LP Stemi
LP Stemi
1. DEFINISI
STEMI merupakan sindroma klinis yang didefinisikan dengan tanda gejala dan
karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan pengeluaran
biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan
untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2012).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan aliran
darah koroner miokardium (Carpenito, 2012). Infark miokard akut (IMA) merupakan
gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di
pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation
infark miokard (STEMI) dan non ST-elevation infark miokard (NSTEMI). STEMI merupakan
oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh
ketebalan miokard, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan
NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokard, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
2. EPIDEMIOLOGI
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA non STE
adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien
IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of
GRACE, 2001). Sesuai data yang ada di ruang CVCU RSSA Malang yang menunjukkan
bahwa sebanyak kurang lebih 127 pasien menderita NSTEMI dan sebanyak 148 pasien
menderita STEMI. Jumlah ini menunjukkan nilai yang sangat besar dibandingkan dengan
prevalensi jumlah pasien yang menderita ALO, ADHF, UAP dan syok kardiogenik. STEMI
dan NSTEMI merupakan penyakit yang masuk pada 10 penyakit terbanyak no 1 dan 2 di
ruang CVCU RSSA Malang
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya ruptur vulnerable
atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi
yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress
emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu.Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat
dirubah.
a. Faktor yang tidak dapat dirubah :
1. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya
tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima
kali lipat (Kumar, et al., 2009).
2. Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
3. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat.Setelah menopause, insiden penyakit
yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA.
b. Faktor resiko yang dapat dirubah :
1. Merokok
Merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan
penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita (Kumar, et
al., 2009). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi pembuluh darah,
merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi
carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya
belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar
dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal
pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok
cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.
2. Hiperlipidemia
Merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal.
Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit
arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya
melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
3. Hipertensi
Merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole maupun diastole
memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease
(IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan,
sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif, dan
sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2009). Mekanisme
hipertensi berakibat IHD:
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga
menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor
miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung
terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan
terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina
pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada
penderita hipertensi dibanding orang normal.
4. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko
stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.
5. Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
6. Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
4. PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi
kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun
atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan
STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa
dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk, atau
seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina
pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih
lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan
menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen,
punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering disertai dengan kelemahan,
berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, 2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting
suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien
dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan
diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam pertama
STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas
sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi. Tanda fisik
dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan intensitas bunyi jantung
pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga sering terjadi penurunan
volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya penurunan stroke volume.
Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin ditemukan selama satu minggu
post STEMI.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi
menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik
nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang
mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein spesifik ini berbeda-
beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik
local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik
kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut
beredar bersama sirkulasi.
1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI) memiliki
sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam otot
skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative assay untuk
cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik.Karena cTnT dan
cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi meningkat
setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan
cTnI dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin
tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya kembali
normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada STEMI memiliki
spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada penyakit otot
skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai lebih
spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang
signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan
kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3 5
2
10
5
Tabel 1. Cardiac marker pada Miokard Infark
Klasifikasi Killip
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA
dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:
Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)
c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir
selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan
dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan
echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal maka nada atau tidaknya
abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk
mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan
inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel
kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel
kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD
dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.
Gambar 1. Gambaran EKG STEMI
Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI pada
dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.
2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran
langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
aliran normal.
8. PENATALAKSANAAN
1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit.Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya
2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen
utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
i. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
ii. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
iii. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih
iv. Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan
STEMI.
2. Hospital
i. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark
dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus
tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak
terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak
dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam
24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi
lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang
ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien
harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
ii. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya
diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama.Asupan
nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari.Kompleks
karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.Diet yang diberikan harus
tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
iii. Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri seringkali
menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami
konstipasI
3. Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena.NTG IV juga dapat diberikan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru.Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan.
b. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping
yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg
IV.
c. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan
supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan
menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010).
4. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar.
Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan
invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen
medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA
(percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI
(percutaneous cardiac intervention). PCI (Percutaneous Cardiac Intervention) primer:
metode reperfusi yang direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu
oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala
iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada
arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya
dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.
Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI
Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark
sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa
- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,
seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
3. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan
dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
risiko.
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Diagnosa 1: Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien
mengatakan nyeri berkurang
Kriteria hasil:
NOC :Pain Level
Severe Substantial Moderate Mild No
No. Indikator
Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Lama nyeri
3 Gelisah
4 RR
5 Tekanan darah
Intervensi NIC :
Indikator Intervensi
Pain Management
2 Nadi
3 Kelelahan
4 Sianosis
Intervensi NIC :
Indikator Intervensi
Cardiac Care
2 Nadi
5 Takikardi
6 Bradikardi
7 Irama jantung
8 Urin Output
Intervensi:
Indikator Intervensi
Cardiac Care
Fibrinolisis merupakan strategi perfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat yang
tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi
kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit
sejak kontak medis pertama (Kelas-A). pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan resiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit
(Kelas IIa-b). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin
oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas
I-A)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infuse selama
3 hari (Kelas I-C)
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, fondaparinuks intravena secara bolus
dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas II-a-B)
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah
fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas-IA). IKP “rescue” diindikasikan segera
fibrinlisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia
rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhyasil (Kelas I-B). Hal ini
ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bul Resusitasi traumatik
an
terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah sistoli
k
>180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa Indonesia:
Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is Collecting
System. Elsevier Inc.
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Muttaqin, A. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
2.Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010.Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi 8.Jakarta :
EGC.
Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates
Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment Approach
second edititon .Blackwell Publishing: USA.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.