Anda di halaman 1dari 36

ST ELEVATION INFARK MIOKARD (STEMI)

1. DEFINISI
STEMI merupakan sindroma klinis yang didefinisikan dengan tanda gejala dan
karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan pengeluaran
biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan
untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2012).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan aliran
darah koroner miokardium (Carpenito, 2012). Infark miokard akut (IMA) merupakan
gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di
pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation
infark miokard (STEMI) dan non ST-elevation infark miokard (NSTEMI). STEMI merupakan
oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh
ketebalan miokard, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan
NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokard, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
2. EPIDEMIOLOGI
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA non STE
adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien
IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of
GRACE, 2001). Sesuai data yang ada di ruang CVCU RSSA Malang yang menunjukkan
bahwa sebanyak kurang lebih 127 pasien menderita NSTEMI dan sebanyak 148 pasien
menderita STEMI. Jumlah ini menunjukkan nilai yang sangat besar dibandingkan dengan
prevalensi jumlah pasien yang menderita ALO, ADHF, UAP dan syok kardiogenik. STEMI
dan NSTEMI merupakan penyakit yang masuk pada 10 penyakit terbanyak no 1 dan 2 di
ruang CVCU RSSA Malang
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya ruptur vulnerable
atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi
yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress
emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu.Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat
dirubah.
a. Faktor yang tidak dapat dirubah :
1. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya
tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima
kali lipat (Kumar, et al., 2009).
2. Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
3. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat.Setelah menopause, insiden penyakit
yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA.
b. Faktor resiko yang dapat dirubah :
1. Merokok
Merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan
penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita (Kumar, et
al., 2009). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi pembuluh darah,
merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi
carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya
belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar
dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal
pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok
cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.
2. Hiperlipidemia
Merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal.
Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit
arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya
melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
3. Hipertensi
Merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole maupun diastole
memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease
(IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan,
sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif, dan
sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2009). Mekanisme
hipertensi berakibat IHD:
 Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga
menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor
miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
 Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung
terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan
terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina
pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada
penderita hipertensi dibanding orang normal.
4. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko
stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.
5. Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
6. Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
4. PATHWAY

Merokok, alcohol, hipertensi, lipid, congenital


kolesterol berlebih

Melekat pada dinding pembuluh darah

LDL menembus pembuluh darah melalui lapisan sel endotel

Masuk ke lapisan pembuluh darah lebih dalam (intina)

Menyempitkan pembuluh darah

LDL teroksidasi atau dirusak oleh radikal bebas

Mengubah monosit menjadi makrofag

LDL teroksidasi tahap 2

Mengubah makrofag menjadi sel busa

Sel busa berikatan membentuk gumpalan

Penyempitan lumen pembuhuh darah

Aliran darah tidak lancar
LDL teroksidasi

Timbul bercak lemak

Meningkatnya permeabilitas Plak halus
terhadap lipid ↓
Aktivasi faktor VII dan X
Defisit Perawatan Diri
↓ Deficit perawatan diri
Protrombin  thrombin ↑
Fibrinogen  fibrin Motivasi personal hygiene ↓
Perub. ↓
Stimulasi
Nyeri Akut Metabolik aerob
saraf Rupture plak as
 anaerob Intoleransi Aktivitas

Thrombus ↑
↓ Kelemahan
Suplai O2 tidak Oklusi arteri koroner ↑
seimbang dg ↑ Hipoksia
permintaan O2
Aliran darah koroner ↑
menurun Penurunan aliran darah

Supply O2 ke jaringan Penurunan CO2 Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri
berkurang ↓ ↓
↓ Hipotensi Penurunan cardiac output
Kebutuhan O2 tidak ↓
tercukupi Syok
↓ ↓ Reflux ke paru-paru
Takipneu Penurunan kesadaran ↓ Gagal pompa ventrikel
↓ ↓ Alveoli edema kanan
Ketidakefektifan Resiko injury
Resiko Injury ↓
Gangguan Tekanan diastole meningkat
Pola Napas
Metabolism anaerob Pertukaran Gas ↓
↓ Bendungan atrium kanan
Asam laktat meningkat ↓
Distress Kultural

↓ Terjadi malam hari Bendungan vena sistemik


Menganggap penyakit Nyeri terus menerus ↓ ↓
tidak masuk akal Gangguan
Informasi tidak adekuat (reseptor nyeri) Gangguan pola tidur
Pola tidur Hepar
↓ ↓ ↓
Respon penyebab Salah terapi, salah persepsi Hepatomegali
penyakit salah ↓ Ansietas ↓
Ansietas
Persepsi thdp
Kurang Pengetahuan
Mendesak diafragma
penyakit Gang. Interaksi ↓
inadekuat Gangguan Komunikasi Sosial Sesak nafas
Verbal
Gagal pompa ventrikel kiri ↓
Ketidakefektifan
Ketidakefektifanpola
nafas
Pola Napas
Forward failure Backward failure
↓ ↓ Mendesak organ GIT
Suplai darah Suplai O2 otak ↓ Renal flow ↓ LVED naik ↓
jaringan ↓ ↓ ↓ ↓ Mual muntah
↓ Sinkop RAA ↑ Tek.vena pulmonalis ↑ ↓
Metabolism anaerob ↓ ↓ ↓
Ketidakseimbangan
↓ Gangguan
Gangguan Aldosteron ↑ Tek.kapiler paru ↑
nutrisi kurang dari
Asidosis metabolic perfusi jarin
Perfusi ↓ ↓
kebutuhan tubuh
↓ Jaringan
ADH ↑ Edema paru Beban ventrikel kanan ↑
Penimbunan asam ↓ ↓ ↓
Serebral
laktat dan ATP ↓ Retensi Na + Ronchi basah Hipertrovi ventrikel kanan
↓ H2O ↓ ↓
Fatigue ↓ Iritasi mukosa paru Penyempitan lumen
↓ Kelebihan
Kelebihan ↓ ventrikel kanan
Intoleransi
Intoleransi volume
Volume c
Cairan Reflek batuk ↓
aktivitas
Aktivitas ↓
Penumpukan secret Ketidakefektifan
↓ Bersihan Jalan Napas
Tidak dapat Edema Menghambat pertukaran
beribadah seperti ↓ O2 dan CO2
biasa Perubahan ↓
bentuk Gangguan pertukaran
Gangguan Pertukaran Suplai O2 di sirkulasi ↓
Distres Spiritual Gas
Gangguan Citra
Tubuh
Informasi dan dukungan Kurang
Mobilisasi berkurang tidak adekuat Kurang pengetahuan
Pengetahuan
↓ ↓
Bedrest Sirkulasi O2 terganggu Nafsu makan ↓
↓ ↓
Dekubitus Intake kurang Imunitas tubuh ↓ Ansietas
↓ ↓ ↓
Disfungsi Seksual ergitas
Kerusakankulit Nutrisi kurang dari
Ketidakseimbangan Leukosit kurang ↓
Integritas Kulit
kebutuhan tubuh
nutrisi kurang dari
↓ Tidak mau menerima
↓ Resiko Infeksi
keadaan tubuh
kebutuhan tubuh
Kesepian ↓
↓ ↓ Tidak patuh dalam
Albumin ↓ pengobatan
Stress Berlebihan ↓ Invasi ↓
Kerusakan integritas
Kerusakan Integritas mikroorganisme
↓ jaringan (mudah masuk) Ketidakefektifan
Jaringan Pemeliharaan
Perawatan intensif ↓
Hambatan Komunikasi Infeksi Kesehatan
Verbal ↓
Bedrest
Hipertermi

Hambatan Interaksi Pembatasan immobilisasi


Sosial
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi
trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis.STEMI terjadi ketika
thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan
vascular.Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak
atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah
dan kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus).Mural thrombus
(thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan
terjadi oklusi pada arteri koroner.Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya
ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi
platelet.Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat)
dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut (Price, 2005).
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan
perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi
menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti
fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet
secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi.Kaskade koagulasi
mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada
area rupturnya plak.Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi
thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.Arteri koroner seringkali
mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi.
Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada :
a. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c. durasi oklusi koroner
d. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena
e. kebutuhan oksigen pada miokard yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba
f. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial
yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
5. KLASIFIKASI
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas
meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST
pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada
EKG.
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA


Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai adanya


II S3 gallop dan/atau ronki basah (rales) di basal 30-40% 17
paru dan hipertensi pulmonal
III Severe Heart Failure. Edema paru akut (ALO) 10-15% 30-40

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

6. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi
kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun
atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan
STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa
dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk, atau
seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina
pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih
lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan
menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen,
punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering disertai dengan kelemahan,
berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, 2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting
suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien
dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan
diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam pertama
STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas
sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi. Tanda fisik
dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan intensitas bunyi jantung
pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga sering terjadi penurunan
volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya penurunan stroke volume.
Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin ditemukan selama satu minggu
post STEMI.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi
menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik
nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang
mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein spesifik ini berbeda-
beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik
local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik
kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut
beredar bersama sirkulasi.
1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI) memiliki
sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam otot
skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative assay untuk
cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik.Karena cTnT dan
cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi meningkat
setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan
cTnI dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin
tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya kembali
normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada STEMI memiliki
spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada penyakit otot
skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai lebih
spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang
signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan
kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3 5

2
10

5
Tabel 1. Cardiac marker pada Miokard Infark

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali Nilai Rujukan


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL

Klasifikasi Killip
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA

dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:

Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai


adanya S3 gallop dan/atauronkibasah
II 30-40% 17
(rales) di basal paru dan hipertensi
pulmonal
Severe Heart Failure. Edema paru akut
III 10-15% 30-40
(ALO)
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir
selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan
dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan
echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal maka nada atau tidaknya
abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk
mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan
inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel
kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel
kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD
dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.
Gambar 1. Gambaran EKG STEMI

Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI pada
dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.

2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran
langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena

infark.

 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal

tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.

 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan

aliran normal.

3) High Resolution MRI


Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI.
d. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis
polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari.Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan
sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah
putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2
minggu (Muttaqin, 2009).

8. PENATALAKSANAAN
1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit.Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya
2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen
utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
i. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
ii. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
iii. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih
iv. Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan
STEMI.
2. Hospital
i. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark
dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus
tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak
terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak
dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam
24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi
lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang
ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien
harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
ii. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya
diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama.Asupan
nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari.Kompleks
karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.Diet yang diberikan harus
tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
iii. Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri seringkali
menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami
konstipasI
3. Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena.NTG IV juga dapat diberikan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru.Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan.
b. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping
yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg
IV.
c. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan
supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan
menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010).
4. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar.
Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan
invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen
medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA
(percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI
(percutaneous cardiac intervention). PCI (Percutaneous Cardiac Intervention) primer:
metode reperfusi yang direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu
oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala
iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada
arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya
dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.
Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI
Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:

1. Waktu onset gejala

- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark

dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus

sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam

pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan

secara dramatis menurunkan angka kematian.

- Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten,

kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa

laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju

mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.

- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European

Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-

balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.


2. Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko

mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,

seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

3. Risiko Perdarahan

Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii

reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan

dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak

tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan

risiko.

4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat

dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih

superior dari reperfusi farmakologis.

Tabel 3. Risk Score Untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)


9. ALOGARITMA PENATALAKSANAAN STEMI
10. KOMPLIKASI
a. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik
pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling
ventricular.Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial
yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik.Pembesaran yang terjadi
berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.
b. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan nekrosis
iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik
pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.Tanda klinis yang sering dijumpai adalah
ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
c. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.Mekanisme
yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf
otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona
iskemik.
d. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokard.Disfungsi ventrikel kiri
atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi
ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
e. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya
mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.Timbul lingkaran setan akibat perubahan
hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan
perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi,
asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokard.
f. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial
maupun dalam alveoli.Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat
lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar,
dan menimbulkan dispnea yang sangat berat.Kongesti paru terjadi jika dasar vascular
paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu
diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya
terjadi hipoksia berat.
g. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup
mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik.
Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium
kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada
atrium kiri dan vena pulmonalis.
h. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga
terjadi defek septum ventrikel.
i. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama
fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang
tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang
relative tidak elastic dapat berkembang.Kantong pericardium yang terisi oleh darah
menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
j. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma
ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara
pasif oleh sebagian curah sekuncup.
k. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang
merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium
dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
l. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi kasar,
sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku,
pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian,
sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat,
no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
b. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
c. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
 Provoking Incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
 Region, Radiation, Relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta
ketidakmampuan bahu dan tangan.
 Severity (Scale) of Pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0-5
dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada
saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
 Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama timbulnya
(durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokard dapat
timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama.
Gejala-gejala yang menyertai infark miokard meliputi dispnea, berkeringat,
amsietas, dan pingsan.
d. Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan
hiperlipidemia.Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu
yang masih relevan.Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan
alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.
e. Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota
keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung
iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko
utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
f. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual
olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
g. Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner,
masalah TD, DM.
Tanda:
 TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk/berdiri
 Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
 Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan
kontraktilitas atau komplian ventrikel.
 Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
 Friksi; dicurigai perikarditis.
 Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
 Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
 Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
h. Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah
pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga, pekerjaan dan
keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
i. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
j. Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat
badan
k. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri
l. Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
m. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
 Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan aktifitas),
tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
 Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat menyebar
ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku,
rahang, abdomen, punggung, leher
 Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti dapat dilihat.
 Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman nyeri paling
buruk yang pernah dialami.
 Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan DM,
hipertensi dan lansia.
Tanda:
 Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
 Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
 Menarik diri, kehilangan kontak mata
 Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, pernapasan, warna
kulit/kelembaban, kesadaran.
n. Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau
krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
o. Interaksi social
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan
stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri
dari keluarga
p. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit
vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau
q. Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
 Tingkat kesadaran
 Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
 Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak mencukupinya
oksigen ke dalam miokard
 Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
 Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,
perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan
miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
 Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
 Warna dan suhu kulit
 Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-
tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
 Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika
merupakan potensial komplikasi yang fatal
 Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya
tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
r. Pemeriksaan Diagnostik
 EKG
 Echocardiogram
 Lab  CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1) Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner
2) Ketidakefektifan pola nafas yang b.d pengembangan paru tidak optimal, kelebihan
cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut
3) Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri,
penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan
struktural
4) Perubahan perfusi jaringan b.d penurunan aliran darah, misalnya
vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan
kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung
6) Ansietas b.d ketakutan akan kematian
7) Resiko ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang b.d penolakan
terhadap diagnosis miokard infark

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Diagnosa 1: Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner
 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien
mengatakan nyeri berkurang
 Kriteria hasil:
NOC :Pain Level
Severe Substantial Moderate Mild No
No. Indikator
Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Lama nyeri

2 Ekspresi wajah saat nyeri

3 Gelisah

4 RR

5 Tekanan darah

 Intervensi NIC :
Indikator Intervensi

Pain Management

4.1, 5.2 1. Kaji tanda-tanda vital (TD, nadi, RR, suhu)

2. Kaji nyeri (lokasi, karakter, durasi, frekuensi,kualitas,intensitas


1.1, 2.1, 3.1
nyeri, dan faktor presipitasi)

3. Observasi non verbal klien seperti kegelisahan, terutama


2.2, 3.2
komunikasiyang tidak efektif

4. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui respon


1.3, 2.3
nyeri klien.

2) Diagnosa 2 : Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi


elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark,
kerusakan structural
 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam curah
jantungadekuat
 Kriteria Hasil:
NOC :Cardiac Pump Effectiveness
Severe Substantial Moderate Mild No
No. Indikator
Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Tekanan Darah

2 Nadi

3 Kelelahan

4 Sianosis

5 Suara jantung tidak normal

 Intervensi NIC :
Indikator Intervensi

Cardiac Care

5.1 1. Auskultasi suara jantung

2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung


4.1
yangberat

3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil,


1.1, 2.1, 3.1
misalaktivitas ringan yang disertai masa istirahat

3.2 4. Monitor TTV secara teratur

1.2, 2.2 5. Monitor kardiovaskuler status

6. Lakukan penilaian komprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT,


5.2
warna,

2.3 7. Monitor TTV secara teratur

3) Diagnosa 3 : Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah,


misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli
 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi
jaringanefektif
 Kirteria Hasil:
NOC :Tissue Perfusion: Cardiac, Cardiacpulmonary Status
Severe Substantial Moderate Mild No
No. Indikator
Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1 RR

2 Nadi

3 Tekanan darah sistolik

4 Tekanan darah diastolik

5 Takikardi

6 Bradikardi

7 Irama jantung

8 Urin Output

 Intervensi:
Indikator Intervensi

Cardiac Care

1.1, 2.1, 3.1, 1. Monitor tanda vital

4.1, 5.1, 6.1

8.1 2. Monitor keseimbangan cairan (intake/output cairan)

3. Monitor perubahan iramajantung,


7.1
termasukgangguandariiramadankonduksi

7.2 4. Dokumentasi perubahan irama jantung

5.2, 6.2, 7.3 5. Monitor perubahan ST pada EKG, dengan tepat


FIBRINOLITIK

Fibrinolisis merupakan strategi perfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat yang
tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi
kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit
sejak kontak medis pertama (Kelas-A). pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan resiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit
(Kelas IIa-b). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin
oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan


fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari
(Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa :

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas
I-A)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infuse selama
3 hari (Kelas I-C)
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, fondaparinuks intravena secara bolus
dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas II-a-B)

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah
fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas-IA). IKP “rescue” diindikasikan segera
fibrinlisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia
rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhyasil (Kelas I-B). Hal ini
ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.

Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk


gagal jantung / pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika
memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang
mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis hyang berhasil (Kelas I-A. Waktu optimal
angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

Tabel Rekomendasi terapi fibrinolitik

Rekomendasi Kelas Level


Terapi fibrinolitik sebaiknya diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP
primer tidak dapat dilakukan oleh tim yang berpengalaman I A
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
Fibrinolisis perlu dipertimbangkan untuk pasien yang
datang awal (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark luas
dan risiko perdarahan rendah apabila waktu dari kontak IIa B
medis pertama hingga balloon inflation>90 menit
Bila memungkinkan, fibrinolisis sebaiknya dimulai di rumah
Sakit IIa A
Agen spesifik fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase lebih
disarankan dibanding dengan agen yang tidak spesifik I B
terhadap fibrin
Aspirin oral harus diberikan I B
Clopidogrel disarankan untuk diberikan bersama
I A
dengan aspirin
Antikoagulasi disarankan untuk pasien STEMI yang
diberikan agen fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama pasien dirawat di rumah sakit I A
hingga hari ke 8. Pilhan antikoagulan:
Enoksaparin i.v. diikuti s.c. I A
Heparin tidak terfraksi, diberikan secara bolus
I C
intravena sesuai berat badan dan infus
Pada pasien yang diberikan streptokinase, berikan
fondaparinuks bolus i.v. diikuti dengan dosis s.c. 24 jam IIa B
kemudian
Setelah diberikan fibrinolisis, semua pasien perlu dirujuk ke
rumah sakit yang dapat menyediakan IKP I A
PCI “rescue” diindikasikan segera bila fibrinolisis gagal
(<50% perbaikan segmen ST setelah 60 menit) I A
PCI emergensi diindikasikan apabila terjadi iskemia rekuran
atau bukti reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil I B
Angiografi darurat dengan tujuan revaskularisasi
diindikasikan untuk pasien gagal jantung/syok I A

Angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi


(pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah I A
fibrinolisis yang berhasil
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis
yang berhasil adalah 3-24 jam IIa A

Langkah-langkah pemberian fibrinolisis :

1. Nilai waktu dan resiko


a. Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan
gejala iskemik)
b. Resiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
c. Wakktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP (<120 menit)
2. Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasive untuk kasus tersebut.
Bila pasien < 3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada
preferensi untuk satu strategi tertentu

 Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:


a. Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasif
b. Strategi invasif tidak dapat dilakukan
 Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
 Kesulitan mendapatkan akses vaskular
 Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP dalam waktu < 120 menit

c. Halangan untuk strategi invasif


 Transportasi bermasalah
 Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
 Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to balloon
lebih dari 90 menit
 Keadaan dimana strategi invasive lebih baik :
a. Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
 Waktu antar kontak medis dengan dukungan balonisasi atau door-to-balloon
kurang dari 90 menit
 Wantu antara Door-to-ballon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
b. Risiko tinggi STEMI
 Syok kardiogenik
 Kelas Killip ≥ 3
c. Indikasi kontra untuk fibrinolisis termasuk peningkatan risiko perdarahan dan
perdarahan intracranial
d. Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Indikasi kontra terapi fibrinolitik

Indikasi Kontra Absolut Indikasi Kontra Relatif


Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA) dalam 6
penyebabnya belum diketahui, dengan bulan terakhir
awitan kapanpun

Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral

Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bul Resusitasi traumatik
an
terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah sistoli
k
>180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut

Dosis awal Koterapi Indikasi kontra


antitrombin spesifik
Streptokinase 1,5 juta U dalam 100 mL Heparin i.v. Sebelum Sk
(Sk) Dextrose 5% atau larutan selama 24-48 atau
salin 0,9% dalam waktu 30- jam anistreplase
60 menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena Heparin i.v.
0,75 mg/kg selama 30 selama 24-48
menit, kemudian 0,5 mg/kg jam
selama 60 menit
Dosis total tidak lebih dari
100 mg
DAFTAR PUSTAKA

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa Indonesia:
Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is Collecting
System. Elsevier Inc.

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Muttaqin, A. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
2.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Ruhyanudin, F. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler. Malang: UMM Press.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010.Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi 8.Jakarta :
EGC.

Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates

Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment Approach
second edititon .Blackwell Publishing: USA.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.

GuytonA.C. and J.E. Hall.2009.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai

  • LP Ruang 27
    LP Ruang 27
    Dokumen17 halaman
    LP Ruang 27
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • ADL Barthel
    ADL Barthel
    Dokumen3 halaman
    ADL Barthel
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • Pathway Scleroderma
    Pathway Scleroderma
    Dokumen1 halaman
    Pathway Scleroderma
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • LP Abses Submandibula (ICU)
    LP Abses Submandibula (ICU)
    Dokumen15 halaman
    LP Abses Submandibula (ICU)
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • Pathway Scleroderma
    Pathway Scleroderma
    Dokumen1 halaman
    Pathway Scleroderma
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • DIARE
    DIARE
    Dokumen12 halaman
    DIARE
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat
  • Pato PPH
    Pato PPH
    Dokumen2 halaman
    Pato PPH
    Ephysia Ratriningtyas
    Belum ada peringkat