29
Gambar 2.13. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue
30
Kriteria memulangkan pasien :
4. Hematokrit stabil
asidosis).7
2.12 Pencegahan
keluarga
bulan
waktu 1 minggu
31
Gambar 3.14. Kegiatan foging
- Penyelidikan Epidemiologi
masyarakat.
32
BAB III
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue adalah demam berdarah yang disebabkan oleh Virus
dengue yang ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. Manifestasi klinis dari
penyakit ini mulai dari asipmtomatis sampai demam berdarah dengue yang disertai
syok atau yang disebut sebagai dengue shock syndrome (DSS). Infeksi primer oleh
Virus Dengue mungkin memberi gejala demam dengue, apabila terjadi re-infeksi
oleh Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda maka reaksi yang terjadi sangat
berbeda. Teori patogenesis demam berdarah dengue yang banyak dianut saat ini
plasma, serta diatesis hemoragik. Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah
volume plasma. Dengan memahami patogenesis DBD yang baik dan adanya
keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan
33