Anda di halaman 1dari 4

Truth Behind The Wall

Cerpen Karangan: Charissa E


Kategori: Cerpen Cinta Segitiga, Cerpen Misteri, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 20 August 2018

Seminggu yang lalu


“Rena! Di sini!”
Aku berbalik ke arah suara itu. Hari ini, aku berjanji untuk menemui sahabat lamaku,
Varrel, di kafe miliknya. Begitu aku melihatnya, aku segera melambaikan tangan dan
berjalan ke arahnya.

“Sorry telat, tadi macet banget,” kataku seraya duduk di seberangnya.


Varrel tersenyum tipis. “Ga apa-apa. sekarang kan weekend.”
“Jadi, kenapa hari ini kamu seret aku ke sini?” Tanyaku.
Dia tertawa renyah. “Kamu kan ke sini secara sukarela, bukan aku yang seret kamu,”
dia berdeham. “Aku mau minta tolong. Kamu kerja di perusahaan penerbit kan?” Aku
mengangguk. “Nah, novel terbaru aku sudah hampir selesai, tapi aku terlalu sibuk
untuk mengirimkannya. Jadi, bisa tolong kamu yang serahkan langsung ke editorku?”

Yah, sobatku ini memang luar biasa. Dia mendirikan kafe bersama adik kembarnya,
Verril, yang kini sangat populer di kalangan para remaja. Dan di sela-sela
kesibukannya, dia menulis novel fantasi yang bulan lalu menjadi best-selling di kota
ini. Bukan hanya cerdas, Varrel juga amat sangat baik hati. Contohnya terlalu banyak
untuk kusebutkan, tapi yang pasti, hanya akulah yang tahu akan semua kebaikannya.
Ditambah lagi, dia adalah blasteran Inggris dari ayahnya. Jadi tidak heran kalau dia
menjadi idola kaum Hawa.

“Tentu, nanti kamu kirimkan saja naskahnya ke emailku,” jawabku dengan senang
hati. “Eh, memangnya kamu punya editor?”
Dia tertawa lagi. “Sekarang aku punya, yaitu kamu. Kamu mau kan jadi editorku?”
“Yah, boleh saja,” ujarku. Setelah itu, kami mengobrol panjang lebar. Maklum, sudah
sebulan ini kami nyaris putus kontak. Aku sibuk dengan pekerjaanku sebagai
translator dan dia sibuk dengan urusan kafenya. Di tengah-tengah pembicaraan kami
tentang masa kecil kami yang dipenuhi hal-hal konyol, ponselku berdering. Pacarku
rupanya.

“Halo?”
“Ren, kamu keasyikan nostalgia ya? Aku udah tunggu di depan sejak 20 menit yang
lalu lho…”
Aku menengok ke pintu kaca kafe itu. Benar saja, pacarku, Alvin, sudah menungguku.
“Sorry, sebentar lagi aku keluar kok.”
“Oke.”
Aku segera mematikan ponselku dan menoleh kepada Varrel. Tunggu, hanya
bayanganku atau tadi dia kelihatan kesal?

“Pacarmu ya?” Tanyanya seraya tersenyum. Yah, pasti tadi hanya bayanganku saja.
Aku mengangguk. “Dia udah di depan. Hari ini kami akan pergi ke festival di alun-
alun.”
“Wah, habis ini aku juga mau ke sana, hanya untuk mengantar Verril sih. Katanya dia
ingin ikut lomba balap sepeda.”
Yep, berbeda dengan kakak kembarnya yang kalem, Verril adalah anak yang aktif dan
agak pecicilan. Tapi dia juga menyenangkan untuk diajak bermain saat kami masih SD
dulu.

“Kalau begitu aku duluan ya. Nanti kamu ikut aku dan Alvin saja. Kalian sudah lama
tidak bertemu kan?” Ajakku.
“Iya, tepatnya 5 bulan 20 hari,” ujarnya seraya tersenyum geli. “Oke, sampai ketemu
nanti.”
Aku melambaikan tangan padanya dan segera berlari ke luar. Alvin sudah berada di
dalam mobilnya. Aku duduk di sebelah Alvin yang segera melajukan mobil itu.

“Seru reuninya?” Tanyanya dengan senyum maklum.


“Seru. Nanti dia juga mau ke festival untuk mengantar Verril.”

“Emm… Ren, sejujurnya aku merasa ada yang salah dengan anak itu.”
Aku menoleh padanya. “Maksud kamu?”
“Sulit untuk menjelaskannya. Yang pasti, aku sarankan jangan terlalu dekat
dengannya dulu, untuk sementara waktu,” ujarnya pelan, takut membuatku
tersinggung.
“Iya, aku mengerti, kok. Instingmu kan nyaris selalu benar,” sahutku.

Dan Alvin memang benar. Andai saja seminggu yang lalu aku benar-benar menuruti
kata-katanya untuk tidak terlalu dekat dengan Varrel. Kini, aku mengerti apa yang
Alvin rasakan seminggu yang lalu. Instingnya mengatakan bahwa Varrel adalah
seorang psikopat, dan dia sedang mengincarku.

Kini semua penyesalanku sia-sia. Alvin, pacarku yang sudah hampir menjadi
tunanganku tewas terbunuh tepat di hari pertunangan kami.

Kejadiannya dimulai dari saat Alvin akan memasangkan cincin di jariku. Saat itu, aku
bahagia sekali. Alvin adalah temanku sejak SMP. Dulu, kami adalah musuh bebuyutan.
Tak ada hari tanpa saling melontarkan ejekan bagi kami. Tapi, menjelang akhir SMA,
dia menjadi sahabat baikku. Tepatnya karena kami terjebak di gudang dan saat itu
sekolah kami sedang terbakar akibat kecerobohan salah satu anggota laboratorium.
Kami bersama-sama mencari jalan keluar dan saling membantu. Berkat itulah, kami
dapat menyelamatkan diri. Sejak saat itu, kami bersahabat baik, hingga akhirnya, saat
aku selesai kuliah di London dan pulang ke Indonesia, Alvin memintaku menjadi
pacarnya. Tentu saja aku menerimanya, karena aku sudah tahu betul sifatnya. 10
bulan setelah itu, dia dan keluarganya datang ke rumahku dan melamarku. Aku dan
keluargaku setuju, hingga akhirnya terjadilah pertunangan ini. Aku tak pernah
menyangka, hari ini aku akan kehilangan pacarku dan sahabat masa kecilku.

Kini di hadapanku, Varrel yang biasanya selalu tersenyum ramah, menyeringai liar
padaku. Aku telah terpojok, dan aku masih terpukul dengan kematian Alvin.

“Kenapa…?” Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Alvin telah terbujur kaku di


sampingku dengan pisau yang masih tertancap di dadanya.
“Kenapa katamu?” Balasnya dingin. “Sejak dulu aku selalu melindungimu. Bahkan saat
kau kuliah di tempat kelahiranku, aku bersedia menemanimu dan bahkan memberimu
tempat tinggal. Tapi kau malah memilih musuh bebuyutanmu sebagai pendamping
hidupmu?”

Ya Tuhan. Hanya karena itu dia tega membunuh seseorang yang sempat menjadi
sahabatnya? “Dia sudah menyelamatkan hidupku, Varrel. Saat kebakaran itu terjadi,
memangnya kamu ada di sana?!”
“Ya, aku ada di sana! Aku berusaha mencarimu ke gudang tapi ternyata kau tidak ada
di sana! Aku mencarimu hingga ke seluruh kelas yang ada hingga petugas pemadam
kebakaran itu menarikku pergi!” Balasnya setengah membentak. “Dan saat aku nyaris
mati karena khawatir padamu, kau keluar dari dalam gedung itu seraya memapah
bajingan ini!”

Aku tercekat saat mendengarnya. Kukira Varrel terlalu sibuk melindungi adik
kembarnya yang amat dia sayangi. Kukira dia tidak peduli padaku sebesar
kepeduliannya kepada adiknya. Jadi, dia seperti ini karena aku salah paham
kepadanya selama bertahun-tahun?

“Maaf… maafkan aku…” air mataku mengalir lebih deras lagi. “Kukira kamu hanya
memedulikan adikmu… aku kira saat itu kamu terlalu sibuk melindungi Verril…”

Kata-kataku terhenti saat Varrel memelukku dengan lembut. Sebuah benda tajam
kecil menembus kulitku. Sial, aku terlambat menghindarinya. Dia menyuntikkan obat
bius kepadaku!

“Maaf, kamu harus tidur dulu. Ini tidak akan lama,” bisiknya.
Detik itu juga, aku tenggelam di dalam kegelapan yang tak berujung.

Saat aku membuka mataku, sekelilingku tampak berbeda. Segalanya begitu asing
bagiku. Dan di atas segala keanehan itu, aku merasakan sakit di sekujur tubuhku.
Begitu sakit hingga aku bahkan tidak bisa mengangkat tanganku.

“Selamat pagi,” sapa Varrel dengan senyum ramahnya yang khas. Kedua tangannya
membawa sebuah nampan berisi teko dan 2 buah cangkir.
Saat itu, seluruh kesadaranku telah kembali. “Aku ada di mana?”
“Di rumahku, tentu saja,” ujarnya seraya menuangkan sesuatu dari teko itu ke dalam
cangkir dan mengulurkan cangkir tersebut padaku. “Kesukaanmu, green tea infused
with jasmine flower.”

Dengan susah payah aku berusaha duduk bersandar di tempat tidur itu dan menerima
cangkir itu. Aroma teh hijau dan bunga melati segera menenangkan seluruh tubuhku.
“Kenapa kamu bawa aku ke sini?”
Dia menarik sebuah kursi ke sampingku dan duduk dengan tenang seraya menyesap
tehnya. “Kalau tidak begini nanti kamu terus-terusan berduka atas kematian bajingan
itu.”
“Kapan aku boleh pulang?” Tanyaku lirih.
“Memangnya kamu akan pulang ke mana?”
Aku meliriknya dengan keheranan. “tentu saja ke rumahku.”
Dia menyunggingkan senyuman sinis. “Kita ada di rumahku, London.”

Tanpa sadar, aku menjatuhkan cangkir itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
“APA?!”
Dengan tenang, dia menaruh cangkirnya di atas meja dan menghampiriku. “Ada apa?
Bukankah kamu pernah tinggal di sini selama 4 tahun?”
“Tapi rumahku bukan di sini,” jawabku tegas. “Tolong biarkan aku pulang.”
“Memangnya kamu punya uang untuk membeli tiket pesawat?” Balasnya dengan
senyum sinisnya. Aku terdiam. Kini aku benar-benar menjadi tawanannya. “Sudahlah,
kamu bisa tinggal di sini bersamaku. Kalau saja kamu lebih peka, aku tidak memiliki
teman satupun di sini. Mereka semua hanya memanfaatkan diriku. Begitu juga
denganmu. Semua teman seangkatanmu membencimu karena kamu adalah siswi
favorit para dosen. Kamu bahkan sempat ditawari bekerja di perusahaan yang
terkenal.”
Ya, aku mengingatnya. Dulu, semua mahasiswi yang seangkatan denganku
mengucilkan diriku. Hanya saja karena Varrel dekat denganku, mereka tidak berani
berbuat apa-apa padaku. Hingga suatu hari, Varrel tidak masuk kuliah karena harus
melakukan wawancara. Saat semua pelajaran telah selesai, mereka mengunciku di
toilet dan bahkan memasukkan banyak sekali kecoak ke dalam toilet. Aku amat phobia
pada serangga itu, dan begitu melihatnya, aku langsung menjerit minta tolong.
Beruntung Varrel datang menjemputku dan mendengar jeritanku hingga akhirnya aku
selamat. Para mahasiswi itu dilaporkan olehnya dan kemudian dihukum oleh para
dosen. Tentu saja, setelah itu mereka semakin membenciku namun sejak itu pula
Varrel tidak pernah jauh-jauh dariku.
Tanpa sadar aku bergidik saat mengingatnya.

Aku merasakan kedua tangan Varrel yang dingin menyentuh wajahku. Senyuman
sinisnya telah berganti dengan senyum lembut. “Karena kamu tahu rasanya, kamu
pasti mengerti perasaanku kan?”
Aku mengangguk lemah. Kini, aku hanya dapat menurutinya, demi nyawaku yang
dapat direnggutnya kapan saja.

“Jadi, kamu mau kan tinggal di sini bersamaku? Besok aku akan mendaftarkan
pernikahan kita, dengan begitu kita akan selalu terikat dan dapat selalu bersama-
sama,” wajah Varrel semakin dekat denganku. Aku beringsut mundur hingga
punggungku menyentuh dinding. Aku benar-benar merasa ketakutan. Varrel
menarikku dan mencium keningku. “Tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun
padamu sampai kamu mau menerimaku.”

Dia benar-benar menepatinya. Berhari-hari, dia dengan sabar menyodorkan dokumen


pernikahan untuk ditandatangan olehku dan begitu aku menggeleng, dia hanya
tersenyum sabar dan menaruh dokumen itu di atas meja. Di malam hari, aku sering
terbangun akibat mimpi buruk. Saat itupun dengan sabar Varrel menenangkan diriku
dan menemaniku hingga aku tertidur. Saat aku merasa bosan karena ditinggal bekerja
olehnya, dia pulang dengan setumpuk novel tebal dan selalu menyempatkan diri untuk
mengobrol denganku.

Setelah 3 bulan, akhirnya aku bersedia menandatangani dokumen itu. Varrel begitu
girang saat aku akhirnya mengangguk dan bahkan mengambil sebuah bolpoin. Dia
memelukku begitu erat dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Aku mungkin memang sudah tidak waras karena bersedia menikah dengan seorang
pembunuh. Namun aku tahu, Varrel bersikap seperti itu karena tidak dapat menahan
rasa kesepian yang menghantui hidupnya. Walau begitu, kuharap Alvin memaafkanku.
Aku tahu apa yang kulakukan ini terlihat egois karena aku melakukanyan demi
bertahan hidup. Namun, dengan selalu berada di dekatnya, aku dapat menjauhkannya
dari teman-temanku. Dengan begitu, mereka aman dari Varrel.

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/truth-behind-the-wall.html

Anda mungkin juga menyukai